Wahaha Berhenti Hahaha karena Partner Raksasa
Sisi Susah Dua Perusahaan yang Sangat Sukses di Tiongkok (1)
Tiongkok,- Wahaha dalam bahasa Mandarin tidak ada artinya. Itu
adalah suara anak-anak yang sedang tertawa terbahak-bahak. Kata itulah
yang dipakai Zong Qinghou untuk merek minuman anak-anak, ketika pada
1980-an Zong mulai merintis usaha kecil-kecilan.
ZONG tidak sampai tamat SMA, bekerja keras dan akhirnya berhasil.
Rintisan usaha yang dia mulai di Hangzhou, 3 jam perjalanan mobil dari
Shanghai itu, maju pesat. Bahkan amat pesat. Dari minuman rasa buah,
usahanya berkembang ke air mineral, cola, makanan ringan, dan pakaian
anak-anak.
Zong memang bisa tertawa terbahak-bahak melihat semua itu. Apalagi
ketika dia berhasil memproduksi cola yang akan dipersaingkan secara
langsung dengan Coca Cola maupun Pepsi Cola. Zong menamakan colanya itu
dengan Feichang Cola.
Feichang, dalam bahasa Mandarin, berarti istimewa atau amat-sangat.
Mungkin kalau dalam bahasa anak muda sekarang, Feichang Cola bisa kita
terjemahkan menjadi ’’cola banget’’. Hurufnya dibuat sangat mirip Coca
Cola. Warna merahnya juga serupa. Rasanya, kata penggemar, di antara
Coca Cola dan Pepsi Cola. Pelan-pelan, terutama dimulai dari kota-kota
kecil, Feichang Cola menggerogoti cola yang sebenarnya.
Zong masih belum puas. Beberapa tahun kemudian, dia membikin kejutan
dengan mengekspor Feichang Cola-nya ke New York! Ingin mengalahkan Coca
Cola di kandangnya? ’’Tidaklah. Saya tidak akan bisa mengalahkan Coca
Cola. Tapi, saya akan coba membuktikan bahwa telur bisa memecahkan
batu,’’ katanya seperti mau bermain shaolin.
Dia menyatakan itu di berbagai forum karena dia memang laris jadi
pembicara seminar di mana-mana. Meski bukan sarjana, Zong kelihatannya
memang cerdas. Dia bisa belajar cepat. Kemauannya pun lebih cepat
langkahnya. Lihatlah hobinya: baca buku. Mulai jurnal bisnis, novel,
sampai buku-buku klasik.
Ide Zong memang terlalu banyak. Juga energinya. Dia tidak pernah
tinggal lama di kantor. Terus jalan ke agen-agen. Dari satu kota ke kota
lain. Tiongkok yang begitu luas, dia jelajahi. Dia kerja 16 jam sehari.
Omzetnya, terakhir, bisa mencapai Rp 20 triliun.
Keriangan Zong itu juga akan ditularkan ke Indonesia. Bulan depan, ada peresmian pabriknya di Indonesia.
Zong pun masuk daftar orang terkaya di Tiongkok. Sejak ideologi
’’komunisme tiga kaki’’ diberlakukan, pengusaha seperti Zong diangkat
menjadi anggota politbiro partai. Usahanya sukses. Langkah politiknya
moncer. Wahaha benar-benar bukan lagi hanya suara anak-anak yang lagi
tertawa-tawa, tapi juga suara hati Zong yang sedang riang gembira.
Tertawa memang harus ada akhirnya. Paling tidak, harus ada
berhentinya. Dan, Zong, tidak terkecuali, juga harus mengalaminya.
Suasana riang-gembira seperti itu tiba-tiba tidak terdengar lagi sejak
dua bulan lalu. Wahaha lagi prihatin berat. Zong lagi digugat oleh
partnernya. Bukan sembarang partner. Ia adalah raksasa minuman dan
makanan dari Prancis, Danone. (Di Indonesia, Danone mengambil alih
Aqua).
Ceritanya begini: delapan tahun lalu, ambisi dia untuk menguasai
pasar makanan dan minuman tidak bisa distop. Padahal, ada kalanya,
pertumbuhan perusahaan itu seperti pertumbuhan bayi. Lahir, bayi,
kanak-kanak, remaja, lalu dewasa. Di setiap tahap itu biasanya mengalami
sakit yang disebut ’’growing pain’’. Sakit untuk menuju besar.
Di perusahaan pun demikian. Ketika perusahaan tumbuh cepat, ada masanya kena ’’sakit’’: kadang modalnya tidak cukup, kadang tenaga
manajernya kurang, dan kadang bagian pengawasan belum ada. Padahal,
order kian banyak, kepercayaan konsumen kian tinggi. Kalau tidak
dilayani, pesainglah yang akan memanfaatkan pasar itu.
Untuk mengatasi ’’sakit pertumbuhan’’ seperti itu, kadang diperlukan
suntikan modal baru. Tapi, kadang cukuplah kalau pemilik perusahaan
memutuskan untuk berhenti melangkah dulu sesaat. Tarik napas dan susun
kekuatan. Jangan lari terus. Napas bisa putus.
Ketika Wahaha menderita growing pain seperti itu, Zong tidak mau
memilih menghentikan ekspansinya sejenak. Dia memilih cari modal
tambahan. Kalau harus berhenti sesaat, bisa-bisa ambisinya tidak akan
cepat tercapai. Dia merasa ketika memulai usaha, umurnya sudah beranjak
tua, 45 tahun.
Maka, Zong lantas mengajak Danone berpartner. Raksasa dari Prancis
tersebut setuju memompakan modal sekitar Rp 600 miliar dengan
mendapatkan saham 51 persen. Danone juga menempatkan dua direktur, meski
menyerahkan jabatan chairman dan CEO-nya kepada Zong.
Danone mengakui kehebatan Zong yang telah melahirkan dan membawa
Wahaha ke tingkat yang begitu sukses serta mampu menguasai pasar
Tiongkok. Danone memerlukan luasnya jaringan itu, yang kalau dia sendiri
yang membuat mulai nol bisa-bisa tidak berhasil. Danone juga mengakui
energi dan ide-ide Zong akan bisa terus membawa Wahaha ke langit. Dan,
itu terbukti bahwa pada tahun-tahun berikutnya Wahaha masih terus
meningkat lebih dari 30 persen setiap tahun.
Tapi, akhir tahun lalu, Danone mulai menemukan ketidakberesan dalam
pengelolaan keuangan. Danone berhasil melihat ada ’’pipa misterius’’
yang menghubungkan brankas di bagian keuangan Wahaha dengan brankas di
perusahaan yang dia bangun lewat keluarganya secara terpisah.
’’Pipa’’ melengkung itulah, menurut Danone, yang menyedot sebagian
uang Wahaha untuk membesarkan perusahaan keluarga Zong. Danone belum mau
menyebutkan jumlah tepatnya. Tapi, media Barat menyebutnya mencapai
ratusan juta dolar. Begitu tingginya tingkat kerahasiaan pipa-pipa itu,
sehingga secara akuntansi mungkin juga tidak akan bisa dibuktikan.
Karena itu, rencana Danone menggugat Zong belum sampai ke tingkat
penyelewengan keuangan tersebut. Yang dipersoalkan baru tuduhan
pelanggaran atas perjanjian joint venture. Yakni, mengapa Zong dan
keluarganya membangun usaha sendiri yang menggunakan jaringan pemasaran
Wahaha. Sejak saat itu, mulailah suasana tidak nyaman. Terjadilah saling
incar kelemahan sekaligus saling pasang kuda-kuda. Permainan kungfu
Zong akan berhadapan dengan mirage Prancis. Dua bulan lalu, mirage itu
mulai menembakkan roketnya dari Amerika ke arah Zong: Zong digugat di
pengadilan California.
Sebelum itu, Zong memainkan kungfunya. Dia justru menambah
usaha-usaha sejenis dan dia juga memakai jalur distribusi serta keagenan
yang memang punya hubungan emosional dengan Zong. Lalu, Zong juga
memainkan kipas kertasnya: dia sebarkan surat panjang ke berbagai situs
internet mengenai ketidakpuasannya terhadap perilaku Danone dan
orang-orangnya di Wahaha. Dia mengungkapkan bahwa Danone telah mau
enaknya saja menguasai Wahaha dengan sangat murah.
Bahkan, ketika pekan lalu Danone akan mengadakan konferensi pers di
Shanghai, sebuah demo buruh berlangsung di depan gedung yang mulai
dipenuhi wartawan. Buruh pun, yang juga punya hubungan emosional dengan
Zong, mendukung bosnya tersebut. Itu, antara lain, karena Zong memang
sangat akrab dengan buruh. Dia sering mengungkapkan bahwa gaya
kepemimpinannya itu mengikuti gaya Mao Zedong. Mungkin benar. Mungkin
juga itu hanya gaya Zong menyenangkan banyak orang.
Sejauh ini, pemerintah tidak memperlihatkan memihak siapa. Tapi,
semua orang memang berharap persoalan tersebut bisa diselesaikan sambil
minum Wahaha dan sambil tertawa-tawa. Tidak perlu kungfu dan mirage.
Mungkin lembaga arbitrase di Hangzhou akan bisa menyelesaikannya. Pers
Barat tentu condong ke Danone. Pers lokal agak condong ke Zong. Pers
Barat menyebut Zong sebagai bos yang mbeling. Pers lokal menyebut dia
orang yang humble.
Zong kini berumur 61 tahun. Orangnya memang supel luar biasa. Anaknya
hanya satu (tentu!), wanita. Anaknya itulah yang banyak dia pakai untuk
mendirikan usaha-usaha keluarga di luar yang dikongsikan dengan
Danone.**
No comments:
Post a Comment