Saturday, June 9, 2007

Patung Mao seperti Menonton TV Layar Lebar

9 Juni 2007
Patung Mao seperti Menonton TV Layar Lebar
Berkelana ke Dandong, “Merauke”-nya Tiongkok di Perbatasan Korea Utara (3)

Beda dengan kota perbatasan Tiongkok umumnya, Dandong tak punya ciri khas pengaruh dari negeri tetangganya. Ekonominya pun sepenuhnya mengandalkan dari domestik. Bukan dari hubungan lintas batas dengan Korut yang miskin.Sungai Yalu yang memisahkan kota Dandong (Tiongkok) dan Sinuiju (Korea Utara), sebenarnya panjang sekali: 210 kilometer. Tapi, hanya di dekat Dandong ini yang lebarnya sampai 900 meter. Mirip Sungai Mahakam di Samarinda. Atau Kapuas di Pontianak. Atau sungai Musi di Palembang. Atau Barito di Banjarmasin. Ya, segitulah lebarnya.
Ada dua jembatan baja yang melintang di atasnya. Jembatan itu dibangun berdampingan, hanya berjarak kurang dari 15 meter. Masing-masing, lebarnya, hanya bisa untuk satu mobil. Yang satu dibangun tahun 1910 oleh Jepang. Sekarang masih berdiri gagah, tapi tidak bisa digunakan. Juga ditutup agar tidak ada orang menyeberang.

Satunya lagi dibangun tahun 1937. Masih baik. Saya naik ke jembatan ini, dan berjalan kaki menuju wilayah Korut. Karena terlapis jembatan satunya, dari arah Dandong jembatan ini terlihat panjang melintang sampai wilayah Korut. Namun, setelah perjalanan mencapai 2/3 jembatan, terlihatlah aslinya. Jembatan itu tidak ada terusannya. Mentok, menggantung di tengah sungai. Seterusnya, sampai daratan Korea Utara sana, hanya tersisa kaki-kaki jembatan dari beton. Ini karena dalam perang Korea tahun 1950-an, Amerika menjatuhkan bom ke jembatan itu. Hancur sepertiga.

Di bawah, di permukaan sungai, berlalu lalang perahu-perahu kecil. Atau juga speed boat. Ramai sekali. Semua mengangkut turis yang ingin mendekat ke tanah Korea Utara. Banyak dermaga perahu seperti itu di pinggir sungai di wilayah Dandong. Tiap orang hanya perlu membayar 20 yuan (sekitar Rp 25 ribu, Red).

Semula saya beranggapan sungai itu dibagi dua. Sisi sini milik Tiongkok, sisi sana milik Korea Utara. Perahu tidak boleh melintas melebihi separo sungai. Seperti perairan antara Johor-Singapura. Ada batas negara di tengah-tengahnya.

Di sungai Yalu ternyata tidak begitu. Sungai ini milik bersama dua negara. Perahu-perahu Dandong bisa dikayuh sampai ke pinggir sungai sebelah sana. Orang pun boleh berenang sampai ke tepian Korea Utara. Yang penting tidak naik ke daratannya. Ketika sampai di pinggir sungai pun, kalau Anda mau menjejakkan kaki di tanah Korea Utara, sepanjang tanah itu masih sedikit di bawah air Sungai Yalu, masih boleh. Demikian sebaliknya perahu atau orang Korea Utara. Bisa mendekat ke daratan Dandong. Hanya saja karena tidak ada perumahan di pinggir sungai sebelah sana, maka tidak pernah ada orang Korea Utara yang berbuat serupa.

Tidak ada ranjau di sepanjang pinggir sungai Yalu. Juga tidak tampak ada penjagaan yang ketat. Bahkan, seperti tidak ada penjagaan sama-sekali. Sebenarnya ada juga patroli tiap dua jam, tapi sangat tidak terasa. Di sisi sebelah Tiongkok, bahkan tidak terasa ada apa pun yang memperlihatkan bahwa kota ini berada di perbatasan dengan negara yang statusnya masih dalam keadaan perang dengan saudaranya sendiri di selatan.

Memang, dalam perjanjian tiga negara yang saling berbatasan (Korea Utara, Tiongkok, Rusia), disepakati untuk tidak menempatkan kekuatan militer yang berat di perbatasan. Bahkan, disepakati kekuatan militer baru boleh ada 100 km dari masing-masing perbatasan. Markas tentara Tiongkok sendiri dibangun di pinggir jalan antara Dandong ke ibu kota provinsi Liaoning, Shenyang, 110 km dari kota Dandong. Berarti 10 km dari jarak minimal yang disepakati.

Karena itu suasana damai terasa benar di perbatasan ini. Tidak seperti di perbatasan antara Korea Utara dan Korea Selatan. Tentara, senjata berat, pagar berduri hadir secara demonstratif.

Meski begitu tidak pernah ada kasus penyeberangan ilegal. Orang Korea Utara tidak pernah mencoba melarikan diri ke Tiongkok. Mungkin karena hambatan kesukuan dan bahasa. Kalau toh ada orang Sinuiju yang bisa lari ke Dandong, akan ada persoalan serius bagi dirinya. Bagaimana bisa menyatu dengan orang Tiongkok yang beda suku dan beda bahasa. Tentu sulit dibayangkan mereka bisa menyelinap aman di tengah keganjilannya sendiri. Ini tentu berbeda dengan orang Jerman Timur yang lari ke Jerman Barat. Mungkin juga, mereka tidak mau menyeberang sungai karena indoktrinasi Kim Jong Il yang sangat berhasil.

Padahal, perbatasan itu kian tidak berarti ketika saya sedikit keluar kota Dandong ke arah hulu. Hanya dalam 10 menit bermobil, sungai itu tiba-tiba menyempit. Tinggal seperti parit selebar 8 meter. Ini karena sedang tidak ada hujan. Kalau musim hujan, air memang penuh dan di sini pun sungai terlihat lebar. Tapi, dalam keadaan seperti saya ke Dandong minggu lalu, perbatasan dalam bentuk parit sempit seperti itu tentu tidak ada artinya.

Memang di seberang sana juga ada markas tentara, namun tidak kelihatan banyak aktivitas. Hanya ada tiga atau empat orang duduk-duduk di pinggir sungai. Ketika saya keluar dari mobil untuk memotret, mereka berteriak-teriak. “Mengapa mereka berteriak-teriak?” tanya saya pada sopir.

“Oh, itu mereka minta uang. Kalau kita mau kasih, mereka akan mendekat ke sini. Lalu dengan sampan kecil menyeberangi parit ini. “Apakah mereka mau diberi uang Tiongkok?,” tanya saya. “Mau. Mereka punya cara sendiri menukarnya kelak,” katanya.

Dulu banyak yang memberi makanan. Tapi sekarang tidak ada lagi. Kita merasa tidak sopan kalau memberi mereka makanan. Lebih baik memberi uang. Mereka bisa belikan apa saja.

Saya tidak ingin mencoba memberi apa pun. Saya terikat jadwal yang ketat. Saya tidak ingin berjudi. Saya memilih segera meninggalkan tempat itu. Lima menit dari situ ada sebuah bukit. Di atas bukit terdapat bangunan khas seperti di Bedaling. Ternyata itulah ujung paling timur Tembok Besar Tiongkok. Banyak juga turis yang naik ke bukit itu, tapi saya tidak melakukannya. Toh, mirip dengan naik ke tembok besar Tiongkok di dekat Beijing.

Yang penting saya sudah melihat tembok besar di bagian yang paling timur, lalu tembok besar yang tinggal sisa-sisanya di bagian paling barat dan sudah naik ke tembok besar yang dirawat baik di dekat Beijing.

Dibanding kota perbatasan Tiongkok dengan Rusia di wilayah paling utara, kota Dandong memang lebih ramai. Berita kemiskinan yang panjang di Korea Utara telah jadi daya tarik wisatawan ke Dandong. Tapi, karena letaknya yang jauh (3,5 jam dari kota Dalian atau 3 jam dari kota Shenyang), membuat Dandong hanya akan mengandalkan ekonomi dalam negeri sendiri.

Itu berbeda dengan kota Hei He di perbatasan antara Tiongkok dengan Rusia. Saya pernah ke sana setahun yang lalu. Perbatasan ini juga ditandai dengan sungai (sungai Heilongjiang), tapi ekonomi kota Hei He terbantu oleh wilayah seberang sungai. Sebab di seberang itu, ada kota milik Rusia yang cukup besar. Itulah kota –tarik nafas sebentar—Bu La Ge Wei Shen Si Ke! Ibu kota Provinsi Amur, Rusia. Di kota inilah kereta api trans Siberia dari Moskow berakhir. Dalam bahasa Inggris untuk menyebut kota ini juga harus dengan lebih dulu tarik nafas, Blagoveshchensk!

Kalau lagi musim dingin, seperti saat saya ke Hei He waktu itu, orang bisa menyeberang sungai tanpa harus basah. Sebab, permukaan sungai sudah jadi es yang keras. Kita tinggal bisa main ice skating atau tidak dengan sepatu biasa. Banyak sekali orang Bu La Ge Wei Shen Si Ke yang datang ke Hei He untuk belanja apa saja. Atau untuk mencari hiburan malam yang murah. Itulah yang membuat kota Hei He lebih hidup dibanding Dandong. Karena itu banyak orang Hei He bisa bahasa Rusia ala kadarnya. Juga banyak toko dan nama masakan yang ditulis dalam huruf Rusia.

Kebetulan saya juga pernah ke kota perbatasan Tiongkok dengan Myanmar di barat laut. Kota Xi Xuang Pan Na ini lebih kecil lagi. Hanya saja punya kekhasan sendiri. Bangunan rumah-rumahnya lebih mirip arsitektur Burma atau Thailand. Juga bahasanya.

Di Dandong, “rasa Korea Utaranya” hampir tidak ada.

Yang sama di antara kota-kota perbatasan itu adalah patungnya. Selalu ada patung Mao Zedong yang berdiri tegak dengan tangan menunjuk ke arah kota Beijing. Hanya di Dandong, karena di depan taman itu kini dibangun shopping center, di depan pusat pertokoan itu ada layar digital yang amat lebar, kesannya jadi seperti Mao lagi menonton TV layar lebar. (habis)

No comments:

Post a Comment