Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia?
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
PADA 1993 Jawa Pos mempunyai 23 perusahaan pers yang dibagi dalam tiga
kelompok.
- Kelompok pertama sudah membagikan dividen total Rp 400 juta terdiri dari Manuntung Balikpapan, Fajar Makasar, Akcaya Pontianak, dan majalah Liberty Surabaya.
- Kelompok kedua yang dinilai sudah mandiri dan bisa menghasilkan laba: Nyata dan Putera Harapan di Surabaya, Riau Pos, dan Manado Post.
- Kelompok ketiga masih disubsidi terbatas dan perkembangannya membaik: Suara Nusa (dahulu Lombok Pos), Radar Surabaya (dahulu Suara Indonesia), Kompetisi (Surabaya), Komputek (Surabaya), Memorandum (Surabaya), Mercu Suar (Palu), Agrobis (Surabaya), Radar Solo (dahulu Jawa Anyar), Suara Maluku (Ambon), Cendrawasih Pos (Jayapura), Independent (Jambi), Palangkaraya Pos, Semarak (Bengkulu), dan Batam Pos. Omset kelompok kedua ini pada 1992 tercatat total Rp 12 miliar.
Dahlan
Iskan dalam tempo sepuluh tahun berhasil mengembangkan Jawa Pos bukan
cuma di Jawa Timur, tapi dari Sumatra hingga Papua Barat. Tapi secara
mengejutkan, pada 1993, dalam usia 42 tahun, Dahlan Iskan memutuskan
pensiun sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum Jawa Pos. Beda dengan
induknya, Tempo, yang sampai 1998 terus mengandalkan Goenawan Mohamad
sebagai pemimpin redaksi. Jawa Pos justru melakukan peremajaan. "Supaya
Jawa Pos selalu muda, supaya cocok dengan zamannya," begitu alasan
Dahlan. Mungkin juga Dahlan ingin lebih memberikan waktu sebagai orang
nomor satu Jawa Pos News Network.
Dalam sembilan tahun terakhir,
sejak Dahlan Iskan lengser, redaksi Jawa Pos sudah tiga kali mengalami
pergantian pemimpin. Pengganti Dahlan adalah Margiono. Ia angkatan
pertama berpredikat sarjana yang direkrut pada 1984. Pada 1995, ketika
Jawa Pos menerobos usaha baru ke Jakarta dengan mengelola harian
Merdeka, Margiono ditunjuk sebagai komandan sehingga tampuk redaksi Jawa
Pos dioperkan kepada Solihin Hidayat. Tahun 2000 lalu, setelah kantor
redaksi Jawa Pos diduduki Barisan Serba Guna (Banser) Nahdlatul Ulama
karena dituduh memfitnah pengurus Nahdlatul Ulama, Hidayat digantikan
Dhimam Abror, wartawan berusia 36 tahun. Ia masuk Jawa Pos pada 1988,
dan bukan cuma berpredikat sarjana, tapi juga master of science bidang
pengembangan sumber daya manusia dari Charles Sturk University di
Sidney.
PT Jawa Pos sejak 1982, senantiasa merekrut angkatan kerja
baru yang berpendidikan tinggi dan meremajakan elit redaksi. Belakangan
Dahlan bahkan menerapkan kebijakan yang lebih keras. Prestasi karyawan
dinilai setiap tahun. Mereka yang masuk kelompok lima persen berprestasi
terbaik diberi bonus serta peluang karier lebih tinggi, sedang lima
persen terbawah dinasihatkan untuk pindah atau keluar.
KORAN-koran
yang bernama Radar diproduksi oleh tenaga-tenaga trampil yang rata-rata
berpredikat sarjana. Tapi Dhimam Abror mengakui mutu mereka masih jauh
dari memuaskan. "Masalahnya tidak mudah cari tenaga baru yang langsung
bermutu. Ketika kami meluncurkan tujuh Radar di Jawa Timur, setiap Radar
butuh katakanlah 20 tenaga, sehingga diperlukan sekitar 140 orang. Itu
tak mudah," tutur Abror. Soalnya, menurut Abror, "Dahlan itu ingin
mengejar peluang. Maka, kalau mutu Radar masih rendah, itu adalah
opportunity cost atau katakanlah biaya interest during construction yang
harus dipikul," tambahnya.
Koran kelompok Jawa Pos News Network,
kecuali tujuh Radar di Jawa Timur yang sudah meraih tiras sekitar 10
ribu-30 ribu, banyak yang masih beroplah 3-5 ribu. Tapi jangan dikira
mereka masih disubsidi Jawa Pos. "Yang kami kejar bukan tiras, tapi
iklan," ungkap Untung Sukarti. Potensi iklan dari kota-kota kabupaten
dan kecamatan ternyata cukup besar. Dengan meraih pemasukan iklan Rp 1-
Rp 2 juta sehari, setiap bulan dapat Rp 30- Rp 60 juta. Itu lebih dari
cukup untuk membayar biaya operasi serta gaji karyawan Radar yang
rata-rata cuma 10-20 orang. Pendapatan dari penjualan koran, praktis
hanya untuk bayar ongkos kertas dan cetak.
Adanya jaringan terpadu
komputer koran-koran kelompok Jawa Pos, memang menyebabkan biaya
produksi mereka sangat irit. Koran-koran daerah praktis cuma perlu
mengisi 4-8 halaman dari yang terbit 12-16 halaman. Untuk berita dan
foto-foto nasional, baik politik, olahraga, ekonomi, dan internasional,
tinggal ambil dari jaringan komputer terpadu. Praktis koran-koran daerah
cuma perlu memelihara 5-10 wartawan. Jika harus memelihara koresponden
atau perwakilan di berbagai pelosok nusantara, berapa besar biayanya?
Tapi
untuk mencari iklan di Jakarta, "kapal-kapal induk" tadi mempunyai
tenaga perwakilan di Jakarta. Dan mereka ternyata sangat potensial.
Setiap perwakilan di Jakarta rata-rata bisa memasok iklan Rp 200 juta -
Rp 300 juta ke "kapal induk" mereka.
"Filosofi Dahlan sangat liberal.
Pers harus dikelola sebagai institusi bisnis yang efisien. Di satu sisi
ia ingin kebebasan pers penuh, di sisi lain ia tuntut standar yang
tinggi. Ia juga menekankan efisiensi dalam pengelolaan. Sering itu
dipahami sebagai standar gaji sangat rendah. Baru kalau perusahaan sudah
sehat, karyawan diberi penghargaan," tutur Dhimam Abror.
Itu
terbukti antara lain di tujuh koran yang memakai nama depan Radar di
Jawa Timur. Para karyawan di sana semuanya sarjana, tapi diberi gaji
kecil. Tapi setelah berjalan setahun dan mereka mendapat laba, karyawan
diberi bagian dari keuntungan. "Di Jember, misalnya, bisa dapat tantiem
sebesar Rp 5 - 6 juta, itu jumlah yang tidak kecil dan sangat
menyenangkan karyawan," kata Dhimam Abror. Tantiem adalah bonus akhir
tahun yang diambil dari keuntungan perusahaan.
Munculnya koran-koran
anak Jawa Pos yang memakai nama Radar, sebenarnya meniru harian Suara
Karya, yang pernah membuatkan lampiran berita pedesaan dari program
koran masuk desa. Jawa Pos, yang terlalu memprioritaskan berita
nasional, sering tak punya tempat untuk berita-berita dari kotamadya dan
kabupaten. Maka dibuatlah lembar-lembar lampiran Jawa Pos dengan nama
Radar Malang, Radar Bojonegoro, Radar Kediri, Radar Jember, Radar Bromo,
Radar Banyuwangi, dan Radar Madiun. Lampiran ini ternyata sanggup
menarik pemasang iklan dari kota-kota kabupaten tersebut, sehingga
diputuskanlah mereka harus mandiri.
Kesuksesan memandirikan ketujuh
Radar itu membuat Jawa Pos terdorong untuk berkembang keluar Jawa Timur:
Madura, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, sampai ke Medan, bahkan ke
Papua. Muncullah Radar Madura, Radar Solo, Radar Tegal, Radar Banyumas,
Radar Cirebon, Radar Bogor, Radar Tangerang, Radar Lampung, Radar Medan,
Radar Nauli (Sibolga), Radar Jayapura, Radar Merauke, dan Radar Timika.
Hanya
Radar Surabaya, yang baru muncul Januari 2001 di Surabaya, yang
merupakan metamorfosa sebuah koran nasional tua. Koran ini dulunya
memiliki surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dari zaman Soeharto.
Koran ini didirikan 1976 oleh seorang pengusaha kapal di Surabaya dengan
nama Suara Indonesia. Gagal mengembangkannya, koran ini dijual kepada
walikota Malang Kolonel Sugiono pada 1981. Mungkin tak tahan hawa dingin
Malang, koran ini boyong lagi ke Surabaya karena dibeli oleh harian
Sinar Harapan Jakarta.
Ketika Sinar Harapan dibredel Soeharto pada
1988, Suara Indonesia dijual pada Jawa Pos. Sejalan dengan ramainya
perusahaan masuk bursa, koran inipun diubah Dahlan menjadi koran
ekonomi. Rupanya memang sulit mencari pasar. Tirasnya cuma 3.000.
Munculnya
arus politik yang hiruk-pikuk di tahun 1997, menyebabkan Dahlan
mengubah Suara Indonesia jadi koran umum lagi. Redaksinya dibiarkannya
menurunkan karikatur tentang Soeharto lebih berani dari majalah D&R.
Perubahan itu mendongkrak tirasnya hingga 70 ribu. Tapi Suara Indonesia
kalah bersaing dengan Surya milik Kompas dan Pos Kota di Jawa Timur
maupun koran petang Surabaya Post, apalagi induknya sendiri, Jawa Pos.
"Apapun yang ditulis Suara Indonesia itu ekslusif, tetap saja tidak
diperhatikan orang. Tapi setelah ditulis Jawa Pos atau koran lain,
barulah diperhatikan orang," tutur Luthfi Subagio, pemimpin redaksi
Suara Indonesia.
No comments:
Post a Comment