Monday, December 8, 2008

Monorel Rp 60 Triliun Hanya Operasi Dua Hari Setahun

Senin, 08 Desember 2008
Monorel Rp 60 Triliun Hanya Operasi Dua Hari Setahun
Makkah dan Masjid Al Haram yang Sedang Ganti Total Wajah (2)

Transportasi haji di Makkah mulai musim haji tahun depan akan berubah total. Kerajaan Arab Saudi sedang menyiapkan moda transportasi massal yang sangat efisien dan ramah lingkungan, sehingga perjalanan ke Arafah saat puncak haji lebih nyaman.

Laporan Anas Sadaruwan dari Makkah dan Dahlan Iskan dari Surabaya

Perjalanan suci nan kolosal dari Makkah ke Arafah (via Mina dan Muzdalifah) secara tradisional yang terjadi kemarin adalah yang terakhir. Tahun depan caranya sudah berubah sama sekali: pakai monorel. Tidak ada lagi barisan bus yang menyemut, yang hanya bisa nggeremet dengan kecepatan 5 km/jam, bahkan lebih sering berhenti sama sekali. Kalau mau, masih bisa berjalan kaki untuk jarak sejauh 20 kilometer itu.

Begitu musim haji tahun ini selesai, proyek monorel dari Makkah, Mina, Muzdalifah, dan Arafah itu langsung dimulai. Dalam 10 bulan proyek ini harus sudah selesai, sehingga bisa dipakai dalam musim haji tahun depan. Rel kereta itu akan dibangun di atas tanah dengan tiang-tiang penyangga setinggi antara 5 sampai 10 meter, bergantung pada keadaan setempat. Jumlah relnya empat lajur: dua berangkat, dua kembali. Biaya proyek ini jangan kaget: Rp 60 triliun.

Perubahan itu tentu sebuah revolusi dalam pengaturan perjalanan haji. Zaman dulu, semua orang tentu berjalan kaki atau naik onta. Lalu, ketika jumlah orang naik haji terus bertambah, diadakanlah pengangkutan bermotor. Tiap tahun jumlah bus terus ditambah: tahun lalu sudah mencapai 25.000 bus.

Busnya pun dua macam: ada yang bus biasa, ada juga yang tidak pakai atap. Maklum, ada yang menganggap bahwa dalam perjalanan suci ini, tidak boleh naik kendaraan yang beratap. Hajinya tidak sah. Ini mengikuti pedoman lama bahwa dalam perjalanan itu hubungan antara manusia dan Tuhan yang di langit harus langsung: tidak boleh ada pembatas. Demikian juga ketika menjalani ritual puncak haji, yakni setengah hari berjemur di padang Arafah, tidak boleh berada di bawah tenda.

Meski kian tahun jumlah tenda kian banyak (bahkan ada yang ber-AC), masih juga banyak yang menganggap ibadah seperti itu tidak diterima Tuhan. Belum ada informasi apakah monorel yang menghubungkan Makkah dan Arafah nanti juga dua jenis: monorel beratap dan yang tidak beratap. Atau semuanya saja beratap sehingga yang berpendapat “beratap tidak sah” bisa memilih cara lama: berjalan kaki.

Kami pernah berjalan kaki ketika memimpin rombongan anak-anak muda dari Jawa Pos Group. Berangkat dari Makkah pukul 4 sore, tiba di Arafah pukul 23.30. Sepanjang perjalanan ramainya bukan main. Kalau lagi lelah dan hampir putus asa, kami selalu melihat wanita tua yang masih kuat meneruskan jalan kaki. Di sepanjang jalan itu banyak sekali kaki lima yang berjualan segala macam makanan dan minuman: teh, kopi, Coca-Cola, air putih, dan berbagai kue. Berjalan kaki, asal tidak kelelahan, bisa lebih cepat daripada naik bus. Maklum, lebih dari 2 juta orang harus berangkat dari tempat yang sama, menuju tempat yang sama melalui jalan yang sama. Hanya, jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki tidak sama. Di suatu tempat jarak dua jalan ini agak berdekatan (sekitar 500 meter) sehingga kami bisa melihat betapa macetnya kendaraan bermotor di jalur sana. Kadang jarak kedua jalur ini berjauhan sehingga kami hanya bisa melihatnya samar-samar.

Salah satu kelemahan menggunakan kendaraan bermotor adalah ini: kendaraan tidak bisa tiba di Arafah sesuai batas waktu: sebelum pukul 12.00 di Hari Raya Haji. Setiap tahun ada saja ribuan jamaah yang “terlambat” seperti itu, yang menurut keyakinan banyak orang, sebenarnya membuat ibadahnya tidak sah.

Tahun depan, dengan menggunakan monorel, perjalanan selama 6 sampai 10 jam itu bisa dipersingkat menjadi tinggal satu jam! Monorel ini akan berhenti di beberapa stasiun sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Termasuk berhenti di beberapa titik di mana konsentrasi perumahan penduduk sangat padat.

Mengelola perjalanan yang hanya 20 kilometer ini memang luar biasa sulit dan ketat. Maklum, semua perjalanan yang menyangkut jutaan orang itu harus sudah selesai dalam dua hari. Meski sudah ada yang melontarkan ide agar musim haji jangan hanya sekali setahun, toh tidak ada yang bisa memulai. Maklum, di luar musim haji, padang Arafahnya sendiri ditutup. Kuncinya dipegang petugas pemerintah Arab Saudi yang beraliran Wahabi. Yakni, aliran yang beranggapan bahwa musim haji hanya boleh dilakukan di bulan haji seperti selama ini. Kami pernah berumrah bersama tokoh agama dari Indonesia yang sudah nekat mau berhaji di luar musim haji. Tapi, sampai di sana tidak bisa melakukan niatnya itu. Terbentur soal teknis seperti bagaimana harus membuka pintu gerbang padang Arafah.

Maka bisa dibayangkan, monorel senilai Rp 60 triliun itu pun dalam satu tahun praktis hanya akan digunakan dua hari! Selebihnya entah mau diapakan. Kecuali untuk jalur Makkah-Mina yang di sekitarnya masih ada penduduknya. Namun, untuk jalur Mina-Muzdalifah dan Muzdalifah-Arafah, praktis tidak ada manusia yang tinggal di sana. Kami pernah ke Muzdalifah dan Arafah di luar musim haji: benar-benar hanya padang pasir. Di Mina masih ada bangunan hotel kecil-kecil dengan AC window yang terlihat dari luar, tapi semua bangunan itu kosong. AC-nya, selama setahun, juga hanya dinyalakan dua hari di musim haji. Padahal, saat musim haji, bisa mendapatkan emper hotel itu saja sudah beruntung. Terutama kalau bisa mampir buang air kecil.

Modernisasi infrastruktur di Makkah (Makkah bahasa Mandarinnya: Mei Jia yang artinya “rumah indah”) dan sekitarnya tentu akan membawa perubahan besar perilaku jamaah haji. Kian berat saja tugas pembimbing haji: bukan saja bagaimana menggunakan toilet di pesawat, tapi juga bagaimana kelak tinggal di kamar ber-AC dengan fasilitas modern. Termasuk bagaimana tata-cara naik monorel yang serbaotomatis. Jamaah haji kita, bisa-bisa semakin terlihat keterbelakangannya.

Modernisasi infrastruktur transportasi untuk rakyat kecil, sebaiknya memang diutamakan dengan dua tujuan: pelayanan modern untuk rakyat kecil (jangan hanya yang kaya yang bisa hidup modern), dan menambah rasa percaya diri sebagai bangsa.

Dengan perubahan wajah kota Makkah secara total kali ini, citra pusat Islam itu memang akan ikut berubah. Termasuk keterbukaan pikiran umat yang sudah ke sana. Hilangnya sumur zamzam di dalam Masjid Al Haram, misalnya, ternyata diterima juga akhirnya. Pelataran dalam Masjid Al Haram kini lebih luas dan lapang. Bangunan sumur zamzam itu kini sudah dibongkar sama sekali: diratakan. Air sumur zamzam itu dialirkan secara modern ke tempat lain: orang bisa memperoleh air zamzam di tempat yang baru itu, yang letaknya jauh dari masjid. Maka kalau dulu ada jamaah yang merasa lebih sempurna kalau berwudu dengan air zamzam di tempat asalnya itu, kini terpaksa “mengalah” terhadap modernisasi. Air wudunya tetap zamzam, tapi jangan bertanya lagi di mana sumber aslinya.

Bahkan, kini mulai ada wacana bahwa makam Nabi Ibrahim yang di dekat Kakbah itu juga akan digusur. Juga dimaksudkan agar pelataran dalam masjid itu rata dan lapang. Dengan demikian, tidak ada lagi bottle neck dalam arus orang yang melakukan tawaf (berjalan mengitari Kakbah sebanyak sembilan kali) di lokasi makam Nabi Ibrahim. Selama ini, jamaah selalu berusaha berhenti di situ: mulai yang mau menyempatkan salat, sekadar mau memegang bagian dari makam itu, atau bahkan yang sekadar mengintip ada apa sih di situ. Dalam wacana itu, bangunan kecil makam itu dihilangkan, lalu di lantainya diberi kaca tembus pandang untuk melihat ke bawah tanah. Tapi, wacana ini belum sampai pada tingkat perencanaan.

Upaya menambah kapasitas masjid memang terus dilakukan. Mulai membangun tempat khusus tawaf bagi penyandang cacat sampai menambah kapasitas tempat sa’i yang tahun ini sudah baru sama sekali.

Di Makkah, dalam sepuluh tahun terakhir ini dan sampai sepuluh tahun ke depan bukan saja akan selalu ada perubahan, tapi juga selalu ada yang baru! (*)

No comments:

Post a Comment