Terinspirasi Kualitas Kopi dari Luwak Brrruuuttt….
Strategi Merebut Hati dan Mengisi Perut di Golden Triangle (4)
Produk holtikultura pengganti opium mulai membuahkan hasil. Agar bisa
bertahan dan menguat di pasar, Kun Chai mempunyai cara kreatif
bagaimana memasarkan produk-produk Doi Tung.
KINI sebagian wilayah Doi Tung yang dikenal sebagai pusat ladang
opium dunia sudah menjadi hutan macadamia. Banyak yang sudah berbuah
pula. Pohonnya memang sudah tinggi-tinggi dan dari kejauhan pun
pegunungan itu terlihat seperti hutan. Bukan hutan pinus, tapi hutan
macadamia!
Terdapat 200.000 pohon macadamia di Doi Tung. Tiap pohon akan
menghasilkan 40 kg kacang macadamia. Tahun lalu saja, meski baru
sebagian yang berbuah, tanaman itu sudah menghasilkan 380 ton. Sudah
bisa mulai menjadi sumber kehidupan yang kontinu bagi masyarakat
setempat.
Bahkan, di situ sudah mendirikan pabrik pemrosesan, pengolahan, dan
pengemasan kacang macadamia. Selain untuk mendapatkan nilai tambah, itu
untuk menampung tenaga kerja setempat. Mereka bikin snack macadamia
berbagai rasa: asin, bawang, rasa rumput laut, wasabi, dan banyak lagi.
Baru di sini saya makan macadamia rasa wasabi. Mereka memang terus
menciptakan jenis tanaman, jenis industri makanan, jenis kemasan, dan
resep mereka sendiri. Makanan Thailand memang sudah menjadi salah satu
senjata unggulan bagi promosi negeri itu di seluruh dunia.
Tidak semua lahan ditanami macadamia. Kawasan tersebut terlalu luas.
Beberapa plot lainnya ditanami kopi. Kebun kopinya sudah seluas 820 ha.
Juga sudah jadi. Sudah 2 juta pohon berbuah.
Uniknya, kebun kopi itu tidak dikelola seperti perkebunan kopi pada
umumnya bahwa rakyat setempat sebagai buruh pemetik kopi. Di Doi Tung,
rakyat tidak sekadar menjadi buruh. Rakyat menjadi pemilik: pemilik
pohonnya saja, bukan sekalian dengan tanahnya. Yayasan Ibu Suri memang
memilih strategi menyewakan pohon-pohon kopi itu kepada petani. Tentu
dengan uang sewa yang bukan saja terjangkau, tapi begitu murahnya
sehingga saya lihat sewa-menyewa itu hanya sebagai ”ijab kabul” bahwa
sejak hari itu pohon-pohon tersebut telah menjadi milik mereka.
Sejak sistem persewaan pohon itu dijalankan, produktivitas dan
kualitas kopinya naik drastis. ”Petani merasa kopi itu milik mereka
sendiri,” ujar Khun Chai di hadapan delegasi dari Indonesia. Di dalam
delegasi ini, selain dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dipimpin Komjen
Pol Gories Mere dan dari tim Artha Graha Peduli yang dipimpin sendiri
oleh Tomy Winata, ada Brigjen Pol Surya Darma dan Kol Tomy Sugiman dari
Satgas Antiteror. Di luar tugasnya sebagai pemberantas teroris, Brigjen
Surya Darma saya lihat sangat gelisah untuk bisa menemukan pemikiran dan
cara-cara baru mengatasi terorisme dengan jalan yang tidak seperti
dilakukan Amerika.
Bagaimana penyewaan pohon kopi itu bisa meningkatkan produktivitas
dan kualitas? ”Kalau petani hanya disuruh bekerja memetik kopi, pasti
kopi yang baru kelihatan agak merah sudah ikut mereka petik. Tapi,
dengan memiliki sendiri, petani benar-benar hanya memetik kopi yang
sudah merah masak,” ujar Khun Chai. Dengan demikian, kopi yang diolah
kelak benar-benar hanya kopi yang memang sudah masak. Logika itu dia
samakan dengan kopi luwak di Indonesia. ”Luwak kan hanya mau makan kopi
yang sudah masak di pohon,” ujar Khun Chai yang ternyata bisa
mengucapkan kata ”luwak” dengan nada yang sempurna. ”Kalau luwak sudah
brrruuutttt, biji kopi yang keluar dari sininya memang biji kopi yang
terpilih,” katanya sambil menudingkan jarinya ke pantatnya dan
merendahkan pantatnya memeragakan bagaimana luwak buang kotoran.
Dengan kiat itu, secara berseloroh Khun Chai berani bertaruh bahwa
dalam waktu dekat kopi terbaik di Asia akan datang dari Doi Tung. ”Bukan
lagi dari Indonesia,” katanya. ”Kami punya ribuan luwak di sini,”
guraunya. Sistem penyewaan pohon itu, kata Khun Chai, berhasil menaikkan
kualitas kopi sampai tiga kali dari sebelumnya. Sedangkan
produktivitasnya bisa naik dua kali lipat.
Upaya menyejahterakan petani kopi belum berhenti di sini. Khun Chai
tidak mau kalau rakyat menjual kopi mentah. Petani harus memprosesnya
dan bahkan mengolahnya. ”Harga kopi mentah cuma 0,5 dolar per kg. Kalau
sudah dikeringkan, harganya langsung naik menjadi 2 dolar per kg. Dan,
kalau sudah dibuat bubuk yang dijual dalam kaleng, bisa mencapai 20
dolar per kg,” ujar Khun Chai. ”Karena itu, kami membuat pabrik kopi
agar bisa menjual kopi dalam bentuk sudah jadi bubuk,” tambahnya.
Mereknya juga Doi Tung. Kopi Doi Tung akan dipromosikan secara
besar-besaran sebagai kopi luwak Thailand.
Langkah berikutnya adalah mendirikan dan memperluas kafe ”Kopi Doi
Tung”, semacam Starbucks. ”Kopi, kalau sudah di kafe, bisa laku 100
dolar per kg. Bandingkan dengan hanya 0,5 atau 2 dolar per kg di tangan
petani,” tegasnya. Khun Chai bertekad, dengan melakukan penjagaan atas
kualitas yang keras, bisa menjadikan kopi Doi Tung mengalahkan kopi apa
pun yang menguasai kafe saat ini. Termasuk di Starbucks sekalipun.
Macadamia Doi Tung, kopi Doi Tung, dan sayur bebas kimia Doi Tung
belum cukup. Masih ada perkebunan teh yang juga dikelola dan diolah
dengan pemikiran yang sama. Jadilah teh Doi Tung.
Di samping untuk memasok supermarket dan dimakan sendiri, diapakan
hasil holtikultura yang kini sudah total menggantikan ladang opium di
Golden Triangle itu? Juga harus dibuat snack. Maka, snack yang di
dalamnya berisi campuran irisan wortel, mentimun, pisang, apel, dan
entah apa lagi diciptakan. Rasanya rame. Mentimun pun dalam bentuk snack
ternyata gurih juga.
Khun Chai tidak mau produk-produk serba-Doi Tung ini masuk begitu
saja ke supermarket atau toko biasa. Sebagai produk baru, dia melihat
merek-merek Doi Tung akan langsung tenggelam kalau harus dipersaingkan
dengan produk-produk lama yang sudah berjaya di pasar. Doi Tung lantas
mendirikan toko-toko Doi Tung. Di kawasan Doi Tung sendiri maupun di
Bangkok. ”Di Bangkok kami sudah punya lima toko Doi Tung. Dan, masih
akan tambah terus,” ujar Khun Chai.
Toko-toko Doi Tung selalu khas: ada satu seksi yang menjual
produk-produk industri makanan Doi Tung, ada satu seksi berupa kafe Doi
Tung, ada satu seksi menjual bibit tanaman dan bunga Doi Tung, lalu ada
satu seksi lagi menjual hasil kerajinan tangan Doi Tung.
Doi Tung punya nilai tambah untuk bahan promosinya. Di semua kemasan
produk Doi Tung ditempelkan pernyataan dari UNESCO bahwa produk ini
telah berjasa dalam memberantas opium dan menghutankan kawasan
pegunungan. Lalu, ada lambang Perserikatan Bangsa-Bangsanya di atasnya.
Kini opium sudah menjadi masa lalu yang jauh di golden triangle.
Apalagi, pemerintah Myanmar juga meminta agar Khun Chai menangani yang
di sisi Myanmar. Dulu, perbatasan Thai-Myanmar itu tidak jelas. Hanya
sama-sama berupa gunung gundul yang gersang. Kini perbatasan itu amat
jelas: yang rimbun hijau itu adalah wilayah Thailand. Sedangkan yang
masih gundul adalah wilayah Myanmar. Itu mirip dengan bagaimana cara
membedakan wilayah Indonesia dan Malaysia di Pulau Sebatik, yang terbagi
dua di bagian utara Kaltim itu. Yang terlihat hijau, tertata rapi, dan
menyenangkan itu adalah wilayah Malaysia dengan tanaman kelapa sawitnya
yang subur. Sisi yang berbeda adalah wilayah Indonesia. (*)
No comments:
Post a Comment