Bank Kambing untuk Wilayah Golden Crescent
Strategi Merebut Hati dan Mengisi Perut di Golden Triangle (6-Habis)
Kesuksesan melenyapkan opium dari Golden Triangle membuat Khun Chai
semakin menarik perhatian PBB. Kerja besar berikutnya menanti, yakni
mengikis opium dari Afghanistan. Khun Chai menjawab tantangan itu. Kali
ini tanpa Ibu Suri.
SETELAH pegunungan Doi Tung di Golden Triangle tidak lagi
menghasilkan opium sama sekali, dari mana dunia mendapatkannya saat ini?
Peranan itu diambil alih Afghanistan. Kini Afghanistan juga diberi
gelar Golden Crescent (bulan sabit emas) sebagai pengganti Golden
Triangle (segitiga emas). Afghanistan kini sudah memasok 90 persen opium
dunia. Selebihnya dengan jumlah berimbang dari Myanmar dan Amerika
Tengah/Selatan.
Perkebunan opium di Afghanistan pernah hampir setengah juta hektare
(seluas Pulau Madura). Produksinya lebih dari 6 ribu ton. Nilainya
sekitar USD 2,6 miliar (Rp 28,6 triliun) atau sepertiga GDP Afghanistan.
Sebagian besar opium itu ditanam di Provinsi Helmand, provinsi terbesar
di antara 34 provinsi di negeri ricuh itu. Letak provinsi ini di
perbatasan dengan Pakistan, tepatnya berbatasan dengan Provinsi
Baluchistan.
Kisah sukses Khun Chai menangani pegunungan Doi Tung membuat PBB juga
menghendaki agar opium di Afghanistan, khususnya di Provinsi Helmand,
bisa dilenyapkan dengan cara yang sama. Maka, ketika diminta menerapkan
model pembangunan alternatif ala Doi Tung di Afghanistan, Khun Chai
merasa tertantang. Meski sama-sama wilayah konflik, Afghanistan lebih
gawat. Juga melibatkan negara adikuasa dengan senjata pemusnahnya.
”Saya harus belajar banyak dari orang Afghanistan, mengunjungi mereka
berkali-kali dan berpikir keras jalan apa yang bisa dilakukan,” ujar
Khun Chai. Soal risiko, dia tidak takut sama sekali. Toh, ketika
menerapkan konsepnya di Doi Tung dulu, dia juga harus bersinggungan
dengan keganasan sindikat narkotika internasional.
Khun Chai menemukan dua jalan: peternakan dan pertanian hortikultura.
Ketika melakukan survei ke sana, dia melihat orang-orang kaya di
pedesaan memiliki banyak domba. Mereka biasa mempekerjakan anak-anak
miskin untuk menggembalakannya. Khun Chai melihat tingkat kematian
kambing di Afghanistan mencapai 10 persen. Tidak termasuk yang kena bom
nyasar. Itu murni akibat penyakit.
Di sini Khun Chai melihat peluang baru: mendirikan bank kambing.
Orang-orang kaya itu diminta ”mendepositokan” kambing mereka di bank
kambing ini. Mereka juga diberi ”bunga” berupa pertumbuhan kambing
mereka yang meningkat. Bank kambing hanya minta jasa 10 persen dari
pengembangan itu. Sebagaimana di Doi Tung, Thailand, ini juga memerlukan
tingkat kepercayaan yang tinggi di awal-awalnya. Mana ada orang
menyerahkan ratusan kambingnya ke orang lain?
Khun Chai tidak kurang akal. Mula-mula timnya hanya memberi jasa
gratis kepada para pemilik kambing. Yakni, mengobati kambing-kambing
mereka yang sakit. ”Kalau kami mengawali di Doi Tung dengan memberikan
pengobatan gratis kepada manusia, di Afghanistan kami memberikan
pengobatan gratis kepada kambing,” ujar Khun Chai berseloroh.
Khun Chai memang percaya untuk bisa bekerja baik, orang harus sehat
dulu. Demikian juga kambing. Maka urutan prioritasnya selalu bikin sehat
dulu, lalu diminta bekerja. Setelah itu, baru diminta sekolah. Akhirnya
Khun Chai berhasil merebut hati rakyat Afghanistan. Maka, ketika Khun
Chai memasyarakatkan program bank kambing, orang mulai percaya. Dalam
waktu singkat bank kambing itu bisa mengumpulkan 3.000 kambing.
Ribuan kambing itu lantas ditempatkan di satu ladang penggembalaan
yang dikelola Khun Chai. Kambing-kambing yang sakit dia kumpulkan di
kandang-kandang terpisah sesuai jenis penyakitnya. Mereka ini dia
perlakukan seperti nasabah yang terlibat kredit macet: diberi pengobatan
dan penyehatan. Ratusan anak muda dipekerjakan di sini. ”Mereka memang
sudah berpengalaman menggembala kambing. Hanya kali ini lebih
profesional,” katanya.
Kabar adanya bank kambing itu kian meluas. Manfaatnya juga kian
dirasakan. Maka, kian banyak orang yang menyerahkan kambing ke bank
kambing itu. ”Sekarang sudah terkumpul 30.000 kambing,” ujar Khun Chai.
Kalau semuanya lancar, Khun Chai akan terus mengembangkannya seperti di
Doi Tung: kambing itu akan diproses lebih jauh. Dagingnya jadi daging
olahan, susunya akan dikembangkan ke pembuatan yogurt, keju, dan
seterusnya.
Pemilik kambing cukup mencatat kepemilikannya di buku aset mereka
tanpa harus punya kandang dan tanpa harus repot-repot menggembalakannya
sendiri. Sedangkan dampak sosialnya, kambing mereka menjadi sumber
kehidupan ratusan penganggur. Bahkan, karena proyek ini nonprofit,
sebagian anak-anak kambing itu bisa dimiliki penduduk yang semula tidak
bisa punya kambing.
”Sebenarnya di Afghanistan ini lebih sulit. Tapi, karena kami sudah
punya pengalaman di Thailand dan Myanmar, kesulitan di sini terbayar
oleh kematangan tim kami,” ujarnya. ”Di Doi Tung dulu kami banyak
belajar dari kesalahan,” tambahnya.
Khun Chai juga tahu bahwa sebagian tanah Afghanistan itu sangat subur
dan cocok untuk tanaman tertentu. Khun Chai mendapat informasi bahwa
sebelum perang Afghanistan adalah negeri pengekspor banyak hortikultura:
aprikot, stroberi, buah granade (delima), dan banyak lagi. Khun Chai
melihat tentu masyarakat di sana masih ingat zaman-zaman kejayaan itu.
Tentu mereka juga masih ingat bagaimana bercocok tanam komoditas
tersebut.
Tapi, lingkungan Afghanistan telah rusak. Termasuk di satu wilayah
dekat Kandahar ini. Air, yang sangat diperlukan untuk tanaman, sangat
langka. Memang ada sungai di situ, tapi tidak cukup untuk keperluan
irigasi.
Khun Chai tidak menyerah. Dengan sedikit air itu, dia harus bisa
mengembangkan hortikultura yang pernah jadi andalan Afghanistan.
Caranya? ”Ini kan bisa pakai teknologi irigasi air menetes,” katanya.
Yakni, satu cara yang sangat sulit, tapi sudah dibuktikan berhasil. Air
yang sedikit itu dialirkan lewat pipa. Pipa-pipa itu dipasang di
sepanjang lahan yang akan ditanami. Di tiap titik yang akan ditanami,
pipa tersebut dilubangi. Lalu dari lubang itu dipasangi pipa lebih kecil
yang ujungnya persis di akar tanaman.
Di induk pipanya dipasangi alat pengukur waktu otomatis. Artinya,
pada jam-jam tertentu, pipa tersebut mengalirkan air. Lalu volume airnya
diatur secara otomatis pula, agar tidak terjadi pemborosan air. Dengan
cara ini tanaman hanya ditetesi air secukupnya, bukan dialiri.
Kesulitannya luar biasa dan sangat khas Afghanistan. Barangkali juga
khas dari sebuah negara Islam. Kalau saja ini terjadi di Thailand, tidak
akan jadi hambatan. Tapi di Afghanistan, Khun Chai harus benar-benar
hati-hati: menyangkut agama. Mengapa? Di seluruh dunia hanya Israel yang
paling ahli dalam penerapan teknologi pengairan tetes ini. Khun Chai
hanya bisa mendapatkan ahlinya dari negara Yahudi itu.
Dari segi Yahudinya tidak masalah: mereka penjual teknologi. Yang dia
perlukan adalah pasar. Kalau toh ada yang ditakutkan hanyalah
keselamatan jiwa karena akan bertugas di daerah konflik. Ini pun bisa
diatasi dengan menjual produknya lebih mahal karena harus tambah biaya
asuransi.
Tapi, bagi orang Afghanistan ini urusan besar. Apakah mereka mau ada
orang Yahudi menjadi guru di Afghanistan. Apakah mereka mau belajar dari
orang Yahudi.
Khun Chai punya cara: mempertemukan orang-orang Afghanistan dan
orang-orang Yahudi itu di Doi Tung. Toh Khun Chai memang harus mendidik
banyak orang Afghanistan untuk belajar pertanian maju di Thailand.
Terutama, mereka yang akan menjadi tenaga inti proyek pembangunan
kembali pertanian di Kandahar itu. Akhirnya 30 orang Afghanistan
didatangkan ke Doi Tung. Tentu setelah dites mengenai ketertarikannya
akan pengembangan pertanian dan pengembangan masyarakat.
Lalu didatangkan pula lima orang Yahudi. Tiap satu orang Yahudi akan
mengajar satu kelompok orang Afghanistan yang terdiri atas lima orang.
Sebelum mereka berangkat ke Doi Tung, Khun Chai memberitahukan apakah
mereka mau diajar oleh orang Yahudi. ”Kenapa Yahudi?” tanya mereka
seperti dikutip Khun Chai. “Apakah tidak ada yang lain?” tanya mereka.
Khun Chai menjelaskan, langkah ini dilakukan dengan amat terpaksa karena
tidak ada pilihan lain. Memang, ada teknologi serupa, tapi Israellah
yang paling baik di dunia.
Akhirnya mereka bisa menerima. Khun Chai menceritakan, saat pertama
mereka berkenalan di Doi Tung memang terjadi kekakuan-kekakuan. Tapi,
orang seperti Khun Chai yang lincah dan humoris itu punya banyak cara.
Apalagi, dia seorang Buddha yang pasti dijamin tidak pro ke mana-mana.
Pelajaran pun berjalan mulus. Memang ada beberapa ”murid” Afghanistan
yang terpaksa dipulangkan, tapi tidak ada hubungannya dengan soal
agama. Mereka dipulangkan karena tidak memenuhi kualifikasi. Selama 45
hari ”murid” Afghanistan itu diajari guru Yahudi. Kalau awalnya kaku,
lama-lama cair. Lalu akrab. Tranfer teknologi pun terjadi dengan mulus.
Bahkan, ketika tiba saatnya mengakhiri pelatihan itu, sesuatu yang
dramatik terjadi. Saat perpisahan, si Afghan dan si Yahudi itu
berangkulan lama dan saling menitikkan air mata.
Momentum itu sangat mahal. Apalagi, ada beberapa ahli dari Eropa yang
menyaksikan. Rangkulan berair mata itu pun mengharukan mereka. Bukan
saja mengharukan hati mereka, tapi juga kantong-kantong mereka. Itulah
rangkulan bernilai hampir Rp 12 miliar. Melihat adegan itu, semua merasa
optimistis bahwa proyek kemanusiaan di Afghanistan itu bakal sukses.
Pemerintah Belgia, yang mendapat laporan air mata itu, langsung
menghibahkan dana 800.000 Euro kepada mereka. Yakni, untuk melakukan
studi aplikasi di lapangan.
Bank kambing dan pertanian air menetes kini berjalan lancar di
Afghanistan. Ini bisa jadi pesaing tangguh bagi pendekatan kekuatan
model Amerika Serikat. ”Berapa biaya yang sudah dikeluarkan Amerika
untuk menyerang Afghanistan? Toh belum menyelesaikan persoalan,”
katanya. ”Kalau biaya itu untuk proyek seperti ini, sudah dulu-dulu
selesai,” tambahnya. Harga satu rudal saja sudah lebih mahal daripada
harga semua kambing yang ada di bank kambing itu.
Khun Chai juga melihat kekeliruan lain dari pendekatan yang ada
sekarang. Kini di Afghanistan banyak proyek besar, tapi yang kaya dari
proyek itu orang-orang asing. Ini karena Amerika tidak mau memberikan
proyek kepada para pengusaha Afghanistan karena mereka dianggap
”raja-raja” lokal.
Akibatnya, ”raja-raja” lokal itu kini menjadi penganggur, merasa
diremehkan dan disingkirkan. Keadaan seperti itulah yang kemudian
merusak tatanan sosial di sana yang mengakibatkan ketidakstabilan
berkepanjangan. Mengapa ”raja-raja” lokal yang umumnya punya jiwa dagang
itu tidak dipercaya menangani proyek-proyek pembangunan kembali
Afghanistan? Mengapa proyek-proyek dengan dana miliaran dolar di
Afghanistan itu jatuh ke pengusaha-pengusaha luar negeri?
Khun Chai terus tergoda oleh pertanyaan-pertanyaannya itu. Padahal,
sebagaimana yang dia lakukan di sana, Khun Chai merasa justru masyarakat
setempatlah yang paling tahu bagaimana harus membangun negeri itu.(*)
No comments:
Post a Comment