Saturday, January 17, 2009

Terinspirasi Kualitas Kopi dari Luwak Brrruuuttt….

Sabtu, 17 Januari 2009 
Terinspirasi Kualitas Kopi dari Luwak Brrruuuttt….
Strategi Merebut Hati dan Mengisi Perut di Golden Triangle (4)

Produk holtikultura pengganti opium mulai membuahkan hasil. Agar bisa bertahan dan menguat di pasar, Kun Chai mempunyai cara kreatif bagaimana memasarkan produk-produk Doi Tung.

KINI sebagian wilayah Doi Tung yang dikenal sebagai pusat ladang opium dunia sudah menjadi hutan macadamia. Banyak yang sudah berbuah pula. Pohonnya memang sudah tinggi-tinggi dan dari kejauhan pun pegunungan itu terlihat seperti hutan. Bukan hutan pinus, tapi hutan macadamia!

Terdapat 200.000 pohon macadamia di Doi Tung. Tiap pohon akan menghasilkan 40 kg kacang macadamia. Tahun lalu saja, meski baru sebagian yang berbuah, tanaman itu sudah menghasilkan 380 ton. Sudah bisa mulai menjadi sumber kehidupan yang kontinu bagi masyarakat setempat.

Bahkan, di situ sudah mendirikan pabrik pemrosesan, pengolahan, dan pengemasan kacang macadamia. Selain untuk mendapatkan nilai tambah, itu untuk menampung tenaga kerja setempat. Mereka bikin snack macadamia berbagai rasa: asin, bawang, rasa rumput laut, wasabi, dan banyak lagi. Baru di sini saya makan macadamia rasa wasabi. Mereka memang terus menciptakan jenis tanaman, jenis industri makanan, jenis kemasan, dan resep mereka sendiri. Makanan Thailand memang sudah menjadi salah satu senjata unggulan bagi promosi negeri itu di seluruh dunia.

Tidak semua lahan ditanami macadamia. Kawasan tersebut terlalu luas. Beberapa plot lainnya ditanami kopi. Kebun kopinya sudah seluas 820 ha. Juga sudah jadi. Sudah 2 juta pohon berbuah.

Uniknya, kebun kopi itu tidak dikelola seperti perkebunan kopi pada umumnya bahwa rakyat setempat sebagai buruh pemetik kopi. Di Doi Tung, rakyat tidak sekadar menjadi buruh. Rakyat menjadi pemilik: pemilik pohonnya saja, bukan sekalian dengan tanahnya. Yayasan Ibu Suri memang memilih strategi menyewakan pohon-pohon kopi itu kepada petani. Tentu dengan uang sewa yang bukan saja terjangkau, tapi begitu murahnya sehingga saya lihat sewa-menyewa itu hanya sebagai ”ijab kabul” bahwa sejak hari itu pohon-pohon tersebut telah menjadi milik mereka.

Sejak sistem persewaan pohon itu dijalankan, produktivitas dan kualitas kopinya naik drastis. ”Petani merasa kopi itu milik mereka sendiri,” ujar Khun Chai di hadapan delegasi dari Indonesia. Di dalam delegasi ini, selain dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dipimpin Komjen Pol Gories Mere dan dari tim Artha Graha Peduli yang dipimpin sendiri oleh Tomy Winata, ada Brigjen Pol Surya Darma dan Kol Tomy Sugiman dari Satgas Antiteror. Di luar tugasnya sebagai pemberantas teroris, Brigjen Surya Darma saya lihat sangat gelisah untuk bisa menemukan pemikiran dan cara-cara baru mengatasi terorisme dengan jalan yang tidak seperti dilakukan Amerika.

Bagaimana penyewaan pohon kopi itu bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas? ”Kalau petani hanya disuruh bekerja memetik kopi, pasti kopi yang baru kelihatan agak merah sudah ikut mereka petik. Tapi, dengan memiliki sendiri, petani benar-benar hanya memetik kopi yang sudah merah masak,” ujar Khun Chai. Dengan demikian, kopi yang diolah kelak benar-benar hanya kopi yang memang sudah masak. Logika itu dia samakan dengan kopi luwak di Indonesia. ”Luwak kan hanya mau makan kopi yang sudah masak di pohon,” ujar Khun Chai yang ternyata bisa mengucapkan kata ”luwak” dengan nada yang sempurna. ”Kalau luwak sudah brrruuutttt, biji kopi yang keluar dari sininya memang biji kopi yang terpilih,” katanya sambil menudingkan jarinya ke pantatnya dan merendahkan pantatnya memeragakan bagaimana luwak buang kotoran.

Dengan kiat itu, secara berseloroh Khun Chai berani bertaruh bahwa dalam waktu dekat kopi terbaik di Asia akan datang dari Doi Tung. ”Bukan lagi dari Indonesia,” katanya. ”Kami punya ribuan luwak di sini,” guraunya. Sistem penyewaan pohon itu, kata Khun Chai, berhasil menaikkan kualitas kopi sampai tiga kali dari sebelumnya. Sedangkan produktivitasnya bisa naik dua kali lipat.

Upaya menyejahterakan petani kopi belum berhenti di sini. Khun Chai tidak mau kalau rakyat menjual kopi mentah. Petani harus memprosesnya dan bahkan mengolahnya. ”Harga kopi mentah cuma 0,5 dolar per kg. Kalau sudah dikeringkan, harganya langsung naik menjadi 2 dolar per kg. Dan, kalau sudah dibuat bubuk yang dijual dalam kaleng, bisa mencapai 20 dolar per kg,” ujar Khun Chai. ”Karena itu, kami membuat pabrik kopi agar bisa menjual kopi dalam bentuk sudah jadi bubuk,” tambahnya. Mereknya juga Doi Tung. Kopi Doi Tung akan dipromosikan secara besar-besaran sebagai kopi luwak Thailand.

Langkah berikutnya adalah mendirikan dan memperluas kafe ”Kopi Doi Tung”, semacam Starbucks. ”Kopi, kalau sudah di kafe, bisa laku 100 dolar per kg. Bandingkan dengan hanya 0,5 atau 2 dolar per kg di tangan petani,” tegasnya. Khun Chai bertekad, dengan melakukan penjagaan atas kualitas yang keras, bisa menjadikan kopi Doi Tung mengalahkan kopi apa pun yang menguasai kafe saat ini. Termasuk di Starbucks sekalipun.

Macadamia Doi Tung, kopi Doi Tung, dan sayur bebas kimia Doi Tung belum cukup. Masih ada perkebunan teh yang juga dikelola dan diolah dengan pemikiran yang sama. Jadilah teh Doi Tung.

Di samping untuk memasok supermarket dan dimakan sendiri, diapakan hasil holtikultura yang kini sudah total menggantikan ladang opium di Golden Triangle itu? Juga harus dibuat snack. Maka, snack yang di dalamnya berisi campuran irisan wortel, mentimun, pisang, apel, dan entah apa lagi diciptakan. Rasanya rame. Mentimun pun dalam bentuk snack ternyata gurih juga.

Khun Chai tidak mau produk-produk serba-Doi Tung ini masuk begitu saja ke supermarket atau toko biasa. Sebagai produk baru, dia melihat merek-merek Doi Tung akan langsung tenggelam kalau harus dipersaingkan dengan produk-produk lama yang sudah berjaya di pasar. Doi Tung lantas mendirikan toko-toko Doi Tung. Di kawasan Doi Tung sendiri maupun di Bangkok. ”Di Bangkok kami sudah punya lima toko Doi Tung. Dan, masih akan tambah terus,” ujar Khun Chai.

Toko-toko Doi Tung selalu khas: ada satu seksi yang menjual produk-produk industri makanan Doi Tung, ada satu seksi berupa kafe Doi Tung, ada satu seksi menjual bibit tanaman dan bunga Doi Tung, lalu ada satu seksi lagi menjual hasil kerajinan tangan Doi Tung.

Doi Tung punya nilai tambah untuk bahan promosinya. Di semua kemasan produk Doi Tung ditempelkan pernyataan dari UNESCO bahwa produk ini telah berjasa dalam memberantas opium dan menghutankan kawasan pegunungan. Lalu, ada lambang Perserikatan Bangsa-Bangsanya di atasnya.

Kini opium sudah menjadi masa lalu yang jauh di golden triangle. Apalagi, pemerintah Myanmar juga meminta agar Khun Chai menangani yang di sisi Myanmar. Dulu, perbatasan Thai-Myanmar itu tidak jelas. Hanya sama-sama berupa gunung gundul yang gersang. Kini perbatasan itu amat jelas: yang rimbun hijau itu adalah wilayah Thailand. Sedangkan yang masih gundul adalah wilayah Myanmar. Itu mirip dengan bagaimana cara membedakan wilayah Indonesia dan Malaysia di Pulau Sebatik, yang terbagi dua di bagian utara Kaltim itu. Yang terlihat hijau, tertata rapi, dan menyenangkan itu adalah wilayah Malaysia dengan tanaman kelapa sawitnya yang subur. Sisi yang berbeda adalah wilayah Indonesia. (*)

No comments:

Post a Comment