Empat Contoh Pilihan setelah Krisis
Inilah empat contoh pertumbuhan ekonomi yang saya ambil dari orang-orang dekat saya:
Contoh I:
Dia insinyur lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB), yang begitu lulus
melamar menjadi wartawan Jawa Pos. Prestasinya baik, sedikit di atas
rata-rata. Karir terakhirnya sebagai jurnalis adalah redaktur ekonomi.
Dia mampu membeli rumah, mobil, menyekolahkan anak di universitas swasta
terbaik, dan akhirnya punya menantu orang Jerman. Rumahnya, meski tidak
besar, empat unit. Tersebar di berbagai lokasi di Surabaya.
Hidup sehari-harinya sangat tertib. Mobil pertamanya, bekas, kelas
1000 cc dirawat dengan sangat baik: bersih, mulus, dan kalau parkir
tidak pernah mencong sedikit pun. Baju yang dikenakannya tidak mahal,
tapi selalu rapi. Wajahnya penuh senyuman. Tidak pernah terlihat merokok
atau ikut hura-hura. Tidak punya bon di kantor dan tidak juga senang
utang ke teman-teman kerjanya. Hampir tidak pernah sakit sehingga
asuransi kesehatannya sering kembali menjadi tabungannya.
Kalaupun dia punya beberapa rumah, bukan karena gajinya sangat besar.
Tapi, dia sangat menghitung sistem keuangan rumah tangganya. Ketika
kali pertama beli rumah (cicilan), dia pilih lokasi yang masa depan
lokasi itu harganya terus naik. Dia memang wartawan ekonomi yang kritis
terhadap perhitungan keuangan. Ketika rumah di lokasi itu sudah sangat
mahal, dia jual rumah itu. Sebagian untuk melunasi cicilan, sisanya dia
jadikan uang muka untuk dua rumah: gajinya yang baru sudah cukup untuk
mencicil dua rumah yang harganya masih murah.
Dua rumah itu juga dia pilih yang lokasinya baik sehingga harga masa
depannya terus naik. Beberapa tahun kemudian harga rumah itu sudah
sangat tinggi. Lalu, dia jual lagi. Hasilnya untuk melunasi cicilan dan
jadi uang muka untuk empat rumah. Kini semuanya sudah lunas. Dia
termasuk orang yang berpikiran jauh ketika membeli rumah. Selain untuk
tempat tinggal, itu juga untuk investasi. Bukan seperti saya, ketika
pertama beli rumah dulu: beli rumah dengan pikiran sangat tradisional,
hanya untuk tempat tinggal. Waktu itu saya tidak pilih-pilih lokasi.
Yang penting terjangkau. Sampai sekarang, setelah 30 tahun pun, harganya
tidak seberapa naik. Maklum, sering kebanjiran.
Kini dia menjadi direktur utama di salah satu anak perusahaan Jawa
Pos. Kalau saya renungkan, pertumbuhan ekonomi orang seperti dia
kira-kira 15 persen setahun. Berarti jauh di atas pertumbuhan ekonomi
negara yang sekitar 6 persen setahun itu. Tapi, orang seperti dia adalah
orang yang sedikit ikut menikmati bubble (gelembung) ekonomi. Dia ikut
menikmati kenaikan harga tanah yang panas bukan karena sinar matahari,
tapi karena digoreng. Dia ikut mencicipi gorengan itu. Maka bisa
dibayangkan berapa persen pertumbuhan ekonomi dari orang yang
menggoreng.
Tanpa ada penggorengan, orang seperti dia juga tidak akan ikut
menikmati. Jadi, kalau ada pertanyaan ke mana larinya uang-uang hasil
penggelembungan ekonomi yang menyebabkan krisis itu, salah satu di
antaranya jatuh kepada orang seperti anak buah saya itu. Tapi, dia hanya
ikut menikmati sangat sedikit. Yang banyak adalah yang menggoreng itu.
Penggorengan akan sangat sukses kalau dilakukan di kota besar. Kian
besar sebuah kota, kian dahsyat penggorengannya. Kian banyak juga hasil
gorengan yang dinikmati. Kian kecil sebuah kota, kian sedikit ikut
menikmati.
Apakah orang seperti anak buah saya itu sudah tergolong rakus yang kemudian menyebabkan krisis ini?
***
Contoh II
Kemarin malam, jam 03.00 pagi, saya ke percetakan Jawa Pos. Melihat
proses pengiriman koran kepada agen-agen. Kali ini bukan karena saya
harus bekerja keras, melainkan kangen saja pada apa yang saya lakukan
20–25 tahun lalu. Saya ngobrol dengan orang yang kerjanya mengangkut
koran.
Dia sudah bekerja sebagai pengangkut koran sejak 1986, sejak masih
bujang dan sejak kantor Jawa Pos masih di Jalan Kembang Jepun. Waktu itu
dia sopir bemo. Bemonya milik orang lain, dia kerja setoran. Dini hari
bemonya untuk mengangkut koran, siangnya untuk angkut penumpang. Lima
tahun kemudian dia bisa membeli mobil bekas, Hijet 1000. Dia mulai
mengangkut koran dengan mobil milik sendiri.
Sepuluh tahun kerja angkut koran, dia bisa beli mobil lagi. Kali ini
mobil baru, cicilan, Mitsubishi T1200. Maka dia mulai bisa menyewakan
dua mobil untuk mengangkut koran. Hasil dua mobilnya itu bisa untuk
membeli rumah, menghidupi rumah tangga, membeli sepeda motor, dan
membeli sepeda pancal untuk anaknya yang sekolah di SMP.
Sepuluh tahun terakhir ini dia tidak bisa menambah armada. Hingga
kemarin, Hijet 1000-nya yang sudah berumur 25 tahun itu masih
beroperasi. Memang, bodinya sudah tidak asli lagi. Tapi, sebagai mobil,
Hijet itu masih berjalan. Dia belum punya gambaran kapan bisa membeli
mobil yang ketiga. Bahkan, sepeda motornya harus dijual untuk membantu
adiknya berobat. Beban rumah tangga, naiknya beban hidup, dan adiknya
yang sakit menyebabkan perjalanan 10 tahun terakhirnya tidak sebaik 10
tahun pertamanya.
Kalau saya perkirakan, pertumbuhan ekonomi rekan pengangkut koran ini
mula-mula 6 persen setahun, kemudian menjadi 4 persen setahun. Kalau
dirata-rata dalam 20 tahun kehidupannya, pertumbuhan rata-rata
ekonominya adalah 5 persen setahun. Hampir sama dengan pertumbuhan
ekonomi negara.
Dia termasuk yang tidak ikut menikmati ekonomi bubble atau ekonomi
gorengan. Tapi, dia bisa ikut menikmati pertumbuhan ekonomi negara
berkat kerja kerasnya. Meski pelan-pelan, ekonomi tetap naik. Sudah
tentu tidak secepat yang dekat-dekat wajan penggorengan.
***
Contoh III
Saya punya seorang teman, yang mulai berusaha di Surabaya bersamaan
dengan saya mulai memimpin Jawa Pos pada 1982. Dalam 25 tahun kemudian,
kemajuan teman saya itu empat sampai delapan kali lipat kemajuan Jawa
Pos.
Saya sering memikirkan mengapa perbedaan kemajuan itu bisa seperti
bumi dan sumur. Tapi, saya tetap bersyukur bahwa perkembangan Jawa Pos
bisa mencapai sekitar 30 persen per tahun, tanpa harus menjadi tukang
goreng. Saya juga sering memuji teman saya itu sebagai pengusaha yang
sangat sukses karena memang kerjanya luar biasa keras. Saya justru lebih
sering iri kepada kemampuan kerja kerasnya daripada kemampuan
meningkatkan kebesaran perusahaannya.
***
Contoh IV
Saya terkagum-kagum dengan teman saya yang lain. Sama-sama memulai usaha
pada 1980-an, dalam waktu 10 tahun perkembangan perusahaannya luar
biasa. Dialah yang paling hebat di antara teman-teman saya yang hebat.
Bisnisnya tidak hanya tumbuh puluhan persen, tapi ribuan persen.
Saya lihat, dalam kehidupan sehari-harinya dia tidak pernah berhenti
mikir bagaimana cara membesarkan perusahannya. Mulai taksi hingga
oksigen. Mulai tanah sampai bank miliknya. Dia juga sangat rajin
berolahraga, terutama renang. Saya pernah berutang nyawa kepadanya.
Yakni, saat saya berenang di laut Pulau Lombok. Saya hampir tenggelam.
Dia yang membawa saya ke pantai.
Tapi, dia hanya 10 tahun menikmati hasil kerjanya itu. Suatu saat
ditemukan ada kanker di pangkreasnya. Dia down luar biasa. Lalu
meninggal dunia, 15 tahun lalu. Dia tidak sempat menyaksikan krisis Asia
pada 1997/1998 maupun krisis dunia 2007/2008.
***
Setelah krisis dunia berakhir nanti, model-model pilihan hidup berikutnya tidak juga jauh dari empat contoh tadi. (*)
No comments:
Post a Comment