Wednesday, May 2, 2001

Jawa Pos adalah Dahlan Iskan (7)

Jawa Pos adalah Dahlan Iskan (7)
Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001

DI Jakarta Jawa Pos mula-mula masuk ke harian Merdeka milik keluarga B.M. Diah, dengan mendirikan PT Wahana Ekonomi Semesta. Menurut Margiono, wakil direktur Jawa Pos yang berkantor di Jakarta, perusahaan itu 40 persen milik Jawa Pos, 40 persen kelompok Merdeka, dan 20 persen karyawan. Sekarang yang disebut kelompok Merdeka ternyata beberapa mantan orang Tempo yang meninggalkan pemimpin redaksi Goenawan Mohamad saat pembredelan Juni 1994. Mereka antara lain Harjoko Trisnadi, Mastum Mahtum, dan Lukman Setiawan yang diperkuat Alwi Hamu dari Makassar. Mereka tadinya memang bekerjasama dengan keluarga B.M. Diah untuk mengelola harian Merdeka.

Selain mengelola harian Merdeka, diam-diam Jawa Pos juga sempat membantu eks karyawan majalah Tempo yang tidak mau bergabung dengan Gatra yang didirikan oleh pengusaha Bob Hasan, kroni Presiden Soeharto, setelah Tempo dibredel 1994. PT Grafiti Pers, penerbit Tempo, membeli dan menghidupkan majalah Detektif & Romantika. Majalah kriminal dan seks itu diubah menjadi sebuah majalah berita mingguan mirip Tempo. Nama disingkat menjadi D&R. Slogan pun diubah jadi "demokrasi dan reformasi". Lantaran majalah ini sering mengkritik Orde Baru, pemerintah lalu mencari-cari jalan agar D&R tidak bisa terbit. Dipersoalkanlah berbagai segi, mulai wartawannya yang bukan anggota Persatuan Wartawan Indonesia, satu-satunya organisasi resmi wartawan zaman Soeharto, hingga soal siapa sebenarnya pengelola D&R.

PT Grafiti Pers lalu mengoperkan D&R kepada Jawa Pos dan menunjuk Margiono sebagai pemimpin redaksinya. Malang bagi Margiono, begitu namanya dipajang di D&R, muncullah kulit majalah yang menghebohkan itu: gambar kartu remi king berwajah Presiden Soeharto yang dibolak-balik. Akibatnya, Margiono yang tidak tahu-menahu soal itu, berurusan dengan kepolisian, dan berhari-hari menjalani pemeriksaan. Untunglah, pemerintah Soeharto keburu jatuh sehingga urusan D&R selesai begitu saja.

Tapi nasib majalah ini berakhir tragis. D&R sempoyongan ketika tenaga inti redaksinya, yang berasal dari majalah Tempo ditarik untuk membangkitkan kembali majalah Tempo pada Oktober 1998. Perusahaan itu pun dioperkan Jawa Pos kepada sebuah konsorsium pimpinan The Jakarta Post. Tinggal komandannya, Bambang Bujono, serta beberapa wartawan hasil rekrutmen baru yang bertahan. Mereka dengan cepat kalah pamor dengan mingguan Tempo versi baru sehingga lambat laun konsorsium itu membiarkan D&R terpuruk.

Sementara itu, klik Dahlan bersama Mahtum ternyata terus berkembang kuat. Mula-mula memang sempat kacau. Sesuai petunjuk Menteri Penerangan Harmoko, Dahlan Iskan masuk dalam koran Merdeka tidak dengan nama Jawa Pos melainkan dengan nama dirinya pribadi. Itu sebabnya koran keluarga Diah yang terkenal di zaman perjuangan kemerdekaan ini, tidak berubah secara signifikan ketika Dahlan Iskan masuk, sehingga para agen malas memasarkannya. "Kami taruh saja di bawah meja. Kasihan kalau suruh anak-anak jual. Tidak laku," begitu saya dengar sekitar tahun 1996 dari Laris Naibaho, satu dari 17 agen terbesar yang menguasai pasar koran Jakarta dan sekitarnya. 

Tak mengherankan kalau Merdeka terus merugi, bahkan ketika krisis moneter datang menerjang tahun 1997, aset percetakannya sempat masuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). "Itu karena kreditnya pada Bank Danamon sekitar Rp 3 miliar macet," ungkap Baharuddin, manajer Jawa Pos perwakilan Jakarta. Ujung-ujungnya, terjadilah bentrok antara keluarga BM Diah dengan kelompok Dahlan Iskan. 

Untunglah, Presiden B.J. Habibie membebaskan penerbitan pers baru tanpa perlu izin lagi. Bersama kelompok Mahtum, Dahlan Iskan menerbitkan koran baru dengan logo yang meniru Merdeka, tapi pakai nama Rakyat Merdeka. Ini dipandang kurang etis tapi aset percetakan Merdeka yang masuk BPPN ditebus. Pengisian dan redaksional Rakyat Merdeka pun berubah. Oleh Margiono, penulisan penuh opini gaya D&R, diturunkan ke Rakyat Merdeka. Jadilah itu koran opini yang sering memelintir judul dari isinya. Pokoknya judulnya berani dan sensasional. "Orang bilang koran kami ekstrem, koran provokasi. Itu karena pers kita tidak terbiasa dengan opini. Sasaran kami hanyalah mengusahakan bagaimana membuat produk yang bisa dibeli oleh pembaca," kilah Margiono, pemimpin redaksi Rakyat Merdeka. 

Kiat seperti itu ternyata menarik minat para agen untuk memasarkannya. Menurut Baharuddin, penjualan Rakyat Merdeka sangat bergantung pada isi berita dan judul. Kekuatan koran ini di pasar eceran (80 persen), bukan pada pelanggan tetap. Kalau ada opini berita yang menarik, Baharuddin menelepon para agen untuk mendapatkan reaksi, barulah dicetak sesuai permintaan pasar, ditambah ekstra 30 persen. Maka tiras Rakyat Merdeka pernah melejit hingga 180 ribu, lalu anjlok tinggal 70 ribu. "Sejak tahun 2000 hingga kini bisa bertahan di sekitar 120-150 ribu eksemplar per hari," ungkap Baharuddin. 

Dengan omset sekitar Rp 5 miliar per bulan, maka Rakyat Merdeka jelas sudah masuk kategori "kapal induk" dalam kelompok Jawa Pos. Tapi PT Wahana Ekonomi Semesta tampaknya tak sekadar ingin menjadi sebuah kapal induk dalam lingkungan Jawa Pos News Network. Ia ingin menjadi suatu konglomerat pers tersendiri, seakan ingin bersaing dengan Jawa Pos. 

Perusahaan yang berkantor di sebuah rumah toko berlantai tiga di kompleks kampus Widuri, Jalan Kebayoran Lama, Jakarta, kini memiliki sejumlah koran bukan cuma khusus di Jakarta dan sekitarnya, tetapi sudah melebarkan sayapnya hingga Jawa Tengah, Sumatra, dan Sulawesi. Selain memiliki Rakyat Merdeka, PT Wahana Ekonomi Semesta mengelola suratkabar lokal: Sinar Glodok (daerah Glodok, Jakarta), Radar Bogor, Radar Tangerang, Radar Cirebon, Harian Banten, Radar Banyumas, Radar Tegal, Sumatera Ekspres, Jambi Ekspres, Independent (Jambi), Radar Lampung, dan Kendari Pos.

Selain memiliki saham PT Wahana Ekonomi Semesta dan percetakan PT Wahana Semesta Inti di Jakarta, Jawa Pos juga memiliki percetakan umum dengan nama PT Pentagraf dan beberapa unit mesin percetakan koran yang dikelola PT Temprina Media Grafika langsung dari markas mereka di Surabaya. Total aset Jawa Pos di Jakarta dan sekitarnya, menurut Margiono, sudah sekitar Rp 150 miliar.

Dalam situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, Jawa Pos perwakilan Jakarta masih mampu membangun gedung tinggi. Sebuah menara berlantai delapan yang akan menelan biaya sekitar Rp 60 miliar tengah dibangun di Jalan Kebayoran Lama, tak jauh dari kantor perwakilan sekarang yang berlantai tiga. "Duit tak masalah. Kita minta saja pada mereka yang mau berkantor di situ masing-masing Rp 5 miliar, lalu pinjam dari anak-anak Jawa Pos lain masing-masing Rp 250 juta, pasti jadi," tutur Dahlan.

Kiat itulah yang diterapkan Jawa Pos dalam membiayai pembangunan Graha Pena di Surabaya sehingga bisa diselesaikan tanpa punya utang dolar yang mencekik para konglomerat saat krisis ekonomi 1997. Sistem "keroyokan" atau patungan modal itu pulalah yang hendak diterapkannya untuk merealisasikan proyek pembangunan stasiun televisi lokal di delapan kota yang akan menelan anggaran sekitar Rp 40 miliar. Tapi masing-masing peminjam tetap harus mempertanggungjawabkan pengembalian berikut bunganya. "Jika gagal, sanksinya berat," ungkap Untung Sukarti dari Pontianak. 

No comments:

Post a Comment