Friday, November 14, 2008

Fondasi Memang Rapuh, Bukan Konfiden yang Jatuh

Jum’at, 14 November 2008
Dahlan Iskan : Mau Jatuh Cepat-Cepat atau Pelan-Pelan? (1)
Fondasi Memang Rapuh, Bukan Konfiden yang Jatuh

Baru satu hari pulang dari Tiongkok, Dahlan Iskan kemarin sudah berangkat ke Amerika untuk ikut rombongan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menghadiri pertemuan puncak 20 kepala negara di Washington DC. Pertemuan ini untuk mencari solusi mengatasi krisis keuangan global saat ini. Berikut catatannya sebelum berangkat:

Setelah banyak kiat dijalankan di mana-mana dan hasilnya juga masih belum bisa meredakan krisis, para penganut aliran pasar bebas mulai unjuk gigi lagi: seharusnya negara jangan turun tangan. Biarkan pasar terjun bebas. Biarkan banyak bank kolaps. Biarkan banyak perusahaan bangkrut. Biarkan pasar modal mencapai titik terendahnya. Terjun bebas secara cepat lebih baik karena kita bisa segera tahu di mana titik terendahnya. Dari situ baru mulai dipikirkan lagi bagaimana bangun kembali. Daripada jatuh pelan-pelan, lama tapi akhirnya jatuh juga!

Pendapat itu didasarkan kenyataan bahwa meski berbagai negara sudah melakukan bailout dalam jumlah yang belum pernah terjadi dalam sejarah, toh kesulitan tidak juga teratasi. Indeks harga saham masih terus merosot, termasuk setelah Amerika Serikat memilih presiden baru sekali pun. Ini berarti krisis sekarang ini memang benar-benar krisis yang terjadi akibat fondasi ekonomi yang rapuh. Bukan hanya karena rasa konfiden yang jatuh.

Memang banyak negara sudah menginjeksikan uang rakyat ke berbagai lembaga keuangan. AS menggunakan dana USD 700 miliar yang berasal dari pembayar pajak alias rakyat. Dan, karena negara itu sedang mengalami defisit terbesar dalam sejarahnya, pada dasarnya dana itu juga berasal dari pinjaman. Negara sudah meminjam uang begitu besar untuk menyelamatkan lembaga keuangan. Hasilnya belum kelihatan jelas. Bahkan, kini menjalar ke sektor riil. Pabrik mobil di sana sudah pula minta disuntik dana negara. Kalau permintaan ini dipenuhi, bagaimana industri baja yang juga tinggal menunggu giliran saja untuk mengalami hal yang sama? Lalu bagaimana dengan industri kaca? Industri cat? Dan seterusnya.

Dulu, pikiran untuk menginjeksikan uang negara ke lembaga keuangan tersebut didasari pemikiran agar kepanikan masyarakat bisa segera reda. Kepanikan itu dipicu oleh pernyataan bangkrutnya Lehman Brothers, perusahaan keuangan terbesar di dunia. Masyarakat panik karena “Lehman yang begitu raksasa saja bangkrut, bagaimana dengan yang lain?” Ini, kecil-kecilan, mirip dengan yang dialami Indonesia ketika krisis 1997 lalu. Saat itu, secara teori ekonomi (IMF) 16 bank swasta nasional harus ditutup. Jangan diinjeksi. Maka ditutuplah bank-bank itu. Ternyata, “teori” tersebut meleset. Akibat penutupan itu, kepanikan memuncak. Pertanyaan semua orang waktu itu: besok bank yang mana lagi yang ditutup? Lusa yang mana lagi?

Begitulah seterusnya hingga akhirnya toh pemerintah harus memberikan jaminan kepada kalangan perbankan. Jaminan itulah yang kemudian ternyata juga salah: pemilik uang di bank itu ternyata para pemilik bank itu sendiri. Akibatnya, pemerintah harus menginjeksi para penabung yang pada dasarnya pemilik bank itu sendiri.

Pemerintah AS juga berpikiran bangkrutnya Lehman Brothers adalah pelajaran berharga. Kebangkrutan itu ternyata disusul dengan kepanikan dan dampaknya berupa turunnya rasa percaya diri yang luar biasa. Harga saham terus merosot. Kehilangan uang di pasar modal ternyata lebih besar dari nilai yang harus dibayar seandainya Lehman Brothers diinjeksi uang negara.

Memang setelah injeksi diberikan oleh pemerintah, rasa percaya diri mulai pulih. Tapi, rasa percaya diri saja ternyata tidak cukup. Toh, harga saham terus merosot. Perusahaan yang terancam bangkrut terus membesar. Kini mulai dibahas: sampai berapa besar injeksi harus diberikan? Apakah kalau kebijaksanaan injeksi itu diteruskan, adakah dana yang cukup? Apa kriteria yang bisa diinjeksi dan yang tidak? Bahkan, jangan-jangan, semua itu seperti “sumur tanpa dasar”. Siapa yang bisa menimbunnya? Maka mulailah dibicarakan perlunya diberlakukan undang-undang darutat. Berarti Amerika memang sangat gawat.

Kalau saja UU darurat itu benar-benar diwujudkan, kita juga belum tahu skenario seperti apa yang akan dilakukan: biarkan terus bebas dengan cepat, atau terjun pelan-pelan tapi akhirnya jatuh juga, atau ada revolusi baru di AS?

Memang segera diadakan pertemuan puncak para kepala negara di Washington minggu ini untuk membicarakan itu. Tapi, dari pengalaman-pengalaman yang lalu, tidak mungkin juga pertemuan dua hari itu bisa mencari solusi, apalagi sampai bisa menentukan roadmap (program nyata yang bisa dijalankan dengan jadwal yang jelas dan ketat). Kawasan Eropa akan menyelamatkan benuanya sendiri. Amerika Utara juga begitu. Bagaimana Asia?

Tiongkok sudah punya program besar. Meski masih digolongkan negara miskin, Tiongkok uangnya banyak. Cadangan devisanya USD 2 triliun. Terbesar di dunia. Indonesia hanya punya USD 50 miliar. Tidak bisa diapa-apakan. Karena itu, Indonesia harus mengandalkan kekuatan sendiri. Tidak bisa berharap sama sekali dari bantuan siapa pun. Termasuk bantuan dari Barat dan Tiongkok. Masing-masing punya kesulitannya sendiri.

Tiongkok bisa mengalami PHK sampai 30 juta orang. Sepertiga pabrik bajanya sudah tutup. Tapi, selama 10 hari saya keliling Changsha, Wuhan, Hangzhou, Shaoxing, dan Tianjin minggu lalu, saya lihat belum ada kepanikan yang nyata. Apalagi, Tiongkok sudah menetapkan bagaimana agar 30 juta orang itu dapat pekerjaan. Caranya: pemerintah akan mengalokasikan dana pembangunan infrastruktur USD 500 miliar. Ini sama dengan empat tahun APBN Indonesia! Itu baru dana daruratnya saja. Belum APBN-nya sendiri.

Kita, sebagaimana dikemukakan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan pengusaha di Istana, Rabu sore, memang sudah menegaskan untuk tidak akan hanya mengandalkan turun tangannya asing. “Asing tetap kita cari terus, tapi kekuatan dalam negeri sendiri yang harus bangkit,” katanya.

Presiden menyebut adanya dana Rp 90 triliun yang sekarang menganggur di bank-bank milik provinsi. “Kita ini ngemis ke mana-mana untuk dapat uang satu-dua triliun. Bagaimana kita sendiri ternyata punya uang Rp 90 triliun yang dinganggurkan,” katanya.

Wapres Jusuf Kalla, yang selama presiden melawat ke berbagai negara ditugasi merumuskan dan menjalankan program krisis ini, diminta sudah menyelesaikan semua itu sebelum presiden pulang.
Tentu juga soal suku bunga kita sendiri. Akankah juga harus tidak turun? Sudah sebulan ini, setiap hari ada saja berita, negara mana yang menurunkan suku bunga. Menurunkan suku bunga memang menjadi salah satu senjata untuk menanggulangi akibat krisis global. Karena itu, gerakan menurunkan suku bunga dilakukan hampir semua negara. Kecuali Indonesia, tentunya, dan beberapa negara lagi.

Persentasi penurunannya pun tidak lagi 0,25 persen seperti kebiasaan di masa stabil, tapi ada yang langsung 0,5 persen. Bahkan, ada yang sampai 1,5 persen. Inggris menurunkan suku bunganya dari 4,5 persen langsung menjadi 3 persen. Suku bunga di AS, rata-rata kini tinggal 0,3 persen. Bandingkan dengan masa sebelum krisis yang sampai 2,5 persen.

Indonesia masih bertahan dengan suku bunga 9,5 persen karena, menurut pemerintah, untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Kalau suku bunga diturunkan, khawatir rupiah kurang menarik sehingga banyak orang yang mengalihkan uangnya ke dolar AS. Kalau itu sampai terjadi, akan semakin membuat nilai rupiah merosot. Inflasi (harga-harga barang) akan naik pula.

Begitu drastisnya penurunan suku bunga di banyak negara itu, sampai-sampai para ahli kini mulai membayangkan sebuah dunia dengan suku bunga 0 persen. Ini hampir sama artinya dengan dunia tanpa bank.

Jepang pernah membuktikan bagaimana hidup dengan bunga 0 persen selama enam tahun, sejak menjelang 2000. Sejak dua tahun lalu suku bunga di Jepang mulai naik menjadi 1 sampai 1,5 persen. Namun, karena terjadi krisis lagi, bunganya kembali diturunkan menjadi rata-rata tinggal 0,5 persen. Langkah me-0-kan suku bunga waktu itu sebagai cara untuk tetap membuat ekonomi berjalan, sambil menunggu sembuhnya dunia perbankan.

Meski membuat pertumbuhan ekonomi Jepang sangat lambat (hanya 1-2 persen per tahun selama lebih 10 tahun), langkah itu dianggap bisa menyelamatkan ekonomi negara. Terbukti Jepang tidak sampai ambruk. Statusnya sebagai negara terkaya kedua di dunia masih terjaga. Dalam kasus Jepang, pertumbuhan ekonomi 0 persen pun hanya berarti negara itu tetap kaya raya. (bersambung)

No comments:

Post a Comment