Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
DAHLAN Iskan mengatakan, "Koran yang pakai nama Suara menurut pengalaman
kami selalu jelek," ketika saya tanya soal Suara Maluku dan Ambon
Ekspres yang masing-masing dituding menjadi corong kelompok Kristen dan
Muslim yang telah dua tahun bertikai di Maluku. Menurut Dahlan, mulanya
Jawa Pos memiliki Suara Maluku di Ambon. Koran ini senantiasa rugi
sehingga manajemennya berkali-kali dibenahi, khususnya oleh tim yang
dipimpin Alwi Hamu dari Fajar Makasar.
Ketika terjadi bentrokan yang
meluas jadi permusuhan Islam-Kristen, para karyawan Suara Maluku yang
beragama Islam menghadapi kesulitan pergi ke kantor karena Suara Maluku
terletak di daerah pemukiman Kristen. Karena mereka menganggur, mereka
minta percetakan dan bikin koran baru dengan nama Ambon Ekspres. Dalam
masthead kepengurusan, dua-duanya memasang nama direktur utama: Haji
Dahlan Iskan.
Tragisnya dua koran yang satu pemilik itu partisan
dalam meliput Ambon. Keduanya terjebak dalam permusuhan antaragama.
"Kami putus hubungan dengan mereka. Komunikasi ke sana sulit, bahkan
tidak bisa," kata Dahlan. "Saya tidak bisa menghentikan mereka, tapi
kalau pemerintah mau sebenarnya gampang. Ledakkan dan hancurkan saja
percetakan mereka. Tapi jangan saya yang lakukan. Saya tak mampu," kata
Dahlan, tanpa bisa menyembunyikan kemarahannya.
Padahal di Surabaya
Dahlan punya dua tabloid agama yang tidak bermasalah: Gloria, tabloid
mingguan rohani Kristen dengan oplah 18 ribu dan Nuraini, tabloid untuk
umat Islam yang tirasnya sekitar 8.000 eksemplar. Dalam masthead kedua
tabloid itu tercantum direktur utama bernama Dahlan Iskan. Dua-duanya
berkantor di Graha Pena, tidak ada masalah Muslim dan Kristen di sana.
Selain
itu Jawa Pos juga mempunyai tabloid kebatinan atau hal-hal yang mistik,
yakni Posmo: Metafisika dan Pengobatan Alternatif serta majalah
Liberty. Penggemar tabloid dan majalah ini ternyata cukup tinggi
sehingga oplahnya mencapai 70 ribu sedangkan isinya sekitar 50 persen
dipenuhi dengan iklan klenik dan perdukunan.
Pada April 2001,
berbagai ragam koran, tabloid dan majalah yang diterbitkan kelompok Jawa
Pos News Network, saya perkirakan sudah sekitar seratus. Dari kunjungan
saya ke Pontianak, Surabaya, Makassar, dan Pekanbaru saja, saya
menemukan masing-masing "kapal induk" itu sudah mempunyai biduk dan anak
armada baru yang tidak tercantum dalam buku Jawa Pos Koran Kita.
Di
Sumatra Utara saja, menurut buku pemberian Dahlan Iskan itu, ada lima
koran: Radar Medan, Padang Ekspres, Riau Pos, Utusan (kini Pekan Baru
Pos), dan Sijori Pos (Tanjung Pinang)). Ketika saya berkunjung ke
Pekanbaru, di sana sudah bertambah empat koran baru yakni Radar Nauli (
Sibolga), Batam Pos, dan Batam Ekspres (keduanya Batam) serta Dumai Pos
di Dumai.
Demikian pula kelompok Akcaya Pontianak. Selain menerbitkan
Pontianak Post (model Jawa Pos) dan Ekuator (model Pos Kota di
Jakarta), Februari 2001 sudah melahirkan koran Kapuas Pos (untuk
pemasaran Sanggau dan Sintang), dan Kun Dian Ri Bao. Yang disebut
terakhir ini koran berbahasa Cina yang pengisiannya dilakukan redaksi di
kantor pusat Akcaya Pontianak. Aksara Cina dan tata letaknya dibuatkan
di Kuching, Malaysia. Selanjutnya dikirim kembali ke Akcaya untuk
dicetak dan dipasarkan di Kalimantan Barat, yang punya populasi orang
Cina cukup besar. Untuk pencetakannya, Dahlan membeli software komputer
dari Republik Rakyat Cina.
Ketika berkunjung ke Pontianak, Dahlan
sudah menginstruksikan Untung Sukarti untuk segera pergi ke kota
Ketapang mencari lokasi untuk percetakan pers. "Satu minggu ya! Duit
tidak masalah," perintah Dahlan. Dengan memasang percetakan di Ketapang,
tentu saja Dahlan ingin menerbitkan koran di situ. Maklum, Ketapang
telah disebut-sebut bakal menjadi salah satu ibukota provinsi pecahan
Kalimantan Barat.
Kelompok Jawa Pos News Network di Sulawesi Selatan
pun tidak ketinggalan melakukan ekspansi. Menurut Jawa Pos Koran Kita,
di Makasar baru ada harian pagi Fajar (model Jawa Pos) dan Bina Baru
(model Pos Kota). Sewaktu saya berkunjung, Maret lalu, Bina Baru telah
berganti nama menjadi Berita Kota (koran kriminal seperti Pos Kota di
Jakarta), dan di situ sudah diterbitkan pula Ujung Pandang Ekspres
(koran petang meniru harian Suara Pembaruan Jakarta). Selain itu, Fajar
juga telah melahirkan dua koran kabupaten yakni Palopo Pos, dan
Pare-Pare Pos, serta Golo (tabloid olahraga) dan Intim (tabloid
keluarga).
Saya tidak sempat mengunjungi tiga "kapal induk" Jawa Pos
di Palembang, Balikpapan, dan Manado, tapi bisa dipastikan armada
mereka pun sudah lebih dari sekadar apa yang tercantum dalam buku Jawa
Pos Koran Kita. Dapat dipastikan kelompok Jawa Pos di Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papua Barat juga sudah lebih banyak dari yang disebutkan
dalam buku itu.
Era reformasi yang membebaskan orang menerbitkan pers
tanpa perlu izin dari pemerintah benar-benar dimanfaatkan Dahlan Iskan.
Di mana ia melihat peluang bikin koran, langsung disabetnya. Hampir
setiap ibukota provinsi telah diterbitkan olehnya minimal dua
suratkabar, satu sebagai suratkabar umum meniru Jawa Pos atau Kompas,
dan satu lagi suratkabar khusus tentang kriminal, dan seks meniru koran
Pos Kota di Jakarta.
Jenis pers apa yang tidak dimasuki Dahlan?
Hampir semua pers yang laris di Jakarta telah ditiru Jawa Pos. Maka ada
tabloid Agrobis yang meniru majalah Trubus, ada Nyata yang meniru Nova,
ada Ototren yang mengikuti tabloid Otomotif, dan sebagainya. Ketika
ramai musim kampanye politik tahun 1998, Dahlan sempat menerbitkan empat
koran politik yang menjadi bendera empat partai. Harian Abadi dikelola
Partai Bulan Bintang, Duta Masyarakat menjadi corong Partai Kebangkitan
Bangsa, Demokrat diasuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan
Amanat untuk corong Partai Amanat Nasional (PAN). Pengisian dilakukan
sendiri oleh masing-masing partai, tapi manajemen dalam kelompok Jawa
Pos. Golkar pun memanfatkan Bhirawa, juga dalam kelompok Jawa Pos.
No comments:
Post a Comment