Pribadi Lengkap ala Hoping Ciak Kuping
Dahlan Iskan : Kisah Man of The Year yang Sebenarnya (1)
Siapa “Man of The Year” pilihan saya?
Pasti ini: Bernard Lawrence Madoff. Panggilan akrabnya Bernie. Pernah
disindir dengan nama “Madman” (orang gila), gara-gara ada kata “mad” di
nama belakangnya. Padahal, Madoff itu sebenarnya harus dibaca
“Maydoff”.
Bukan saja karena dia telah mendapat gelar sebagai “penipu perorangan
terbesar dalam sejarah kehidupan manusia” dengan nilai Rp 600 triliun.
Tapi, juga karena pribadinya yang lengkap.
Dialah yang dalam 70 tahun sejak kelahirannya di New York memberi
contoh sempurna dalam kehidupan nyata di dunia. Pernah sangat miskin
(jadi penjaga pantai), pernah sangat kaya (rumah-rumahnya bernilai
sekitar Rp 600 miliar). Pernah sangat baik, pernah sangat jahat. Pernah
sangat dermawan, pernah sangat kikir. Pernah memberikan keuntungan besar
(ada kliennya yang sambil tidur saja dapat untung Rp 20 miliar per
tahun), pernah membuat kerugian besar (seorang klien kehilangan uang Rp 5
triliun). Pernah hidup dengan kebebasan (begitu banyak rumahnya,
termasuk yang menghadap lautan bebas), pernah dalam tahanan (sekarang).
Pernah membuat orang yang mestinya mati itu bisa mempertahankan hidup
(dia banyak membantu rumah sakit) , pernah pula membuat orang bunuh
diri (seorang kliennya bunuh diri minggu lalu karena tidak tahan
kehilangan uang besar). Dia pernah bohong (bagaimana sebenarnya dia
menjalankan bisnis ini), tapi dia juga pernah sangat jujur (sebelum
ditahan dia membisikkan kata-kata jujur kepada stafnya mengenai bisnis
jenis apa yang sebenarnya yang dilakukan itu, lewat kata-katanya “Ini
model Ponzi dengan skala besar”. Berkat kejujurannya ini, tanpa
penjelasan yang berbelit, orang langsung tahu: oh, bisnis dana piramid).
Obama memang pantas jadi Man of the Year (dinobatkan majalah Time sebagai Person of the Year 2008). Tapi, terlalu sempurna kecemerlangannya. Bush juga pantas jadi Man of the Year.
Tapi, terlalu jelek kelakuan kepemimpinannya. Shang Ren, tokoh puncak
Buddha Suczi dari Taiwan itu juga pantas. Tapi, kedermawanannya untuk
orang miskin “berlebihan”. Cassano dari AIG itu, yang menjadi orang
nomor satu dalam daftar penyebab krisis global ini, juga pantas. Tapi
terlalu rakus dalam merampok orang kaya.
Sedangkan Bernie bisa memerankan semua perilaku Obama, Bush, Shang
Ren, dan Cassano. Hebatnya lagi, teman terbaiknya adalah sekaligus
korban terbesarnya.
Carl J. Shapirro, sama sekali tidak menyangka kalau Bernie bisa
melakukan -untuk meminjam istilah teman-teman Tionghoa asal Fujian-
“hoping ciak kuping”. Istilah ini terkenal ketika petinju Mike Tyson
menggigit sampai putus telinga (kuping) lawan tandingnya, Hollyfield.
Ketika mulut Tyson mendekat ke telinga Hollyfield, dikira akan
membisikkan kata-kata perdamaian. Tak tahunya kuping temannya itu diciak
sampai darah berceceran.
Begitu akrabnya persahabatan itu sampai-sampai Shapiro sudah dianggap
keluarga sendiri. Ketika Shapiro merayakan ulang tahun ke-95 awal tahun
ini, Bernie duduk di meja utama keluarga. Ini sama artinya bahwa Bernie
sudah dianggap keluarga -satu hubungan yang sangat istimewa. Sebagai
sesama tokoh Yahudi kaya-raya, keduanya juga sering jalan-jalan bersama
dan bepergian bersama. Bahkan, keduanya juga sudah biasa pergi sama-sama
membawa cucu, sehingga hubungan keluarga ini sudah menyatu dalam tiga
generasi.
Baru pagi 11 Desember lalu, Shapiro seperti mati duduk. Saat itu,
menantunya, Robert Jaffe, meneleponnya. “Buka TV! Lihat berita!” ujar
Jaffe yang juga konglomerat kaya raya. Berita itu, seperti diakuinya
kepada harian lokal Palm Beach Post, “Seperti pisau tajam yang
langsung menghunjam ke jantung”. Itulah berita menangkapan Bernie dengan
tuduhan melakukan penipuan USD 50 miliar. Tidak seharusnya jantung
orang berumur 95 tahun menerima telepon seperti itu.
Kekagetannya menjadi sempurna karena dia langsung sadar bahwa di
antara USD 50 miliar yang lenyap itu adalah uangnya. Nilainya USD 400
juta atau sekitar Rp 5 triliun. Jadilah Shapiro menjadi korban
perorangan terbesar dalam bisnis Bernie. Sedangkan korban terbesar untuk
kelas perusahaan adalah Walter Noel dengan nilai USD 7,5 miliar atau
sekitar Rp 90 triliun.
Perhopengan Shapiro dan Bernie memang sudah lama. Keduanya
sudah berteman sejak 45 tahun lalu. Ketika beranjak tua dan sudah
waktunya pensiun, Shapiro menjual perusahaan tekstilnya. Yakni, jaringan
merek terkemuka Kay Windsor. Hasil penjualan itu dititipkan ke Bernie
dengan bunga 13 persen per tahun. Dengan cara ini, tanpa kerja apa pun
Shapiro akan mendapat bunga Rp 20 miliar setahun.
Sang menantu yang meneleponnya tadi, Robert Jaffe, juga kena. Yayasan
sosial Yahudi di Florida yang dia pimpin menempatkan dana yang tidak
kecil: USD 90 juta atau sekitar Rp 1 triliun. Dana ini juga ikut lenyap
dan Jaffe langsung mengundurkan diri sebagai ketua yayasan. “Saya
benar-benar tidak tahu sisi gelap Bernie,” komentarnya di koran lokal
itu.
Para sahabat itu, meski umumnya tinggal di New York atau Boston atau
kota besar lain, sama-sama bertengga di vila mereka di dekat Miami,
Florida. Saat musim dingin seperti Desember-Januari ini, memang banyak
orang kaya berlibur ke wilayah selatan yang hangat. Kebiasaan ini juga
ditangkap sebagai peluang bisnis yang besar. Maka dibangunlah di suatu
tempat di Miami yang terpilih sebuah lapangan golf 18 hole. Lalu ada
perumahan di sekitarnya.
Lokasi itu menghadap ke pantai lautan lepas Atlantik, tapi tidak
terlalu terbuka karena berada di balik gunung. Perumahan umumnya dalam
posisi terbaik menurut ilmu hongsui: bersandar ke gunung, menghadap ke
laut. Tapi, para penghuni perumahan eksklusif itu kini hanya bisa
bersandar ke nasib. Termasuk nasib harus meninggalkan rumah itu.
Salah seorang penghuninya sudah menghubungi perusahaan penjual rumah
untuk pindah sewa apartemen saja. Begitu uangnya hilang, penghuni itu
harus mencari sumber untuk hidup. Bahkan, harian setempat menulis cerita
yang hampir tidak bisa dipercaya: banyak penghuni yang menjual meubel,
pakaian, dan benda antik yang tentu semuanya mahal. Juga bukan cerita
sedih karena yang dijual itu bisa jadi bajunya yang ke 100 atau tasnya
yang ke-50. Sebab banyak barang itu, sebagaimana dikisahkan harian tadi,
masih ada labelnya. Ini pertanda belum pernah dipakai. Atau kalau toh sudah
tidak berlabel, barangkali baru dipakai sekali. Dan harga salah satu
baju yang ditawarkan adalah USD 5.000 atau sekitar Rp 60 juta. Maklum,
sebagian penghuni kompleks itu menempatkan semua dananya di Bernie.
Begitu semua rekening diblokir, toh harus tetap punya uang cash untuk bayar listrik, air, dan fee lapangan golf. Fee-nya saja USD 300.000 atau sekitar Rp 4 miliar.
Yang boleh tinggal di kompleks ini memang orang-orang terpilih. Kaya
saja tidak cukup. Harus kaya, dermawan, dan punya reputasi baik.
Istilahnya harus in good standing. Kriteria “reputasi baik” itu
adalah mau menunjukkan bukti kekayaan yang sebenarnya. Bahkan, harus
menyertakan daftar riwayat hidup khusus: yakni riwayat kedermawanan.
Harus dilihat dulu, sudah berapa tahun calon penghuni itu jadi dermawan,
ke mana kedemawanannya itu disalurkan dan berapa besarnya. Masih ada
lagi syarat lain: kesanggupan tetap jadi dermawan, minimal, dalam
setahun, lebih besar dari fee untuk keanggotaan di lapangan
golf itu. Dan yayasan sosial yang akan dibiayai kedermawanan ini praktis
yayasan sosial milik komunitas Yahudi.
Dengan syarat seperti itu bisa dibayangkan siapa yang bisa bermain
golf di situ dan sekaligus membeli rumah di sekitarnya. Apalagi jumlah
rumahnya memang sangat terbatas. Hanya sekitar 100 rumah. Dengan
kriteria seperti itu, pasti peminatnya adalah orang yang super kaya,
dermawan dan kemungkinan besar Yahudi seperti Shapiro, Jaffe, dan
Bernie. Rumah Jaffe yang seharga sekitar Rp 200 miliar, hanya kurang
dari 500 meter dari rumah Bernie yang seharga Rp 120 miliar. (Sebenarnya
itu juga tidak terlalu wah. Sebab, di Jakarta, saya perkirakan tidak
kurang dari 200 rumah yang harganya di atas Rp 100 miliar).
Meski sudah beberapa kali ke Miami, saya tidak bisa ke situ. Bukan
saja tidak memenuhi syarat, tapi juga tidak bisa bermain golf. Apalagi
setelah ganti hati ini saya dilarang berada di bawah terik matahari yang
lama. Sedangkan bagi orang-orang superkaya itu, lapangan golf bisa
menambah kekayaan mereka. Mereka biasa bermain bersama, saling
menawarkan peluang yang besar, saling bernegosiasi dan ketika permainan
sudah sampai tee ke-6, biasanya sudah sampai tahap jabat tangan: deal! Tee-tee selanjutnya, sampai permainan 18 hole itu selesai, tinggal hiburannya. Yang tidak tahu, apakah Bernie juga selalu men-ciak hoping-nya di tee nomor 6 itu. (*)
No comments:
Post a Comment