Wednesday, June 6, 2007

Ketika Tak Ada Lagi Proyek Besar

06 Juni 2007
Ketika Tak Ada Lagi Proyek Besar
Catatan Dahlan Iskan untuk Penganugerahan Otonomi Award 7 Juni 2007 (2-Habis)

Tidak ada lagi proyek besar di daerah! Itulah salah satu temuan The Jawa Pos Institut of Pro-otonomi (JPIP) tahun ini. Saya kira ini satu kemajuan. Terutama setelah dilihat bahwa yang dimaksud proyek besar selama ini adalah proyek yang tidak ada hubungannya dengan perbaikan ekonomi daerah. Misalnya, proyek “Paris”-nya Kediri atau juga GOR-nya Magetan. Atau gedung perpustakaan Bung Karno di Kota Blitar yang menelan biaya sampai sekitar Rp 40 miliar. “Paris” penting. GOR penting. Gedung perpustakaan juga penting. Tapi, bukan sekarang waktunya. Apalagi, seperti perpustakaan itu, ternyata memang hanya gedungnya yang diperhatikan. Isinya tidak.

Memang kita belum lega benar apakah perubahan itu merupakan perubahan strategi pembangunan daerah, atau perubahan karena dipaksa keadaan. Misalnya, karena proyek itu dulu biayanya multiyears sehingga anggaran tahun berikutnya pun sudah habis dipakai (atau diteken) lebih dulu. Atau proyek besar ternyata memusingkan karena potensial diselidiki kejaksaan mengenai kemungkinan adanya korupsi di dalamnya.

Juga belum pasti apakah ketika membangun proyek besar dulu benar-benar didasari strategi pembangunan yang memang harus begitu. Atau motifnya sebenarnya hanya agar tahun itu ada proyek besar sehingga ada obyekan besar pula untuk kepentingan saat itu.

Apa pun alasannya, daerah-daerah tahun lalu lebih memusatkan anggaran pada kegiatan-kegiatan yang langsung menyentuh rakyat bawah, harus dicatat sebagai gejala yang baik. Kemampuan keuangan daerah memang tidak cukup untuk mengangkat proyek besar yang punya “magnet” besar. Proyek besar yang dibangun hanyalah akan menjadi proyek tunggal yang sendirian. Tidak bisa saling dukung dengan proyek besar lain -karena proyek lain itu baru muncul sekian tahun kemudian. Yakni, ketika anggaran sudah siap lagi. Tapi, ketika proyek besar lain mampu dibangun, proyek besar yang lama sudah mulai uzur.

Mengingat kemampuan keuangan seperti itu, pilihan untuk membangun proyek besar haruslah benar-benar dipikirkan hubungannya dengan proyek besar lain. Ini agar proyek besar tersebut punya magnet yang memadai. Untuk itu, dananya tidak mungkin disiapkan dalam setahun anggaran. Maka, diperlukan terobosan: apakah dibangun dulu dengan anggaran dicicil atau anggaran dikumpulkan dulu beberapa tahun baru proyek multibesarnya dibangun.

Contoh nyata adalah pembuatan jalan yang bagus ke Gunung Bromo. Pastilah pemda tidak mampu membangunnya dalam setahun anggaran. Padahal, semua tahu Bromolah pusat wisata nomor satu di Jatim. Dan, semua tahu hambatan terbesar ke sana adalah tiadanya jalan yang mulus dan lebar ke objek wisata itu. Maka, biarpun ada proyek besar di Bromo sendiri (seperti hotel bintang lima), karena proyek itu sendirian dalam waktu lebih dari 10 tahun, akhirnya hotel tersebut mati juga. Satu proyek besar berupa hotel bintang lima tidak cukup kuat mengangkat Gunung Bromo menjadi pusat wisata yang bisa mendatangkan banyak devisa dari turisme. Apalagi hanya satu proyek “Paris”, di Kediri lagi tempatnya.

Apakah perubahan kebijaksanaan daerah yang tidak lagi membangun proyek besar itu bisa ditangkap sebagai kesimpulan bahwa itulah memang “maqom”-nya daerah-daerah yang kemampuannya memang sangat kecil itu?

Kalau “ya”, gejala itu harus ditangkap oleh pemerintah provinsi. Kalau kebijaksanaan otonomi kita tidak akan berubah lagi -tetap empat tingkat yang lucu itu (pusat, provinsi, kabupaten/kota, desa), harus dirumuskan di mana peran provinsi. Misalnya, bagaimana kalau provinsi lantas memfokuskan penggunaan anggaran hanya pada proyek-proyek strategis yang besar? Dengan demikian, provinsi tidak perlu lagi mengurusi banyak kegiatan yang akhirnya juga sering tumpang tindih dengan kegiatan di kabupaten/kota?

Bagaimana kalau provinsi fokus ke proyek seperti jalan tembus selatan, jalan Bromo, jalan tembus Magetan-Jateng, Pacitan-Wonogiri, Jembatan Madura, dan yang sebangsa itu saja? Lalu anggaran di bidang kegiatan yang sudah ditangani kabupaten/kota diberikan saja ke mereka?

Provinsi dengan demikian juga bisa lebih fokus. Termasuk fokus pada perencanaan wilayah.

Taruhlah, apa yang akan terjadi ketika jalan tol Surabaya-Solo sudah jadi? Tentu kesempatan besar untuk membangun wilayah pertumbuhan baru yang direncanakan dengan baik. Misalnya, kelak, muncul kota-kota baru yang kecil di beberapa wilayah sepanjang jalan tol itu. Tapi, semuanya tanpa perencanaan sehingga hanya akan jadi kota dadakan yang tidak ada bedanya dengan kota yang kita keluhkan sekarang.

Maka akan sangat baik bila di sekitar Geneng, dibangun kota baru yang terencana. Kota itu bisa separo milik Magetan, separo milik Ngawi. Di AS banyak sekali kota yang setengahnya milik negara bagian lain. Ini karena dari sekitar Geneng (kampung halaman mantan Wagub Trimarjono) hanya perlu 1,5 jam ke Surabaya. Kota baru ini sekaligus untuk “mengendalikan” agar kota Magetan dan wilayah Gunung Lawu di atasnya tidak semakin padat yang kelak membahayakan sumber air. Orang juga tidak akan mau lagi ke Magetan atau Sarangan yang semrawut.

Dari pengalaman di Tiongkok, jarak 1,5 sampai 2 jam dari pelabuhan besar, masih sangat fisibel untuk munculnya potensi ekonomi yang berorientasi ekspor sekali pun. Juga masih menarik bagi investor untuk datang ke wilayah seperi itu. Ini sekaligus jalan keluar bagi daerah-daerah yang menurut penemuan JPIP tahun ini, banyak yang frustrasi karena investor ternyata tidak datang-datang juga. Padahal, mereka sudah menyiapkan pelayanan prima. Mulai pelayanan satu atap sampai pelayanan yang sangat cepat. Akibatnya, seperti ditemukan JPIP, banyak daerah yang kemudian menutup layanan itu.

Tentu, semua itu bukan suatu hal yang gampang. Otonomi ini sebenarnya masih terbelenggu oleh banyaknya undang-undang dan peraturan yang belum siap atau belum disiapkan. Melaksanakan undang-undang otonomi saja belum bisa karena masih banyak peraturan yang belum dibuat sebagai pelaksanaan dari undang-undang itu sendiri. Padahal, otonomi sudah berjalan delapan tahun.

Kesimpulan lain lagi, kelihatannya kita masih harus bersabar lebih lama. Seberapa pun “menghasut”-nya tulisan ini, tetap saja akan kalah dengan realitas sehari-hari yang dihadapi para kepala daerah dan birokrasinya. Sebagaimana hubungan kepala daerah dengan wakilnya, hubungan kepala daerah dengan DPRD tidak kalah ruwetnya. Bahkan, ibaratnya sang kepala daerah harus menghadapi 42 wakil kepala daerah. Yakni, satu orang wakilnya sendiri, satu orang sekda, dan 40 anggota DPRD.

Mereka itulah yang memakan sebagian besar perhatian kepala daerah. Setiap tahun. Setiap bulan. Setiap hari. Bukan soal yang ideal-ideal yang kita bicarakan di atas. Suasana seperti ini kira-kira masih akan berlangsung paling tidak tujuh tahun lagi. Berarti 15 tahun sejak terjadinya reformasi. Sungguh satu masa transisi yang terlalu panjang -khususnya untuk orang yang tidak sabar. Selama itu pulalah terjadi generation lose, brain drain, dan capital drain.

Tapi, tetaplah optimistis. Kalau masa transisi itu lewat, negara kita akan kuat -sejak dari fondasinya. Untuk menghibur diri, sebaiknya kita juga mengingat sejarah. Ketika Majapahit yang kuat itu runtuh pada 1300-an, masa transisi untuk bisa stabil kembali berlangsung 50 tahun. (Habis)

No comments:

Post a Comment