Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
DI Jakarta Jawa Pos mula-mula masuk ke harian Merdeka milik keluarga
B.M. Diah, dengan mendirikan PT Wahana Ekonomi Semesta. Menurut
Margiono, wakil direktur Jawa Pos yang berkantor di Jakarta, perusahaan
itu 40 persen milik Jawa Pos, 40 persen kelompok Merdeka, dan 20 persen
karyawan. Sekarang yang disebut kelompok Merdeka ternyata beberapa
mantan orang Tempo yang meninggalkan pemimpin redaksi Goenawan Mohamad
saat pembredelan Juni 1994. Mereka antara lain Harjoko Trisnadi, Mastum
Mahtum, dan Lukman Setiawan yang diperkuat Alwi Hamu dari Makassar.
Mereka tadinya memang bekerjasama dengan keluarga B.M. Diah untuk
mengelola harian Merdeka.
Selain mengelola harian Merdeka, diam-diam
Jawa Pos juga sempat membantu eks karyawan majalah Tempo yang tidak mau
bergabung dengan Gatra yang didirikan oleh pengusaha Bob Hasan, kroni
Presiden Soeharto, setelah Tempo dibredel 1994. PT Grafiti Pers,
penerbit Tempo, membeli dan menghidupkan majalah Detektif &
Romantika. Majalah kriminal dan seks itu diubah menjadi sebuah majalah
berita mingguan mirip Tempo. Nama disingkat menjadi D&R. Slogan pun
diubah jadi "demokrasi dan reformasi". Lantaran majalah ini sering
mengkritik Orde Baru, pemerintah lalu mencari-cari jalan agar D&R
tidak bisa terbit. Dipersoalkanlah berbagai segi, mulai wartawannya yang
bukan anggota Persatuan Wartawan Indonesia, satu-satunya organisasi
resmi wartawan zaman Soeharto, hingga soal siapa sebenarnya pengelola
D&R.
PT Grafiti Pers lalu mengoperkan D&R kepada Jawa Pos dan
menunjuk Margiono sebagai pemimpin redaksinya. Malang bagi Margiono,
begitu namanya dipajang di D&R, muncullah kulit majalah yang
menghebohkan itu: gambar kartu remi king berwajah Presiden Soeharto yang
dibolak-balik. Akibatnya, Margiono yang tidak tahu-menahu soal itu,
berurusan dengan kepolisian, dan berhari-hari menjalani pemeriksaan.
Untunglah, pemerintah Soeharto keburu jatuh sehingga urusan D&R
selesai begitu saja.
Tapi nasib majalah ini berakhir tragis. D&R
sempoyongan ketika tenaga inti redaksinya, yang berasal dari majalah
Tempo ditarik untuk membangkitkan kembali majalah Tempo pada Oktober
1998. Perusahaan itu pun dioperkan Jawa Pos kepada sebuah konsorsium
pimpinan The Jakarta Post. Tinggal komandannya, Bambang Bujono, serta
beberapa wartawan hasil rekrutmen baru yang bertahan. Mereka dengan
cepat kalah pamor dengan mingguan Tempo versi baru sehingga lambat laun
konsorsium itu membiarkan D&R terpuruk.
Sementara itu, klik
Dahlan bersama Mahtum ternyata terus berkembang kuat. Mula-mula memang
sempat kacau. Sesuai petunjuk Menteri Penerangan Harmoko, Dahlan Iskan
masuk dalam koran Merdeka tidak dengan nama Jawa Pos melainkan dengan
nama dirinya pribadi. Itu sebabnya koran keluarga Diah yang terkenal di
zaman perjuangan kemerdekaan ini, tidak berubah secara signifikan ketika
Dahlan Iskan masuk, sehingga para agen malas memasarkannya. "Kami taruh
saja di bawah meja. Kasihan kalau suruh anak-anak jual. Tidak laku,"
begitu saya dengar sekitar tahun 1996 dari Laris Naibaho, satu dari 17
agen terbesar yang menguasai pasar koran Jakarta dan sekitarnya.
Tak
mengherankan kalau Merdeka terus merugi, bahkan ketika krisis moneter
datang menerjang tahun 1997, aset percetakannya sempat masuk Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). "Itu karena kreditnya pada Bank
Danamon sekitar Rp 3 miliar macet," ungkap Baharuddin, manajer Jawa Pos
perwakilan Jakarta. Ujung-ujungnya, terjadilah bentrok antara keluarga
BM Diah dengan kelompok Dahlan Iskan.
Untunglah, Presiden B.J.
Habibie membebaskan penerbitan pers baru tanpa perlu izin lagi. Bersama
kelompok Mahtum, Dahlan Iskan menerbitkan koran baru dengan logo yang
meniru Merdeka, tapi pakai nama Rakyat Merdeka. Ini dipandang kurang
etis tapi aset percetakan Merdeka yang masuk BPPN ditebus. Pengisian dan
redaksional Rakyat Merdeka pun berubah. Oleh Margiono, penulisan penuh
opini gaya D&R, diturunkan ke Rakyat Merdeka. Jadilah itu koran
opini yang sering memelintir judul dari isinya. Pokoknya judulnya berani
dan sensasional. "Orang bilang koran kami ekstrem, koran provokasi. Itu
karena pers kita tidak terbiasa dengan opini. Sasaran kami hanyalah
mengusahakan bagaimana membuat produk yang bisa dibeli oleh pembaca,"
kilah Margiono, pemimpin redaksi Rakyat Merdeka.
Kiat seperti itu
ternyata menarik minat para agen untuk memasarkannya. Menurut
Baharuddin, penjualan Rakyat Merdeka sangat bergantung pada isi berita
dan judul. Kekuatan koran ini di pasar eceran (80 persen), bukan pada
pelanggan tetap. Kalau ada opini berita yang menarik, Baharuddin
menelepon para agen untuk mendapatkan reaksi, barulah dicetak sesuai
permintaan pasar, ditambah ekstra 30 persen. Maka tiras Rakyat Merdeka
pernah melejit hingga 180 ribu, lalu anjlok tinggal 70 ribu. "Sejak
tahun 2000 hingga kini bisa bertahan di sekitar 120-150 ribu eksemplar
per hari," ungkap Baharuddin.
Dengan omset sekitar Rp 5 miliar per
bulan, maka Rakyat Merdeka jelas sudah masuk kategori "kapal induk"
dalam kelompok Jawa Pos. Tapi PT Wahana Ekonomi Semesta tampaknya tak
sekadar ingin menjadi sebuah kapal induk dalam lingkungan Jawa Pos News
Network. Ia ingin menjadi suatu konglomerat pers tersendiri, seakan
ingin bersaing dengan Jawa Pos.
Perusahaan yang berkantor di sebuah
rumah toko berlantai tiga di kompleks kampus Widuri, Jalan Kebayoran
Lama, Jakarta, kini memiliki sejumlah koran bukan cuma khusus di Jakarta
dan sekitarnya, tetapi sudah melebarkan sayapnya hingga Jawa Tengah,
Sumatra, dan Sulawesi. Selain memiliki Rakyat Merdeka, PT Wahana Ekonomi
Semesta mengelola suratkabar lokal: Sinar Glodok (daerah Glodok,
Jakarta), Radar Bogor, Radar Tangerang, Radar Cirebon, Harian Banten,
Radar Banyumas, Radar Tegal, Sumatera Ekspres, Jambi Ekspres,
Independent (Jambi), Radar Lampung, dan Kendari Pos.
Selain memiliki
saham PT Wahana Ekonomi Semesta dan percetakan PT Wahana Semesta Inti di
Jakarta, Jawa Pos juga memiliki percetakan umum dengan nama PT
Pentagraf dan beberapa unit mesin percetakan koran yang dikelola PT
Temprina Media Grafika langsung dari markas mereka di Surabaya. Total
aset Jawa Pos di Jakarta dan sekitarnya, menurut Margiono, sudah sekitar
Rp 150 miliar.
Dalam situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini,
Jawa Pos perwakilan Jakarta masih mampu membangun gedung tinggi. Sebuah
menara berlantai delapan yang akan menelan biaya sekitar Rp 60 miliar
tengah dibangun di Jalan Kebayoran Lama, tak jauh dari kantor perwakilan
sekarang yang berlantai tiga. "Duit tak masalah. Kita minta saja pada
mereka yang mau berkantor di situ masing-masing Rp 5 miliar, lalu pinjam
dari anak-anak Jawa Pos lain masing-masing Rp 250 juta, pasti jadi,"
tutur Dahlan.
Kiat itulah yang diterapkan Jawa Pos dalam membiayai
pembangunan Graha Pena di Surabaya sehingga bisa diselesaikan tanpa
punya utang dolar yang mencekik para konglomerat saat krisis ekonomi
1997. Sistem "keroyokan" atau patungan modal itu pulalah yang hendak
diterapkannya untuk merealisasikan proyek pembangunan stasiun televisi
lokal di delapan kota yang akan menelan anggaran sekitar Rp 40 miliar.
Tapi masing-masing peminjam tetap harus mempertanggungjawabkan
pengembalian berikut bunganya. "Jika gagal, sanksinya berat," ungkap
Untung Sukarti dari Pontianak.
No comments:
Post a Comment