Sunday, January 18, 2009

Setiap Tiga Bulan, Ganti Ratusan Ribu Tanaman Bunga

Minggu, 18 Januari 2009 
Setiap Tiga Bulan, Ganti Ratusan Ribu Tanaman Bunga
Merebut Hati dan Mengisi Perut di Golden Triangle (5)

Menanam opium jauh lebih mudah dibanding menanam teh atau tanaman hortikultura lain. Tetapi, kerja keras ternyata memang mendatangkan kesejahteraan, tak seperti dulu ketika masih berladang tanaman narkoba itu.

RAKYAT sendiri sebenarnya mengaku menanam opium tidak pernah bisa membuat mereka hidup layak. Tidak hanya di Golden Triangle ini, tapi juga di mana pun di dunia ini. Buktinya, tidak ada petani opium yang hidupnya sejahtera. Termasuk di Afghanistan yang sekarang praktis sudah menggantikan peranan Golden Triangle sebagai pemasok opium dunia. Yang sejahtera hanyalah pedagangnya, sindikatnya, dan beking-bekingnya.

“Ini kan pekerjaan turun-temurun. Hanya menanam opiumlah yang kami tahu dan kami bisa,” ujar Chakree, 54, mantan petani opium di Golden Triangle. Hari itu, dengan kendaraan khusus, kami memang naik ke gunung yang paling tinggi di situ. Inilah wilayah terbaik untuk menanam opium: ketinggiannya 1.500 meter, dekat perbatasan dan jauh dari pengawasan.

(Ketika menunggu operasi ganti hati di rumah sakit Tianjin dulu, saya bertemu orang Shenyang, yang bercerita setelah tiga tahun ganti hati sudah bisa naik gunung. Saya kagum dan tidak membayangkan orang yang sudah ganti hati masih bisa melakukan itu. Kini, saya yang baru 1,5 tahun ganti hati, ternyata juga sudah bisa ke Golden Triangle).

Kami juga ke gunung lainnya lagi, tempat para petani menanam teh. ”Sekarang saya pedagang teh dan mengelola pabrik teh ini,” ujar Mananchai. “Dulu saya memang bukan petani opium, tapi pengepul. Lalu menjualnya ke pabrik di sana,” ujar Mananchai sambil menunjuk ke arah gunung yang sudah masuk wilayah Myanmar. Semua pabrik pengolahan candu memang berada di gunung sana itu, meski penduduk setempat umumnya tidak tahu kalau itu sudah wilayah negara lain. Maklum, ratusan tahun wilayah ini (sebagian Thailand, sebagian Myanmar, dan sebagian lagi Laos) memang sudah seperti satu ”negara” sendiri, berada di bawah kekuasaan sindikat Khun Sa (bukan Khun Sha seperti tulisan sebelumnya, Red), jauh dari jangkauan masing-masing pemerintahnya.

Ke gunung yang lain lagi kami menemui petani yang wilayahnya sekarang jadi kawasan penanaman bunga. Kalau di kawasan teh ada pabrik tehnya, di kawasan macadamia ada pabrik pengolahan macadamianya, di kawasan pertanian bunga ada pusat rekreasi berbasis taman bunga. Ke sinilah terbanyak wisatawan mengunjungi Doi Tung. Taman yang luas dan ditata menarik ini memang penuh dengan aneka bunga. Musim apa pun orang ke situ, akan selalu penuh bunga.

”Setiap tiga bulan kami mengganti seluruh bunga di taman ini, di sesuaikan dengan bunga apa saja yang mekar di saat itu,” ujar petani bunga di situ. Mengganti ratusan ribu tanaman bunga itu setiap tiga bulan? “Ya! Karena itu para petani bunga pun terus sibuk sepanjang tahun. Wisatawan juga selalu mendapatkan kebun yang penuh bunga, kapan pun mereka ke sini,” tambahnya.

Obrolan kami dengan Mananchai bisa lebih detail karena dia bisa berbahasa Mandarin. “Nama Mandarin saya Li Ke Yuan. Leluhur saya dari Provinsi Yunnan,” ujarnya. Di desanya itu, sejak dulu sudah ada sekolah yang berbahasa Mandarin. Yunnan memang tidak jauh dari situ. ”Gunung yang sana itu sudah masuk Yunnan,” katanya. Melihat kulit, wajah, mata, hidung, dan sosok Li Ke Yuan ini, saya pun kembali ingat akan pendapat ahli bahwa orang Indonesia berasal dari Yunnan.

Memang kawasan ini dilewati Sungai Mekong yang hulunya berada di Provinsi Tiongkok itu. Sungai ini sangat lebar, cukup untuk lalu lintas kapal. Bahkan, di kawasan Golden Triangle ini, yang letaknya di pegunungan yang jauh dari laut, terdapat pelabuhan internasional. Disebut ”internasional” karena kapal-kapal itu mondar-mandir di sungai yang entah milik siapa. Komunitas di sepanjang sungai ini pun, dulu, juga tidak tahu apakah mereka orang Yunnan, Myarmar, Thailand, atau Laos. Mereka terdiri atas suku-suku pegunungan yang kalau di Indonesia disebut suku terasing yang tidak mengenal batas. Di Doi Tung ini saja, terdapat tujuh suku pegunungan, dengan tujuh bahasa yang berbeda.

”Harus kami akui kehidupan kami sekarang jauh lebih baik daripada saat jadi petani opium,” ujar Chakree. ”Tapi, kami juga harus bekerja lebih keras dan terus berpikir bagaimana hasil pertanian kami lebih baik,” tambahnya. Sedangkan saat menanam opium dulu sangat mudah. Satu buah opium yang tidak sampai sebesar bola tenis itu, berisi ribuan biji yang bisa ditabur begitu saja. Lalu biji-biji itu akan tumbuh sendiri tanpa harus dipupuk, dirawat, dan disiangi. Setelah dua bulan, tumbuhan sudah setinggi satu meter, lalu berbunga tunggal di ujungnya. Setelah bunga mekar dan kelopak-kelopaknya jatuh, biji hijau yang ditengah-tengah buah itu membesar. Setelah tua, atau tiga bulan setelah penanaman, barulah ada pekerjaan: memanen. Caranya: buah itu digores-gores dengan alat peluka. Dari kulit buah itu akan keluar ”getah”, mengalir pelan-pelan, tidak sampai menetes dan mengental menempel di buah itu. Delapan jam kemudian, ”getah” tadi siap untuk diambili. Setiap buah menghasilkan getah sekitar 2 gram saja. Seorang petani setiap hari bisa mengumpulkan getah hanya sekitar 0,5 kg dan membungkusnya dengan kain belacu seperti membungkus bata. Orang seperti Li Ke Yuang membelinya dari para petani yang sebenarnya juga sudah banyak berutang uang muka darinya.

Di pabrik, bungkusan itu dirobek dan tanpa membuang bungkusnya langsung dimasukkan wajan yang airnya sudah mendidih. Ketika getah sudah larut jadi air, dilakukan penyaringan dengan cara dituangkan di ember yang permukaannya diberi saringan kain. Air getah satu ember ini terus direbus sampai agak mengental. Lalu dimasukkan kaleng untuk dijual sebagai candu ke pedagang besar. Barang ini bisa dijual begitu saja sebagai candu, bisa diolah lagi di pabrik heroin, agar kegilaannya naik 10 kali lipat. Lalu masih bisa diolah lagi untuk meningkatkan lagi kelipatannya. Juga kelipatan keuntungannya.

Kini yang dipikirkan, kelipatan itu yang juga diajarkan kepada petani. Misalnya, bagaimana petani bambu jangan hanya menjual bambu ke kota, tapi menjadikannya untuk pipa-pipa air yang akan membawa air dari gunung di atas ke lahan yang lebih rendah. Lalu pipa-pipa itu bisa menggerojokkan air untuk turbin-turbin mini yang masing-masing bisa menghasilkan listrik cukup untuk delapan bola lampu. Setelah dipakai turbin, baru airnya untuk rumah-rumah: masak, mandi, cuci. Juga untuk minum ternak dan memandikannya. Dari sini air baru boleh untuk mengairi wortel, kentang, kacang panjang, ketimun dan seterusnya. Tanaman harus dipupuk dengan kotoran ternak yang diminumi tadi. Hasil tanaman itu juga tidak boleh dijual begitu saja semuanya. Harus ada yang diiris-iris, dikeringkan, digoreng, dan diproses jadi snack untuk masuk ke toko-toko.

Suku pegunungan itu pun kini sudah berpikir dan menjalankan praktik ekonomi seperti itu. Tidak perlu membeli pipa PVC ke kota. Tidak perlu bayar listrik. Tidak perlu beli pupuk. Tidak perlu banyak pengeluaran. Yang harus banyak adalah pemasukan. Dan orang seperti Li Ke Yuan kemudian bisa menyekolahkan anaknya ke Taiwan dan kini bekerja di Taipei.

Semua itu tidak akan tercapai kalau saja Khun Chai gagal merebut hati rakyat dan mengisi perut mereka. Karena itu, sejak awal tidak ada kata-kata dan program yang menyalahkan rakyat sama sekali. Ketika bulan-bulan pertama mereka masih menebang pohon untuk kayu bakar pun tidak dilarang. Baru periode berikutnya mulai disepakati bahwa untuk kayu bakar hanya boleh mengambil dahan dan rantingnya, tapi jangan menebang pohonnya.

Namun, setelah mereka mulai percaya, dan ketika ladang sayur mereka sudah menghasilkan serta bayaran mereka dari kerja membuat hutan bisa lebih dihemat, mereka diharuskan membeli kompor dua sumbu dengan bahan bakar elpiji. Kini, meski tidak dilarang, ranting pun sudah tidak ada yang dipotong.

Hanya dalam dua tahun setelah sistem pembangunan alternatif ini berjalan, tidak satu pun petani di kawasan Golden Triangle yang masih menanam opium. Pedagang pun hilang dengan sendirinya. Pabrik-pabrik pengolahan opium yang dulu berjajar di sepanjang perbatasan pun tutup. Senjata-senjata gelap tidak laku lagi. Pasar gelap yang di bawah pohon besar itu juga hilang. Raja sindikat Khun Sa menyingkir ke Myanmar dengan meninggalkan 30.000 pucuk senjata, ditangkap di sana dan belum lama berselang meninggal dunia.

Sindikat Khun Sa begitu hebatnya sehingga Khun Sa sendiri menjadi legenda besar. Ironisnya, meskipun namanya berarti ”pangeran kemakmuran”, malah banyak membawa susah warga setempat. Tapi, kebencian kepada Khun Sa tidak harus dibawa-bawa selamanya. Bahkan, Thailand memanfaatkannya untuk objek pariwisata. Kamp Khun Sa di Doi Tung dipertahankan. Tidak dihinakan apalagi dihancurkan. Kamp itu dirawat, diperbaiki, dan sekalian dijadikan museum Khun Sa. Bahkan, di depan museum Khun Sa itu kini berdiri patung Khun Sa sedang menunggang kuda dengan gagahnya dengan pistol di pinggang. Rombongan dari Indonesia semula mengira patung itu adalah seorang pahlawan, minimal panglima yang menghancurkan sindikat Khun Sa -maklum sudah terbiasa melihat hanya pahlawanlah yang bisa dipatungkan.

Kini, Golden Triangle tinggal cerita-cerita yang seru untuk daya tarik wisatawan yang terkagum-kagum legenda sumber opium terbesar di dunia itu. Hutan tercipta kembali, sumber air terjamin, ancaman banjir dan longsor hilang, kebun produktif tumbuh subur, industri pengolahan berjalan, pariwisata hidup. (*)

No comments:

Post a Comment