Demi Mutu Saham, Korbankan Mutu Koran
Koran memang diramalkan akan mati. Tidak lama lagi. Bangkrutnya perusahaan koran terkemuka Chicago Tribune pekan lalu seolah memperkuat ramalan itu. Apalagi, koran besar lainnya seperti Washington Post dan New York Times juga disebut-sebut punya persoalan yang mirip.
Apakah harian Chicago Tribune sudah tidak terbit lagi?
Bukan begitu.
Koran itu masih tetap jaya. Perkiraan saya, Chicago Tribune, sebagai koran, masih sangat menguntungkan. Los Angeles Times pun, anak perusahaan yang lebih besar dari Chicago Tribune,
masih hebat. Berbagai koran lainnya yang juga dimilikinya masih
baik-baik saja. Demikian juga anak-anak perusahaan yang berupa stasiun
TV lokal.
Yang bangkrut itu adalah perusahaan induknya (holding).
Kebangkrutan tersebut dikarenakan utang perusahaan induk itu mencapai
(tarik napas dulu!): USD 13 miliar. Atau sekitar Rp 140 triliun.
Sembilan kali dari nilai asetnya. Parah.
Mengapa sebuah perusahaan koran sampai punya utang sebesar gajah
bengkak yang ditiup? Jawabnya agak rumit. Intinya adalah: gara-gara
koran itu masuk bursa. Setidaknya semangat bursa itulah yang
mendorongnya ke sana.
Jelekkah koran go public? Saya pernah merenungkannya lama.
Yakni, sejak oplah koran-koran di AS secara konstan terus menurun sejak
10 tahun lalu. Sebuah data yang kemudian mendukung ramalan bahwa koran
tersebut segera mati.
Saya pun berkesimpulan bahwa sebaiknya perusahaan tertentu seperti
koran, universitas, dan rumah sakit jangan masuk pasar modal. (Itulah
sebabnya, Jawa Pos yang sudah siap go public sejak 10 tahun lalu menunda terus pelaksanaannya. Lalu, memilih obligasi yang saya anggap sudah setengah go public. Obligasi Jawa Pos yang jatuh tempo tanggal 10 Desember kemarin sudah dilunasi sepenuhnya tanpa cacat sedikit pun. Dari pengalaman obligasi itu, Jawa Pos memperoleh banyak pelajaran sebagai perusahaan ”setengah” publik).
Saya memperhatikan, dengan go public, terjadilah pertentangan dua arus yang berlawanan keras: idealisme dan komersialisme. Kalau mau tetap idealis, performance
korannya di pasar modal tidak sukses. Harga sahamnya tidak akan bisa
segemilang perusahaan yang bisa jungkir balik sebebas-bebasnya.
Tapi, kalau hanya ingin mengejar kecemerlangan di pasar modal, bisa
jadi koran itu jadi korban. Langsung atau tidak langsung. Korannya hanya
akan dipakai sebagai alat dongkrak harga saham.
Tentu saya tidak menuduh harian Chicago Tribune tidak punya idealisme. Atau idealisme Chicago Tribune dinomorduakan. Saya melihat profesionalisme Chicago Tribune terpuji di panggung dunia. Demikian juga Los Angeles Times. Luar biasa hebatnya.
Tapi, karena induk perusahaan koran itu go public, bisa jadi kehebatan Chicago Tribune justru dipakai alat untuk terus memompa performance perusahaan induknya tersebut. Chicago Tribune, juga Los Angeles Times, tampil sebagai ”bintang” yang bisa ”dijual” oleh induk perusahaan tersebut.
Itulah yang umumnya terjadi di perusahaan publik. Anak perusahaan
yang mengkilap selalu jadi tumpuan. Contohnya, anggap saja, seandainya Jawa Pos itu perusahaan publik:
Sebagai perusahaan publik, Jawa Pos tentu harus menjaga agar
harga sahamnya terus naik. Tidak boleh berhenti, apalagi turun. Kalau
bisa, tiap tahun naiknya minimal harus 20 persen.
Kalau ada kalanya harga sahamnya tidak bisa naik, omzetnya harus
terus naik. Juga asetnya. Pokoknya, di dunia ini, tidak boleh ada yang
turun.
Bagaimana kalau suatu saat oplah Jawa Pos turun dan pendapatan iklannya juga turun? Bukankah penghasilannya akan turun dan labanya juga turun?
Iklim di pasar modal tidak mau tahu itu. Pokoknya harus naik. Direksi
koran itu sendiri tidak mau terjadi penurunan: bonusnya bisa turun.
Bahkan, bisa jadi, direksi koran itu sendiri yang ngotot untuk naik karena tergiur oleh bonus yang gila-gilaan.
Maka, kalau suatu saat terjadi penurunan kinerja perusahaan, jalan
yang dipakai untuk mengatasinya adalah ”jalan pasar modal”: lebih cepat
dan lebih mudah. Bukan jalan ”tradisional” yang sulit dan lama.
Kalau masih jalan tradisional yang ditempuh, untuk mengatasi
menurunnya kinerja koran, langkah yang diambil adalah memarahi wartawan:
mengapa bikin berita tidak menarik. Atau memarahi bagian pemasaran:
mengapa penjualan korannya turun. Atau memarahi bagian iklan: tidak
becus cari iklan. Atau menyalahkan Tuhan: mengapa menurunkan hujan
pagi-pagi yang hanya akan mengganggu peredaran koran. Setidaknya memaki
gubernur Jakarta: setiap Jakarta banjir, oplah koran turun drastis!
Membina wartawan, mendidik orang-orang marketing, dan
seterusnya adalah pekerjaan yang sulit serta memerlukan waktu lama.
Apalagi kalau direksi perusahaan koran tersebut tidak mengerti berita
yang baik itu yang bagaimana.
Maka, untuk mengatasi stagnannya performance perusahaan,
sang direksi akan cenderung mengambil jalan pintas. Apalagi, jalan itu
disediakan oleh sistem kapitalisme pasar modal.
Kalau (seandainya) Jawa Pos sebagai (seandainya) perusahaan
publik mengalami situasi (seandainya) kesulitan seperti itu, bisa jadi
direksinya mengambil ”jalan kapitalisme” normal berikut ini:
Untuk menaikkan omzet dan aset, langsung saja beli perusahaan lain. Katakanlah beli saja Rakyat Merdeka. Tiga bulan lagi beli Riau Pos. Lalu beli Sumut Pos. Beli lagi Radar Lampung. Beli lagi Pontianak Post dan seterusnya.
Perusahaan yang dibeli tidak harus yang sudah untung. Yang penting,
menurut perkiraan, akan bisa untung. Bahwa kenyataannya nanti tidak
untung, jangan dipikirkan benar. Akan ada jalan yang lain lagi.
Untuk membeli-membeli itu juga tidak perlu punya uang. Cukup dengan utang. Jaminannya saham Jawa Pos. Bagaimana kalau nilai saham Jawa Pos tidak cukup besar untuk menjamin utang itu? Jangan takut. Meski kekayaan Jawa Pos Rp 4 triliun, berani saja utang sampai Rp 16 triliun.
Dengan membeli-membeli tadi, kekayaan Jawa Pos yang Rp 4
triliun itu bisa jadi langsung naik menjadi lebih dari Rp 16 triliun.
Bukan karena koran-koran yang dibeli tersebut memang hebat, melainkan
dengan membeli-membeli tadi, harga saham Jawa Pos sendiri naik
drastis. Dengan kenaikan harga saham tersebut, kekayaannya berarti juga
naik. Bahwa omzet dan labanya sebenarnya tidak terlalu naik, tidak ada
hubungannya.
Yang penting, angka-angkanya sudah naik. Bahwa mutu berita yang
dimuat koran-koran tersebut sebenarnya tetap tidak menarik, tidak akan
pernah dipersoalkan. Untuk apa mempersoalkan yang kecil-kecil begitu,
kalau sudah bisa diatasi dengan cara mudah.
Memperbaiki mutu redaksi adalah cara yang sulit: harus memperhatikan
sampai soal titik, koma, detik, menit. Hasilnya juga tidak bisa segera
diketahui. Memperbaiki pemasaran juga sulit: tiap pukul 03.00 harus
sudah keliling agen-agen. Tidak ada alasan hujan atau banjir. Intinya
bagaimana agar koran bisa benar-benar terjual dan tidak sekadar jadi
tempat duduk agen.
Sedangkan menaikkan kekayaan lewat pasar modal jauh lebih gampang.
Bisa dilakukan di depan komputer di sebuah kafe atau lobi hotel atau
ruang rapat yang ber-AC.
Kalau tahun depan harga saham harus naik lagi, tempuh saja cara yang
sama: beli lagi koran lain. Atau beli stasiun TV milik orang lain. Atau
beli stasiun radio sebanyak-banyaknya. Utang lagi. Lebih kaya lagi.
Kalau ada perusahaan koran yang tidak dijual, paksa saja agar dijual:
iming-imingilah ahli warisnya dengan harga yang mahalnya tidak
terbayangkan. Mengapa mau membeli kelewat mahal? Lho, mengapa tidak? Toh, uang tersedia dengan mudah untuk dipinjam?
Bahkan, kalau yang mau dibeli itu perusahaan koran yang juga sudah go public, lebih mudah lagi: lakukan hostile take over
(pengambilalihan secara kasar di bursa saham). Ini sah. Tidak melanggar
hukum. Beberapa tahun lalu, sebuah koran yang sangat hebat di Amerika, Los Angeles Times, merasakan itu.
Waktu terjadinya pun akhir Desember seperti sekarang ini. Waktu itu,
semua orang sudah tidak terlalu mikir perusahaan. Sudah sibuk
mempersiapkan liburan Natal dan Tahun Baru. Hanya satu orang yang terus
sibuk: direktur keuangan. Dia seperti tidak mau libur.
Ternyata, dia punya misi rahasia: mengatur agar dalam waktu sekejap Los Angeles Times di-hostile take over oleh seseorang. Tentu semua transaksi nakal tersebut harus terjadi dalam waktu sangat cepat: selama orang-orang liburan Natal.
Maka, dipikirkanlah caranya. Dokumen apa saja yang harus disiapkan.
Bagaimana model transaksinya. Bagaimana menentukan harga belinya. Di
mana tanda tangan harus dilakukan. Luar biasa banyaknya pekerjaan yang
harus disiapkan. Maklum, yang mau diambil alih ini perusahaan raksasa.
Apalagi, semua itu harus dilakukan secara diam-diam, rahasia, dan
teliti. Tidak boleh menimbulkan gugatan di belakang hari.
Tibalah hari libur. Semua orang berlibur. Termasuk pemilik koran itu.
Tidak ada tanda-tanda apa pun. Begitu perayaan tahun baru selesai, pada
hari kerja pertama tahun baru tersebut, keluarlah pengumuman di pasar
modal: Los Angeles Times sudah dibeli Chicago Tribune! Pemilik aslinya sendiri baru tahu dari pengumuman itu!
Lalu, bagaimana nasib pemilik Los Angeles Times yang sudah
memiliki koran itu sejak didirikan kakeknya lebih dari seratus tahun
lalu? Tentu tidak bisa apa-apa. Pulang liburan, tiba-tiba saja dirinya
sudah bukan pemilik koran itu lagi! Tiba-tiba saja di pagi hari di tahun
baru itu dia kehilangan perusahaannya!
Memang, dia masih mendapat uang banyak. Sahamnya yang masih tersisa
dihargai sangat mahal. Tapi, dia sangat marah. Apalagi ketika dia tahu
bahwa otak pengambilalihan secara kasar tersebut adalah direktur
keuangannya sendiri. Tapi, sang pemilik tidak bisa apa-apa. Semua
transaksi itu sah adanya.
Sejak saat itu, banyak orang yang tidak bisa tenang ketika menjalani
liburan Natal. Jangan-jangan ketika ditinggal libur, perusahaannya
hilang.
Tapi, zaman berputar lagi. Kini, pemilik Chicago Tribune pun menyerah. Minta dibangkrutkan. Utangnya Rp 140 triliun. Tidak mampu membayar lagi.
Meski begitu, saya yakin harian Chicago Tribune dan Los Angeles Times sebagai anak-anak perusahaan masih sangat menguntungkan.
Saya khawatir, perusahaan koran yang go public, atau yang induknya go public,
hanya akan mengandalkan mutu sahamnya, bukan mutu korannya. Saya
menduga, mulai dari sinilah mengapa mutu koran tidak bisa mengimbangi
mutu kehidupan manusia. Dari sini pula bermula mengapa oplah koran terus
menurun.
Lalu, apakah Jawa Pos (bukan seandainya) tetap akan go public? Mungkin… ya! Tapi, untuk tujuan yang berbeda.
No comments:
Post a Comment