Saturday, December 20, 2008

Sukses Bernie, Padukan Bunga dan Romantisme

Sabtu, 20 Desember 2008
Sukses Bernie, Padukan Bunga dan Romantisme

Selama menjalani tahanan luar, Bernard Lawrence Madoff (lebih akrab dipanggil Bernie) tinggal di rumah utamanya seharga USD 50 juta atau sekitar Rp 600 miliar di New York. Terdakwa dalam kasus penipuan terbesar dalam sejarah dunia yang dilakukan oleh hanya satu orang (senilai Rp 600 triliun) itu memang masih punya rumah lain seharga Rp 100 miliar di Paris, rumah besar di Florida, serta berbagai aset mahal lainnya. Namun, belum tentu harta-harta itu bisa disita untuk mengembalikan uang nasabah –biarpun hanya sebagian kecil. Secara hukum, Bernie kelihatannya bisa mempertanggungjawabkan praktik bisnisnya tersebut.

Kalaupun kelak dia dinyatakan bersalah, tidak tahu bagaimana kira-kira menghukumnya. Kalau pencuri ayam dihukum tiga bulan, seharusnya dia dihukum satu juta tahun. Padahal, dia sudah berumur 70 tahun. Bernie pasti punya alasan kuat untuk menghindari hukuman.

Misalnya ini: kalau saja tidak terjadi krisis yang begitu hebat, praktik bisnisnya itu akan aman-aman saja. Apalagi, hubungan Bernie dengan nasabahnya (hubungan hukum maupun emosional) sangat khusus. Praktik bisnis ’’Model Ponzi’’ yang dia lakukan (lihat tulisan saya di harian ini kemarin) memang luar biasa canggih dan rumitnya. Sebenarnya, lebih dari 95 persen orang yang menempatkan uangnya di situ tidak mengerti bagaimana perhitungan yang dilakukan Bernie dalam memutar uang mereka, tulis sebuah media di AS. Itu sama dengan para korban bisnis derivatif yang dilakukan Lehman Brothers di Surabaya, Jakarta, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Mereka pada dasarnya tidak paham benar apa itu over the counter, margin trading, dual currency, credit default swaps, dan ratusan istilah lainnya lagi. Mereka hanya percaya pada para penyelenggaranya: Lehman Brothers, Citibank, dan lain-lain.Di Hongkong lebih tragis lagi. Kalau di Indonesia korbannya orang-orang kaya, di sana ratusan ribu orang miskin ikut menderita. Di Hongkong ada produk yang bernama minibond. Yang menjual juga bank-bank terkemuka. Dalam brosurnya juga tertulis nama-nama besar seperti Lehman Brothers, DBS Bank, Standard Chartered, dan seterusnya. Semua mengira uang mereka aman. Pasti nama-nama besar tersebut akan memberikan jaminan.

Di antara korban itu adalah seorang wanita berumur 70 tahun yang hidup sendirian. Dia tergiur sales yang mendatanginya yang menawarkan bunga 2 persen lebih tinggi dari bunga bank. Semua uangnya dibelikan minibond. Nenek itu tidak lagi punya sumber penghasilan lain. Bunga tabungan tersebut satu-satunya harapan mempertahankan hidup. Karena itu, selisih 2 persen dia perhitungkan. Dia sebenarnya punya satu anak, tapi justru menjadi tanggungannya. Anak itu, karena lemah mental, tidak punya jodoh dan penghasilan apa-apa. Ketika krisis terjadi, uangnya lenyap. Ada 30.000 orang di Hongkong yang tergiur minibond seperti nenek itu.

Minibond memang terjangkau masyarakat kecil. Tidak seperti perdagangan saham yang membelinya harus minimal satu lot. Mereka mengira minibond adalah bond dalam ukuran kecil, untuk orang kecil. Ternyata, minibond itu hanya nama perusahaan. Yakni, PT Minibond.

Perusahaan tersebut tidak bisa ditelusuri alamatnya karena didirikan di Cayman Island, sebuah pulau mini bebas pajak nun di Kepulauan Karibia sana. Inilah model perusahaan yang disebut ’’perusahaan dua dolar’’. Artinya, untuk mendirikan perusahaan seperti itu, modalnya cukup dua dolar. Uang yang terkumpul dari orang-orang kecil tersebut ternyata diputar untuk membeli produk lain yang bunganya lebih tinggi. Yakni, produk subprime mortgage yang bermasalah itu. Para nasabah tidak tahu itu. Umumnya mereka hanya percaya pada nama besar Lehman Brothers serta bank-bank terkemuka di Hongkong dan Singapura.

Dalam kasus Bernie pun, mereka umumnya hanya percaya pada kebesaran nama Bernie. Juga percaya pada reputasinya. Sudah lebih dari 13 tahun Bernie selalu membayar bunga sampai lima kali lipat lebih besar dari bunga deposito. Yakni, sebesar 13,5 persen. Padahal, bunga deposito di AS saat itu hanya sekitar 2–3 persen.

Banyak kasus seperti itu awalnya memang semata-mata tergiur soal besarnya bunga. Tapi, dalam hal Bernie, kelihatannya unsur bunga tersebut masih ditambah unsur emosionalnya. Yakni, romantisme Yahudi. Bernie memang seorang Yahudi, menjadi tokoh Yahudi, dan menjadi simbol kedermawanan Yahudi di seluruh dunia. Maka, sebagian besar korbannya adalah juga komunitas Yahudi. Ratusan yayasan sosial milik komunitas Yahudi menempatkan dana yayasannya di Bernie. Uang mereka itulah yang kini ikut lenyap. Ratusan triliun rupiah jumlahnya.

Sebuah rumah sakit Yahudi di New York, Long Island Jewish Medical Centre, bisa-bisa kehilangan uang USD 110 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun. Meski itu hanya 10 persen dari dana yang dimiliki yayasan tersebut, kehilangan Rp 1,4 triliun cukup menghebohkan. Yayasan kesehatan Yahudi lainnya kehilangan dana Rp 60 miliar.

Yayasan Federasi Yahudi Washington kehilangan Rp 120-an miliar. Orang seperti sutradara film terkemuka Steven Spielberg yang kebetulan juga seorang Yahudi yang juga punya yayasan termasuk yang menempatkan uangnya di sana.

Begitu banyaknya komunitas Yahudi yang menernakkan dananya di sana, sampai-sampai lembaga keuangan milik Bernie tersebut dapat nama panggilan ’’Jewish T. Bill’’. Itu mencerminkan betapa ada kesan di kalangan komunitas Yahudi bahwa menyimpan dan menernakkan uang di situ sama aman dan menguntungkannya dengan membeli T-Bill (Treasury Bill)-nya pemerintah AS.

Dengan kata lain, komunitas Yahudi sendiri mengakui kecerdikan dan kecemerlangan Bernie dalam mengatur uang. ’’Sebuah cara rumit yang tidak mungkin bisa dilakukan orang lain’’. Kecuali oleh pemerintah AS melalui T-Bill-nya. Tanpa kepercayaan penuh seperti itu, tidak mungkin Bernie bisa berkembang demikian hebatnya. Begitu tepercayanya, sampai-sampai akal sehat tidak akan memercayainya. Terutama akal sehat keuangan. Semua uang yang diserahkan ke Bernie itu praktis sepenuhnya ’’terserah’’ Bernie seorang. Sesuatu yang tidak lazim dalam dunia keuangan yang mestinya punya prinsip ’’semua orang tidak bisa dipercaya’’.

Lihatlah kenyataan ini: Aset-aset nasabah itu pada dasarnya sudah dipegangkan kepada Bernie, hak memperdagangkannya juga sudah sepenuhnya terserah Bernie, dan bahkan hak mencatatkannya atau membukukannya juga sudah terserah pada Bernie. Jadi, bentuk pencatatannya bagaimana, tidak ada yang mempersoalkan. Itu berarti tiga fungsi keuangan/aset seperti sudah berada di satu orang yang sama. Sebuah tingkat kepercayaan yang tiada tandingannya.

Bandingkan, misalnya, kalau kita ikut program derivatif sekalipun. Tetap ada perincian ke mana uang kita, dibelikan apa, hasilnya bagaimana. Tiap periode kita bisa tahu: lagi untung atau lagi buntung. Bahkan, ketika uang kita tiba-tiba lenyap seperti yang dialami para nasabah Citibank/Lehman Brothers dan Bank Century, kita tetap saja bisa mendapatkan perinciannya. Yakni, perincian bahwa uang kita sudah menjadi nol rupiah (Rp 0).

Tapi, di Bernie, nasabah bahkan tidak perlu punya perincian account-nya. Tahunya tiap tahun dapat bunga 13,5 persen dan uangnya bertambah terus. Setelah kejadian dana-dana itu lenyap, barulah orang bicara perlunya audit oleh auditor tepercaya. Masalahnya, bukankah lembaga seperti Lehman Brothers juga diaudit oleh auditor tepercaya? Bahkan pakai pemeringkatan segala? Kini semua sudah terjadi. Banyak yayasan sosial Yahudi yang mulai Januari nanti menghentikan kegiatan sosialnya. Krisis akhirnya mengenai juga lapisan yang paling miskin, yang biasanya menerima santunan dari berbagai yayasan itu.

Siapa bilang krisis kali ini hanya menimpa orang kaya? (*)

No comments:

Post a Comment