Saturday, September 1, 2007

Tahan Tak Bergerak 24 Jam di ICU karena Terbiasa 12 Jam di Jawa Pos

1 September 2007
Tahan Tak Bergerak 24 Jam di ICU karena Terbiasa 12 Jam di Jawa Pos
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (7)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

SATU jam setelah sadar, saya melihat anak lelaki dan istri saya mendekat. Oh, ini jam besuk ke ICU. Memang hanya dua orang dari pihak keluarga yang boleh masuk ICU. Kecuali orang asing yang memerlukan penerjemah, maka ditambah satu penerjemah.

Saya segera melambaikan tangan ke arah istri dan anak saya. Saya berusaha untuk tersenyum sebagai ganti kata-kata bahwa saya baik-baik saja. Saya memang tidak bisa omong jelas karena banyaknya selang di tenggorokan. Kalau saya paksakan omong, bisa jadi tenggorokan saya akan terluka dan itu akan menyulitkan diri saya sendiri akhirnya.

Anak saya menceritakan apa yang sedang terjadi dan apa yang mereka lakukan malam sebelumnya. Juga menyampaikan daftar nama yang mengirim salam dan memberikan dukungan batin lewat SMS. Misalnya, informasi bahwa malam itu santri Pondok Langitan berdoa bersama dipimpin langsung oleh Gus Dulloh dan Gus Maksum, putra Kiai Faqih. Juga dari Panti Asuhan Yatim Piatu Zainudin, Baluran, Sepanjang.

Istri saya diam saja seperti tertegun melihat ruwetnya jaringan kabel dan selang di sekitar badan saya. Setelah memotret-motret secukupnya, mereka pamit. Tinggal saya sendiri lagi menghadapi ketidaknyamanan keadaan.

Tapi, saya sadar sepenuhnya memang begitulah pascaoperasi. Saya tidak mengeluh. Bagian ini juga harus saya jalani dan saya lewati sebagaimana saya harus menjalani dan melewati proses pembiusan, pembukaan rongga dada, pembuangan liver lama, dan pemasangan liver baru. Ini bukan operasi kecil. Ini operasi besaaar! Kalau setelah operasi ada rasa sakit, pastilah demikian. Maka, saya nikmati saja proses ini. Mengeluh hanya akan menambah penderitaan.

Yang berat adalah menahan diri untuk tidak menggerakkan badan sama sekali. Apalagi harus selama 24 jam. Ini agar luka-luka akibat operasi dan penyambungan pembuluh darah di liver tidak terganggu. Saya sudah bertekad bagian ini pun harus bisa saya lewati dengan baik. Bahwa akan amat penat, ya itu sudah risikonya. Saya anggap saja sebagai yoga yang panjang. Atau sebagai bagian dari zikir-pidak di tarekat Sathariyah. Kalau saya bergerak untuk tujuan mengenakkan badan sesaat, akibatnya bisa berupa penderitaan yang panjang.

Saya pernah menjalani dua operasi sebelumnya. Dua-duanya mengharuskan saya, kalau bisa, tidak bergerak selama delapan jam. Saya berhasil menjalani itu dulu. Maka, kalau kali ini saya harus tidak bergerak selama 24 jam pun, saya merasa akan mampu melakukannya. Dan, ternyata memang bisa. Penatnya bukan main, tapi itulah bagian yang harus dijalani untuk sukses. Saat mulai membangun Jawa Pos dulu, tiap malam saya harus berdiri di ruang layout lebih dari 12 jam. Tiap malam. Tujuh hari seminggu. 30 hari sebulan. 360 hari setahun. Kali ini saya juga harus mampu memenuhi persyaratan untuk tidak bergerak selama 24 jam!

Sejak kecil pun, saya sudah belajar tahan menderita. Bukan saja oleh kemiskinan, tapi juga oleh kerasnya sikap bapak saya. Misalnya, bapak melarang saya untuk belajar naik sepeda. Mengapa?

“Kalau sepeda itu rusak, bagaimana kita bisa menggantinya?” katanya.

Karena itu, sampai kelas tiga SMA (aliyah), saya belum bisa naik sepeda. Saya harus sekolah sejauh 6 km dengan jalan kaki. Satu jam berangkat dan satu jam pulang. Kadang, kalau lagi ada pelajaran bahasa Inggris hari itu, saya tetap berangkat dari rumah, namun belok ke sungai di tengah jalan. Saya cari ikan karena takut dengan guru bahasa Inggris. Lama-lama, tiap pelajaran bahasa Inggris, saya berada di sungai.

Akibatnya, saya tidak naik dari kelas 1 ke kelas 2. Rapor saya merah semua, kecuali ilmu bumi yang mendapat angka enam. Bapak marah besar. Saya juga merasa bersalah kepada kakak saya yang telah meninggalkan gajinya untuk saya dan adik saya. Sejak itu, saya kelihatan agak pinter di kelas. Bahkan, kemudian sering jadi ketua berbagai kegiatan. Juga sering ditunjuk sebagai inspektur upacara pada tiap Senin.

Tapi, cita-cita saya bukan itu. Cita-cita saya adalah “bagaimana agar punya sepatu”. Sampai kelas 2 SMA, saya belum punya sepatu. Tiap hari ke sekolah dengan telanjang kaki. Maka, ketika kelas 3 SMA, saya bisa beli sepatu (sepatu kets bekas yang ujung jempolnya sudah bolong dan bagian tumitnya sudah berserabut), saya hemat benar pemakaiannya. Hanya tiap Senin sepatu itu saya pakai. Maka, jadilah saya inspektur upacara dengan sepatu di kaki. Banggakah saya? Ternyata tidak. Karena dalam hati saya tersiksa. Sepatu itu menimbulkan rasa tidak nyaman yang hebat, bahkan menimbulkan luka.

Karena itu, saya hanya tersenyum ketika melihat anak saya mempunyai sepatu sampai lebih dari 300 dan semuanya branded alias bermerek. Dia memang hobi mengoleksi sepatu. Kalau beli sepatu, dia tidak ingin kotak dan labelnya dibuang. Dia juga tidak pakai sepatu itu. Hanya dia jejer di lantai rumah, untuk dipandang setiap hari. Begitu penuhnya sehingga istrinya suatu saat bilang kepada saya, “Sampai jalan masuk ke kamar tinggal satu galengan (pematang).”

Saya juga pernah dipukuli bapak dengan sapu. Mula-mula, saya menangis. Tapi, saya pikir tidak ada gunanya. Saya diam dan menikmati pukulan itu. Sambil merasa memang saya bersalah. Ternyata, bapak malah menghentikan pukulannya. Ini gara-gara saya sering menggunakan alat-alat pertukangannya untuk ndalang. Bapak sangat sayang pada alat pertukangannya. Kalau tidak lagi ada orang yang minta memperbaiki rumahnya, ayah menggosok-gosok alat-alat itu sampai tajam.

Namun, suatu hari, anak-anak pasah itu (alat untuk menghaluskan kayu) saya gandeng-gandeng, dalam posisi menumpuk. Kalau disentuh, akan timbul bunyi “crek-crek”. Satu bunyi yang penting dalam memainkan wayang. Kecrek itulah, yang saya pasang di kotak kayu. Saya duduk mendalang di sebelahnya. Kaki saya dalam posisi akan sering menyentuh kecrek tersebut sehingga bisa menimbulkan bunyi “crek-crek”. Begitulah, kelirnya terbuat dari sarung saya. Gamelannya adalah mulut beberapa teman sepermainan. Wayangnya terbuat dari rumput. Dan, kecreknya dari alat pertukangan ayah.

Ayah bukan hanya marah karena alat-alat cari uangnya dipakai secara salah, tapi juga karena di kotak itu ternyata ayah menyimpan uang. Dan, uang itu ikut saya ambil untuk saya belikan dawet. Padahal, meski hanya cukup untuk beli dawet (minuman khas di desa), tapi itulah satu-satunya tabungan ayah.
Puluhan tahun saya menderita, kata saya dalam hati, kalau hanya akan ditambah 24 jam di ICU ini, apalah beratnya.

Perawat ICU memuji ketahanan saya. Karena itu, tangan saya tidak perlu diikat. Banyak pasien yang tangan dan badannya harus diikat karena selalu berusaha untuk bergerak. Bahkan, ada yang mungkin tidak sadar, tangannya berusaha mencabut selang-selang yang memenuhi tenggorokannya. Saya pilih menjalani proses tidak bergerak dengan kesadaran sendiri daripada harus diikat seperti itu.

***
Sebenarnya, masih ada tiga selang lagi yang juga amat mengganggu. Selain karena ukurannya yang cukup besar, juga lantaran ujung dua dari tiga selang-selang itu dimasukkan ke dalam rongga perut saya melalui pinggang kanan dan kiri. Ujung selang yang satunya dimasukkan ke kandung kemih melalui lubang kemaluan. Ujung lain dari masing-masing selang itu masuk ke kantong plastik penampung cairan yang digantungkan di pinggir ranjang pasien.

Dengan adanya selang yang di lubang kemaluan itu, selama di ICU, saya tak perlu lagi merasa akan kencing. Sebab, begitu kandung kemih saya penuh, air kencing saya keluar dengan sendirinya melalui selang, masuk ke kantong penampungnya. Secara teratur, air kencing di kantong itu diukur dan dianalisis. Jumlah dan warnanya menunjukkan normal tidaknya ginjal dan berfungsi atau tidaknya organ penting itu.

Sama dengan yang di ujung kemaluan, selang yang di pinggang juga untuk mengeluarkan cairan-cairan yang tidak dibutuhkan tubuh saya. Semua cairan itu juga ditampung di kantong plastik, lalu secara teratur diukur dan dianalisis.

Bedanya, selang yang di pinggang kanan berfungsi untuk mengeluarkan sisa darah yang mungkin masih menetes dari luka bekas sayatan operasi di liver dan kantong empedu baru saya. Karena itu, posisi ujung selangnya ada di dekat kedua organ yang baru ditransplantasikan itu.

Selama saya di ICU, selang di pinggang kanan mengeluarkan cairan pekat berwarna merah. Makin hari, cairan itu makin sedikit keluarnya. Dan akhirnya berhenti karena luka-luka bekas sayatan operasi itu sudah “kering”. Tak lagi berdarah.

Bersamaan dengan keluarnya sisa darah dari pinggang kanan, selang di pinggang kiri juga mengeluarkan cairan kuning kemerahan. Cairan itu merupakan kelebihan cairan di rongga perut yang bercampur dengan sisa darah operasi yang tercecer dan berkeliaran.

Rongga perut memang harus bersih dari “barang asing”. Jika ada sesuatu yang tidak terdaftar sebagai “penghuni rongga perut”, seperti ceceran darah, sel tumor atau kanker, maka selaput dinding rongga perut -yang dalam istilah kedokteran disebut dengan peritonium- akan bereaksi, protes, dengan cara mengeluarkan lebih banyak cairan. Makin banyak cairan yang keluar, makin berbahaya karena peritonium bisa pecah dan orangnya meninggal.

Liver dan empedu baru saya tidak termasuk dalam kategori “barang asing” yang ditolak karena kedua organ itu kan sebenarnya penghuni rongga perut juga.

Sama dengan yang di pinggang kanan, cairan yang keluar dari pinggang kiri saya pun makin hari makin berkurang warna merahnya. Ini berarti semua ceceran darah sisa operasi sudah didorong keluar dari rongga perut.

Jumlahnya pun makin hari juga semakin sedikit. Ini pertanda tak ada lagi kelebihan cairan di rongga perut saya. Sehingga selangnya pun bisa dicabut.

Hari-hari pertama di ICU itu memang harus saya lalui dengan amat menderita, tapi saya berusaha tabah menjalaninya. Saya tidak mengeluh kepada siapa pun. Saat dokter bertanya apakah ada masalah, saya bilang tidak ada. Bahwa sebenarnya badan tidak enak, ya mesti saja. Tapi, bukankah memang harus demikian? Bukankah ini operasi yang sangat besar? Yang tidak mungkin tidak sakit?

Tapi, sepanjang sakitnya masih masuk akal, saya bertekad untuk tidak mengeluh. Kalau saya merasa kesakitan, saya tahu paling-paling hanya akan diberi obat penghilang rasa sakit, painkiller. Itu berarti satu racun lagi akan dimasukkan dalam tubuh saya. Saya gak mau itu. Apalagi seminggu sebelumnya saya baru saja baca bahwa Australia melarang penggunaan painkiller tertentu karena terbukti membuat pasien yang baru menjalani transplantasi liver meninggal dunia.

Sakit ini, meski sakit sekali, masih bisa saya rasakan. Yakni sakit akibat luka. Yakni luka yang sengaja dibuat dengan pisau bedah di sepanjang dada dan perut saya untuk mengeluarkan liver yang lama dan memasukkan liver yang baru. Tidak mungkin setelah perut ditutup tidak menimbulkan rasa sakit.

Tapi, sakitnya, sekali lagi, bisa dirasakan. Dan, ketika kecil, saya sudah sering mengalami rasa sakit seperti itu. Yakni ketika telapak kaki terkena cangkul. Waktu kecil saya memang sering ikut jadi buruh tani, mencangkul di sawah, yang disiapkan untuk menanam padi. Kadang, cangkul meleset dan mengenai telapak kaki. Lukanya lebar, memutih, dan berdarah-darah. Tentu tidak ada obat. Biasanya hanya kami siram dengan minyak tanah, lalu kami bebat dengan kain sobekan dari kaus atau sarung. Kain yang tidak pernah dipertimbangkan bersih atau tidak karena ya baru disobek saat itu juga. Kadang masih bercampur lumpur juga. Sakitnya saat habis operasi ya kurang lebih seperti itu. (bersambung)

No comments:

Post a Comment