Tuesday, March 31, 2009

Beli Kursi di Langit

Selasa, 31 Maret 2009
Beli Kursi di Langit

Sejak Mandala dikenal cukup on time, banyak orang pindah ke penerbangan itu. Termasuk saya. Garuda sudah terasa terlalu mahal. Apalagi Mandala juga sudah menggunakan pesawat yang relatif baru: Airbus 319 atau Airbus 320.

Orang seperti saya, on time termasuk pertimbangan yang penting. Antara satu janji dan janji yang lain sering agak mepet. Karena itu, meski Garuda terkenal mahal, orang tetap memilih Garuda karena on time. Memang banyak orang memilih Garuda karena perasaan lebih safe. Tapi ketika kelebihan-kelebihan Garuda itu juga sudah bisa dipenuhi Mandala, orang lantas memilih yang lebih murah.

Memang di Mandala tidak memperoleh makanan/minuman. Tapi, untuk terbang jarak pendek seperti Surabaya-Jakarta, faktor makanan tidaklah penting. Tidak mungkin orang mati kelaparan dalam penerbangan satu jam. Apalagi orang seperti saya, begitu naik pesawat memilih segera tidur! Ketika masih sering naik Garuda dulu, meski di kelas eksekutif, saya sering berpesan agar kalau sedang tertidur jangan dibangunkan hanya untuk makan.

Kini memang sedang dalam ujian: apakah Mandala bisa mempertahankan citra on time-nya itu. Pada 25 Maret lalu, ketika terbang dari Jakarta ke Balikpapan dengan Mandala, saya bertemu teman-teman asal Surabaya di lounge Mandala di terminal 1 Cengkareng. Mereka sekeluarga lagi kelihatan kusut. Oh, ternyata mereka lagi transit untuk cing bing (ziarah kubur) ke Jambi. Pesawat Mandala yang dia naiki terlambat tidak tanggung-tanggung: 7 jam! Mestinya berangkat pukul 9 pagi, baru akan berangkat pukul 4 sore.

Ujian berikutnya: mempertahankan citra safe! Pesawat itu, baru atau lama, sebenarnya tidak terlalu ada hubungannya dengan safe atau tidak. Biarpun pesawat lama, kalau pemeliharaan dan prosedur pemeriksaannya sempurna, ia akan sama safe-nya dengan pesawat baru. Namun juga bisa dipahami bahwa secara psikologis, naik pesawat baru lebih safe. Dan Mandala tahu menjaga perasaan penumpang tersebut. Karena itu, dia menggunakan pesawat yang relatif baru.

Sebagian pesawat itu kelihatannya pindahan dari India. Terlihat di layar monitornya masih ada display tulisan yang berbunyi Deccan (sebuah kawasan di selatan India, Red) dengan desain khusus. Saya langsung teringat ketika tahun lalu ke India. Di beberapa rute, saya naik pesawat Deccan Airways. Di India memang banyak perusahaan penerbangan swasta. Semuanya menggunakan pesawat-pesawat relatif baru. Saya dengar persaingan di sana sangat keras dan belakangan beberapa di antara mereka merger.

Di Mandala kita juga bisa naik kelas ”eksekutif”. Syaratnya juga ringan: hanya membayar tambahan Rp 50.000/orang. Dengan membayar uang tambahan itu, Anda bisa duduk ke kursi paling depan. Memang kursi ”eksekutif” itu tidak beda dengan yang ekonomi, namun duduk di depan lebih baik: bisa cepat-cepat keluar dari pesawat untuk mengejar jadwal. Berarti ada enam tempat duduk (tiga di kiri dan tiga di kanan) yang bisa dijual Rp 50.000-an. Tambahan Rp 300.000 rupanya dianggap penting sehingga pesawat yang mestinya berisi 120 itu bisa menghasilkan uang 121.

Waktu ke Singapura pekan lalu pun, saya naik pesawat murah: Value Air. Sebelum krisis, saya selalu naik Singapore Airlines (Silk Air) atau Garuda. Di rute Surabaya-Singapura ini, kita harus bangga: orang lebih menyenangi Garuda daripada pesawat Singapura itu. Kursi kelas eksekutifnya jauh lebih enak Garuda: lebih besar dan lebih longgar. Demikian juga kursi kelas ekonominya: lebih longgar.

Tapi, naik pesawat murah (biasa disebut budget airlines) juga tidak menderita. Meski kalah dengan Garuda, tapi kelas ekonominya tidak kalah dengan Silk Air yang mahal. Toh waktu kedatangannya sama saja: 2 jam. Saya memang sudah lama ingin mencoba pesawat murah untuk Singapura. Motifnya: ingin melihat budget terminal di Changi.

Sejak tahun lalu bandara Singapura memiliki empat terminal: terminal 1, terminal 2, terminal 3, dan terminal murah (budget terminal). Terminal 1, 2, dan 3 berada dalam satu wilayah yang dihubungkan dengan kereta khusus. Terminal 1 paling sederhana, terminal 2 lebih mewah, dan terminal 3 mewah sekali. Sedangkan terminal murah (untuk penerbangan-penerbangan murah) berada terpisah yang tidak ter-connect dengan tiga terminal lainnya. Saya ingin sekali melihatnya. Satu-satunya cara sudah tentu kalau saya naik pesawat murah.

Saya check-in agak telat hari itu. Karena itu, saya mendapat tempat duduk sangat belakang: dekat toilet. Saya sudah berusaha minta agak depan, tapi tidak ada lagi yang kosong. Padahal, saya harus cepat-cepat keluar dari pesawat agar bisa antre paling depan di imigrasi nanti. Dari bandara, saya harus langsung ke tempat acara perkawinan yang waktunya sudah mepet.

Begitu masuk pesawat, saya lihat kursi deretan depannya kosong. Saya ingin duduk di situ, tapi pramugari berkeras minta boarding pass untuk melihat nomor kursi saya. Maka, saya pun ketahuan harus duduk di belakang. Sambil berjalan ke belakang, saya lihat dua deret kursi di bagian tengahnya kosong. Yakni di deretan dekat pintu darurat. Saya ngotot mau duduk di situ saja: daripada di dekat toilet.

Ternyata saya juga dilarang duduk di situ. Semula saya mengira karena kursi-kursi itu di dekat pintu darurat. Maka saya bilang: saya tahu bagaimana harus bersikap ketika duduk di dekat pintu darurat. Saya sudah sering diajari pramugari bahwa seseorang yang duduk di kursi seperti itu harus tahu bagaimana cara membuka pintu darurat. Sehingga kalau terjadi kecelakaan, harus tahu apa yang pertama-tama harus dilakukan.

Ternyata ini bukan soal keterampilan membuka pintu darurat.
”Duduk di kursi itu harus membayar uang tambahan 10 dolar,” ujar sang pramugari.

”Dolar Singapura?” tanya saya.
”Ya,” jawabnya.

”Saya mau bayar,” kata saya.
Lalu, saya teringat jangan-jangan kursi kosong paling depan tadi urusannya juga hanya soal bayar-membayar.

”Berarti saya boleh juga duduk di deretan nomor 1 itu?” tanya saya.
”Oh, kalau itu bayarnya 20 dolar,” katanya.

”Saya mau,” kata saya.
”Kalau begitu, silakan,” jawabnya.

”Bisa bayar di atas pesawat sini?” tanya saya.
”Bisa!” katanya.

Maka, saya dan istri kembali ke depan. Membuka dompet dan membayar 40 dolar (sekitar Rp 300.000) untuk dua orang. Saya memang membiasakan mengisi uang-uang asing di dompet saya: dolar Singapura, Malaysia, bath Thailand, dolar Hongkong, dolar AS, dan terutama ren min bi Tiongkok.

Dengan pengalaman ini, saya tersenyum: wah semakin pintar saja orang cari uang. Jangan-jangan kelak, kursi di dekat jendela juga punya harga berbeda. Kursi di aisle (gang tempat jalan) juga bertarif tidak sama. Tapi, kalau kursi di kokpit juga dijual meski dengan harga mahal, saya ingin juga mencoba sekali-kali.

Meski pesawat murah, ternyata enak juga. Pesawatnya juga Airbus 320. Yang membuat saya agak kecewa adalah: ternyata pesawat ini mendarat di terminal 1. Dengan demikian, gagallah keinginan saya merasakan seperti apa itu terminal murah.

”Mengapa tidak mendarat di budget terminal?” tanya saya kepada pramugari.
”Ini bukan budget airlines,” jawabnya.

”Lho, memangnya ini pesawat apa?” tanya saya.
It is low cost carrier,” jawabnya. (”Ini pesawat murah”).

”Apa bedanya budget airlines dengan low cost carrier?” tanya saya.
Budget carrier kan semua harus bayar sendiri. Misalnya, makanan dan minumannya,” katanya.

Oh, saya jadi lebih bingung. Di penerbangan ini, saya memang diberi air dan sepotong roti, tapi untuk makanan dan minuman lainnya, saya juga harus beli. Kursi pun harus beli. Saya benar-benar tidak tahu apa beda budget carrier dengan low cost carrier.

Saya tidak mau pusing memikirkannya. (*)

No comments:

Post a Comment