Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
KANTOR Akcaya merupakan gandengan dua rumah kantor berlantai tiga. Di
lantai dasar, separuh menjadi gudang kertas koran, separuhnya lagi
tempat percetakan pers. Lantai dua ruang administrasi, lantai tiga ruang
redaksi. Interior kantor itu tampak sederhana.
Saya naik ke lantai
dua. Seorang wanita setengah baya menyambut saya, "Pak Dahlan sedang
pergi dengan direksi (PT Akcaya)." Ia menyilakan saya masuk ruang rapat.
Di sana hanya ada sebuah meja rapat berbentuk lonjong tapi tidak ada
kursi satupun. Wanita tadi menarik sebuah kursi dari ruang kerja
karyawan keuangan untuk saya. Di tembok depan saya terpampang sebuah
papan tulis besar tempat coretan angka-angka bisnis yang agaknya baru
saja dibicarakan dan belum sempat dihapus. Ketika menerka-nerka apa
makna angka-angka itu, muncullah seorang pria yang mengaku bernama
Yusri, lengkapnya Gusti Yusri.
Yusri mengajak saya menemui Dahlan
dengan mobilnya yang diparkir di belakang gedung. Di halaman belakang
ini, menurut Yusri, hendak dibangun sebuah gedung kantor Akcaya yang
baru, beberapa tingkat. Telepon genggam Yusri sebentar-sebentar berbunyi
dan dari jawabannya tertangkap bahwa Dahlan sudah tak sabar menunggu
saya. "Pak Dahlan memang punya kebiasaan (menghilang) seperti itu.
Sering terjadi, sementara yang jemput mencari-cari di airport, tahu-tahu
diberi tahu Bapak sudah tiba di kota," tutur Yusri.
Tadinya saya
menyangka Yusri "hanyalah" seorang karyawan bagian umum PT Akcaya Utama
Press. Pria kecil berusia 34 tahun asal Sanggau, yang tampak imut-imut
itu, begitu rendah hati sehingga tidak mau menyatakan kalau ia seorang
bos. Yusri adalah pemimpin redaksi Kapuas Pos -sebuah suratkabar yang
baru diterbitkan di Pontianak, 3 Februari 2001.
Kapuas Pos
diterbitkan PT Akcaya Utama Press khusus untuk menggarap pasar pedalaman
Kalimantan Barat, seperti Sanggau yang membutuhkan waktu delapan jam
perjalanan dengan kapal, dan Sintang yang masih harus ditambah 10 jam
lagi dengan mobil dari Sanggau. Koran itu dicetak sore, pukul 18.00 agar
bisa dipasarkan pada hari edar, besoknya, di Sanggau dan Sintang.
Sebab, pengalaman sebelumnya, koran Pontianak Post yang dicetak pukul
02.00 dini hari, jika dipasarkan di kabupaten Sanggau sudah menjelang
tengah hari, bahkan kemalaman untuk pemasaran di Sintang.
Dengan
mobilnya, jip Daihatsu Taft, Yusri mengantar saya ke tempat Dahlan
berada. Ia ternyata sarapan bersama direktur utama PT Akcaya Utama
Press, Tabrani Hadi, dan manajer umum Perwakilan Jawa Pos di Pontianak
yang juga menjabat direktur PT Akcaya Utama Press, Untung Sukarti.
Mereka sarapan di sebuah restoran sederhana.
Begitu saya tiba,
mereka sudah selesai sarapan dan bersiap-siap naik sebuah sedan Timor
yang memakai pelat bernomor polisi warna merah.
"Kok nomor pelatnya merah?" tanya saya.
"Iya, ini mobil dinas saya," ujar Tabrani.
Bos
Akcaya ini ternyata juga menjabat kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal Daerah Provinsi Kalimantan Barat. Di sedan itu, Tabrani duduk di
kursi kiri depan, Sukarti memegang kemudi, Dahlan di kursi kiri belakang
dan menyuruh saya di samping kanannya. Saya lalu melupakan masalah
kegagalan perjumpaan dengan Dahlan di airport.
Sambil bercerita awal
karier Dahlan serta masuknya Jawa Pos ke PT Akcaya Utama Press, kami
meluncur ke sebuah pabrik kertas yang terletak di pinggiran utara kota
Pontianak, di jalan raya arah Singkawang. Dahlan rupanya berkunjung ke
Pontianak khusus melihat sebuah pabrik kertas yang sudah setahun
berhenti produksi dan ia berminat membelinya. Ada niat Dahlan untuk
memperbesar pabrik kertas milik Jawa Pos di Gresik, PT Adiprima
Suraprinta, yang bukan cuma memasok kebutuhan kertas bagi koran-koran
Jawa Pos News Network, tapi juga sudah mendapatkan pasaran ekspor antara
lain Malaysia, Taiwan, dan India.
Setiba di sasaran, Dahlan
langsung naik turun, berkeliling, ke pabrik kertas tersebut. Pemeriksaan
dilakukannya sampai detail seraya membuat catatan. Terakhir, ia ingin
mengecek kolam limbah pabrik yang sudah dikelilingi semak belukar
setinggi satu-dua meter. Sambil lari, Dahlan berupaya menerobos belukar.
"Awas, ular," teriak saya.
Mendengar
peringatan saya, Dahlan balik dan mencari jalan lain. Ia minta orang
lain yang berani menghadapi ular untuk jalan terdepan. Sambil bicara
keras-keras dan membuat kebisingan dengan harapan agar ular menyingkir,
kami akhirnya naik ke tembok kolam pembersihan limbah pabrik kertas itu.
Untunglah kami tidak menjumpai binatang berbahaya.
Pabrik kertas
yang sudah setahun berhenti produksi itu ternyata mesinnya buatan tahun
1928. Cuma alat kontrolnya yang sudah modern. Kecepatan mesinnya 40 ton
per hari. Itu terlalu lamban dibandingkan kecepatan mesin pabrik kertas
PT Adiprima Suraprinta yang tadinya 120, dan terakhir sudah dinaikkan
menjadi 140.
Pabrik ini terletak di atas lahan sekitar dua hektar
sedangkan pabrik dan kolam limbahnya mungkin cuma seperempat dari lahan
yang dipenuhi onak belukar itu.
"Yang punya pabrik ini, atau bank
yang menguasai pabrik ini kalau kreditnya macet, pasti menghendaki
penjualan seluruh asetnya. Lahan di sini terlalu besar, kita tidak perlu
kebun. Yang kita butuhkan mungkin cuma mesinnya. Wah, nggak nyucuk,
nggak bakal ketemu," kata Dahlan ketika kami sudah naik mobil lagi,
hendak meluncur kembali ke kota Pontianak.
Kendati begitu, Dahlan
merasa tetap harus membuat laporan dan ingin ketemu dengan pemiliknya di
Jakarta. Ia ternyata tak punya telepon genggam dan memang tidak mau
punya. Namun, bos besar ini tidak sungkan meminjam telepon genggam milik
anak buahnya. Ia meminjam telepon genggam Sukarti dan segera melaporkan
semua data pabrik tadi kepada seorang pakar pabrik kertas di Jawa
Timur.
"Mesin pabrik ini buatan Prancis tahun 1928, jadi dibuatnya
sebelum kita lahir, bahkan mungkin sebelum bapak kita lahir," begitu
lapor Dahlan kepada teknisi mesin kertas PT Adiprima Suraprinta di
Gresik, Jawa Timur. Semua data yang ditulisnya tadi dilaporkan lewat
telepon genggam selama beberapa menit.
"Wah, yang punya handphone ini
bakal kena tagihan besar," kata Dahlan sambil memencet nomor lain lagi.
Kali ini ia menghubungi perwakilan Jawa Pos di Jakarta dan minta segera
mencari pemilik pabrik itu, lalu membuatkan janji untuk pembicaraan
bisnis. "Kalau bisa malam ini juga, atau besok pagi juga bisa," perintah
Dahlan kepada anak buahnya di Jakarta. Tak sampai 10 menit, sudah ada
jawaban dari Jakarta bahwa pemilik pabrik kertas itu bersedia ketemu
Dahlan besok siang di sebuah hotel megah di Senayan, tempat Dahlan biasa
menginap kalau ke Jakarta.
Merasa kunjungan ke Kalimantan Barat itu
tercapai, selanjutnya Dahlan mencari sasaran lain. Siang itu baru
sekitar pukul 11.00. Setelah melihat di koran Pontianak Post bahwa siang
itu, pukul 13.00, ada penerbangan ke Balikpapan, Dahlan kembali memakai
telepon genggam Sukarti untuk bicara dengan kepala perwakilan Jawa Pos
di Kalimantan Timur. Ia menanyakan cuaca di Balikpapan. Mendapat jawaban
cuaca buruk, Dahlan membatalkan niatnya ke sana, karena penerbangan
dari Pontianak-Balikpapan menggunakan pesawat berbaling-baling dua.
"Saya
memang begini. Pergi ke sana kemari, sering tanpa perencanaan. Bahkan
kadang-kadang saya jalan saja ke airport. Di sana baru ambil keputusan
mau ke mana," katanya. Saking banyaknya perusahaan Jawa Pos yang perlu
dikunjungi, dan Dahlan agaknya suka membuat kunjungan in cognito alias
sidik dadakan, terkadang sudah beli tiket, dibatalkan jika ada urusan
yang dirasa lebih penting.
Batal ke Balikpapan, Dahlan memutuskan
tidur dulu di Pontianak. "Semalam saya nonton bola (di televisi) hingga
pukul 3.00," kata Dahlan. Saya maklum, kalau Dahlan gemar nonton sepak
bola, sebab ia juga menjabat wakil ketua klub sepak bola Persebaya
Surabaya. Oleh Sukarti, Dahlan diinapkan di sebuah kamar suite hotel
berbintang tiga yang letaknya sekitar 500 meter dari kantor PT Akcaya
Utama Press. "Sekarang pukul setengah satu. Kita ketemu lagi untuk makan
siang pukul 2.00, ya," begitu instruksi Dahlan.
"Ya, bos," ujar Untung Sukarti sambil mengangguk.
Begitulah
Dahlan Iskan, pengusaha besar yang mengelola banyak perusahaan. Siang
bisa jadi waktu tidur, malam waktu begadang. Setelah tidur satu setengah
jam, Dahlan mengadakan pertemuan dengan direksi dan beberapa manajer
kelompok Akcaya mulai dari waktu makan siang sampai pukul sepuluh malam.
Selanjutnya, ia melakukan pembicaraan-pembicaraan telepon ke Jawa Pos
serta anak-anak perusahaan hingga tengah malam, baru pergi tidur ke
hotel. Cuma untuk dua jam. Ia minta Sukarti menjemputnya pukul 02.00
dinihari.
Sukarti datang menjemputnya dengan kendaraan distribusi
Pontianak Post, sebuah mobil van Daihatsu. Dahlan, dengan pakaian
training, ikut manajer pemasaran untuk membawa koran kepada sekitar 12
agen. Koran itu tidak sekadar diturunkan di depan pintu rumah para agen.
Dahlan turun dari mobil, mengetok pintu sampai para agen keluar, lalu
berbincang-bincang sekitar satu hingga tiga menit. Ia menanyakan
keadaan, menasihati, dan mendengarkan keinginan mereka. Usai keliling ke
agen-agen, hari sudah subuh. Dahlan mengajak cari minum teh panas di
pasar. Setelah membaca koran Pontianak Post, keluarlah celetukannya,
"Koran ini terlalu banyak berita kering. Kurang menonjolkan hal-hal
kemanusiaan. Bilang pada redaksinya supaya kurangi wawancara pejabat dan
suguhkan lebih banyak liputan masyarakat, bangkitkan penghargaan kota,"
pesan Dahlan kepada Sukarti. Ia lalu memberi beberapa nasihat kepada
manajer pemasaran Pontianak Post Tri Hanjaya. "Kalau kerja di koran,
jadi manajer pemasaran jangan pakai dasi," katanya.
Pukul 06.00 kami
ke hotel, mengambil tas masing-masing lalu ke bandar udara Pontianak.
Dalam mobil Sukarti tercium bau durian. Dahlan ternyata penggemar berat
durian. Karena itu Sukarti membawanya beberapa buah. "Pernah saya ke
Singapura hanya untuk pergi makan durian. Itu karena diajak seorang
teman, pengusaha di Jakarta," tutur Dahlan. Tiba di bandar udara, kami
duduk santai di areal parkir bandara Soepadio, menunggu pesawat yang
baru datang pukul 09.00. Dahlan dengan tenang menikmati durian dari
Sekadau itu.
Sejak kemarin pagi, baru pagi ini saya bisa mengobrol
berduaan dengan Dahlan. Kami terbang ke Jakarta dengan pesawat pertama,
Pelita Air yang cuma ada kelas ekonomi. Tiket kelas bisnis Garuda yang
sudah disediakan dari Jakarta, tidak jadi dipakainya karena terbang
lebih siang, sedangkan ia mengejar janji pertemuan bisnis dengan pemilik
pabrik kertas yang ditinjaunya di Pontianak. Tiba di Jakarta, Dahlan
dengan pakaian yang semalam, sepasang training, pergi ke hotel bintang
lima di Senayan untuk melakukan pembicaraan bisnis bersama pemilik
pabrik kertas. Sementara saya langsung ke ruang tunggu Garuda. Kami
sepakat naik Garuda ke Surabaya pukul 14.00. Dahlan ternyata bisa
kembali dalam tempo satu jam setengah. Ketika saya sudah dalam pesawat,
lima menit sebelum terbang, Dahlan baru muncul.
Pengalaman
mendampingi Dahlan ternyata tidak mudah. Di Surabaya juga sulit
mencarinya. Bos Jawa Pos ini ternyata tidak punya ruang kantor dan kursi
di Graha Pena yang tinggi menjulang bagaikan gedung perkantoran
menteri-menteri di Jakarta. Ia bahkan tak punya nomor telepon khusus.
Dari waktu ke waktu ia yang menelepon staf sekretariat untuk melaporkan
posisinya.
No comments:
Post a Comment