Setiap Tiga Bulan, Ganti Ratusan Ribu Tanaman Bunga
Merebut Hati dan Mengisi Perut di Golden Triangle (5)
Menanam opium jauh lebih mudah dibanding menanam teh atau tanaman
hortikultura lain. Tetapi, kerja keras ternyata memang mendatangkan
kesejahteraan, tak seperti dulu ketika masih berladang tanaman narkoba
itu.
RAKYAT sendiri sebenarnya mengaku menanam opium tidak pernah bisa
membuat mereka hidup layak. Tidak hanya di Golden Triangle ini, tapi
juga di mana pun di dunia ini. Buktinya, tidak ada petani opium yang
hidupnya sejahtera. Termasuk di Afghanistan yang sekarang praktis sudah
menggantikan peranan Golden Triangle sebagai pemasok opium dunia. Yang
sejahtera hanyalah pedagangnya, sindikatnya, dan beking-bekingnya.
“Ini kan pekerjaan turun-temurun. Hanya menanam opiumlah yang kami
tahu dan kami bisa,” ujar Chakree, 54, mantan petani opium di Golden
Triangle. Hari itu, dengan kendaraan khusus, kami memang naik ke gunung
yang paling tinggi di situ. Inilah wilayah terbaik untuk menanam opium:
ketinggiannya 1.500 meter, dekat perbatasan dan jauh dari pengawasan.
(Ketika menunggu operasi ganti hati di rumah sakit Tianjin dulu, saya
bertemu orang Shenyang, yang bercerita setelah tiga tahun ganti hati
sudah bisa naik gunung. Saya kagum dan tidak membayangkan orang yang
sudah ganti hati masih bisa melakukan itu. Kini, saya yang baru 1,5
tahun ganti hati, ternyata juga sudah bisa ke Golden Triangle).
Kami juga ke gunung lainnya lagi, tempat para petani menanam teh.
”Sekarang saya pedagang teh dan mengelola pabrik teh ini,” ujar
Mananchai. “Dulu saya memang bukan petani opium, tapi pengepul. Lalu
menjualnya ke pabrik di sana,” ujar Mananchai sambil menunjuk ke arah
gunung yang sudah masuk wilayah Myanmar. Semua pabrik pengolahan candu
memang berada di gunung sana itu, meski penduduk setempat umumnya tidak
tahu kalau itu sudah wilayah negara lain. Maklum, ratusan tahun wilayah
ini (sebagian Thailand, sebagian Myanmar, dan sebagian lagi Laos) memang
sudah seperti satu ”negara” sendiri, berada di bawah kekuasaan sindikat
Khun Sa (bukan Khun Sha seperti tulisan sebelumnya, Red), jauh dari
jangkauan masing-masing pemerintahnya.
Ke gunung yang lain lagi kami menemui petani yang wilayahnya sekarang
jadi kawasan penanaman bunga. Kalau di kawasan teh ada pabrik tehnya,
di kawasan macadamia ada pabrik pengolahan macadamianya, di kawasan
pertanian bunga ada pusat rekreasi berbasis taman bunga. Ke sinilah
terbanyak wisatawan mengunjungi Doi Tung. Taman yang luas dan ditata
menarik ini memang penuh dengan aneka bunga. Musim apa pun orang ke
situ, akan selalu penuh bunga.
”Setiap tiga bulan kami mengganti seluruh bunga di taman ini, di
sesuaikan dengan bunga apa saja yang mekar di saat itu,” ujar petani
bunga di situ. Mengganti ratusan ribu tanaman bunga itu setiap tiga
bulan? “Ya! Karena itu para petani bunga pun terus sibuk sepanjang
tahun. Wisatawan juga selalu mendapatkan kebun yang penuh bunga, kapan
pun mereka ke sini,” tambahnya.
Obrolan kami dengan Mananchai bisa lebih detail karena dia bisa
berbahasa Mandarin. “Nama Mandarin saya Li Ke Yuan. Leluhur saya dari
Provinsi Yunnan,” ujarnya. Di desanya itu, sejak dulu sudah ada sekolah
yang berbahasa Mandarin. Yunnan memang tidak jauh dari situ. ”Gunung
yang sana itu sudah masuk Yunnan,” katanya. Melihat kulit, wajah, mata,
hidung, dan sosok Li Ke Yuan ini, saya pun kembali ingat akan pendapat
ahli bahwa orang Indonesia berasal dari Yunnan.
Memang kawasan ini dilewati Sungai Mekong yang hulunya berada di
Provinsi Tiongkok itu. Sungai ini sangat lebar, cukup untuk lalu lintas
kapal. Bahkan, di kawasan Golden Triangle ini, yang letaknya di
pegunungan yang jauh dari laut, terdapat pelabuhan internasional.
Disebut ”internasional” karena kapal-kapal itu mondar-mandir di sungai
yang entah milik siapa. Komunitas di sepanjang sungai ini pun, dulu,
juga tidak tahu apakah mereka orang Yunnan, Myarmar, Thailand, atau
Laos. Mereka terdiri atas suku-suku pegunungan yang kalau di Indonesia
disebut suku terasing yang tidak mengenal batas. Di Doi Tung ini saja,
terdapat tujuh suku pegunungan, dengan tujuh bahasa yang berbeda.
”Harus kami akui kehidupan kami sekarang jauh lebih baik daripada
saat jadi petani opium,” ujar Chakree. ”Tapi, kami juga harus bekerja
lebih keras dan terus berpikir bagaimana hasil pertanian kami lebih
baik,” tambahnya. Sedangkan saat menanam opium dulu sangat mudah. Satu
buah opium yang tidak sampai sebesar bola tenis itu, berisi ribuan biji
yang bisa ditabur begitu saja. Lalu biji-biji itu akan tumbuh sendiri
tanpa harus dipupuk, dirawat, dan disiangi. Setelah dua bulan, tumbuhan
sudah setinggi satu meter, lalu berbunga tunggal di ujungnya. Setelah
bunga mekar dan kelopak-kelopaknya jatuh, biji hijau yang
ditengah-tengah buah itu membesar. Setelah tua, atau tiga bulan setelah
penanaman, barulah ada pekerjaan: memanen. Caranya: buah itu
digores-gores dengan alat peluka. Dari kulit buah itu akan keluar
”getah”, mengalir pelan-pelan, tidak sampai menetes dan mengental
menempel di buah itu. Delapan jam kemudian, ”getah” tadi siap untuk
diambili. Setiap buah menghasilkan getah sekitar 2 gram saja. Seorang
petani setiap hari bisa mengumpulkan getah hanya sekitar 0,5 kg dan
membungkusnya dengan kain belacu seperti membungkus bata. Orang seperti
Li Ke Yuang membelinya dari para petani yang sebenarnya juga sudah
banyak berutang uang muka darinya.
Di pabrik, bungkusan itu dirobek dan tanpa membuang bungkusnya
langsung dimasukkan wajan yang airnya sudah mendidih. Ketika getah sudah
larut jadi air, dilakukan penyaringan dengan cara dituangkan di ember
yang permukaannya diberi saringan kain. Air getah satu ember ini terus
direbus sampai agak mengental. Lalu dimasukkan kaleng untuk dijual
sebagai candu ke pedagang besar. Barang ini bisa dijual begitu saja
sebagai candu, bisa diolah lagi di pabrik heroin, agar kegilaannya naik
10 kali lipat. Lalu masih bisa diolah lagi untuk meningkatkan lagi
kelipatannya. Juga kelipatan keuntungannya.
Kini yang dipikirkan, kelipatan itu yang juga diajarkan kepada
petani. Misalnya, bagaimana petani bambu jangan hanya menjual bambu ke
kota, tapi menjadikannya untuk pipa-pipa air yang akan membawa air dari
gunung di atas ke lahan yang lebih rendah. Lalu pipa-pipa itu bisa
menggerojokkan air untuk turbin-turbin mini yang masing-masing bisa
menghasilkan listrik cukup untuk delapan bola lampu. Setelah dipakai
turbin, baru airnya untuk rumah-rumah: masak, mandi, cuci. Juga untuk
minum ternak dan memandikannya. Dari sini air baru boleh untuk mengairi
wortel, kentang, kacang panjang, ketimun dan seterusnya. Tanaman harus
dipupuk dengan kotoran ternak yang diminumi tadi. Hasil tanaman itu juga
tidak boleh dijual begitu saja semuanya. Harus ada yang diiris-iris,
dikeringkan, digoreng, dan diproses jadi snack untuk masuk ke toko-toko.
Suku pegunungan itu pun kini sudah berpikir dan menjalankan praktik
ekonomi seperti itu. Tidak perlu membeli pipa PVC ke kota. Tidak perlu
bayar listrik. Tidak perlu beli pupuk. Tidak perlu banyak pengeluaran.
Yang harus banyak adalah pemasukan. Dan orang seperti Li Ke Yuan
kemudian bisa menyekolahkan anaknya ke Taiwan dan kini bekerja di
Taipei.
Semua itu tidak akan tercapai kalau saja Khun Chai gagal merebut hati
rakyat dan mengisi perut mereka. Karena itu, sejak awal tidak ada
kata-kata dan program yang menyalahkan rakyat sama sekali. Ketika
bulan-bulan pertama mereka masih menebang pohon untuk kayu bakar pun
tidak dilarang. Baru periode berikutnya mulai disepakati bahwa untuk
kayu bakar hanya boleh mengambil dahan dan rantingnya, tapi jangan
menebang pohonnya.
Namun, setelah mereka mulai percaya, dan ketika ladang sayur mereka
sudah menghasilkan serta bayaran mereka dari kerja membuat hutan bisa
lebih dihemat, mereka diharuskan membeli kompor dua sumbu dengan bahan
bakar elpiji. Kini, meski tidak dilarang, ranting pun sudah tidak ada
yang dipotong.
Hanya dalam dua tahun setelah sistem pembangunan alternatif ini
berjalan, tidak satu pun petani di kawasan Golden Triangle yang masih
menanam opium. Pedagang pun hilang dengan sendirinya. Pabrik-pabrik
pengolahan opium yang dulu berjajar di sepanjang perbatasan pun tutup.
Senjata-senjata gelap tidak laku lagi. Pasar gelap yang di bawah pohon
besar itu juga hilang. Raja sindikat Khun Sa menyingkir ke Myanmar
dengan meninggalkan 30.000 pucuk senjata, ditangkap di sana dan belum
lama berselang meninggal dunia.
Sindikat Khun Sa begitu hebatnya sehingga Khun Sa sendiri menjadi
legenda besar. Ironisnya, meskipun namanya berarti ”pangeran
kemakmuran”, malah banyak membawa susah warga setempat. Tapi, kebencian
kepada Khun Sa tidak harus dibawa-bawa selamanya. Bahkan, Thailand
memanfaatkannya untuk objek pariwisata. Kamp Khun Sa di Doi Tung
dipertahankan. Tidak dihinakan apalagi dihancurkan. Kamp itu dirawat,
diperbaiki, dan sekalian dijadikan museum Khun Sa. Bahkan, di depan
museum Khun Sa itu kini berdiri patung Khun Sa sedang menunggang kuda
dengan gagahnya dengan pistol di pinggang. Rombongan dari Indonesia
semula mengira patung itu adalah seorang pahlawan, minimal panglima yang
menghancurkan sindikat Khun Sa -maklum sudah terbiasa melihat hanya
pahlawanlah yang bisa dipatungkan.
Kini, Golden Triangle tinggal cerita-cerita yang seru untuk daya
tarik wisatawan yang terkagum-kagum legenda sumber opium terbesar di
dunia itu. Hutan tercipta kembali, sumber air terjamin, ancaman banjir
dan longsor hilang, kebun produktif tumbuh subur, industri pengolahan
berjalan, pariwisata hidup. (*)
No comments:
Post a Comment