Pilih Tanam Macadamia yang Buahnya Mahal
Strategi Merebut Hati dan Mengisi Perut di Golden Triangle (3)
Khun Chai benar-benar memilih cara yang damai dalam melaksanakan
proyek besarnya membebaskan warga Doi Tung dari cengkeraman sindikat
narkoba. Dia tidak pernah menyindir, mencela, apalagi sampai menggusur
warga yang masih menanam opium di pegunungan di kawasan Golden Triangle
itu.
GEMA bahwa Ibu Suri Thailand akan merayakan ulang
tahun yang ke-90 di pegunungan Doi Tung cepat bergema ke seantero
negeri. Termasuk menggema di suku-suku pegunungan Doi Tung, satu wilayah
yang dikenal sebagai Golden Triangle dengan opiumnya yang memasok 70
persen keperluan opium dunia itu. Kabar itu saja sudah menjadi strategi
sosialisasi kepada suku-suku penanam opium yang sangat efektif. Juga
sebagai public relation yang langsung menjangkau seluruh masyarakat Thailand.
Apalagi, didengung-dengungkan juga bahwa Ibu Suri akan tinggal di
pegunungan terpencil itu -bukan sekadar untuk beristirahat, tapi akan
menghabiskan sisa hidunya bersama dan untuk kebahagiaan rakyat setempat.
Perasaan haru, bangga, tersanjung dari masyarakat setempat bercampur
menjadi satu. Ditambah lagi pujian dari Ibu Suri bahwa wilayah inilah
Swiss-nya Thailand. Sebuah pujian yang membuat hati rakyat setempat
menggelembung dan semangat mereka menyala-nyala.
Dengan strategi sosialisasi seperti itu, hilanglah keragu-raguan
rakyat setempat bahwa proyek besar itu hanya akan menyengsarakan mereka.
Terutama keraguan apakah mereka akan digusur. Apakah mereka akan
dilarang tinggal di gunung-gunung yang sudah turun-temurun menjadi
tempat mereka berladang opium. Dulu mereka memang pernah digusur dengan
alasan terlalu dekat dengan perbatasan yang rawan. Tapi, penggusuran itu
mengakibatkan hidup mereka lebih menderita. Maka, kalau kali ini masih
ada juga tebersit kekhawatiran seperti itu, Khun Chai sangat
memahaminya. Apalagi, hukum di Thailand memang menentukan bahwa semua
wilayah di atas ketinggian 600 meter tidak boleh dihuni.
Khun Chai menjelaskan kepada mereka bahwa dirinya tidak akan
memaksakan diterapkannya hukum itu. Khun Chai justru hanya akan
menjalankan semangat dari hukum itu sendiri: agar lingkungan wilayah
pegunungan tidak rusak. Bukan dengan jalan meggusur penduduknya,
melainkan merangkulnya. Itulah konsep membangun tanpa menggusur.
Khun Chai melihat sendiri bahwa seluruh wilayah perbatasan itu sudah
gundul. Baik di sisi Thailand maupun di sisi Myanmar dan Laos. Wilayah
seluas 150 kilometer persegi itu sudah tak berpohon karena sudah penuh
dengan tanaman opium. Pembabatan hutan terjadi karena tanaman opium
memang harus terbuka: tidak boleh ada pohon yang melindungi. Tanaman
opium yang baik juga harus berada di atas ketinggian 1.000 meter. Kian
tinggi kian baik. Maka, pohon-pohon di wilayah pegunungan itu dibabat
habis. Padahal, ladang opiumnya saja 25.000 hektare! Pantas menjadi
pemasok 70 persen kebutuhan opium dunia.
Salah satu program yayasan itu nanti justru akan menghutankan kembali
wilayah tersebut. Penduduknyalah yang akan melaksanakan. Penduduk akan
dibayar untuk membuat lubang sebanyak-banyaknya. Semua lubang itu sudah
harus jadi sebelum musim hujan tiba. Jarak antarlubang, ukuran lubang,
dan wilayah yang dikerjakan sudah diplot secara ilmiah. Pengawasan
dilakukan dengan ketat untuk menjamin keberhasilan penanamannya nanti.
Pekerjaan menggali lubang itulah yang membuat mereka kali pertama
punya penghasilan di luar berladang opium. Untuk tiga bulan pertama,
penduduk dibayar setiap hari. ”Kalau dibayar bulanan, bisa-bisa untuk
beli beras hari ini dia harus berutang kepada juragan opium,” ujar Khun
Chai.
”Mata rantai dengan juragan opium juga harus putus tanpa terasa harus
memutuskannya,” tambahnya. Tiba-tiba saja mulai hari itu petani opium
tidak harus lagi berutang kepada mereka.
Dengan sistem itu, mereka pun tidak perlu lagi berpikir dari mana
mendapatkan uang untuk membeli beras besok pagi. Mereka sibuk menggali
lubang. Hasilnya langsung bisa dinikmati. Mereka lupa menanam opium.
Proses itu berlangsung secara alamiah tanpa sedikit pun ada kampanye
antiopium atau, misalnya, pasang spanduk say no to drug. ”Kami tidak pernah mengemukakan bahwa program ini untuk memberantas opium,” ujar Khun Chai.
Waktu program ”pembangunan alternatif” ini mulai dilaksanakan,
sebenarnya masih ada juga yang menanam opium. Khun Chai tidak
mempersoalkan, tidak menyindir. Mencela pun tidak. Apalagi
mengharam-haramkan atau mendosa-dosakan.
Yayasan juga mengajak dan bersama-sama istri serta anak mereka untuk
bertanam sayur dan holtikultura. Lalu, ditentukanlah di wilayah mana
mereka boleh menanam. Program itu dimaksudkan agar tiga bulan kemudian
mereka mulai punya sumber makanan sendiri. Kalau sumber sebagian makanan
itu sudah tersedia, pembayaran penghutanan wilayah itu tidak akan
dilakukan tiap hari lagi. Itu dilakukan untuk mendidik mereka ke arah
hidup mandiri. Tidak diajari menjadi orang yang terus bergantung kepada
program yayasan.
Karena itu, kalau upah harian menggali lubang tersebut semula habis
untuk membeli bahan makanan, sejak mereka punya sayur dan holtikultura
sendiri mulailah bisa menabung sedikit. Dengan demikian, persoalan
jangka pendek dan menengah teratasi. Tinggal memikirkan kehidupan jangka
panjang mereka agar tidak ada lagi pikiran bahwa suatu saat kelak akan
kembali ke opium.
Program jangka panjang itulah yang dikaitkan dengan proyek
penghutanan kembali Golden Triangle. Semula, sesuai dengan program
Departemen Kehutanan, lubang-lubang tersebut ditanami pinus. Di
mana-mana, termasuk di Indonesia dan Tiongkok, memang begitu:
penghutanan kembali identik dengan pinusisasi. Itu kelihatannya hanya
ikut apa yang diinstruksikan konsultan mereka dari Eropa.
Di Eropa
menanam pinus memang baik karena faktor salju dan rakyatnya sudah
sejahtera. Tapi Khun Chai kemudian berpikir lain: menanam pinus itu
salah. Tidak bisa menjadi sumber penghidupan rakyat dan menyerap air
terlalu banyak. Padahal, Khun Chai ingin rakyat bisa hidup dari hutan
itu nanti. Juga bisa menghemat sumber air yang demikian langka.
(Pikiran seperti itu, kelak ketika Khun Chai diminta untuk menangani
proyek serupa di Afghanistan, diterapkan dengan cara yang unik. Ikuti
seri-seri selanjutnya tulisan ini)
Khun Chai langsung mengganti pohon pinus itu dengan tanaman
produktif. Dia memilih tanaman yang fungsi penghutanannya sama, tapi
bisa menjadi sumber kontinu bagi kehidupan rakyat setempat. Dia putuskan
untuk menanam macadamia yang buahnya bisa dijual mahal itu. Memang,
pilihan ini semula dianggap kurang realistis. Asia Tenggara bukanlah
penghasil macadamia. Dan lagi, ini bukan jenis pohon Asia. Dari mana
mendapatkan bibitnya? ”Didatangkan dari Australia?” jawab Khun Chai.
Tentu setelah dilakukan penyedilikan akan tanahnya yang mendetail.
Lalu, diadakan riset untuk membuat macadamia itu nanti bisa menghasilkan
buah yang lebih baik dari di negara asalnya.
Karena itu, didatangkanlah satu kontainer bibit macadamia. Ibu Suri yang melakukan penanaman pertama pada 30 Mei 1989. (*)
No comments:
Post a Comment