Dahlan Iskan : Mau Jatuh Cepat-Cepat atau Pelan-Pelan? (1)
Fondasi Memang Rapuh, Bukan Konfiden yang Jatuh
Baru satu hari pulang dari Tiongkok, Dahlan Iskan kemarin sudah
berangkat ke Amerika untuk ikut rombongan Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono menghadiri pertemuan puncak 20 kepala negara di Washington DC.
Pertemuan ini untuk mencari solusi mengatasi krisis keuangan global
saat ini. Berikut catatannya sebelum berangkat:
Setelah banyak kiat dijalankan di mana-mana dan hasilnya juga masih
belum bisa meredakan krisis, para penganut aliran pasar bebas mulai
unjuk gigi lagi: seharusnya negara jangan
turun tangan. Biarkan pasar terjun bebas. Biarkan banyak bank kolaps.
Biarkan banyak perusahaan bangkrut. Biarkan pasar modal mencapai titik
terendahnya. Terjun bebas secara cepat lebih baik karena kita bisa
segera tahu di mana titik terendahnya. Dari situ baru mulai dipikirkan
lagi bagaimana bangun kembali. Daripada jatuh pelan-pelan, lama tapi
akhirnya jatuh juga!
Pendapat itu didasarkan kenyataan bahwa meski berbagai negara sudah
melakukan bailout dalam jumlah yang belum pernah terjadi dalam sejarah,
toh kesulitan tidak juga teratasi. Indeks harga saham masih terus
merosot, termasuk setelah Amerika Serikat memilih presiden baru sekali
pun. Ini berarti krisis sekarang ini memang benar-benar krisis yang
terjadi akibat fondasi ekonomi yang rapuh. Bukan hanya karena rasa
konfiden yang jatuh.
Memang banyak negara sudah menginjeksikan uang rakyat ke berbagai
lembaga keuangan. AS menggunakan dana USD 700 miliar yang berasal dari
pembayar pajak alias rakyat. Dan, karena negara itu sedang mengalami
defisit terbesar dalam sejarahnya, pada dasarnya dana itu juga berasal
dari pinjaman. Negara sudah meminjam uang begitu besar untuk
menyelamatkan lembaga keuangan. Hasilnya belum kelihatan jelas. Bahkan,
kini menjalar ke sektor riil. Pabrik mobil di sana sudah pula minta
disuntik dana negara. Kalau permintaan ini dipenuhi, bagaimana industri
baja yang juga tinggal menunggu giliran saja untuk mengalami hal yang
sama? Lalu bagaimana dengan industri kaca? Industri cat? Dan seterusnya.
Dulu, pikiran untuk menginjeksikan uang negara ke lembaga keuangan
tersebut didasari pemikiran agar kepanikan masyarakat bisa segera reda.
Kepanikan itu dipicu oleh pernyataan bangkrutnya Lehman Brothers,
perusahaan keuangan terbesar di dunia. Masyarakat panik karena “Lehman
yang begitu raksasa saja bangkrut, bagaimana dengan yang lain?” Ini,
kecil-kecilan, mirip dengan yang dialami Indonesia ketika krisis 1997
lalu. Saat itu, secara teori ekonomi (IMF) 16 bank swasta nasional harus
ditutup. Jangan diinjeksi. Maka ditutuplah bank-bank itu. Ternyata,
“teori” tersebut meleset. Akibat penutupan itu, kepanikan memuncak.
Pertanyaan semua orang waktu itu: besok bank yang mana lagi yang
ditutup? Lusa yang mana lagi?
Begitulah seterusnya hingga akhirnya toh pemerintah harus memberikan
jaminan kepada kalangan perbankan. Jaminan itulah yang kemudian ternyata
juga salah: pemilik uang di bank itu ternyata para pemilik bank itu
sendiri. Akibatnya, pemerintah harus menginjeksi para penabung yang pada
dasarnya pemilik bank itu sendiri.
Pemerintah AS juga berpikiran bangkrutnya Lehman Brothers adalah
pelajaran berharga. Kebangkrutan itu ternyata disusul dengan kepanikan
dan dampaknya berupa turunnya rasa percaya diri yang luar biasa. Harga
saham terus merosot. Kehilangan uang di pasar modal ternyata lebih besar
dari nilai yang harus dibayar seandainya Lehman Brothers diinjeksi uang
negara.
Memang setelah injeksi diberikan oleh pemerintah, rasa percaya diri
mulai pulih. Tapi, rasa percaya diri saja ternyata tidak cukup. Toh,
harga saham terus merosot. Perusahaan yang terancam bangkrut terus
membesar. Kini mulai dibahas: sampai berapa besar injeksi harus
diberikan? Apakah kalau kebijaksanaan injeksi itu diteruskan, adakah
dana yang cukup? Apa kriteria yang bisa diinjeksi dan yang tidak?
Bahkan, jangan-jangan, semua itu seperti “sumur tanpa dasar”. Siapa yang
bisa menimbunnya? Maka mulailah dibicarakan perlunya diberlakukan
undang-undang darutat. Berarti Amerika memang sangat gawat.
Kalau saja UU darurat itu benar-benar diwujudkan, kita juga belum
tahu skenario seperti apa yang akan dilakukan: biarkan terus bebas
dengan cepat, atau terjun pelan-pelan tapi akhirnya jatuh juga, atau ada
revolusi baru di AS?
Memang segera diadakan pertemuan puncak para kepala negara di
Washington minggu ini untuk membicarakan itu. Tapi, dari
pengalaman-pengalaman yang lalu, tidak mungkin juga pertemuan dua hari
itu bisa mencari solusi, apalagi sampai bisa menentukan roadmap (program
nyata yang bisa dijalankan dengan jadwal yang jelas dan ketat). Kawasan
Eropa akan menyelamatkan benuanya sendiri. Amerika Utara juga begitu.
Bagaimana Asia?
Tiongkok sudah punya program besar. Meski masih digolongkan negara
miskin, Tiongkok uangnya banyak. Cadangan devisanya USD 2 triliun.
Terbesar di dunia. Indonesia hanya punya USD 50 miliar. Tidak bisa
diapa-apakan. Karena itu, Indonesia harus mengandalkan kekuatan sendiri.
Tidak bisa berharap sama sekali dari bantuan siapa pun. Termasuk
bantuan dari Barat dan Tiongkok. Masing-masing punya kesulitannya
sendiri.
Tiongkok bisa mengalami PHK sampai 30 juta orang. Sepertiga pabrik
bajanya sudah tutup. Tapi, selama 10 hari saya keliling Changsha, Wuhan,
Hangzhou, Shaoxing, dan Tianjin minggu lalu, saya lihat belum ada
kepanikan yang nyata. Apalagi, Tiongkok sudah menetapkan bagaimana agar
30 juta orang itu dapat pekerjaan. Caranya: pemerintah akan
mengalokasikan dana pembangunan infrastruktur USD 500 miliar. Ini sama
dengan empat tahun APBN Indonesia! Itu baru dana daruratnya saja. Belum
APBN-nya sendiri.
Kita, sebagaimana dikemukakan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
dalam pertemuan dengan pengusaha di Istana, Rabu sore, memang sudah
menegaskan untuk tidak akan hanya mengandalkan turun tangannya asing.
“Asing tetap kita cari terus, tapi kekuatan dalam negeri sendiri yang
harus bangkit,” katanya.
Presiden menyebut adanya dana Rp 90 triliun yang sekarang menganggur
di bank-bank milik provinsi. “Kita ini ngemis ke mana-mana untuk dapat
uang satu-dua triliun. Bagaimana kita sendiri ternyata punya uang Rp 90
triliun yang dinganggurkan,” katanya.
Wapres Jusuf Kalla, yang selama presiden melawat ke berbagai negara
ditugasi merumuskan dan menjalankan program krisis ini, diminta sudah
menyelesaikan semua itu sebelum presiden pulang.
Tentu juga soal suku bunga kita sendiri. Akankah juga harus tidak
turun? Sudah sebulan ini, setiap hari ada saja berita, negara mana yang
menurunkan suku bunga. Menurunkan suku bunga memang menjadi salah satu
senjata untuk menanggulangi akibat krisis global. Karena itu, gerakan
menurunkan suku bunga dilakukan hampir semua negara. Kecuali Indonesia,
tentunya, dan beberapa negara lagi.
Persentasi penurunannya pun tidak lagi 0,25 persen seperti kebiasaan
di masa stabil, tapi ada yang langsung 0,5 persen. Bahkan, ada yang
sampai 1,5 persen. Inggris menurunkan suku bunganya dari 4,5 persen
langsung menjadi 3 persen. Suku bunga di AS, rata-rata kini tinggal 0,3
persen. Bandingkan dengan masa sebelum krisis yang sampai 2,5 persen.
Indonesia masih bertahan dengan suku bunga 9,5 persen karena, menurut
pemerintah, untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Kalau suku
bunga diturunkan, khawatir rupiah kurang menarik sehingga banyak orang
yang mengalihkan uangnya ke dolar AS. Kalau itu sampai terjadi, akan
semakin membuat nilai rupiah merosot. Inflasi (harga-harga barang) akan
naik pula.
Begitu drastisnya penurunan suku bunga di banyak negara itu,
sampai-sampai para ahli kini mulai membayangkan sebuah dunia dengan suku
bunga 0 persen. Ini hampir sama artinya dengan dunia tanpa bank.
Jepang pernah membuktikan bagaimana hidup dengan bunga 0 persen
selama enam tahun, sejak menjelang 2000. Sejak dua tahun lalu suku bunga
di Jepang mulai naik menjadi 1 sampai 1,5 persen. Namun, karena terjadi
krisis lagi, bunganya kembali diturunkan menjadi rata-rata tinggal 0,5
persen. Langkah me-0-kan suku bunga waktu itu sebagai cara untuk tetap
membuat ekonomi berjalan, sambil menunggu sembuhnya dunia perbankan.
Meski membuat pertumbuhan ekonomi Jepang sangat lambat (hanya 1-2
persen per tahun selama lebih 10 tahun), langkah itu dianggap bisa
menyelamatkan ekonomi negara. Terbukti Jepang tidak sampai ambruk.
Statusnya sebagai negara terkaya kedua di dunia masih terjaga. Dalam
kasus Jepang, pertumbuhan ekonomi 0 persen pun hanya berarti negara itu
tetap kaya raya. (bersambung)
No comments:
Post a Comment