Sukses Bernie, Padukan Bunga dan Romantisme
Selama menjalani tahanan luar, Bernard Lawrence Madoff (lebih akrab
dipanggil Bernie) tinggal di rumah utamanya seharga USD 50 juta atau
sekitar Rp 600 miliar di New York. Terdakwa dalam kasus penipuan
terbesar dalam sejarah dunia yang dilakukan oleh hanya satu orang
(senilai Rp 600 triliun) itu memang masih punya rumah lain seharga Rp
100 miliar di Paris, rumah besar di Florida, serta berbagai aset mahal
lainnya. Namun, belum tentu harta-harta itu bisa disita untuk
mengembalikan uang nasabah –biarpun hanya sebagian kecil. Secara hukum,
Bernie kelihatannya bisa mempertanggungjawabkan praktik bisnisnya
tersebut.
Kalaupun kelak dia dinyatakan bersalah, tidak tahu bagaimana
kira-kira menghukumnya. Kalau pencuri ayam dihukum tiga bulan,
seharusnya dia dihukum satu juta tahun. Padahal, dia sudah berumur 70
tahun. Bernie pasti punya alasan kuat untuk menghindari hukuman.
Misalnya ini: kalau saja tidak terjadi krisis yang begitu hebat,
praktik bisnisnya itu akan aman-aman saja. Apalagi, hubungan Bernie
dengan nasabahnya (hubungan hukum maupun emosional) sangat khusus.
Praktik bisnis ’’Model Ponzi’’ yang dia lakukan (lihat tulisan saya di harian ini kemarin)
memang luar biasa canggih dan rumitnya. Sebenarnya, lebih dari 95
persen orang yang menempatkan uangnya di situ tidak mengerti bagaimana
perhitungan yang dilakukan Bernie dalam memutar uang mereka, tulis
sebuah media di AS. Itu sama dengan para korban bisnis derivatif yang
dilakukan Lehman Brothers di Surabaya, Jakarta, dan kota-kota besar
lainnya di Indonesia.
Mereka pada dasarnya tidak paham benar apa itu over the counter,
margin trading, dual currency, credit default swaps, dan ratusan istilah
lainnya lagi. Mereka hanya percaya pada para penyelenggaranya: Lehman
Brothers, Citibank, dan lain-lain.Di Hongkong lebih tragis lagi. Kalau
di Indonesia korbannya orang-orang kaya, di sana ratusan ribu orang
miskin ikut menderita. Di Hongkong ada produk yang bernama minibond.
Yang menjual juga bank-bank terkemuka. Dalam brosurnya juga tertulis
nama-nama besar seperti Lehman Brothers, DBS Bank, Standard Chartered,
dan seterusnya. Semua mengira uang mereka aman. Pasti nama-nama besar
tersebut akan memberikan jaminan.
Di antara korban itu adalah seorang wanita berumur 70 tahun yang
hidup sendirian. Dia tergiur sales yang mendatanginya yang menawarkan
bunga 2 persen lebih tinggi dari bunga bank. Semua uangnya dibelikan
minibond. Nenek itu tidak lagi punya sumber penghasilan lain. Bunga
tabungan tersebut satu-satunya harapan mempertahankan hidup. Karena itu,
selisih 2 persen dia perhitungkan. Dia sebenarnya punya satu anak, tapi
justru menjadi tanggungannya. Anak itu, karena lemah mental, tidak
punya jodoh dan penghasilan apa-apa. Ketika krisis terjadi, uangnya
lenyap. Ada 30.000 orang di Hongkong yang tergiur minibond seperti nenek
itu.
Minibond memang terjangkau masyarakat kecil. Tidak seperti
perdagangan saham yang membelinya harus minimal satu lot. Mereka mengira
minibond adalah bond dalam ukuran kecil, untuk orang kecil. Ternyata,
minibond itu hanya nama perusahaan. Yakni, PT Minibond.
Perusahaan tersebut tidak bisa ditelusuri alamatnya karena didirikan
di Cayman Island, sebuah pulau mini bebas pajak nun di Kepulauan Karibia
sana. Inilah model perusahaan yang disebut ’’perusahaan dua dolar’’.
Artinya, untuk mendirikan perusahaan seperti itu, modalnya cukup dua
dolar. Uang yang terkumpul dari orang-orang kecil tersebut ternyata
diputar untuk membeli produk lain yang bunganya lebih tinggi. Yakni,
produk subprime mortgage yang bermasalah itu. Para nasabah tidak tahu
itu. Umumnya mereka hanya percaya pada nama besar Lehman Brothers serta
bank-bank terkemuka di Hongkong dan Singapura.
Dalam kasus Bernie pun, mereka umumnya hanya percaya pada kebesaran
nama Bernie. Juga percaya pada reputasinya. Sudah lebih dari 13 tahun
Bernie selalu membayar bunga sampai lima kali lipat lebih besar dari
bunga deposito. Yakni, sebesar 13,5 persen. Padahal, bunga deposito di
AS saat itu hanya sekitar 2–3 persen.
Banyak kasus seperti itu awalnya memang semata-mata tergiur soal
besarnya bunga. Tapi, dalam hal Bernie, kelihatannya unsur bunga
tersebut masih ditambah unsur emosionalnya. Yakni, romantisme Yahudi.
Bernie memang seorang Yahudi, menjadi tokoh Yahudi, dan menjadi simbol
kedermawanan Yahudi di seluruh dunia. Maka, sebagian besar korbannya
adalah juga komunitas Yahudi. Ratusan yayasan sosial milik komunitas
Yahudi menempatkan dana yayasannya di Bernie. Uang mereka itulah yang
kini ikut lenyap. Ratusan triliun rupiah jumlahnya.
Sebuah rumah sakit Yahudi di New York, Long Island Jewish Medical
Centre, bisa-bisa kehilangan uang USD 110 juta atau sekitar Rp 1,4
triliun. Meski itu hanya 10 persen dari dana yang dimiliki yayasan
tersebut, kehilangan Rp 1,4 triliun cukup menghebohkan. Yayasan
kesehatan Yahudi lainnya kehilangan dana Rp 60 miliar.
Yayasan Federasi Yahudi Washington kehilangan Rp 120-an miliar. Orang
seperti sutradara film terkemuka Steven Spielberg yang kebetulan juga
seorang Yahudi yang juga punya yayasan termasuk yang menempatkan uangnya
di sana.
Begitu banyaknya komunitas Yahudi yang menernakkan dananya di sana,
sampai-sampai lembaga keuangan milik Bernie tersebut dapat nama
panggilan ’’Jewish T. Bill’’. Itu mencerminkan betapa ada kesan di
kalangan komunitas Yahudi bahwa menyimpan dan menernakkan uang di situ
sama aman dan menguntungkannya dengan membeli T-Bill (Treasury Bill)-nya
pemerintah AS.
Dengan kata lain, komunitas Yahudi sendiri mengakui kecerdikan dan
kecemerlangan Bernie dalam mengatur uang. ’’Sebuah cara rumit yang tidak
mungkin bisa dilakukan orang lain’’. Kecuali oleh pemerintah AS melalui
T-Bill-nya. Tanpa kepercayaan penuh seperti itu, tidak mungkin Bernie
bisa berkembang demikian hebatnya. Begitu tepercayanya, sampai-sampai
akal sehat tidak akan memercayainya. Terutama akal sehat keuangan. Semua
uang yang diserahkan ke Bernie itu praktis sepenuhnya ’’terserah’’
Bernie seorang. Sesuatu yang tidak lazim dalam dunia keuangan yang
mestinya punya prinsip ’’semua orang tidak bisa dipercaya’’.
Lihatlah kenyataan ini: Aset-aset nasabah itu pada dasarnya sudah
dipegangkan kepada Bernie, hak memperdagangkannya juga sudah sepenuhnya
terserah Bernie, dan bahkan hak mencatatkannya atau membukukannya juga
sudah terserah pada Bernie. Jadi, bentuk pencatatannya bagaimana, tidak
ada yang mempersoalkan. Itu berarti tiga fungsi keuangan/aset seperti
sudah berada di satu orang yang sama. Sebuah tingkat kepercayaan yang
tiada tandingannya.
Bandingkan, misalnya, kalau kita ikut program derivatif sekalipun.
Tetap ada perincian ke mana uang kita, dibelikan apa, hasilnya
bagaimana. Tiap periode kita bisa tahu: lagi untung atau lagi buntung.
Bahkan, ketika uang kita tiba-tiba lenyap seperti yang dialami para
nasabah Citibank/Lehman Brothers dan Bank Century, kita tetap saja bisa
mendapatkan perinciannya. Yakni, perincian bahwa uang kita sudah menjadi
nol rupiah (Rp 0).
Tapi, di Bernie, nasabah bahkan tidak perlu punya perincian
account-nya. Tahunya tiap tahun dapat bunga 13,5 persen dan uangnya
bertambah terus. Setelah kejadian dana-dana itu lenyap, barulah orang
bicara perlunya audit oleh auditor tepercaya. Masalahnya, bukankah
lembaga seperti Lehman Brothers juga diaudit oleh auditor tepercaya?
Bahkan pakai pemeringkatan segala? Kini semua sudah terjadi. Banyak
yayasan sosial Yahudi yang mulai Januari nanti menghentikan kegiatan
sosialnya. Krisis akhirnya mengenai juga lapisan yang paling miskin,
yang biasanya menerima santunan dari berbagai yayasan itu.
Siapa bilang krisis kali ini hanya menimpa orang kaya? (*)
No comments:
Post a Comment