Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
JAWA POS sebenarnya sebuah koran tua. Koran ini didirikan 1 Juli 1949
oleh pasangan suami isteri The Chung Shen alias Soeseno Tedjo dan Mega
Endah. Om The dan Tante The, begitu bapak dan ibu ini dipanggil, pernah
menjadi "raja koran" Indonesia karena memiliki tiga koran yang
diterbitkan dalam tiga bahasa: Java Post, koran beraksara Cina Hwa Chiao
Sien Wen dan koran berbahasa Belanda de Vrije Pers. Koran berbahasa
Cina yang antikomunis itu akhirnya ditutup ketika Partai Komunis
Indonesia makin kuat berpengaruh, sedangkan yang berbahasa Belanda
diubah jadi koran berbahasa Inggris, Indonesian Daily News. Koran ini
ditutup karena kesulitan mencari redaktur dan Dahlan kini mencoba
menghidupkannya kembali.
Di zaman Orde Baru, koran Java Post, yang
kemudian jadi Djawa Post, dan terakhir bernama Jawa Pos, terus mengalami
kemunduran. Pada 1982, sirkulasi koran pagi itu cuma sekitar sepuluh
persen dari tiras koran harian sore Surabaya Post. Anak-anak keluarga
The, yang disekolahkan di Inggris, ternyata enggan balik ke Indonesia
untuk melanjutkan usaha koran ini. Sementara Om dan Tante The merasa
makin dirongrong usia sehingga memutuskan menjual Jawa Pos agar ada yang
meneruskan.
Kebetulan mereka bertemu direktur utama PT Grafiti Pers
Eric Samola yang sedang berambisi melakukan ekspansi. Samola mulanya
ingin menerbitkan sebuah majalah tandingan Tempo, seperti yang pernah
dicoba Bur Rasuanto. "Daripada orang lain yang bikin, kan lebih baik
kita," kata Samola. Ketika itu, dengan oplah sekitar 25 ribu per minggu,
majalah Tempo sudah mampu menggaji karyawannya dengan baik, memberi
bonus, membelikan mobil dan sepeda motor untuk redaksi, bahkan sudah
punya uang nganggur beberapa ratus juta yang didepositokan di bank.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba, ketemu koran Jawa Pos langsung dibeli.
Tak
jelas berapa transaksi pembelian seluruh saham keluarga The di PT Jawa
Pos itu, tapi yang pasti modal kerja yang dianggarkan bagi Dahlan Iskan
untuk meneruskan koran itu cuma Rp 45 juta. Pengucuran dana tidak
sekaligus, tapi setetes demi setetes sesuai kebutuhan. Dahlan tidak
protes tapi justru berupaya irit. Hingga, ketika PT Jawa Pos mampu
mandiri dalam keuangan, modal dari Tempo yang terpakai tak sampai Rp 30
juta.
Kemandirian Jawa Pos itu tidak datang begitu saja. Dahlan dan
seluruh staf lama Jawa Pos kerja keras dan kerja lebih keras. Begitu
jadi pemimpin redaksi Jawa Pos, Dahlan menurunkan semua ilmu yang
diperolehnya di Tempo kepada semua wartawan Jawa Pos. Sistem kerja
wartawan Jawa Pos, yang tadinya hanya menantikan siaran pers atau
undangan pertemuan pers, diubahnya jadi sistem mengejar dan menggali
berita. Pola ini sangat membutuhkan perencanaan. Feature dan analisis
berita yang sebelumnya tak tersentuh, digalakkan, posisinya disejajarkan
dengan berita-berita hunting dan running news.
Redaksi yang biasanya
sore-sore sudah pulang, diwajibkannya bekerja atau minimal siaga sampai
pukul dua dinihari. Kalau ada peristiwa istimewa, wartawan disuruh ke
lapangan sampai pukul 24.00. Pada jajaran redaksi juga ditanamkan
semangat dan perasaan bangga bahwa mereka bukan lagi bekerja di koran
daerah, tapi koran nasional. Pengiriman wartawan ke luar negeri pun
dikembangkan. "Patut dikenang, hasil pengiriman Nany Wijaya ke Filipina
secara nyata menaikkan oplah sebesar 40 ribu eksemplar, sekaligus
menandai bermulanya citra baru Jawa Pos," kata Dahlan, mengacu pada
reportase Nany saat diktator Ferdinand Marcos terpaksa turun gara-gara
demonstrasi rakyat Filipina.
Para karyawan di bagian tata letak juga
dikendalikannya dengan keras. Mereka harus bekerja tanpa kursi, harus
kerja sambil berdiri terus mulai pukul dua siang sampai tiga dini hari.
Setiap dini hari Dahlan datang dengan penggaris dan memukul-mukul meja
supaya tata muka cepat selesai. Kalau terlambat, Dahlan tidak segan
memukul paha karyawan.
Peningkatan kinerja produksi tidak otomatis
membuat pasaran membaik. Sistem kerja redaksi sudah ditingkatkan, rupa
dan penampilan Jawa Pos juga sudah dipercantik, tapi para agen koran
ternyata tidak mau jual. Dahlan gemas dan memeriksa pemasaran. Ia
mendatangi para penjual dan agen-agen koran untuk mencari tahu ada apa
dengan Jawa Pos. Rupanya, selama itu korannya tidak dikenal. Ketika
dibeli Tempo, sirkulasi Jawa Pos cuma 6.800 eksemplar. Dari jumlah itu,
pelanggannya hanya 2.400 orang, sisanya dibagikan pada berbagai instansi
pemerintah. Tidak ada yang dijual di pasar eceran.
Dahlan lalu
membujuk agar kios-kios pedagang koran mau memajang Jawa Pos. Kalau
tidak laku, boleh di-retour (kirim kembali). Mereka ternyata malas
mengisi formulir retour. Dahlan lalu memutuskan perlu membangun jalur
pemasaran sendiri. Ia menyuruh keluarga karyawan ikut memasarkan Jawa
Pos, juga merekrut anak sekolah menjajakan Jawa Pos di jalan-jalan
dengan imbalan dibayarkan biaya sekolahnya. Kiat ini berhasil. Jawa Pos
mulai dilirik, mulai laku sehingga anak-anak sekolah yang menjajakan
koran itu mulai terrangsang dengan sistem komisi sekian persen dari
hasil penjualan.
Pasar pelanggan tetap mulai terbentuk berkat upaya
keluarga karyawan yang ikut menjual koran Jawa Pos. Istri Dahlan pun,
Nafsiah, sangat getol mencari langganan. Menurut Hadiaman Santoso, ketua
Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jawa Timur, Nafsiah Dahlan pernah
menggaet sampai 3.500 pelanggan. "Dengan itu saja, keluarga Dahlan sudah
bisa hidup makmur," komentar Hadiaman, yang juga redaktur senior harian
Surya, koran yang sempat ditakuti Dahlan karena harian ini diterbitkan
di Surabaya oleh dua raksasa pers Jakarta: Kompas dan Pos Kota.
Memegang
agen untuk 3.500 pelanggan jelas merupakan lahan penghasilan besar.
Ketika saya mengikuti Dahlan dalam kunjungannya pada agen koran
Pontianak Post pukul tiga pagi, saya dengar Dahlan menasihati mereka
agar berupaya mendapatkan pelanggan minimal 200, "Kalau punya 200, itu
sudah bisa hidup untuk keluarga dan itu bisa diwariskan ke anak cucu."
Ya, hitung saja, jika satu koran berharga Rp 1.500 dengan komisi 40
persen, agen mendapat Rp 600 per eksemplar per hari. Jika ia mendapatkan
200 pelanggan, berarti pendapatan setiap hari Rp 120 ribu, jelas itu
suatu jumlah yang cukup untuk belanja sehari-hari. Lha, bayangkan kalau
Nafsiah punya 3.500 pelanggan, berapa penghasilan hariannya?
"Ah, itu
bohong. Tak pernah sebanyak itu, cuma sekitar seribu pelanggan kok,
tapi sudah kami bagikan-bagikan kepada orang lain. Sekarang saya pegang
tinggal 500 pelanggan, tidak punya cukup waktu lagi," ujar Nafsiah.
Jawabannya belum selesai. "Langganan 500 itu kami pertahankan sekadar
untuk ngecek-ngecek apakah koran terlambat tiba di agen? Apakah
pembayaran dari langgaran lancar atau tidak? Kalau ada yang jadi bos
(maksudnya Dahlan Iskan), harus ada yang jadi kulinya di pasar," kelakar
ibu dari Asrul Ananta Dahlan dan Isna Dahlan itu.
Kendati sudah
makmur dan punya mobil dinas Mercedes Benz berpelat nomor polisi L-1-JP,
Dahlan Iskan sekeluarga ternyata masih tinggal di kompleks perumahan
kelas menengah Tenggilis Mejoyo, Surabaya. "Itu bukan kompleks perumahan
mewah," kata seorang sopir taksi yang saya tanyai.
Dahlan masih
biasa hidup prihatin. Ketika krisis moneter tahun 1997 mulai menghantam,
ia menyuruh para karyawan hidup hemat. Agar semua karyawan menghayati
krisis moneter, ada larangan untuk bertepuk tangan di Jawa Pos. Dahlan
dan direksi memberi contoh dengan merumahkan semua mobil mewah. Dan,
untuk ke kantor, Dahlan yang suka mengebut itu memakai sedan Bimantara
bekas, atau menumpang kendaraan sirkulasi Jawa Pos. Kacamatanya yang
patah pun tidak dibetulkannya. Putrinya, Isna yang dulu kuliah di
Amerika Serikat, ditariknya kembali kuliah di Surabaya. Untunglah
putranya, Asrul Ananta, sudah lulus kuliah ekonomi manajemen di Amerika.
Ananta kini menjadi wartawan Jawa Pos yang mengisi rubrik anak-anak
muda. (Sejak 2005 Asrul Ananda resmi menjadi pemimpin redaksi Jawa
Pos--editor.)
Jawa Pos juga memakai penggarapan pasar secara blok
sejak lima tahun pertama (1982-1987). Blok pertama Surabaya, kedua
Malang, kemudian Jember, dan seterusnya ke timur. Demikian pula ke barat
sampai Jawa Tengah. Ditunjang sistem pemasaran macam ini, koran-koran
pendatang baru, macam Surya, menjadi sulit bersaing dengan Jawa Pos.
Pada 1993 muncul harian Surya dari konsorsium Kompas dan Pos Kota. Ini
membuat Jawa Pos merasa dapat musuh berbahaya. Perang itu memang
terlihat di jalanan. Menurut Hadiaman, poster-poster Surya sering
ditutup poster Jawa Pos. Belakangan saya dengar harian Kompas berupaya
menyusup ke langganan Jawa Pos dengan menawarkan, jika mau berlangganan
Kompas, akan diberi lampiran koran Jawa Pos gratis. "Jika itu benar,
pasti bukan kebijakan koran KOMPAS. Saya pikir itu permainan agen saja,"
komentar Dahlan.
Sebagai langkah pamungkas, Jawa Pos membeli mesin
cetak sendiri dengan sistem sewa beli. Dengan demikian, kualitas produk
menjadi sempurna luar dalam, isi maupun kulitnya. Dalam akhir lima tahun
pertama, Jawa Pos sudah jadi koran spektakuler. Oplah mencapai 126 ribu
eksemplar dengan omset tahunan melejit sampai Rp 10,6 miliar atau 20
kali lipat dari omset tahun pertama pada 1982.
Pada tahap lima tahun
kedua (1987-1992), Jawa Pos terus memantapkan pasar. Kalau tadinya koran
itu hanya dibeli kelas menengah bawah, Dahlan berupaya memperbaiki
citranya untuk bersaing dengan Kompas di kalangan menengah atas. Untuk
itu ia mengkampanyekan Jawa Pos sebagai 'koran nasional yang terbit dari
Surabaya', dan menempatkan tenaga khusus di luar negeri. Pada 1992,
oplah Jawa Pos mencapai 300 ribu eksemplar per hari dengan omset Rp 38,6
miliar.
Bahkan sampai sekarang pun Dahlan Iskan masih melakukan
macam-macam upaya. Ia populer bukan cuma di antara para pendukung klub
sepakbola Persebaya. Ia juga dekat dengan para pengusaha keturunan
Tionghoa di Surabaya. "Tahu apa dia tentang Barongsai? Lalu mau jadi
ketua Perhimpunan Barongsai Indonesia?" ujar Hadiaman dari Surya.
No comments:
Post a Comment