Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
DAHLAN Iskan, lahir pada 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur. Ia
memulai karier pers di Samarinda 1970-an. "Ayah saya petani miskin.
Ketika saya tamat SMA, ia tak sanggup lagi membiayai. Maka, saya ikut
kakak di Samarinda untuk kuliah," ceritanya. Dua tahun di kampus IAIN
Samarinda, ia merasa pengetahuannya tak bertambah. Lalu ogah-ogahan
kuliah dan lebih menyibukkan diri di koran kampus. Akhirnya ia jadi
wartawan sebuah koran lokal.
Sebuah lembaga swadaya masyarakat,
Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES)
mengikutkannya dalam program magang di Jakarta. "Dari sekitar 6.000
peserta, dipilih 18. Di sana, pagi kami harus ikut teori di LP3ES,
sorenya magang di beberapa penerbitan. Saya ditempatkan di majalah
Tempo, diasuh langsung oleh Bur Rasuanto (ketika itu pemimpin redaksi),"
kisahnya. Di sini Dahlan berprestasi membuat laporan eksklusif tentang
larinya terpidana mati, Kusni Kasdut dari penjara Cipinang.
Bur
Rasuanto ternyata sangat menyukai Dahlan dan menawarinya masuk Tempo.
Lantaran kontrak dengan LP3ES, ia harus kembali ke daerah. Dahlan pun
balik ke Samarinda sambil sesekali memberikan kontribusi buat Tempo. Tak
lama kemudian ternyata terjadi gejolak di Tempo, 1976, yang
mengakibatkan keluarnya Bur Rasuanto bersama beberapa wartawan dan
redaktur. Beberapa kontributor Tempo di daerah mendukungnya.
Bur
bersama Imam Waloeyo dari majalah Prisma, Bunyamin Wibisono dan
Atmakusumah Astraatmadja dari Indonesia Raya, menyiapkan Obor, sebuah
majalah berita mingguan calon tandingan Tempo. Dahlan menyatakan siap
bergabung, asal Bur bisa mendapatkan izin terbit majalah itu. Tapi
suasana politik 1977 terus memanas hingga 1978. Ada belasan koran yang
dibredel pemerintahan Soeharto. Cuma Tempo yang melembek sehingga luput.
Dahlan tetap bertahan di Tempo, kendati majalah itu dipandang banci.
Sementara izin Obor tak kunjung diperoleh.
Ketika sebuah kapal milik
perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia, Tampomas II terbakar dan
tenggelam dengan sekitar lima ribu penumpang terpanggang hidup-hidup di
perairan Masalembo, Laut Jawa, Dahlan meliput dan menulisnya untuk
laporan utama Tempo yang luar biasa bagus. Dua edisi berturut-turut
sehingga ia dipromosikan jadi kepala biro Tempo Surabaya.
Pada 1982,
Tempo membeli koran Jawa Pos. Eric Samola, direktur utama PT Grafiti
Pers, penerbit Tempo, ngotot menunjuk Dahlan Iskan ketimbang mengirim
seorang redaktur, yang juga anggota pemegang saham Tempo, yang lebih
berpengalaman untuk mengelola Jawa Pos. Samola berpendapat sebaiknya
jangan ada orang Tempo dari Jakarta didrop ke Surabaya karena tak ingin
merendahkan orang daerah. Maklum, ketika itu ada pertentangan politik
antara pers nasional dan pers daerah.
Maka, Dahlan yang saat itu
sudah dikenal sebagai warga Surabaya, ditunjuk jadi nahkoda Jawa Pos.
Untuk pemasaran pun tidak diutus dari Jakarta, tapi ditunjuk kepala
sirkulasi Tempo Surabaya, Imam Soeroso (kini direktur PT Jawa Pos).
Keduanya dipandang oleh orang Tempo "sangat berani." Di sini mereka
memang jadi pemimpin, tapi masa depannya terbayang suram. Hanya Samola
yang optimis Jawa Pos bisa merebut pasar koran Surabaya yang saat itu
dikuasai harian Surabaya Post dan Kompas. "Surabaya Post terbit sore,
Kompas harus dikirim dari Jakarta. Kalau Jawa Pos diisi berita nasional
dari Jakarta, dan diedarkan pukul lima pagi, masa tidak bisa menang?"
begitu keyakinan Samola.
No comments:
Post a Comment