Membayangkan Hidup setelah Krisis Global
Asia Menjadi Penyelamat Kapitalisme
Anggap saja krisis keuangan dunia ini akan selesai akhir tahun depan. Bagaimanakah gambaran hidup setelah itu?
Skenario pokoknya ada tiga.
Pertama, keserakahan akan kembali lagi karena segala penderitaan
akibat krisis sudah dilupakan. Berarti, kapan-kapan akan terjadi krisis
lagi.
Kedua, dunia begitu takut akan terulangnya krisis seperti ini,
sehingga dibuatlah berbagai aturan yang melarang terjadinya kerakusan.
Ketiga, dan ini saya tidak bisa membayangkan penerapannya: tetap
boleh rakus, tapi satu bentuk kerakusan yang tidak akan menimbulkan
krisis.
Anggap saja kemungkinan pertama itu model ”sengsara membawa nikmat”.
Kemungkinan kedua ”nikmat membawa sengsara”.
Kemungkinan ketiga adalah ”ejakulasi dua kali: nikmat membawa nikmat”.
Saya yakin semua orang akan memilih yang ketiga: ketika muda dimanja, jadi tua kaya raya, dan ketika mati masuk surga.
Kemungkinan kedua ”nikmat membawa sengsara”.
Kemungkinan ketiga adalah ”ejakulasi dua kali: nikmat membawa nikmat”.
Saya yakin semua orang akan memilih yang ketiga: ketika muda dimanja, jadi tua kaya raya, dan ketika mati masuk surga.
Sudah barang tentu terlalu dini membayangkan bagaimana ”hidup setelah
krisis” nanti. Bukankah krisis ini begitu hebatnya, sehingga belum
tentu kita semua tetap hidup?
Dua hari lalu, seorang fund manager terkemuka sudah bunuh
diri di rumahnya yang besar di kawasan elite New York, Madison Avenue.
Dia adalah Thierry de la Villehuchet, yang dari namanya sudah bisa
diketahui berdarah Prancis. Villehuchet adalah fund manager sukses yang mengatur uang milik orang-orang kaya Prancis. Uang itu ditempatkan di investment fund milik Bernard ”Bernie” Madoff yang ternyata model investment uang berantai (lihat harian ini edisi 19 dan 20 Desember 2008).
Dana yang dikelola Villehuchet -senilai USD 2,1 miliar atau sekitar
Rp 23 triliun– ikut jadi bagian dari uang Rp 600 triliun yang lenyap di
tangan Bernie. Dua hari lalu, dia minta pembantu di rumahnya untuk
pulang agak awal. Malam itu dia bilang akan lembur. Besoknya, ketika si
pembantu datang, rumah tersebut terkunci. Dia ditemukan tewas dalam
posisi duduk di kursi kerjanya yang mahal. Obat-obat yang mematikan
terserak di mejanya.
Mungkin akan banyak yang mati seperti itu atau setengah mati.
Keadaan dunia Barat (dunia kapitalis) sekarang ini sebenarnya ibarat
masa akhir kehidupan Pak Harto. Yakni, ketika presiden kedua Indonesia
itu berada di RS Pusat Pertamina. Beliau memang hidup, tapi sebenarnya
sangat bergantung pada alat yang disebut ”life support”. Kalau alat itu dicabut, kehidupan langsung berakhir.
Begitu juga dengan dunia kapitalis Barat sekarang ini. Masih hidup, tapi sebenarnya bergantung ”life support”. Kapan-kapan ”life support” itu dicabut, langsung ambruk seketika. Kalau life support-nya Pak Harto waktu itu adalah ”mesin bantuan pernapasan”, life support-nya
dunia kapitalisme sekarang ini berbentuk slang dana yang dikucurkan
dari Federal Reserve (bank sentral) masing-masing. Anggap saja Pak Harto
ketika itu bergantung pada mesin bantuan pernapasan, dunia kapitalisme
sekarang bergantung pada mesin transfusi darah.
Bayangkan kalau slang transfusi dari federal reserve itu
dicabut: dunia kapitalisme sekarang langsung ambruk. Lalu, entah apa
yang akan terjadi setelah itu. Dunia Arab sekalipun akan ikut ambruk.
Terlalu banyak dana Arab yang terputar di pusaran kapitalisme tersebut.
Sekarang ini saya jadi kepingin ke Dubai untuk melihat seberapa parah
akibat krisis di Amerika itu menimpa salah satu negeri di Uni Emirat
Arab tersebut. Saya hanya baca di berbagai media Barat bahwa Dubai kini
juga sudah sangat terpukul.
Maka, sebelum membayangkan bagaimana hidup setelah masa krisis, sebaiknya memang berdoa agar slang life support
transfusi darah itu tidak putus atau tidak dicabut. Dengan demikian,
dunia kapitalisme punya waktu untuk memperbaiki organ-organ rusak dalam
tubuhnya. Masa untuk perbaikan organ-organ itu pasti amat panjang karena
yang rusak adalah jantung-paru-hati-ginjal sekaligus. Bahkan juga
otaknya.
Dalam proses penyembuhan itu, Asia dianggap sebagai sumber donor
”darah” yang meski kecil-kecil tapi banyak dan tersedia. Di Barat memang
banyak darah, tapi tidak bisa didonorkan. Masing-masing memerlukan
untuk dirinya sendiri-sendiri. Sekarang ini, lembaga-lembaga keuangan
dunia sangat aktif mencari uang-uang kecil ke Asia. Termasuk ke
Indonesia.
Orang seperti saya ini dikejar-kejar oleh banyak lembaga keuangan
yang menawarkan berbagai fasilitas yang menggiurkan. Sudah tak terhitung
pihak yang menawari kartu kredit dengan plafon Rp 250 juta tanpa saya
harus bayar iuran sama sekali.
Terlihat benar bahwa mereka memang perlu darah segar dari Asia. Di
Indonesia, jumlah orang seperti saya ini bisa mencapai 20 juta orang.
Ini data yang mereka pegang. Tahun lalu, saya pribadi membayar pajak
pribadi (belum termasuk pajak perusahaan) sebesar Rp 3 miliar setahun.
Berarti, kekuatan ekonomi dari sejumlah orang Indonesia seperti saya ini
sudah sama dengan kekuatan ekonomi satu negara Australia.
Masih banyak lagi bentuk daya tarik yang mereka tawarkan. Mereka
terus mengejar agar kita harus membelanjakan atau menyimpan uang di
mereka. Saya kagum pada kegigihan, usaha keras, dan keahlian mereka di
bidang ini.
Dengan uang-uang segar itu, tubuh kapitalisme yang lagi bergantung pada life support lama-lama bisa memiliki darah sendiri. Lama-lama organ-organ tubuh mereka menjadi sehat kembali. Setelah tahap itu tercapai, life support bisa dicabut pelan-pelan. Dunia kapitalisme bisa kembali hidup normal.
Sebaiknya, setelah kehidupan menjadi normal, barulah bicara bagaimana
gambaran hidup setelah krisis. Saya membayangkan tiga skenario itu,
tapi masih terlalu dini untuk mengemukakan uraian detailnya. Kita belum
tahu berapa lama proses yang diperlukan untuk tidak bergantung pada life support itu. (*)
No comments:
Post a Comment