Standar Pengamanan Hotel Bintang Lima di India
Rusuh, Tetap Bebas Keluar Masuk Lobi Sheraton
Lolosnya lusinan teroris masuk dua hotel bintang lima Taj Mahal dan
Trident (Oberoi) di Mumbai, dengan senjata dan amunisi penuh yang
disimpan di tas jinjing dan tas punggung, mencengangkan publik
internasional. Berikut catatan Chairman Jawa Pos Dahlan Iskan tentang
standar pengamanan hotel di India.
Saya tahu, sejak dulu di India banyak sekali bom meledak. Kecil dan
besar. Tapi, ketika berkunjung ke India bulan lalu, saya kaget: tidak
satu pun hotel yang melakukan pemeriksaan terhadap tamu-tamunya. Rasanya
bom di India jauh lebih banyak daripada yang di Indonesia. Tapi,
pengamanan di hotel-hotel di Indonesia jauh lebih siap. Pertama-tama
kita memang agak risi dengan pengamanan di hotel-hotel di Indonesia.
Terutama sejak di setiap depan lobi dipasangi pintu detektor. Tapi,
lama-lama kita sudah menjadi biasa. Bahkan, merasa lebih aman. Lebih
dari itu, sebelum masuk halaman hotel pun mobil kita sudah diminta
berhenti, disuruh membuka pintu dan bagasi untuk diperiksa. Mula-mula
rasanya menghambat sekali. Tapi, lama-lama itu juga sudah biasa. Kita
juga merasa lebih aman.
Tapi, di India tidak ada pengamanan seperti itu. Ketika saya dan
teman-teman berwisata ke Hotel Taj Mahal di Mumbai itu, misalnya, kami
tidak harus masuk pintu detektor. Tidak ada fasilitas untuk itu. Juga
tidak ada satpam yang khusus mengawasi orang-orang yang masuk ke lobi.
Memang ada satpam. Tapi, rasanya tidak secara khusus bertugas mengamati
orang-orang yang datang.
Semula, karena biasa di Jakarta, saya siap untuk ditanya banyak hal.
Maklum, kami kan bukan penghuni hotel itu. Wajah-wajah kami juga bukan
wajah yang familier di situ. Pasti setidaknya akan ditanya mau ada perlu
apa. Ternyata tidak. Kami semua langsung saja masuk ke lobi dan
tolah-toleh di situ tanpa ada yang mencurigai atau mengawasi sedikit
pun. Atau, satpam di situ mungkin sudah terlalu biasa. Memang, banyak
wisatawan yang hanya datang ke Hotel Taj Mahal untuk melihat-lihat.
Di ibu kota India, New Delhi, juga sama. Saya tinggal di Hotel Intercontinental. Juga tidak ada pemeriksaan sama sekali. Semua orang bebas keluar masuk, meski arus keluar masuk tidak seramai di hotel-hotel di Indonesia. Padahal, belum lama berselang ada bom meledak di sebuah pasar yang menewaskan banyak orang. Bahkan, baru saja ada berita pembebasan beberapa tahanan yang semula dianggap bagian dari kelompok ekstrem Islam.
Di ibu kota India, New Delhi, juga sama. Saya tinggal di Hotel Intercontinental. Juga tidak ada pemeriksaan sama sekali. Semua orang bebas keluar masuk, meski arus keluar masuk tidak seramai di hotel-hotel di Indonesia. Padahal, belum lama berselang ada bom meledak di sebuah pasar yang menewaskan banyak orang. Bahkan, baru saja ada berita pembebasan beberapa tahanan yang semula dianggap bagian dari kelompok ekstrem Islam.
Suatu malam saya ingin makan malam makanan khas India yang amat
terkenal di New Delhi. Yakni, di Hotel Sheraton Delhi. Tapi, kami tidak
sempat reservasi sehingga harus antre dua jam. Kami menunggu di lobi
hotel itu sambil melihat-lihat keunikan hotel tersebut. Di tempat itu,
dengan begitu banyak orang asing yang makan, juga tidak ada pengamanan
sedikit pun. Semua bebas keluar masuk seperti sedang berada di negara
yang sangat aman. Padahal, hari itu di wilayah Kashmir terjadi ”perang”.
Bandara saja terpaksa ditutup. Ketegangan antara penganut Hindu dan
Islam memuncak. Tapi, di tempat-tempat umum di New Delhi tidak terlihat
ada pengamanan.
Di Ahmadabad, Gujarat, juga sama. Tidak terlihat ada pengamanan
khusus. Padahal, baru seminggu sebelumnya sebuah pura terkenal di situ
diledakkan. Seminggu setelah ledakan itu saya berkunjung ke pura
tersebut. Suasananya sangat lengang karena masih berduka. Selama saya di
India 10 hari, selalu saya baca adanya ledakan di berbagai wilayah. Ada
kerusuhan Islam dengan Hindu. Ada juga antara Hindu dan Kristen. Juga
Hindu dengan Buddha. Tapi, tempat-tempat umum tidak melakukan pengamanan
khusus.
Memang, dulu ketika pertama-tama ada hotel dipasangi pintu detektor
rasanya mengganggu. Juga ada kesan tampaknya negara ini tidak aman.
Perasaan yang sama saya alami ketika berkunjung ke Kairo beberapa tahun
lalu. Waktu itu belum terjadi pengeboman World Trade Centre, New York.
Belum terjadi perang Iraq dan Afghanistan. Suasana masih damai. Tapi,
ketika saya tiba di hotel bintang lima di Kairo, saya harus melewati
pintu detektor, seperti yang kini dilakukan di Indonesia.
Saat itu rasanya lucu sekali. Saya sampai menertawakan Mesir. Masuk
hotel kok diperiksa seperti masuk ke bandara. Juga muncul pertanyaan:
apakah Kairo sedang tidak aman? Saya tahu bahwa ada gerakan Ikhwanul
Muslimin yang lagi anti pemerintah dan anti-Barat. Namun, saya tidak
menyangka bahwa pengaruhnya sampai harus memasang pintu detektor di
sebuah hotel. Tidak disangka, beberapa tahun kemudian Indonesia pun
melakukan hal yang sama.
Sudah lama koran-koran mempertanyakan kemampuan polisi India menjamin
keselamatan orang-orang di tempat umum: pura, pasar, dan terminal.
Tapi, tidak pernah disebut soal hotel. Kali ini, setelah Hotel Taj
Mahal, Mumbai, diledakkan (bersama Hotel Oberoi), rasanya pertanyaan itu
sudah harus ditambah satu: keamanan hotel. Apalagi, semua orang yang ke
Mumbai ada kecenderungan berkunjung ke hotel itu berkat ketenarannya.
Dan, bagi saya juga sebagai kompensasi karena saya tidak sempat
berkunjung ke Taj Mahal yang letaknya di kota Agra, dua jam penerbangan
dari Mumbai. (*)
No comments:
Post a Comment