Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
DALAM buku Jawa Pos Koran Kita yang diterbitkan 1 Januari tahun 2000,
disebutkan kelompok Jawa Pos ada sebanyak 67 koran dan tabloid. Mereka
tergabung dalam delapan armada yang disebut "kapal induk". Delapan
armada itu masing-masing:
- Jawa Pos (Jawa Timur dan Jawa Tengah hingga Nusa Tenggara) dengan pangkalan Surabaya;
- Riau Pos (Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat) dengan pangkalan Pekanbaru;
- Sumatera Ekspres (Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung) dengan pangkalan Palembang;
- Rakyat Merdeka (Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah) di Jakarta;
- Akcaya (Kalimantan Barat) di Pontianak;
- Armada Manuntung (Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah) di Balikpapan;
- Kelompok Fajar di Sulawesi Selatan dan Maluku,
- Armada Manado Post (Sulawesi Utara, Halmahera, Papua Barat) dengan pangkalan Manado.
Jawa Pos biasanya hanya menempatkan satu "kuda
andalan" dari Surabaya untuk memimpin setiap koran daerah yang mau
bersanding. Itu dilakukan Dahlan pada Manuntung (kini Kaltim Post)
dengan menempatkan Zaenal Muttaqien ke Balikpapan. Kuda yang lain, Surya
Aka, mulai kariernya sebagai koresponden di Madiun, lalu jadi sampai
koordinator liputan di kantor Jawa Pos Surabaya, dan akhirnya dikirim ke
Akcaya Pontianak. Sukses mengembangkan Akcaya, Surya Aka ditarik lagi
ke pusat untuk mempertajam beberapa tabloid di Surabaya.
Masuknya
Jawa Pos ke Sumatera Utara dimulai Dahlan dengan merekrut rekannya,
mantan koresponden Tempo Rida K. Liamsi. Ini nama samaran yang dibalik
dari Ismail Kadir. Sewaktu jadi koresponden Tempo, ia guru sekolah dasar
sehingga perlu menyamarkan diri jadi wartawan. Rida toh melepaskan
pekerjaan guru dan terus jadi wartawan. Karena lebih tertarik pada koran
harian, pada 1983 Rida pindah ke Suara Karya. Sekali waktu di tahun
1989, ia ingin mewawancarai Dahlan Iskan tentang Persebaya. Dijawab
Dahlan, "Sialan. You bantu saya saja, bikin koran Riau Pos!"
Rida,
putra asli Riau, ternyata merasa cocok dengan manajemen ala Dahlan Iskan
dan ia bisa menyalurkan keinginan Dahlan di koran Riau Pos bersama
pemilik lama harian itu. Dengan oplah 35 ribu, Riau Pos setiap bulan
mempunyai omset Rp 1,8 miliar sehingga mengungguli kapal-kapal induk
lain: Fajar, Manuntung, Manado Post, Sumatera Ekspres dan Akcaya.
Sewaktu saya berkunjung ke Pekanbaru, akhir Maret lalu, saya mendapati
Riau Pos memiliki kantor megah berlantai dua, lengkap dengan mobil
operasional untuk redaksi dan pemasaran juga sebuah Nissan Terano untuk
Rida. "Ini biasa dipakai Dahlan kalau mau ke Padang. Kita biasanya enam
sampai tujuh jam, tapi kalau Dahlan yang setir, cuma lima jam," Rida
membanggakan Dahlan.
Di belakang gedung Riau Pos, terlihat suatu
menara antena stasiun televisi sedang dibangun. Ternyata Rida sedang
merintis lahirnya sebuah stasiun televisi swasta lokal pertama di
Indonesia yang khusus disiarkan hanya untuk provinsi Riau. "Investasinya
kecil-kecilan, cuma Rp 2 miliar. Kami belum tahu akan seperti apa, tapi
insya Allah, mulai siaran akhir April," tutur Rida.
Harian Riau Pos
di pedalaman Sumatra ini mulanya dipandang remeh sehingga tidak pernah
disurvei oleh perusahaan penilai untuk kepentingan para pemasang iklan.
AC Nielsen, misalnya, tak pernah memasukkan Riau Pos dalam surveinya
sehingga koran Waspada Medan dan Fajar Makassar senantiasa dinilai
sebagai koran terbesar di luar Pulau Jawa. "Setelah kami minta Riau Pos
diperiksa juga, ketahuan bahwa kamilah yang terbesar," kata Rida,
membanggakan korannya yang kini bertiras 35 ribu eksemplar per hari. Itu
belum termasuk anak-anak perusahaan seperti Sijori Pos Tanjung Pinang
(25 ribu eksemplar), Batam Pos (15 ribu eksemplar), dan lain-lain.
Tapi
prestasi Riau Pos itu tidak diraih dengan mudah. Selama tiga tahun Rida
mengaku harus berjuang dengan tangisan. Dibantu delapan orang, Rida
mengupayakan koran itu terbit delapan halaman setiap hari. Pada
hari-hari pertama ia menangis, karena tidak ada agen yang mau jual.
"Tahun pertama oplah cuma 2.500, tahun kedua naik 5.000, tahun ketiga
masih 8.000. Tahun keempat naik jadi 12 ribu. Baru pada tahun kelima
dengan oplah 19 ribu. Kami bisa mengadakan pesta selamatan," kenang
Rida.
Rida pula yang pertama-tama merintis koran cetak jarak jauh. Ia
semula panas karena koran Riau Pos selalu kalah cepat dengan koran
Jakarta dalam pemasaran di Batam, daerah makmur di selatan Singapura
itu. Diam-diam ia memakai sistem cetak jarak jauh di Batam dan Tanjung
Pinang, pulau kecil sebelah Pulau Batam. Pada 1995, Menteri Penerangan
Harmoko kaget ketika suatu pagi sedang bermain tenis di Tanjung Pinang.
Pukul 06.00 Harmoko sudah menemukan koran dari Pekanbaru. Rida terpaksa
buka kartu, tapi Harmoko tidak mempermasalahkan usaha cetak jarak jauh
itu sepanjang masih dalam provinsi yang sama.
Untuk cetak jarak
jauh, Riau Pos harus menyewa line satelit Rp 12 juta per bulan. Ketika
dolar melejit pada 1997, tarif sewa naik jadi Rp 60 juta, mereka
terpaksa ganti line pada Telkom Rp 8 juta per bulan. Ternyata line
Telkom sering ngadat, sehingga mereka pindah lagi ke internet. "Setelah
datang reformasi, kami merasa tidak perlu lagi cetak jarak jauh. Bikin
saja koran baru," ungkap Rida, menceritakan usahanya jadi raja koran di
Sumatra. Sejak 1998, saat Riau Pos baru berusia 11 tahun, ia mendirikan
Sijori Pos di Tanjung Pinang, Batam Pos dan Batam Ekspres, Dumai Pos,
Radar Medan, dan Radar Nauli di Sumatera Utara, sampai Padang Ekspres di
Sumatera Barat.
Rida pernah mencoba ke Aceh, tapi melihat gawatnya
medan di sana, Dahlan menasihati tak perlu. Dahlan memang pernah
mengatakan, "Kami tidak berani masuk Aceh, sama seperti Timor Timur."
Rida tidak bisa merambat ke Jambi dan Sumatra Selatan karena di sana
sudah ada "kapal induk" Jawa Pos yang lain, bermarkas di Palembang.
Di
Sumatra Selatan, Jawa Pos mulai menancapkan tonggaknya di Bengkulu.
Ketika mendapatkan tawaran mengelola koran Semarak, dikirimlah Suparno,
seorang reporter karier yang berprestasi mulai dari koresponden di
Madiun hingga menjadi koordinator liputan Jawa Pos. "Mungkin karena
badan saya ini kecil sehingga ditugaskan ke kota kecil (Bengkulu),"
katanya dalam buku Jawa Pos Koran Kita. Lantaran Suparno menjalani
tugasnya dengan sepenuh hati, harian Semarak cepat berkembang.
*****
DAHLAN melihat potensi pada sosok yang imut-imut itu sehingga ketika Jawa Pos mengembangkan sayap ke kota besar Palembang, Suparno dipilih lagi. Jadilah dia pemimpin harian Sumatera Ekspres sambil mengontrol Semarak dari jauh. Bahkan, ketika ada masalah di harian Independent di Jambi, Suparno juga yang ditugaskan membereskannya. Maka, jadilah Suparno direktur koran-koran grup Semarak, Sumatera Ekspres, Independent, dan Jambi Ekspres.
Suparno juga ditugaskan mengelola koran di Lampung, mula-mula Lampung Ekspres. Setelah jalan, pemilik lama ternyata mau jalan sendiri, sehingga Jawa Pos keluar dan mendirikan Radar Lampung.
Tapi, gaya Dahlan yang ala Jawa Pos dari Jawa Timur ini memang tidak mudah diterima oleh pemilik lama koran-koran yang bergabung dengan Jawa Pos. Itulah sebabnya, antara lain, terjadi bentrok di Manado, Medan, dan Lampung. Jika pemilik lama tidak mau mengikuti manajemen ala Jawa Pos, pihak Jawa Pos biasanya langsung saja mengangkat percetakannya. Modal yang sempat ditanam dibiarkan saja.
"Di Medan tadinya ada Medan Ekspres. Bentrok sama pemiliknya, kita tinggalkan. Watak orang Batak mungkin sulit ikut gaya Dahlan. Kini kita coba bikin sendiri. Mau bikin Medan Pos sudah ada yang duluan, maka kita pakai nama Radar Medan saja. Begitu pula di Sibolga," tutur Rida K. Liamsi.
*****
DAHLAN melihat potensi pada sosok yang imut-imut itu sehingga ketika Jawa Pos mengembangkan sayap ke kota besar Palembang, Suparno dipilih lagi. Jadilah dia pemimpin harian Sumatera Ekspres sambil mengontrol Semarak dari jauh. Bahkan, ketika ada masalah di harian Independent di Jambi, Suparno juga yang ditugaskan membereskannya. Maka, jadilah Suparno direktur koran-koran grup Semarak, Sumatera Ekspres, Independent, dan Jambi Ekspres.
Suparno juga ditugaskan mengelola koran di Lampung, mula-mula Lampung Ekspres. Setelah jalan, pemilik lama ternyata mau jalan sendiri, sehingga Jawa Pos keluar dan mendirikan Radar Lampung.
Tapi, gaya Dahlan yang ala Jawa Pos dari Jawa Timur ini memang tidak mudah diterima oleh pemilik lama koran-koran yang bergabung dengan Jawa Pos. Itulah sebabnya, antara lain, terjadi bentrok di Manado, Medan, dan Lampung. Jika pemilik lama tidak mau mengikuti manajemen ala Jawa Pos, pihak Jawa Pos biasanya langsung saja mengangkat percetakannya. Modal yang sempat ditanam dibiarkan saja.
"Di Medan tadinya ada Medan Ekspres. Bentrok sama pemiliknya, kita tinggalkan. Watak orang Batak mungkin sulit ikut gaya Dahlan. Kini kita coba bikin sendiri. Mau bikin Medan Pos sudah ada yang duluan, maka kita pakai nama Radar Medan saja. Begitu pula di Sibolga," tutur Rida K. Liamsi.
No comments:
Post a Comment