Thursday, June 7, 2007

Naik Mobil Omprengan, Tak Pernah Nyalip dan Disalip

7 Juni 2007
Naik Mobil Omprengan, Tak Pernah Nyalip dan Disalip
Berkelana ke Dandong, ’’Merauke”-nya Tiongkok di Perbatasan Korea Utara (1)

Jaringan jalan tol di Tiongkok sudah meluas sampai ke pelosok. Bahkan, untuk menuju ke kota di ujung timur yang berbatasan dengan Korea Utara, perjalanan darat lewat jalan bebas hambatan pun terasa nyaman.

Saya baru saja ke ’’Merauke”-nya Tiongkok. Yakni ke kota Dandong, ibu kota kabupaten yang berada di perbatasan dengan Korea Utara. Saya sudah pergi ke lima kota di Papua, tapi belum pernah ke Merauke. Jadi, tidak bisa membandingkan antara Dandong dan kota paling timur Indonesia itu.

Dandong (baca: Tantong) memang punya lapangan terbang yang bisa didarati pesawat Boeing 757 sekalipun. Namun, penerbangan ke sana amat terbatas. Hanya ada dari Beijing atau Shanghai. Karena itu, saya putuskan ke Dandong dengan cara terbang dulu ke kota Dalian. Dari sini bisa jalan darat sejauh 300 km ke arah timur laut.

Semula saya berniat naik kereta api. Ternyata sudah tidak sempat. Lalu akan naik bus, ternyata juga sudah terlambat. Di Dalian, stasiun kereta dan terminal busnya memang di satu kawasan sehingga ke mana-mana lebih gampang. Lokasi ini juga menarik karena berada di kawasan bisnis yang penuh bangunan pencakar langit. Mal bertebaran di sekelilingnya. Termasuk mal bawah kota. Mal ini bukan hanya besar, tapi juga sampai empat lantai ke bawah tanah.

Tentu saya tidak ingin jalan-jalan di mal. Saya ingin ke Dandong. Seorang wanita menawari saya mobil omprengan. Taksi gelap jurusan Dandong. Mobilnya, sebuah sedan Buick isi tujuh orang. Saya lihat mobilnya cukup nyaman. Saya bisa ’’menguasai” tiga kursi yang di tengah agar di perjalanan bisa tidur. Tentu saya harus membayar untuk tiga kursi itu.

Maka, saat itu juga bisa berangkat. Tidak perlu menunggu jumlah penumpang sampai harus tujuh orang. Saya juga tidak perlu lagi bermalam di Dalian. Apalagi waktu memang tidak cukup. Dokter hanya memberi saya istirahat Sabtu dan Minggu. Dan lagi, meski kota Dalian amat modern dan indah, saya sudah beberapa kali ke sini. Saya memang selalu heran, bagaimana Dalian yang hanya kotamadya (ibu kota provinsi pun bukan), kok begitu hebat. Tapi, saya mau ke Dandong. Mau ke perbatasan Tiongkok dengan Korea Utara.

Maka, berbekal map, apel, air putih, dan roti, saya meninggalkan Dalian. Saya sengaja tidak bawa tas. Memberati saja. Toh, harga baju di Tiongkok murah sekali. Untuk ganti pakaian, beli saja di Dandong. Toh, ini musim panas yang tidak perlu bawa jaket atau pakaian tebal. Kalau saja ke Dandong di musim dingin, berlapis-lapis baju harus dipakai. Suhunya bisa minus 15 derajat.

Meski sore itu saya harus menempuh jarak 300 km, tidak terasa terlalu lelah. Keluar dari kota Dalian bisa langsung masuk jalan tol sampai menjelang kota Dandong. Inilah jalan tol yang baru selesai dibangun dua tahun lalu. Kini, provinsi ini saja (Provinsi Liaoning), sudah punya jalan tol sepanjang sekitar 2.000 km!

Jalan tol Dalian–Dandong ini juga sepi. Begitu sepinya sehingga mobil omprengan ini pun tidak pernah menyalip dan tidak pernah disalip. Kalau ketika membangunnya pemerintah mempertimbangkan aspek komersial, keputusannya pasti jangan dibangun dulu. Tunggu lalu lintasnya ramai dulu. Tunggu agak macet dulu. Tetapi, Tiongkok selalu membangun jalan tol dengan pertimbangan ’’justru sebelum macet” . Juga, untuk kepentingan jangka panjang. Dan yang selalu didengung-dengungkan pemerintah, jalan tol itu untuk membuka wilayah agar kawasan pertanian di pedalaman punya akses ekonomi yang cepat ke pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di perkotaan.

Saya lihat, sopir omprengan ini tidak ugal-ugalan. Dia memacu Buick-nya 120 km/jam secara konstan. Tidak pernah menambah gas dan tidak pernah mengerem. Jadi, saya bisa tidur nyenyak. Apalagi penumpang di depan dan belakang saya adalah orang Korea yang tidak bisa berbahasa Inggris. Juga tidak bisa berbahasa Mandarin. Jadi, tidak gaduh. Mereka asyik nonton film Korea di laptop masing-masing. Hanya sesekali, kalau lagi terbangun, saya bicara dengan sopir sekadar bertanya masih berapa jam lagi baru tiba di Dandong. Lalu tidur lagi.

Setelah lelap satu jam, saya tidak bisa lagi memejamkan mata. Maka, saya banyak bicara dengan sopir. Saya takut dia mengantuk. Bayangkan, nyopir 3,5 jam dengan kecepatan tetap dan dengan jalan mulus yang sepi, saya khawatir dia jenuh. Ketika dia minta izin merokok pun, saya membolehkan asal jendelanya dibuka sedikit. Asap rokoknya mungkin memang bisa membuat saya mati pelan-pelan karena kanker, tapi ngantuknya bisa membuat saya mati mendadak di tengah jalan. Dia tertawa mendengar gurau saya itu. ’’Betul. Betul,” katanya. Lalu, dia mulai merokok.

Sepanjang jalan saya jarang melihat perkampungan. Lebih banyak gunung atau sawah. Atau ladang dengan sistem pertanian tertutup. Lalu, saya ingat cerita teman saya yang belum lama ini saya undang ke Tiongkok. Dia wartawan senior. Pernah beberapa kali ke luar negeri, tapi belum pernah ke Tiongkok. Saya juga minta dia naik bus dari kota Yantai ke Qingdao di Provinsi Shandong. Juga sekitar 300 km. Bukan untuk menghemat, melainkan agar bisa merasakan betapa enaknya kalau punya jaringan jalan tol.

Dia bercerita, sebelum berangkat ke Tiongkok sudah siap mental untuk melihat manusia yang berjubel di semua wilayah daratnya. Ini karena pikirannya penuh asumsi bahwa Tiongkok, dengan penduduk 1,3 miliar, pasti penuh sesak di mana-mana. ’’Sangkaan saya meleset,” katanya. Sepanjang jalan tol dia hanya lebih banyak melihat persawahan atau perladangan.

Memang, Tiongkok berpenduduk 1,3 miliar. Bahkan, mungkin lebih. Ini sama dengan lima kali penduduk Indonesia. Tapi, daratannya juga amat luas. Bisa lebih dari 10 kali lipat Indonesia. Bukankah kebanyakan wilayah Indonesia adalah laut?

Kalau dilihat sekilas, Pulau Jawa lebih padat daripada Tiongkok. Di Jawa, sepanjang jalan raya, kini kita lihat perumahan yang sambung-menyambung. Kekhawatiran bahwa Jawa akan jadi ’’pulau kota” bisa segera jadi kenyataan. Lengkap dengan segala keruwetan dan kesulitannya. Terutama kalau kebijaksanaan perumahan yang ’’haus tanah” tidak segera diubah menjadi perumahan vertikal.

Lihat saja kota Dandong yang saya anggap ’’Merauke”-nya Indonesia ini. Begitu mendekati kota ini, saya langsung melihat banyaknya bangunan tinggi menjulang ke langit. Di kota yang begitu terpencil dan di daratan yang begitu luas, perumahan dibangun dengan sistem vertikal. Memang masih ada rumah-rumah lama yang tunggal dan kumuh, tapi perumahan yang baru, semuanya dibangun ke atas. Antara delapan sampai 20 tingkat.

Dengan sistem perumahan vertikal, pemerintah lebih mudah menyediakan kebutuhan pokok penduduknya. Mudah memasok air minum, gas, listrik, telepon, internet, dan TV kabel. Maka, meski di Dandong, sarana modern seperti itu lengkap dan mudah. Menyediakan balai kesehatan, sekolah, dan transportasi pun lebih gampang. Juga lebih murah. Termasuk lebih murah bagi penduduk itu sendiri.

Bandingkan dengan sistem perumahan yang ’’melebar”. Penghuninya harus kerja dan sekolah di kota dengan biaya transportasi yang mahal. Bahkan, ada yang lebih dari separo gajinya habis untuk transportasi. Padahal, mestinya bisa untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Konsep perumahan vertikal, intinya adalah: jangan gusur rakyat dari dalam kota ke luar kota yang berakibat rakyat terpinggirkan segala-galanya.

Tiba di Dandong, sambil membayar tiga kursi @ 100 RMB (sekitar 125.000), saya masih bertanya kepada sopir. Mengapa jalan tol tadi begitu sepi?

Ternyata sebagian besar mobil masih lewat jalan umum. ’’Kualitas jalan lama juga bagus sekali. Lebar dan rata,” katanya. Untuk perjalanan Dalian–Dandong yang hanya lebih lambat satu jam, mereka memilih jalan lama daripada bayar tol 90 RMB sekitar Rp 115.000. Saya tak sabar segera ingin lihat perbatasan Korea Utara. Petang itu juga. (*)

No comments:

Post a Comment