Wednesday, May 2, 2001

Jawa Pos adalah Dahlan Iskan (8)

Jawa Pos adalah Dahlan Iskan (8)
Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001

UTANG Jawa Pos itu banyak. Lebih dari Rp 100 miliar, kata Leonardi Kusen, presiden komisaris PT Jawa Pos sejak April 2000. Utang-utang itu antara lain untuk membangun pabrik kertas PT Adiprima Suraprinta, Gresik, serta pembelian mesin percetakan yang bertaburan di puluhan kota, mulai dari Medan hingga Jayapura. Namun back up utang itu cukup kuat, sebab seluruh aset Jawa Pos, menurut Leonardi Kusen, sekitar Rp 300 miliar. Itu cuma aset Jawa Pos yang sudah bisa diaudit.

Aset anak-anak perusahaan Jawa Pos memang belum semuanya bisa diaudit karena sistem pembukuan belum seragam. Dan, ditargetkan siap tahun 2002 sehingga apa yang sudah lama dikumandangkan Dahlan untuk menjadikan PT Jawa Pos sebagai perusahaan publik akan menjadi kenyataan sama dengan induknya majalah Tempo. 

PT Tempo Inti Media Tbk, penerbit mingguan Tempo, awal Januari 2001 berhasil menangguk Rp 37,5 miliar di pasar modal dengan menjual 17,2 persen sahamnya (125 juta lembar). Apabila Jawa Pos masuk bursa, besar kemungkinan saham-sahamnya akan lebih berotot dari induknya. Sebab, selain mempunyai fondasi Jawa Pos, yang jauh lebih besar omsetnya dari Tempo, ia pun berakar di provinsi-provinsi yang masih mempunyai lebih banyak peluang untuk berkembang.

Tapi jangan salah. Jawa Pos belum sehebat konglomerat Kelompok Kompas Gramedia, perusahaan media paling besar di Indonesia. Menurut Purwoko, manajer bisnis Kompas, penghasilan iklan Kompas per hari saja sekitar Rp 5 miliar, sedangkan penghasilan iklan Jawa Pos, menurut buku Jawa Pos Koran Kita, sebelum krisis ekonomi pernah mencapai Rp 6 miliar per bulan, ketika krisis datang menghantam, sempat turun sampai Rp 1,5 miliar per bulan. Taruhlah omset Jawa Pos News Network sudah pulih seperti sedia kala, nilainya masih sekitar sepertigapuluh Kelompok Kompas Gramedia.

Bisnis Jawa Pos bukan cuma pers dan percetakan. Kini dia juga memiliki perusahaan yang mampu bongkar pasang dan merakit mesin percetakan bekas tipe Goss. Mesin-mesin Goss bekas dicari di internet, kemudian diperbaiki atau ditambalkan ke pabrik-pabrik yang ada. Selain irit, juga menjadikan divisi percetakan sebagai suatu sumber penghasilan. Itu semua bisa dilakukan tim pimpinan Misbahul Huda, yang sempat disekolahkan Dahlan Iskan ke Chicago, Amerika Serikat, untuk belajar banyak soal mesin. "Pak Dahlan memang tidak takut keluar biaya. Kalau pun kita salah, dia tidak ngamuk. 'Anggap saja biaya kamu untuk belajar.' Begitu katanya kalau kita salah," tutur Misbahul Huda, direktur PT Temprina Media Grafika, yang kini membawahi 35 unit mesin percetakan yang terletak di 29 kota dari Medan sampai Jayapura.

Dulu percetakan merupakan bagian dari Jawa Pos, sekarang sudah berdiri sendiri. "Omset Temprina tahun 2000, sekitar Rp 160 miliar. Margin keuntungan sekitar 14 persen," ujar Huda. Artinya, secara kasar, PT Temprina Media Grafika setiap bulan untung hampir Rp 2 miliar. Tak mengherankan jika Huda, putra asli Madiun kelahiran 1963 ini, diberi fasilitas sedan Mercedes Benz dari kantor padahal Huda sendiri sudah mampu membeli sedan BMW untuk keluarganya.

Masuknya Jawa Pos ke bisnis kertas dengan mendirikan PT Adiprima Suraprinta, Gresik, lebih disebabkan krisis kertas koran 1990-an. Pemasokan kertas oleh Serikat Penerbit Surakabar sering tidak teratur dan harganya sering melonjak tinggi. Menurut Jawa Pos Koran Kita, hanya koran-koran kuat yang mampu mengatasi. Masalahnya, kertas koran itu sering langka sehingga apabila stok di gudang menipis menyebabkan waswas bagi penerbitan Jawa Pos yang ingin korannya terbit setiap hari.

Pabrik-pabrik kertas swasta yang banyak ternyata enggan masuk ke industri kertas koran karena terlalu berisiko. Pertama karena harganya selalu dikendalikan pemerintah, kedua permintaan banyak terpengaruh keadaan politik, dan ketiga ketakutan berurusan dengan orang pers. Hanya pemerintah (Pabrik Kertas Leces) dan kroni Soeharto, Bob Hasan (PT Aspex), yang berani masuk ke industri kertas koran. Dalam keadaan itulah maka Jawa Pos akhirnya mendirikan PT Adiprima Suraprinta, di atas lahan seluas 8 ha di desa Wringin Anom, Gresik, Jawa Timur.

Pabrik ini menelan investasi sekitar Rp 80 miliar dengan mesin Mecanica Verona, Italia berkapasitas 120 ton per hari yang bisa ditingkatkan hingga 140 ton per hari. Dewasa ini pabrik ini beroperasi 24 jam sehari (tiga shift) dan menghasilkan rata-rata 100 ton per hari atau tiga ribu ton per bulan. Entah kenapa, pabrik ini sudah sampai dua kali mengalami kebakaran. Gudang bahan bakunya, berupa kertas koran bekas yang diimpor dari Eropa, sempat terbakar pada 1997 dan 1999. Setiap gudang yang terbakar diperkirakan merugi Rp 5 miliar.

Namun, setelah berjalan baik, apalagi setelah PT Adiprima Suraprinta, bisa mengekspor 30 persen produknya, pabrik kertas itu sudah mulai diperhitungkan sebagai bisnis yang menguntungkan. Tak mengherankan jika Dahlan tertarik membeli pabrik kertas yang mogok di Pontianak pada hari saya menemaninya.

Dalam waktu dekat, Jawa Pos pun akan masuk ke industri tinta percetakan. Dengan demikian, Jawa Pos benar-benar akan menjadi industri pers terpadu. Sementara ini, sektor nonmedia seperti, realestat dan properti tidak lagi bisa diharapkan jadi "armada kapal induk". Jawa Pos lebih menekankan sektor media, termasuk pendirian stasiun televisi swasta lokal.

No comments:

Post a Comment