Tuesday, June 5, 2007

Birokrasi Tak Efisien, Parpol Ketinggalan Kereta

5 Juni 2007
Birokrasi Tak Efisien, Parpol Ketinggalan Kereta
Catatan Dahlan Iskan untuk Penganugerahan Otonomi Award 7 Juni 2007 (1)

Dulu kita membayangkan, setelah ada otonomi, orang daerah akan dengan penuh inisiatif memikirkan kemajuan daerah masing-masing. Pimpinan daerah menjadi sangat bergairah karena merasa tidak lagi terbelenggu oleh pusat. Masyarakat juga menjadi sangat cerdas ketika harus memilih pemimpin mereka.

Kita bayangkan, yang terpilih jadi bupati atau wali kota adalah yang terbaik saja. DPRD-nya juga kita bayangkan terus memikirkan nasib rakyat yang mereka wakili. Daerah satu dengan daerah lain kita bayangkan berlomba untuk menjadi yang paling maju. Daerah yang satu akan bersinergi dengan daerah di sebelahnya untuk mengatasi masalah bersama.

Otonomi daerah kini sudah berlangsung delapan tahun. Memang, ada tanda-tanda ke arah sana, tapi masih sangat kecil. Belum sebanding dengan perjalanan waktu dan harapan masyarakat.

Di bidang administrasi belum ada yang sungguh-sungguh menerapkan teknologi informasi yang modern dan reliable. Tidak ada yang sungguh-sungguh menerapkan sistem administrasi berbasis teknologi informasi itu. Saya yakin banyak sekali anak muda di lingkungan pemda yang secara pribadi punya kemampuan di bidang itu. Tapi, mereka tidak mendapatkan muara yang tepat dalam alur tata birokrasi yang ada.

Dari pengalaman saya selama ini, biarpun punya SDM, biarpun ada hardware, biarpun ada bagan organisasinya, kalau komitmen pimpinan tertinggi tidak ada, hanya akan membuat frustrasi bagian yang menanganinya. Di tingkat pusat pun, kasus open source software yang sudah disepakati tiga menteri itu tidak berjalan. Bahkan, menjadi ramai karena setelah tiga tahun justru ada tanda-tanda munculnya kebijaksanaan yang bertentangan dengan itu.

Tak pelak lagi bahwa setiap daerah masih belum bisa mengubah kesibukan utamanya sejak dulu: mengurus administrasi dan birokrasi sendiri. “Temuan” semacam ini sudah menjadi pembicaraan di lingkungan birokrasi itu sendiri. Tapi, memang hanya sebatas bisa membicarakannya. Penerapannya kembali akan terbelit pada urusan administrasi dan birokrasi.

Singkatnya, birokrasi terlalu sibuk dengan diri sendiri. Mereka menyadari bahwa itu tidak baik. Mereka juga menyadari bahwa untuk memperbaikinya diperlukan perombakan birokrasi. Tapi, untuk merombak birokrasi diperlukan birokrasi. Birokrasi yang diperlukan adalah birokrasi yang akan dirombak itu. Ini benar-benar jalan buntu -cul de sac!

Di lingkaran politik (wali kota/bupati/wakil/DPRD), ada pekerjaan lain yang juga menyita waktu mereka sendiri. Dimulai dari hubungan bupati/wali kota dengan wakilnya. Hubungan mereka ternyata lebih banyak “rujak sentulnya”. Kalau toh kelihatan rukun, itu hanya satu tahun pertama -saat mereka masih menikmati bulan madu. Tahun kedua, ketika pembagian tugas harus dilaksanakan, mulailah terjadi gesekan di dalam sarung. Penyebab utamanya adalah kelompok-kelompok yang merasa berperan menjadikan mereka pimpinan daerah. Dan, kelompok itu sering identik dengan orang-orang partai yang menjadi kendaraan pencalonan mereka. Tahun ketiga praktis kerja sama yang dikampanyekan dulu tinggal seperti pepesan yang isinya sudah dimakan tikus. Bahkan, tahun ketiga itu mulailah ancang-ancang apakah wali kota/bupati akan mengajak wakilnya lagi untuk berpasangan pada pemilu berikutnya. Demikian juga sang wakil, mulai ancang-ancang mengapa tidak maju sendiri jadi orang nomor satu. Mulailah saling mematai, berebut pengaruh, bahkan sampai menggagalkan program “lawan” masing-masing.

Juga hubungan kepala daerah dengan DPRD. Tawar-menawar uang lebih mewarnai di balik pembicaraan resmi. Tidak ada yang sejak awal menyepakati prioritas dan agenda pembicaraan selama lima tahun. Akibatnya, yang mestinya diprioritaskan dibahas menjadi tidak prioritas. Yang lebih sepele malah perdanya jadi lebih dulu. Ini juga terjadi di provinsi. Bagaimana Jatim yang begitu banyak pekerjaan mendesak, pemda dan DPRD-nya malah memprioritaskan membahas kapan hari lahir Jatim. Agar setiap tahun bisa diperingati.

Memang, kita masih dalam taraf pendewasaan otonomi daerah. Namanya saja proses pendewasaan. Hambatannya juga banyak. Salah satunya -dan itu menentukan- adalah sistem kepartaian yang belum seirama dengan era otonomi daerah. Bahkan, sistem kepartaian kita jauh ketinggalan daripada sistem birokrasi yang masih kita kecam itu. Ketika birokrasi sudah melangkah ke otonomi, sistem kepartaian kita justru amat sentralistik. Maka, di samping birokrasi, partailah yang jadi penghambat terbesar pendewasaan otonomi daerah. Termasuk sistem inilah yang tidak memungkinkan munculnya calon independen (nonpartai) di setiap pemilihan kepala daerah -kecuali di Aceh.

Sebagaimana cul de sac di bidang birokrasi, di sektor partai ini pun hanya jalan buntu yang akan ditemui. Bukankah untuk mengubah itu perlu mengubah undang-undang kepartaian? Bukankah yang bisa mengubah undang-undang adalah DPR? Bukankah DPR itu kumpulan orang partai? Mana mau orang partai mengubah undang-undang yang akan merugikan posisi partainya?

Pembangunan birokrasi yang efisien -lewat reformasi birokrasi- menemui jalan buntu. Perombakan sistem kepartaian juga akan menemui jalan buntu. Tapi, masyarakat ternyata terus bisa hidup. Dengan atau tanpa birokrasi. Dengan atau tanpa partai. Kalau tidak ada keinginan yang kuat dari birokrasi dan partai untuk mereformasi dirinya sendiri, pembusukan akan terjadi. Masyarakat mengabaikan birokrasi dan meninggalkan partai.

Setelah otonomi daerah berlangsung delapan tahun, dan setelah JPIP melakukan kegiatan ini enam tahun, kesimpulan sementara adalah: otonomi daerah sudah menunjukkan tanda-tanda baik, tapi masih amat jauh dari yang pernah dicita-citakan. Sistem birokrasi yang tidak efisien dan sistem kepartaian yang ketinggalan kereta menjadi penghambat utama.(bersambung)

No comments:

Post a Comment