Monday, January 19, 2009

Bank Kambing untuk Wilayah Golden Crescent

Senin, 19 Januari 2009 
Bank Kambing untuk Wilayah Golden Crescent
Strategi Merebut Hati dan Mengisi Perut di Golden Triangle (6-Habis)

Kesuksesan melenyapkan opium dari Golden Triangle membuat Khun Chai semakin menarik perhatian PBB. Kerja besar berikutnya menanti, yakni mengikis opium dari Afghanistan. Khun Chai menjawab tantangan itu. Kali ini tanpa Ibu Suri.

SETELAH pegunungan Doi Tung di Golden Triangle tidak lagi menghasilkan opium sama sekali, dari mana dunia mendapatkannya saat ini? Peranan itu diambil alih Afghanistan. Kini Afghanistan juga diberi gelar Golden Crescent (bulan sabit emas) sebagai pengganti Golden Triangle (segitiga emas). Afghanistan kini sudah memasok 90 persen opium dunia. Selebihnya dengan jumlah berimbang dari Myanmar dan Amerika Tengah/Selatan.

Perkebunan opium di Afghanistan pernah hampir setengah juta hektare (seluas Pulau Madura). Produksinya lebih dari 6 ribu ton. Nilainya sekitar USD 2,6 miliar (Rp 28,6 triliun) atau sepertiga GDP Afghanistan. Sebagian besar opium itu ditanam di Provinsi Helmand, provinsi terbesar di antara 34 provinsi di negeri ricuh itu. Letak provinsi ini di perbatasan dengan Pakistan, tepatnya berbatasan dengan Provinsi Baluchistan.

Kisah sukses Khun Chai menangani pegunungan Doi Tung membuat PBB juga menghendaki agar opium di Afghanistan, khususnya di Provinsi Helmand, bisa dilenyapkan dengan cara yang sama. Maka, ketika diminta menerapkan model pembangunan alternatif ala Doi Tung di Afghanistan, Khun Chai merasa tertantang. Meski sama-sama wilayah konflik, Afghanistan lebih gawat. Juga melibatkan negara adikuasa dengan senjata pemusnahnya.

”Saya harus belajar banyak dari orang Afghanistan, mengunjungi mereka berkali-kali dan berpikir keras jalan apa yang bisa dilakukan,” ujar Khun Chai. Soal risiko, dia tidak takut sama sekali. Toh, ketika menerapkan konsepnya di Doi Tung dulu, dia juga harus bersinggungan dengan keganasan sindikat narkotika internasional.

Khun Chai menemukan dua jalan: peternakan dan pertanian hortikultura. Ketika melakukan survei ke sana, dia melihat orang-orang kaya di pedesaan memiliki banyak domba. Mereka biasa mempekerjakan anak-anak miskin untuk menggembalakannya. Khun Chai melihat tingkat kematian kambing di Afghanistan mencapai 10 persen. Tidak termasuk yang kena bom nyasar. Itu murni akibat penyakit.

Di sini Khun Chai melihat peluang baru: mendirikan bank kambing. Orang-orang kaya itu diminta ”mendepositokan” kambing mereka di bank kambing ini. Mereka juga diberi ”bunga” berupa pertumbuhan kambing mereka yang meningkat. Bank kambing hanya minta jasa 10 persen dari pengembangan itu. Sebagaimana di Doi Tung, Thailand, ini juga memerlukan tingkat kepercayaan yang tinggi di awal-awalnya. Mana ada orang menyerahkan ratusan kambingnya ke orang lain?

Khun Chai tidak kurang akal. Mula-mula timnya hanya memberi jasa gratis kepada para pemilik kambing. Yakni, mengobati kambing-kambing mereka yang sakit. ”Kalau kami mengawali di Doi Tung dengan memberikan pengobatan gratis kepada manusia, di Afghanistan kami memberikan pengobatan gratis kepada kambing,” ujar Khun Chai berseloroh.

Khun Chai memang percaya untuk bisa bekerja baik, orang harus sehat dulu. Demikian juga kambing. Maka urutan prioritasnya selalu bikin sehat dulu, lalu diminta bekerja. Setelah itu, baru diminta sekolah. Akhirnya Khun Chai berhasil merebut hati rakyat Afghanistan. Maka, ketika Khun Chai memasyarakatkan program bank kambing, orang mulai percaya. Dalam waktu singkat bank kambing itu bisa mengumpulkan 3.000 kambing.

Ribuan kambing itu lantas ditempatkan di satu ladang penggembalaan yang dikelola Khun Chai. Kambing-kambing yang sakit dia kumpulkan di kandang-kandang terpisah sesuai jenis penyakitnya. Mereka ini dia perlakukan seperti nasabah yang terlibat kredit macet: diberi pengobatan dan penyehatan. Ratusan anak muda dipekerjakan di sini. ”Mereka memang sudah berpengalaman menggembala kambing. Hanya kali ini lebih profesional,” katanya.

Kabar adanya bank kambing itu kian meluas. Manfaatnya juga kian dirasakan. Maka, kian banyak orang yang menyerahkan kambing ke bank kambing itu. ”Sekarang sudah terkumpul 30.000 kambing,” ujar Khun Chai. Kalau semuanya lancar, Khun Chai akan terus mengembangkannya seperti di Doi Tung: kambing itu akan diproses lebih jauh. Dagingnya jadi daging olahan, susunya akan dikembangkan ke pembuatan yogurt, keju, dan seterusnya.

Pemilik kambing cukup mencatat kepemilikannya di buku aset mereka tanpa harus punya kandang dan tanpa harus repot-repot menggembalakannya sendiri. Sedangkan dampak sosialnya, kambing mereka menjadi sumber kehidupan ratusan penganggur. Bahkan, karena proyek ini nonprofit, sebagian anak-anak kambing itu bisa dimiliki penduduk yang semula tidak bisa punya kambing.

”Sebenarnya di Afghanistan ini lebih sulit. Tapi, karena kami sudah punya pengalaman di Thailand dan Myanmar, kesulitan di sini terbayar oleh kematangan tim kami,” ujarnya. ”Di Doi Tung dulu kami banyak belajar dari kesalahan,” tambahnya.

Khun Chai juga tahu bahwa sebagian tanah Afghanistan itu sangat subur dan cocok untuk tanaman tertentu. Khun Chai mendapat informasi bahwa sebelum perang Afghanistan adalah negeri pengekspor banyak hortikultura: aprikot, stroberi, buah granade (delima), dan banyak lagi. Khun Chai melihat tentu masyarakat di sana masih ingat zaman-zaman kejayaan itu. Tentu mereka juga masih ingat bagaimana bercocok tanam komoditas tersebut.

Tapi, lingkungan Afghanistan telah rusak. Termasuk di satu wilayah dekat Kandahar ini. Air, yang sangat diperlukan untuk tanaman, sangat langka. Memang ada sungai di situ, tapi tidak cukup untuk keperluan irigasi.

Khun Chai tidak menyerah. Dengan sedikit air itu, dia harus bisa mengembangkan hortikultura yang pernah jadi andalan Afghanistan. Caranya? ”Ini kan bisa pakai teknologi irigasi air menetes,” katanya. Yakni, satu cara yang sangat sulit, tapi sudah dibuktikan berhasil. Air yang sedikit itu dialirkan lewat pipa. Pipa-pipa itu dipasang di sepanjang lahan yang akan ditanami. Di tiap titik yang akan ditanami, pipa tersebut dilubangi. Lalu dari lubang itu dipasangi pipa lebih kecil yang ujungnya persis di akar tanaman.

Di induk pipanya dipasangi alat pengukur waktu otomatis. Artinya, pada jam-jam tertentu, pipa tersebut mengalirkan air. Lalu volume airnya diatur secara otomatis pula, agar tidak terjadi pemborosan air. Dengan cara ini tanaman hanya ditetesi air secukupnya, bukan dialiri.

Kesulitannya luar biasa dan sangat khas Afghanistan. Barangkali juga khas dari sebuah negara Islam. Kalau saja ini terjadi di Thailand, tidak akan jadi hambatan. Tapi di Afghanistan, Khun Chai harus benar-benar hati-hati: menyangkut agama. Mengapa? Di seluruh dunia hanya Israel yang paling ahli dalam penerapan teknologi pengairan tetes ini. Khun Chai hanya bisa mendapatkan ahlinya dari negara Yahudi itu.

Dari segi Yahudinya tidak masalah: mereka penjual teknologi. Yang dia perlukan adalah pasar. Kalau toh ada yang ditakutkan hanyalah keselamatan jiwa karena akan bertugas di daerah konflik. Ini pun bisa diatasi dengan menjual produknya lebih mahal karena harus tambah biaya asuransi.

Tapi, bagi orang Afghanistan ini urusan besar. Apakah mereka mau ada orang Yahudi menjadi guru di Afghanistan. Apakah mereka mau belajar dari orang Yahudi.

Khun Chai punya cara: mempertemukan orang-orang Afghanistan dan orang-orang Yahudi itu di Doi Tung. Toh Khun Chai memang harus mendidik banyak orang Afghanistan untuk belajar pertanian maju di Thailand. Terutama, mereka yang akan menjadi tenaga inti proyek pembangunan kembali pertanian di Kandahar itu. Akhirnya 30 orang Afghanistan didatangkan ke Doi Tung. Tentu setelah dites mengenai ketertarikannya akan pengembangan pertanian dan pengembangan masyarakat.

Lalu didatangkan pula lima orang Yahudi. Tiap satu orang Yahudi akan mengajar satu kelompok orang Afghanistan yang terdiri atas lima orang. Sebelum mereka berangkat ke Doi Tung, Khun Chai memberitahukan apakah mereka mau diajar oleh orang Yahudi. ”Kenapa Yahudi?” tanya mereka seperti dikutip Khun Chai. “Apakah tidak ada yang lain?” tanya mereka. Khun Chai menjelaskan, langkah ini dilakukan dengan amat terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Memang, ada teknologi serupa, tapi Israellah yang paling baik di dunia.

Akhirnya mereka bisa menerima. Khun Chai menceritakan, saat pertama mereka berkenalan di Doi Tung memang terjadi kekakuan-kekakuan. Tapi, orang seperti Khun Chai yang lincah dan humoris itu punya banyak cara. Apalagi, dia seorang Buddha yang pasti dijamin tidak pro ke mana-mana.

Pelajaran pun berjalan mulus. Memang ada beberapa ”murid” Afghanistan yang terpaksa dipulangkan, tapi tidak ada hubungannya dengan soal agama. Mereka dipulangkan karena tidak memenuhi kualifikasi. Selama 45 hari ”murid” Afghanistan itu diajari guru Yahudi. Kalau awalnya kaku, lama-lama cair. Lalu akrab. Tranfer teknologi pun terjadi dengan mulus. Bahkan, ketika tiba saatnya mengakhiri pelatihan itu, sesuatu yang dramatik terjadi. Saat perpisahan, si Afghan dan si Yahudi itu berangkulan lama dan saling menitikkan air mata.

Momentum itu sangat mahal. Apalagi, ada beberapa ahli dari Eropa yang menyaksikan. Rangkulan berair mata itu pun mengharukan mereka. Bukan saja mengharukan hati mereka, tapi juga kantong-kantong mereka. Itulah rangkulan bernilai hampir Rp 12 miliar. Melihat adegan itu, semua merasa optimistis bahwa proyek kemanusiaan di Afghanistan itu bakal sukses. Pemerintah Belgia, yang mendapat laporan air mata itu, langsung menghibahkan dana 800.000 Euro kepada mereka. Yakni, untuk melakukan studi aplikasi di lapangan.

Bank kambing dan pertanian air menetes kini berjalan lancar di Afghanistan. Ini bisa jadi pesaing tangguh bagi pendekatan kekuatan model Amerika Serikat. ”Berapa biaya yang sudah dikeluarkan Amerika untuk menyerang Afghanistan? Toh belum menyelesaikan persoalan,” katanya. ”Kalau biaya itu untuk proyek seperti ini, sudah dulu-dulu selesai,” tambahnya. Harga satu rudal saja sudah lebih mahal daripada harga semua kambing yang ada di bank kambing itu.

Khun Chai juga melihat kekeliruan lain dari pendekatan yang ada sekarang. Kini di Afghanistan banyak proyek besar, tapi yang kaya dari proyek itu orang-orang asing. Ini karena Amerika tidak mau memberikan proyek kepada para pengusaha Afghanistan karena mereka dianggap ”raja-raja” lokal.

Akibatnya, ”raja-raja” lokal itu kini menjadi penganggur, merasa diremehkan dan disingkirkan. Keadaan seperti itulah yang kemudian merusak tatanan sosial di sana yang mengakibatkan ketidakstabilan berkepanjangan. Mengapa ”raja-raja” lokal yang umumnya punya jiwa dagang itu tidak dipercaya menangani proyek-proyek pembangunan kembali Afghanistan? Mengapa proyek-proyek dengan dana miliaran dolar di Afghanistan itu jatuh ke pengusaha-pengusaha luar negeri?
Khun Chai terus tergoda oleh pertanyaan-pertanyaannya itu. Padahal, sebagaimana yang dia lakukan di sana, Khun Chai merasa justru masyarakat setempatlah yang paling tahu bagaimana harus membangun negeri itu.(*)

No comments:

Post a Comment