Si Wanita Pedang yang Diserbu Jurus Serangan Pajak
Sisi Susah Dua Perusahaan yang Sangat Sukses di Tiongkok (2)
Untuk memiliki rumah yang lagi ditawarkan di Shanghai ini, Anda harus
punya uang sedikitnya Rp 40 miliar. Dan kalau itu satu-satunya uang
Anda, maka ketika tinggal di rumah baru yang mewah itu nanti, Anda hanya
akan bisa makan mi rebus seumur hidup Anda. Sebab, harga rumah yang
ditawarkan tersebut Rp 39 miliar. Belum biaya lain-lain. Dari mana lagi
Anda bisa membeli makanan yang lebih mahal daripada mi rebus?
ITULAH guyonan orang Tiongkok yang belakangan ini memang gemar
membeli rumah. Baik untuk ditempati maupun untuk investasi. Tapi, rumah
yang ditawarkan developer Tomson Riviera di Shanghai ini memang
gila-gilaan, mewahnya dan juga mahalnya. Itulah rekor harga rumah
termahal di Shanghai, dan tentu juga di seluruh Tiongkok.
Tapi, Tomson Riviera bukan hanya sukses bikin rekor rumah termahal.
Perusahaan ini juga tercatat pemegang rekor yang lain: tidak mampu
menjual satu rumah pun selama enam bulan sejak launching-nya tahun lalu.
Banyak alasan mengapa pemasarannya gagal total. Harga yang dipatok itu
memang dua kali lipat dari rekor harga termahal di Shanghai selama ini.
Banyak orang datang hanya untuk mengagumi, tapi tidak untuk membeli.
Ada juga yang menghubungkan kegagalan pemasarannya itu dengan
fengsui-nya. Ketika pembangunannya belum mencapai 50 persen, sebagian
konstruksinya sudah terbakar. Lalu, kompleks seluas dua hektare itu
dibangun tower yang jumlahnya empat. Apalagi yang dua tower berlantai 40
dan yang dua lagi berlantai 44. Angka serba empat (si) itulah yang
kalau diucapkan dalam bahasa Mandarin bunyinya mirip dengan kata mati
(si).
Tapi, Tomson Riviera belum akan mati. Setidaknya dalam waktu dekat.
Memang dia harus menghadapi badai demi badai, tapi bukankah semua
pengusaha juga mengalaminya? Mungkin, nasibnya memang lagi belum
beruntung. Ketika pembangunan kondominium itu hampir selesai, keluarlah
kebijaksanaan pemerintah yang tidak menguntungkan Tomson Riviera:
pemerintah ingin mengerem laju perkembangan harga rumah, terutama rumah
kelas atas. Pemerintah menilai pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi
tahun-tahun terakhir ini harus direm. Pertumbuhan ekonomi dari sektor
spekulasi harus yang paling ditekan. Harga rumah pun turun sampai 20
persen. Bahkan, untuk rumah kelas atas, penurunan itu mencapai 30
persen. Angka penjualan rumah pun terjun bebas. Pasar lesu. Apalagi
bursa saham panasnya tidak ketulungan. Orang yang kelebihan uang punya
pilihan lain.
Memang penjualan rumah di seluruh Shanghai naik lagi empat bulan
setelah kebijaksanaan itu. Sempat menjadi 500 unit sehari. Namun, masih
jauh dari puncak penjualan tahun 2005 yang sampai 1.000 rumah sehari.
Badai boleh mengempas. Tapi, Tomson Riviera berpikir akan bisa
seperti Sinbad yang selalu sukses mengendalikan kapalnya. Hsu Feng,
mantan bintang film top Taiwan yang juga janda seorang konglomerat
Taiwan, adalah pemilik dan nakhoda Tomson Riviera. Suaminya, David Tong,
juga pernah terkait berita besar mengenai pengalihan saham World Trade
Centre Group Hongkong. Pengalihan saham di luar pengetahuan publik itu
juga melibatkan raja kasino Macao, Stanley Ho, yang ketika itu juga
salah satu direktur Tomson Pacific milik David Tong. Begitu canggihnya
cara yang ditempuh sehingga meski selama dua tahun pengawas pasar modal
Hongkong melakukan penyelidikan, tidak menemukan pelanggaran.
Di Tomson Riviera Shanghai, David Tong tidak ikut jadi pemegang
saham. Istrinyalah, Hsu Feng, yang menguasai saham 44 persen –lagi-lagi
angka itu yang muncul. Keluarganya juga masih punya 12 persen. Sisanya
publik. ’’Suami saya memang terkait, tapi ini proyek saya,” kata Hsu
Feng.
Orangnya tidak secantik Melinda Tedja (bos Pakuwon Jati), tapi gigihnya kurang lebih sama.
Hsu Feng dikawin David Tong setelah lima tahun berkarir sebagai
bintang film. Sejak itu dia berhenti main film sama sekali. Apalagi
setelah melahirkan dua anak. Namun, lima tahun setelah jadi ibu rumah
tangga, kekangenan ke dunia film muncul kembali. Popularitasnya sebagai
bintang film dan banyaknya film yang dibintangi tidak bisa dia lupakan.
Apalagi, dunia filmlah yang sangat mengesankan dalam perjalanan
hidupnya. Dia ingat ketika masih kecil harus menjadi anak sulung dari
tiga bersaudara. Ayahnya meninggal ketika Hsu Feng masih enam tahun.
’’Saya harus hidup susah dalam keluarga Tionghoa yang keras dan ketat,”
katanya mengenang. Seperti umumnya orang Taiwan, ayah Hsu Feng kelahiran
Fujian, Tiongkok. Ibunya berdarah Mongolia. Mereka lari ke Taiwan
karena pergolakan politik di Tiongkok saat itu.
Saat berumur 15 tahun, Hsu Feng melihat iklan di koran, ’’Dicari,
calon bintang film”. Hsu Feng diam-diam mengirimkan fotonya. Dia tahu di
antara 1.000 pelamar hanya akan diambil 12 orang. Tes yang diberikan
kepadanya adalah menatap gambar perkawinan di mana pengantin
laki-lakinya sebenarnya sangat mencintai gadis lain. Dia tatap gambar
itu dalam-dalam. Tiba-tiba sutradara yang hadir di situ memerintahkan
’’Zoom! Zoom!”. Saat itu Hsu Feng memang terlihat menitikkan air mata
sampai meleleh panjang di pipinya. ’’Saya sedih seperti itu sebenarnya
karena saya mengingat penderitaan masa kecil saya. Bukan merasakan
perasaan pengantin wanita itu,” ujarnya kemudian.
Sejak itu, jadilah dia bintang film, terutama film kungfu. Dia
dijuluki wanita penghancur. Tapi, panggilan terkenalnya kemudian adalah
’’Si Wanita Pedang”. Penggemar film Mandarin akan bisa bercerita lebih
panjang lagi mengenai merajalelanya Hsu Feng dalam dunia film.
Dorongan untuk kembali ke film kian lama kian besar. Dia rengek
suaminya agar diperbolehkan lagi terjun ke film. Kian hari kian keras
rengekan itu. David Tong akhirnya menyerah. Istrinya boleh kembali ke
dunia film asal tidak jadi bintangnya lagi. Dia berikan uang dalam
jumlah besar sebagai modal. Jadilah Hsu Feng produser film. Jadilah dia
pengusaha. ’’Saya mulai belajar bagaimana menggabungkan seni dan
bisnis,” katanya suatu saat. Ambisinya merebut gelar di Cannes.
Ambisi itu sukses besar. Film produksinya, Ba Wang Bie Ji atau
Farewell My Concubine, akhirnya memperoleh Palm d’Or di Festival Cannes
1993. Dia produser wanita pertama dan satu-satunya yang berhasil meraih
prestasi itu. Bagaimana gelora perasaannya di dunia film bisa
diterangkan lewat pendapatnya saat dia diketahui baru keluar dari kasino
di Monaco. ’’Judi itu menggairahkan. Seperti juga membuat film,”
katanya saat itu. Gairah itulah yang memang mewarnai sukses karir Hsu
Feng. Baik sebagai bintang film, pengusaha film, dan kemudian pengusaha
real estate di Shanghai. Hubungannya begitu luas sehingga Raja Monaco
mengangkatnya sebagai konsul kehormatan Monaco di Shanghai.
Hsu Feng akhirnya memang pindah ke Shanghai. ’’Dunia film di Shanghai
akan sangat menantang,” katanya. Namun, ternyata Hsu Feng lebih dulu
terkenal sebagai pengusaha real estate di Shanghai. Sampai saat ini,
sudah 20 proyek besar dia buat di kota termodern di Tiongkok itu. Mulai
dari lapangan golf 18 hole 72 par, perumahan eksklusif gaya Eropa di
depan Hotel Radisson itu, sampai pembangunan gedung-gedung pencakar
langit. Seperti gedung International Finance, Tomson International Trade
Building, Intercontinental Hotel, dan banyak lagi. ’’Hsu Feng telah
ikut mengubah langit Shanghai,” begitu istilahnya. Atas prestasinya itu,
dia mendapat bintang penghargaan dari pemerintah Shanghai.
Karena itu, ketika proyek terbarunya, Tomson Riviera, menghadapi
masalah, Hsu Feng sangat percaya diri. Bukan tak ada alasannya. Lokasi
apartemen terbarunya itu begitu baiknya. Begitu strategisnya. Di jantung
Lujiazui, Pudong. Satu kawasan paling elite di Shanghai saat ini. Yakni
di pinggir Sungai Huangpu, menghadap ke kota lama Shanghai yang antik.
Kalau menginap di Peace Hotel, kita bisa melihat kemegahan dan
keglamoran wilayah Lujiazui di seberang sungai itu.
Di pinggir sungai ini hanya ada dua proyek apartemen. Dengan
demikian, persaingan tidak akan berat. Masih ada lagi. Shanghai itu
tanahnya datar, rata. Satu-satunya cara untuk berada di ketinggian
hanyalah dengan membeli rumah di gedung tinggi. Tapi, itu tidak akan ada
artinya bila sebelah-menyebelahnya juga gedung tinggi. Di Tomson tidak
akan terjadi seperti itu. Sebab, di depannya adalah sungai besar. Antara
Tomson Riviera dan sungai yang ada justru hanya taman-taman hijau.
Menggiurkan, memang.
Bahwa harga yang ditawarkan mahal, itu karena lokasinya memang
seperti itu. Bahkan, ada yang lebih membuatnya strategis. Di sinilah
pusat keuangan baru Shanghai. Gedung Jingmao, gedung tertinggi di
Tiongkok selama ini, berada di sini. Proyek Financial Centre yang
tertunda gara-gara krisis moneter Asia tahun 1998, sudah mulai dibangun
lagi. Bahkan begitu cepatnya sehingga minggu lalu konstruksinya sudah
mencapai lantai 90. Ini berarti sudah ’’mencopot” gelar Jingmao sebagai
gedung tertinggi di Tiongkok.
Boleh dikata, Tomson sangat beruntung mendapatkan lokasi itu. Apalagi
bisa dua hektare. Dari empat tower yang dibangun, tower C yang dijual
duluan –dan tidak laku. Pengunjung lebih banyak melihat tower B yang
lebih ’’wah”. Karena itu, rumah di tower B juga ditawarkan –dan ternyata
juga tidak laku.
Di tower B ini, rumah paling kecil adalah 434 meter persegi. Inilah
rumah yang paling ’’murah” untuk Anda, dengan harga Rp 39 miliar per
rumah. Yang paling besar adalah 1.240 meter persegi. Balkonnya saja,
yang menghadap Sungai Huangpu, 20 meter persegi. Harganya? Sekitar Rp
120 miliar per rumah.
Tomson lantas mengubah strategi. Bukan menurunkan harga, melainkan
menawarkan ke investor besar untuk membeli tower A, B, C sekaligus dalam
satu paket. Awalnya, Tomson berencana menjual dulu rumah-rumah di tower
C dan B. Baru, kelak, menjual rumah di tower A yang letaknya lebih
strategis. Dalam istilah pengusaha real estate, jual dulu
tulang-tulangnya, baru terakhir nanti dagingnya. Dan kalau tulangnya
saja sudah Rp 120 miliar tiap rumah, kita bisa bayangkan akan berapa
harga dagingnya.
Masih ada lagi tender lainnya! Yakni tower D. Yang ini tidak akan
dijual, melainkan disewakan sebagai service apartment. Tujuannya agar
perusahaan tetap memilikinya. Karena itu, ketika melakukan penjualan
paket, hanya tiga tower yang dilepas. Tomson sudah menunjuk beberapa
perusahaan terkemuka dunia untuk melakukan penjualan secara tender
internasional. Tomson berharap bisa mendapatkan Rp 5 triliun dari
penjualan borongan itu.
’’Jadi, kalau rumah-rumah tersebut tidak laku, itu karena kami memang
tidak agresif melakukan penjualan. Kami akan menjualnya langsung per
tower.” Begitu alasan para petinggi Tomson. Hsu juga membantah bahwa
persoalan ini membahayakan cash flow perusahaan. ’’Kami masih punya dana
Rp 1 triliun cash di kas perusahaan. Ratio utang kami pun masih sangat
baik,” katanya.
Bagaimana hasil penawaran internasionalnya? ’’Banyak sekali peminat,”
ujarnya. Ada yang dari Jepang meski akhirnya batal karena menawar 20
persen lebih rendah daripada keinginan perusahaan. Ada penawar
perorangan dari Thailand, tapi tiba-tiba batal karena ada masalah
politik dalam negerinya. Masih ada lagi peminat dari Taiwan. Itulah
klaim dari Tomson.
Tomson yakin, harga rumah di Shanghai akan kembali naik. Dalam lima
tahun masih akan naik 100 persen. Tentu ini juga masih tergantung
kebijaksanaan pemerintah yang semakin kelihatan pro-rakyat yang tidak
punya rumah. Sebab, belakangan juga ramai dibicarakan akan adanya
peraturan baru bahwa orang asing atau perusahaan asing hanya
diperbolehkan membeli rumah kalau untuk ditempati sendiri. Pemerintah
memang tidak mau dana asing masuk ke sektor spekulasi.
Lalu, siapa pula berani menjadi pembeli pertama rumah seharga Rp 40
miliar sampai Rp 120 miliar itu? Bukankah nama pembeli akan muncul di
laporan kepada pemerintah? Dalam situasi perang melawan korupsi yang
besar-besaran seperti ini, siapa yang mau berada di ketinggian kalau
hanya sekadar untuk gampang jadi sasaran tembak? ’’Harga satu rumah di
Tomson Riviera itu bisa untuk sewa apartemen biasa selama 3.000 tahun,”
ujar pengamat perumahan di Shanghai.
Penegakan hukum yang kian giat di Tiongkok juga tidak menguntungkan
Tomson. Kini pemerintah lagi menyelidikinya untuk perkara pajak. Ini
entah karena pemerintah lagi marah (karena di saat pemerintah minta agar
semua pengusaha mengendalikan harga rumah, Riviera justru seperti
menantang dengan menaruh harga gila-gilaan), atau memang benar-benar
pajaknya bermasalah. Pemerintah serius melakukan penyelidikan.
Sampai-sampai bursa Hongkong menghentikan perdagangan sahamnya agar
tidak jatuh secara tidak normal.
Pemerintah berpendapat, kalau Tomson Riviera memang menjual apartemen
dengan harga 130.000 renminbi (lebih dari Rp 130 juta) per meter
persegi, berarti perusahaan itu harus membayar pajak pertambahan nilai
sangat besar. Yakni dari selisih harga rumah dengan biaya
pembangunannya. Sebab pemerintah menghitung, biaya pembangunannya,
termasuk biaya tanahnya, hanya 30.000 renminbi per meter persegi.
Memang, dari ucapan-ucapannya, Hsu Feng terasa tidak takut apa pun.
Saat baru mendapat penghargaan di Cannes, dia bilang, ’’Ini hebat
sekali. Terutama karena yang diberi penghargaan masih hidup. Di China,
orang baru dapat penghargaan kalau sudah mati.” Lalu, dia juga ngomel
mengenai kerasnya sensor film dan media di Tiongkok. ’’Sebulan sekali
saya harus ke Hongkong untuk beli-beli,” katanya. ’’Dikira dengan
mengontrol pikiran orang seperi itu akan bisa mengontrol orang
sepenuhnya,” begitu Hsu Feng berkata di kesempatan lain.
Dia juga tidak takut menyentuh masalah yang sensitif. Misalnya, dia
masih terus berusaha untuk membuat film mengenai kisah hidup dan mati di
zaman Revolusi Kebudayaan di Shanghai. Bahkan, dia juga ingin membuat
film mengenai Qiang Qing, bintang film yang jadi istri ke sekiannya Mao
Zedong. Dia ingin mengubah pikiran orang bahwa Qiang Qing tidak sejelek
yang digambarkan. Rupanya, dia sudah siap dengan cerita lengkapnya,
bahkan sampai bagaimana adegan terakhir film itu. Yakni Qiang Qing
berada di depan cermin, lalu jarinya dilapkan di lipstik merah yang ada
di bibirnya untuk membuat tulisan di cermin itu: Mao!
Apakah semua itu ada hubungannya dengan perkara perpajakannya itu?
Entahlah. Tapi bisa saja Hsu Feng, sekali lagi menggunakan pedang
ajaibnya. Seperti juga Sinbad dalam Legend of the Seven Seas, Hsu Feng
sebagai Swordwoman akan terus unggul seperti dalam banyak film yang
dibintanginya.**
No comments:
Post a Comment