Friday, January 16, 2009

Pilih Tanam Macadamia yang Buahnya Mahal

Jumat, 16 Januari 2009 
Pilih Tanam Macadamia yang Buahnya Mahal
Strategi Merebut Hati dan Mengisi Perut di Golden Triangle (3)

Khun Chai benar-benar memilih cara yang damai dalam melaksanakan proyek besarnya membebaskan warga Doi Tung dari cengkeraman sindikat narkoba. Dia tidak pernah menyindir, mencela, apalagi sampai menggusur warga yang masih menanam opium di pegunungan di kawasan Golden Triangle itu.

GEMA bahwa Ibu Suri Thailand akan merayakan ulang tahun yang ke-90 di pegunungan Doi Tung cepat bergema ke seantero negeri. Termasuk menggema di suku-suku pegunungan Doi Tung, satu wilayah yang dikenal sebagai Golden Triangle dengan opiumnya yang memasok 70 persen keperluan opium dunia itu. Kabar itu saja sudah menjadi strategi sosialisasi kepada suku-suku penanam opium yang sangat efektif. Juga sebagai public relation yang langsung menjangkau seluruh masyarakat Thailand.

Apalagi, didengung-dengungkan juga bahwa Ibu Suri akan tinggal di pegunungan terpencil itu -bukan sekadar untuk beristirahat, tapi akan menghabiskan sisa hidunya bersama dan untuk kebahagiaan rakyat setempat. Perasaan haru, bangga, tersanjung dari masyarakat setempat bercampur menjadi satu. Ditambah lagi pujian dari Ibu Suri bahwa wilayah inilah Swiss-nya Thailand. Sebuah pujian yang membuat hati rakyat setempat menggelembung dan semangat mereka menyala-nyala.

Dengan strategi sosialisasi seperti itu, hilanglah keragu-raguan rakyat setempat bahwa proyek besar itu hanya akan menyengsarakan mereka. Terutama keraguan apakah mereka akan digusur. Apakah mereka akan dilarang tinggal di gunung-gunung yang sudah turun-temurun menjadi tempat mereka berladang opium. Dulu mereka memang pernah digusur dengan alasan terlalu dekat dengan perbatasan yang rawan. Tapi, penggusuran itu mengakibatkan hidup mereka lebih menderita. Maka, kalau kali ini masih ada juga tebersit kekhawatiran seperti itu, Khun Chai sangat memahaminya. Apalagi, hukum di Thailand memang menentukan bahwa semua wilayah di atas ketinggian 600 meter tidak boleh dihuni.

Khun Chai menjelaskan kepada mereka bahwa dirinya tidak akan memaksakan diterapkannya hukum itu. Khun Chai justru hanya akan menjalankan semangat dari hukum itu sendiri: agar lingkungan wilayah pegunungan tidak rusak. Bukan dengan jalan meggusur penduduknya, melainkan merangkulnya. Itulah konsep membangun tanpa menggusur.

Khun Chai melihat sendiri bahwa seluruh wilayah perbatasan itu sudah gundul. Baik di sisi Thailand maupun di sisi Myanmar dan Laos. Wilayah seluas 150 kilometer persegi itu sudah tak berpohon karena sudah penuh dengan tanaman opium. Pembabatan hutan terjadi karena tanaman opium memang harus terbuka: tidak boleh ada pohon yang melindungi. Tanaman opium yang baik juga harus berada di atas ketinggian 1.000 meter. Kian tinggi kian baik. Maka, pohon-pohon di wilayah pegunungan itu dibabat habis. Padahal, ladang opiumnya saja 25.000 hektare! Pantas menjadi pemasok 70 persen kebutuhan opium dunia.

Salah satu program yayasan itu nanti justru akan menghutankan kembali wilayah tersebut. Penduduknyalah yang akan melaksanakan. Penduduk akan dibayar untuk membuat lubang sebanyak-banyaknya. Semua lubang itu sudah harus jadi sebelum musim hujan tiba. Jarak antarlubang, ukuran lubang, dan wilayah yang dikerjakan sudah diplot secara ilmiah. Pengawasan dilakukan dengan ketat untuk menjamin keberhasilan penanamannya nanti.

Pekerjaan menggali lubang itulah yang membuat mereka kali pertama punya penghasilan di luar berladang opium. Untuk tiga bulan pertama, penduduk dibayar setiap hari. ”Kalau dibayar bulanan, bisa-bisa untuk beli beras hari ini dia harus berutang kepada juragan opium,” ujar Khun Chai.

”Mata rantai dengan juragan opium juga harus putus tanpa terasa harus memutuskannya,” tambahnya. Tiba-tiba saja mulai hari itu petani opium tidak harus lagi berutang kepada mereka.

Dengan sistem itu, mereka pun tidak perlu lagi berpikir dari mana mendapatkan uang untuk membeli beras besok pagi. Mereka sibuk menggali lubang. Hasilnya langsung bisa dinikmati. Mereka lupa menanam opium. Proses itu berlangsung secara alamiah tanpa sedikit pun ada kampanye antiopium atau, misalnya, pasang spanduk say no to drug. ”Kami tidak pernah mengemukakan bahwa program ini untuk memberantas opium,” ujar Khun Chai.

Waktu program ”pembangunan alternatif” ini mulai dilaksanakan, sebenarnya masih ada juga yang menanam opium. Khun Chai tidak mempersoalkan, tidak menyindir. Mencela pun tidak. Apalagi mengharam-haramkan atau mendosa-dosakan.

Yayasan juga mengajak dan bersama-sama istri serta anak mereka untuk bertanam sayur dan holtikultura. Lalu, ditentukanlah di wilayah mana mereka boleh menanam. Program itu dimaksudkan agar tiga bulan kemudian mereka mulai punya sumber makanan sendiri. Kalau sumber sebagian makanan itu sudah tersedia, pembayaran penghutanan wilayah itu tidak akan dilakukan tiap hari lagi. Itu dilakukan untuk mendidik mereka ke arah hidup mandiri. Tidak diajari menjadi orang yang terus bergantung kepada program yayasan.

Karena itu, kalau upah harian menggali lubang tersebut semula habis untuk membeli bahan makanan, sejak mereka punya sayur dan holtikultura sendiri mulailah bisa menabung sedikit. Dengan demikian, persoalan jangka pendek dan menengah teratasi. Tinggal memikirkan kehidupan jangka panjang mereka agar tidak ada lagi pikiran bahwa suatu saat kelak akan kembali ke opium.

Program jangka panjang itulah yang dikaitkan dengan proyek penghutanan kembali Golden Triangle. Semula, sesuai dengan program Departemen Kehutanan, lubang-lubang tersebut ditanami pinus. Di mana-mana, termasuk di Indonesia dan Tiongkok, memang begitu: penghutanan kembali identik dengan pinusisasi. Itu kelihatannya hanya ikut apa yang diinstruksikan konsultan mereka dari Eropa. 

Di Eropa menanam pinus memang baik karena faktor salju dan rakyatnya sudah sejahtera. Tapi Khun Chai kemudian berpikir lain: menanam pinus itu salah. Tidak bisa menjadi sumber penghidupan rakyat dan menyerap air terlalu banyak. Padahal, Khun Chai ingin rakyat bisa hidup dari hutan itu nanti. Juga bisa menghemat sumber air yang demikian langka. (Pikiran seperti itu, kelak ketika Khun Chai diminta untuk menangani proyek serupa di Afghanistan, diterapkan dengan cara yang unik. Ikuti seri-seri selanjutnya tulisan ini) 

Khun Chai langsung mengganti pohon pinus itu dengan tanaman produktif. Dia memilih tanaman yang fungsi penghutanannya sama, tapi bisa menjadi sumber kontinu bagi kehidupan rakyat setempat. Dia putuskan untuk menanam macadamia yang buahnya bisa dijual mahal itu. Memang, pilihan ini semula dianggap kurang realistis. Asia Tenggara bukanlah penghasil macadamia. Dan lagi, ini bukan jenis pohon Asia. Dari mana mendapatkan bibitnya? ”Didatangkan dari Australia?” jawab Khun Chai.

Tentu setelah dilakukan penyedilikan akan tanahnya yang mendetail. Lalu, diadakan riset untuk membuat macadamia itu nanti bisa menghasilkan buah yang lebih baik dari di negara asalnya.

Karena itu, didatangkanlah satu kontainer bibit macadamia. Ibu Suri yang melakukan penanaman pertama pada 30 Mei 1989. (*)

No comments:

Post a Comment