Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
JUMAT,
24 Februari 2001. Pukul enam pagi, saya duduk di ruang tunggu terminal F
Bandar Udara Soekarno Hatta, Cengkareng. Sambil menunggu instruksi naik
pesawat Lion Air tujuan Pontianak pukul 06.30, saya memejamkan mata
sambil menikmati sisa-sisa kantuk yang belum hilang. Tiba-tiba saya
terkejut ketika lutut kanan, yang saya silangkan di atas kaki kiri,
terasa disentil-sentil orang. Siapa yang iseng sepagi ini? Ternyata
Dahlan Iskan, chief executive officer Jawa Pos News Network.
Kehadiran
raja koran ini membuat saya bingung lantaran sehari sebelumnya kami
sepakat akan bertemu di Pontianak. Saya akan terbang dengan Lion Air
sedangkan Dahlan dengan Garuda.
"Lho, Dahlan! Anda di sini? Apakah tidak jadi terbang ke Pontianak?" tanya saya.
"Jadi. Mari ke sini sebentar!" ujarnya sambil mencari kursi kosong menjauhi banyak orang.
"Anda tukar pesawat dan jadi terbang bersama saya?" tanya saya, sambil berharap begitu.
"Tidak," jawabnya. Saya bingung. Mau apa dia?
Ia
berpenampilan menurut kebiasaannya yang urakan: berkemeja lengan
panjang yang gombrang tanpa memasukkan ujung bawahnya ke dalam celana
sebagaimana pantasnya. Pagi itu Dahlan bercelana panjang biru tua,
kontras dengan sepatu kets putih. Sebuah jaket tipis sutera kelabu
membungkus sebagian kemejanya.
Pria ini bermata besar yang sering
membelalak di balik kacamatanya. Ia berbadan sedang. Di punggungnya
tersandang tas model anak sekolah berlogo Jawa Pos. Tas kain itu tidak
gendut layaknya bawaan orang yang sedang bepergian tanpa bagasi jinjing.
Tas itu malah kempes ketika ditaruh di atas bangku. Dahlan membawa baju
ganti cuma sepasang, baju olahraga (training).
Ia merogoh dasar
tasnya, dan dari balik training itu dikeluarkannya sebuah buku. Saya
sangka ia mau membaca buku sambil menunggu instruksi boarding, eh,
ternyata buku itu diserahkannya kepada saya. Buku seperti novel pop itu
berjudul Jawa Pos Koran Kita.
"Ini buat baca-baca sambil terbang.
Kita ketemu di Pontianak, ya? Wah, pesawat Anda lebih bagus!" ujarnya.
Ia melongok ke arah pesawat Lion Air yang tampak kerdil di tempat
mangkalnya pesawat-pesawat Garuda.
Baru saya membolak-balik buku
pemberiannya, Dahlan sudah menghilang begitu saja. Saya mencarinya.
Pasti ia bergegas ke ruang tunggu pesawat. Dalam hati kecil saya bangga
juga. Rupanya, orang kaya dari Surabaya itu datang mencari saya sekadar
menyerahkan buku di saat-saat mepet. Betapa rendah hatinya raja koran
itu.
Koran-koran Dahlan disebut Jawa Pos News Network karena semua
komputer redaksinya terhubung satu sama lain. Semua berita, feature,
artikel, atau foto, baik liputan wartawan dan fotografer sendiri, maupun
yang dibeli dari pihak ketiga, dimasukkan dalam bank data yang bisa
diakses lewat komputer redaksi koran anggota Jawa Pos News Network.
Dengan demikian, laporan serta foto-foto kerusuhan di Palangkaraya,
misalnya, yang diliput wartawan Palangkaraya Pos, bisa dibuka di kantor
Jawa Pos di Surabaya, Radar Medan, harian Fajar Makasar, juga Radar
Merauke Papua Barat. Begitu pun sebaliknya, liputan Jakarta dapat
diakses oleh semua anak Jawa Pos di daerah.
Jumat 24 Februari 2001
ini, Dahlan Iskan hendak melakukan kunjungan kerja sehari ke Pontianak,
esoknya kembali ke Surabaya. Saya pikir inilah kesempatan yang tepat
untuk melihat bagaimana Dahlan berkiprah di anak perusahaan Jawa Pos di
daerah. Selanjutnya bisa membuntutinya sampai ke jantung Jawa Pos di
Graha Pena, gedung perkantoran berlantai 20 milik Jawa Pos di Surabaya.
Setibanya
di Pontianak, saya sekali lagi dibuatnya bingung. Pesawat saya tiba
duluan, maka saya menunggunya di bandar udara sesuai kesepakatan. Saya
duduk di sebuah bangku yang tepat menghadap pintu tempat munculnya
penumpang yang turun dari pesawat Garuda.
Setelah setengah jam
menunggu dan tidak melihat Dahlan, saya bertanya pada petugas pengecekan
bagasi bandara, "Apakah penumpang Garuda dari Jakarta sudah mendarat?"
"Oh, sudah keluar semua," ujar petugas yang saya tanyai.
Tentu
saja saya kaget. Saya lari ke sana ke mari mencari Dahlan di areal
parkir. Seorang sopir taksi gelap bertanya siapa yang saya cari. Saya
memberi gambaran sosok Dahlan. Dia bilang orang itu sudah pergi dengan
mobil sedan. Saya lalu menelepon kantor perwakilan Jawa Pos di
Pontianak. Sopir taksi gelap tadi benar. Lewat telepon saya mendapat
informasi Dahlan sudah dalam perjalanan menuju ke sana. Saya pun
mencarter taksi gelap tadi, sebuah van Mitsubishi L-300 ke kantor
Akcaya, anak perusahaan Jawa Pos di Pontianak.
No comments:
Post a Comment