Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
UTANG Jawa Pos itu banyak. Lebih dari Rp 100 miliar, kata Leonardi
Kusen, presiden komisaris PT Jawa Pos sejak April 2000. Utang-utang itu
antara lain untuk membangun pabrik kertas PT Adiprima Suraprinta,
Gresik, serta pembelian mesin percetakan yang bertaburan di puluhan
kota, mulai dari Medan hingga Jayapura. Namun back up utang itu cukup
kuat, sebab seluruh aset Jawa Pos, menurut Leonardi Kusen, sekitar Rp
300 miliar. Itu cuma aset Jawa Pos yang sudah bisa diaudit.
Aset
anak-anak perusahaan Jawa Pos memang belum semuanya bisa diaudit karena
sistem pembukuan belum seragam. Dan, ditargetkan siap tahun 2002
sehingga apa yang sudah lama dikumandangkan Dahlan untuk menjadikan PT
Jawa Pos sebagai perusahaan publik akan menjadi kenyataan sama dengan
induknya majalah Tempo.
PT Tempo Inti Media Tbk, penerbit mingguan
Tempo, awal Januari 2001 berhasil menangguk Rp 37,5 miliar di pasar
modal dengan menjual 17,2 persen sahamnya (125 juta lembar). Apabila
Jawa Pos masuk bursa, besar kemungkinan saham-sahamnya akan lebih
berotot dari induknya. Sebab, selain mempunyai fondasi Jawa Pos, yang
jauh lebih besar omsetnya dari Tempo, ia pun berakar di
provinsi-provinsi yang masih mempunyai lebih banyak peluang untuk
berkembang.
Tapi jangan salah. Jawa Pos belum sehebat konglomerat
Kelompok Kompas Gramedia, perusahaan media paling besar di Indonesia.
Menurut Purwoko, manajer bisnis Kompas, penghasilan iklan Kompas per
hari saja sekitar Rp 5 miliar, sedangkan penghasilan iklan Jawa Pos,
menurut buku Jawa Pos Koran Kita, sebelum krisis ekonomi pernah mencapai
Rp 6 miliar per bulan, ketika krisis datang menghantam, sempat turun
sampai Rp 1,5 miliar per bulan. Taruhlah omset Jawa Pos News Network
sudah pulih seperti sedia kala, nilainya masih sekitar sepertigapuluh
Kelompok Kompas Gramedia.
Bisnis Jawa Pos bukan cuma pers dan
percetakan. Kini dia juga memiliki perusahaan yang mampu bongkar pasang
dan merakit mesin percetakan bekas tipe Goss. Mesin-mesin Goss bekas
dicari di internet, kemudian diperbaiki atau ditambalkan ke
pabrik-pabrik yang ada. Selain irit, juga menjadikan divisi percetakan
sebagai suatu sumber penghasilan. Itu semua bisa dilakukan tim pimpinan
Misbahul Huda, yang sempat disekolahkan Dahlan Iskan ke Chicago, Amerika
Serikat, untuk belajar banyak soal mesin. "Pak Dahlan memang tidak
takut keluar biaya. Kalau pun kita salah, dia tidak ngamuk. 'Anggap saja
biaya kamu untuk belajar.' Begitu katanya kalau kita salah," tutur
Misbahul Huda, direktur PT Temprina Media Grafika, yang kini membawahi
35 unit mesin percetakan yang terletak di 29 kota dari Medan sampai
Jayapura.
Dulu percetakan merupakan bagian dari Jawa Pos, sekarang
sudah berdiri sendiri. "Omset Temprina tahun 2000, sekitar Rp 160
miliar. Margin keuntungan sekitar 14 persen," ujar Huda. Artinya, secara
kasar, PT Temprina Media Grafika setiap bulan untung hampir Rp 2
miliar. Tak mengherankan jika Huda, putra asli Madiun kelahiran 1963
ini, diberi fasilitas sedan Mercedes Benz dari kantor padahal Huda
sendiri sudah mampu membeli sedan BMW untuk keluarganya.
Masuknya
Jawa Pos ke bisnis kertas dengan mendirikan PT Adiprima Suraprinta,
Gresik, lebih disebabkan krisis kertas koran 1990-an. Pemasokan kertas
oleh Serikat Penerbit Surakabar sering tidak teratur dan harganya sering
melonjak tinggi. Menurut Jawa Pos Koran Kita, hanya koran-koran kuat
yang mampu mengatasi. Masalahnya, kertas koran itu sering langka
sehingga apabila stok di gudang menipis menyebabkan waswas bagi
penerbitan Jawa Pos yang ingin korannya terbit setiap hari.
Pabrik-pabrik
kertas swasta yang banyak ternyata enggan masuk ke industri kertas
koran karena terlalu berisiko. Pertama karena harganya selalu
dikendalikan pemerintah, kedua permintaan banyak terpengaruh keadaan
politik, dan ketiga ketakutan berurusan dengan orang pers. Hanya
pemerintah (Pabrik Kertas Leces) dan kroni Soeharto, Bob Hasan (PT
Aspex), yang berani masuk ke industri kertas koran. Dalam keadaan itulah
maka Jawa Pos akhirnya mendirikan PT Adiprima Suraprinta, di atas lahan
seluas 8 ha di desa Wringin Anom, Gresik, Jawa Timur.
Pabrik ini
menelan investasi sekitar Rp 80 miliar dengan mesin Mecanica Verona,
Italia berkapasitas 120 ton per hari yang bisa ditingkatkan hingga 140
ton per hari. Dewasa ini pabrik ini beroperasi 24 jam sehari (tiga
shift) dan menghasilkan rata-rata 100 ton per hari atau tiga ribu ton
per bulan. Entah kenapa, pabrik ini sudah sampai dua kali mengalami
kebakaran. Gudang bahan bakunya, berupa kertas koran bekas yang diimpor
dari Eropa, sempat terbakar pada 1997 dan 1999. Setiap gudang yang
terbakar diperkirakan merugi Rp 5 miliar.
Namun, setelah berjalan
baik, apalagi setelah PT Adiprima Suraprinta, bisa mengekspor 30 persen
produknya, pabrik kertas itu sudah mulai diperhitungkan sebagai bisnis
yang menguntungkan. Tak mengherankan jika Dahlan tertarik membeli pabrik
kertas yang mogok di Pontianak pada hari saya menemaninya.
Dalam
waktu dekat, Jawa Pos pun akan masuk ke industri tinta percetakan.
Dengan demikian, Jawa Pos benar-benar akan menjadi industri pers
terpadu. Sementara ini, sektor nonmedia seperti, realestat dan properti
tidak lagi bisa diharapkan jadi "armada kapal induk". Jawa Pos lebih
menekankan sektor media, termasuk pendirian stasiun televisi swasta
lokal.
No comments:
Post a Comment