Tahan Tak Bergerak 24 Jam di ICU karena Terbiasa 12 Jam di Jawa Pos
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (7)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
SATU jam setelah sadar, saya melihat anak lelaki dan istri saya
mendekat. Oh, ini jam besuk ke ICU. Memang hanya dua orang dari pihak
keluarga yang boleh masuk ICU. Kecuali orang asing yang memerlukan
penerjemah, maka ditambah satu penerjemah.
Saya segera melambaikan tangan ke arah istri dan anak saya. Saya
berusaha untuk tersenyum sebagai ganti kata-kata bahwa saya baik-baik
saja. Saya memang tidak bisa omong jelas karena banyaknya selang di
tenggorokan. Kalau saya paksakan omong, bisa jadi tenggorokan saya akan
terluka dan itu akan menyulitkan diri saya sendiri akhirnya.
Anak saya menceritakan apa yang sedang terjadi dan apa yang mereka
lakukan malam sebelumnya. Juga menyampaikan daftar nama yang mengirim
salam dan memberikan dukungan batin lewat SMS. Misalnya, informasi bahwa
malam itu santri Pondok Langitan berdoa bersama dipimpin langsung oleh
Gus Dulloh dan Gus Maksum, putra Kiai Faqih. Juga dari Panti Asuhan
Yatim Piatu Zainudin, Baluran, Sepanjang.
Istri saya diam saja seperti tertegun melihat ruwetnya jaringan kabel
dan selang di sekitar badan saya. Setelah memotret-motret secukupnya,
mereka pamit. Tinggal saya sendiri lagi menghadapi ketidaknyamanan
keadaan.
Tapi, saya sadar sepenuhnya memang begitulah pascaoperasi. Saya tidak
mengeluh. Bagian ini juga harus saya jalani dan saya lewati sebagaimana
saya harus menjalani dan melewati proses pembiusan, pembukaan rongga
dada, pembuangan liver lama, dan pemasangan liver baru. Ini bukan
operasi kecil. Ini operasi besaaar! Kalau setelah operasi ada rasa
sakit, pastilah demikian. Maka, saya nikmati saja proses ini. Mengeluh
hanya akan menambah penderitaan.
Yang berat adalah menahan diri untuk tidak menggerakkan badan sama
sekali. Apalagi harus selama 24 jam. Ini agar luka-luka akibat operasi
dan penyambungan pembuluh darah di liver tidak terganggu. Saya sudah
bertekad bagian ini pun harus bisa saya lewati dengan baik. Bahwa akan
amat penat, ya itu sudah risikonya. Saya anggap saja sebagai yoga yang
panjang. Atau sebagai bagian dari zikir-pidak di tarekat Sathariyah.
Kalau saya bergerak untuk tujuan mengenakkan badan sesaat, akibatnya
bisa berupa penderitaan yang panjang.
Saya pernah menjalani dua operasi sebelumnya. Dua-duanya mengharuskan
saya, kalau bisa, tidak bergerak selama delapan jam. Saya berhasil
menjalani itu dulu. Maka, kalau kali ini saya harus tidak bergerak
selama 24 jam pun, saya merasa akan mampu melakukannya. Dan, ternyata
memang bisa. Penatnya bukan main, tapi itulah bagian yang harus dijalani
untuk sukses. Saat mulai membangun Jawa Pos dulu, tiap malam saya harus
berdiri di ruang layout lebih dari 12 jam. Tiap malam. Tujuh hari
seminggu. 30 hari sebulan. 360 hari setahun. Kali ini saya juga harus
mampu memenuhi persyaratan untuk tidak bergerak selama 24 jam!
Sejak kecil pun, saya sudah belajar tahan menderita. Bukan saja oleh
kemiskinan, tapi juga oleh kerasnya sikap bapak saya. Misalnya, bapak
melarang saya untuk belajar naik sepeda. Mengapa?
“Kalau sepeda itu rusak, bagaimana kita bisa menggantinya?” katanya.
Karena itu, sampai kelas tiga SMA (aliyah), saya belum bisa naik
sepeda. Saya harus sekolah sejauh 6 km dengan jalan kaki. Satu jam
berangkat dan satu jam pulang. Kadang, kalau lagi ada pelajaran bahasa
Inggris hari itu, saya tetap berangkat dari rumah, namun belok ke sungai
di tengah jalan. Saya cari ikan karena takut dengan guru bahasa
Inggris. Lama-lama, tiap pelajaran bahasa Inggris, saya berada di
sungai.
Akibatnya, saya tidak naik dari kelas 1 ke kelas 2. Rapor saya merah
semua, kecuali ilmu bumi yang mendapat angka enam. Bapak marah besar.
Saya juga merasa bersalah kepada kakak saya yang telah meninggalkan
gajinya untuk saya dan adik saya. Sejak itu, saya kelihatan agak pinter
di kelas. Bahkan, kemudian sering jadi ketua berbagai kegiatan. Juga
sering ditunjuk sebagai inspektur upacara pada tiap Senin.
Tapi, cita-cita saya bukan itu. Cita-cita saya adalah “bagaimana agar
punya sepatu”. Sampai kelas 2 SMA, saya belum punya sepatu. Tiap hari
ke sekolah dengan telanjang kaki. Maka, ketika kelas 3 SMA, saya bisa
beli sepatu (sepatu kets bekas yang ujung jempolnya sudah bolong dan
bagian tumitnya sudah berserabut), saya hemat benar pemakaiannya. Hanya
tiap Senin sepatu itu saya pakai. Maka, jadilah saya inspektur upacara
dengan sepatu di kaki. Banggakah saya? Ternyata tidak. Karena dalam hati
saya tersiksa. Sepatu itu menimbulkan rasa tidak nyaman yang hebat,
bahkan menimbulkan luka.
Karena itu, saya hanya tersenyum ketika melihat anak saya mempunyai
sepatu sampai lebih dari 300 dan semuanya branded alias bermerek. Dia
memang hobi mengoleksi sepatu. Kalau beli sepatu, dia tidak ingin kotak
dan labelnya dibuang. Dia juga tidak pakai sepatu itu. Hanya dia jejer
di lantai rumah, untuk dipandang setiap hari. Begitu penuhnya sehingga
istrinya suatu saat bilang kepada saya, “Sampai jalan masuk ke kamar
tinggal satu galengan (pematang).”
Saya juga pernah dipukuli bapak dengan sapu. Mula-mula, saya
menangis. Tapi, saya pikir tidak ada gunanya. Saya diam dan menikmati
pukulan itu. Sambil merasa memang saya bersalah. Ternyata, bapak malah
menghentikan pukulannya. Ini gara-gara saya sering menggunakan alat-alat
pertukangannya untuk ndalang. Bapak sangat sayang pada alat
pertukangannya. Kalau tidak lagi ada orang yang minta memperbaiki
rumahnya, ayah menggosok-gosok alat-alat itu sampai tajam.
Namun, suatu hari, anak-anak pasah itu (alat untuk menghaluskan kayu)
saya gandeng-gandeng, dalam posisi menumpuk. Kalau disentuh, akan
timbul bunyi “crek-crek”. Satu bunyi yang penting dalam memainkan
wayang. Kecrek itulah, yang saya pasang di kotak kayu. Saya duduk
mendalang di sebelahnya. Kaki saya dalam posisi akan sering menyentuh
kecrek tersebut sehingga bisa menimbulkan bunyi “crek-crek”. Begitulah,
kelirnya terbuat dari sarung saya. Gamelannya adalah mulut beberapa
teman sepermainan. Wayangnya terbuat dari rumput. Dan, kecreknya dari
alat pertukangan ayah.
Ayah bukan hanya marah karena alat-alat cari uangnya dipakai secara
salah, tapi juga karena di kotak itu ternyata ayah menyimpan uang. Dan,
uang itu ikut saya ambil untuk saya belikan dawet. Padahal, meski hanya
cukup untuk beli dawet (minuman khas di desa), tapi itulah satu-satunya
tabungan ayah.
Puluhan tahun saya menderita, kata saya dalam hati, kalau hanya akan ditambah 24 jam di ICU ini, apalah beratnya.
Perawat ICU memuji ketahanan saya. Karena itu, tangan saya tidak
perlu diikat. Banyak pasien yang tangan dan badannya harus diikat karena
selalu berusaha untuk bergerak. Bahkan, ada yang mungkin tidak sadar,
tangannya berusaha mencabut selang-selang yang memenuhi tenggorokannya.
Saya pilih menjalani proses tidak bergerak dengan kesadaran sendiri
daripada harus diikat seperti itu.
***
Sebenarnya, masih ada tiga selang lagi yang juga amat mengganggu.
Selain karena ukurannya yang cukup besar, juga lantaran ujung dua dari
tiga selang-selang itu dimasukkan ke dalam rongga perut saya melalui
pinggang kanan dan kiri. Ujung selang yang satunya dimasukkan ke kandung
kemih melalui lubang kemaluan. Ujung lain dari masing-masing selang itu
masuk ke kantong plastik penampung cairan yang digantungkan di pinggir
ranjang pasien.
Dengan adanya selang yang di lubang kemaluan itu, selama di ICU, saya
tak perlu lagi merasa akan kencing. Sebab, begitu kandung kemih saya
penuh, air kencing saya keluar dengan sendirinya melalui selang, masuk
ke kantong penampungnya. Secara teratur, air kencing di kantong itu
diukur dan dianalisis. Jumlah dan warnanya menunjukkan normal tidaknya
ginjal dan berfungsi atau tidaknya organ penting itu.
Sama dengan yang di ujung kemaluan, selang yang di pinggang juga
untuk mengeluarkan cairan-cairan yang tidak dibutuhkan tubuh saya. Semua
cairan itu juga ditampung di kantong plastik, lalu secara teratur
diukur dan dianalisis.
Bedanya, selang yang di pinggang kanan berfungsi untuk mengeluarkan
sisa darah yang mungkin masih menetes dari luka bekas sayatan operasi di
liver dan kantong empedu baru saya. Karena itu, posisi ujung selangnya
ada di dekat kedua organ yang baru ditransplantasikan itu.
Selama saya di ICU, selang di pinggang kanan mengeluarkan cairan
pekat berwarna merah. Makin hari, cairan itu makin sedikit keluarnya.
Dan akhirnya berhenti karena luka-luka bekas sayatan operasi itu sudah
“kering”. Tak lagi berdarah.
Bersamaan dengan keluarnya sisa darah dari pinggang kanan, selang di
pinggang kiri juga mengeluarkan cairan kuning kemerahan. Cairan itu
merupakan kelebihan cairan di rongga perut yang bercampur dengan sisa
darah operasi yang tercecer dan berkeliaran.
Rongga perut memang harus bersih dari “barang asing”. Jika ada
sesuatu yang tidak terdaftar sebagai “penghuni rongga perut”, seperti
ceceran darah, sel tumor atau kanker, maka selaput dinding rongga perut
-yang dalam istilah kedokteran disebut dengan peritonium- akan bereaksi,
protes, dengan cara mengeluarkan lebih banyak cairan. Makin banyak
cairan yang keluar, makin berbahaya karena peritonium bisa pecah dan
orangnya meninggal.
Liver dan empedu baru saya tidak termasuk dalam kategori “barang
asing” yang ditolak karena kedua organ itu kan sebenarnya penghuni
rongga perut juga.
Sama dengan yang di pinggang kanan, cairan yang keluar dari pinggang
kiri saya pun makin hari makin berkurang warna merahnya. Ini berarti
semua ceceran darah sisa operasi sudah didorong keluar dari rongga
perut.
Jumlahnya pun makin hari juga semakin sedikit. Ini pertanda tak ada
lagi kelebihan cairan di rongga perut saya. Sehingga selangnya pun bisa
dicabut.
Hari-hari pertama di ICU itu memang harus saya lalui dengan amat
menderita, tapi saya berusaha tabah menjalaninya. Saya tidak mengeluh
kepada siapa pun. Saat dokter bertanya apakah ada masalah, saya bilang
tidak ada. Bahwa sebenarnya badan tidak enak, ya mesti saja. Tapi,
bukankah memang harus demikian? Bukankah ini operasi yang sangat besar?
Yang tidak mungkin tidak sakit?
Tapi, sepanjang sakitnya masih masuk akal, saya bertekad untuk tidak
mengeluh. Kalau saya merasa kesakitan, saya tahu paling-paling hanya
akan diberi obat penghilang rasa sakit, painkiller. Itu berarti satu
racun lagi akan dimasukkan dalam tubuh saya. Saya gak mau itu. Apalagi
seminggu sebelumnya saya baru saja baca bahwa Australia melarang
penggunaan painkiller tertentu karena terbukti membuat pasien yang baru
menjalani transplantasi liver meninggal dunia.
Sakit ini, meski sakit sekali, masih bisa saya rasakan. Yakni sakit
akibat luka. Yakni luka yang sengaja dibuat dengan pisau bedah di
sepanjang dada dan perut saya untuk mengeluarkan liver yang lama dan
memasukkan liver yang baru. Tidak mungkin setelah perut ditutup tidak
menimbulkan rasa sakit.
Tapi, sakitnya, sekali lagi, bisa dirasakan. Dan, ketika kecil, saya
sudah sering mengalami rasa sakit seperti itu. Yakni ketika telapak kaki
terkena cangkul. Waktu kecil saya memang sering ikut jadi buruh tani,
mencangkul di sawah, yang disiapkan untuk menanam padi. Kadang, cangkul
meleset dan mengenai telapak kaki. Lukanya lebar, memutih, dan
berdarah-darah. Tentu tidak ada obat. Biasanya hanya kami siram dengan
minyak tanah, lalu kami bebat dengan kain sobekan dari kaus atau sarung.
Kain yang tidak pernah dipertimbangkan bersih atau tidak karena ya baru
disobek saat itu juga. Kadang masih bercampur lumpur juga. Sakitnya
saat habis operasi ya kurang lebih seperti itu. (bersambung)
No comments:
Post a Comment