Saturday, November 15, 2008

Syukur, Rumor Buruk Itu Teratasi

Sabtu, 15 November 2008
Dahlan Iskan : Mau Jatuh Cepat-Cepat atau Pelan-Pelan? (2)
Syukur, Rumor Buruk Itu Teratasi


Ketika pesawat kepresidenan Indonesia mendarat di bandara khusus Air Force Base, Washington DC, kabut tipis menyelimuti udara tengah malam waktu setempat. Suhu udara memang hanya 11 derajat Celsius, tapi tidak terasa terlalu dingin karena tidak ada angin.

Tampak tiga pesawat Brazil sudah parkir berjajar, pertanda rombongan dari Brazil sangat besar. Kelihatan juga dua pesawat jumbo 747 Jepang. Ini pertanda bukan saja rombongannya juga besar, melainkan perjalanan Tokyo-Washington dilakukan secara nonstop. Itu berbeda dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya naik Airbus 330 yang jangkauan terbangnya lebih terbatas. Harus berhenti dua kali: Bandara Tokyo dan San Fransisco.

Tapi, berhenti di Tokyo ada baiknya juga. Presiden SBY bisa punya waktu memonitor perkembangan di dalam negeri. Terutama karena saat meninggalkan Jakarta, Kamis siang, rumor buruk sedang menimpa beberapa bank nasional. Rumor yang menimpa bank selalu saja berbahaya. Bisa membuat panik masyarakat yang ujung-ujungnya bisa mengakibatkan rush. Kalau saja rush itu terjadi, bank yang sehat pun bisa menjadi tidak sehat.

Saat berhenti 1,5 jam di Tokyo, waktu presiden habis untuk melakukan monitoring dan memberikan arahan. Presiden bicara dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, gubernur Bank Indonesia, dan menteri keuangan yang sedang berada di Amerika. Ketika sembilan jam kemudian presiden mendarat di San Fransisco, monitoring kembali dilakukan. Presiden lega bahwa rumor yang menimpa bank nasional tidak berlanjut.

Mensesneg Hatta Rajasa yang juga berada di dalam rombongan langsung menghubungi gubernur Bank Indonesia. Hasilnya juga melegakan seluruh rombongan: Bank Century (yang mengalami gagal kliring pada Kamis, 13/11, Red) teratasi sehingga tidak mengakibatkan keadaan yang memburuk.

Seluruh kepala negara yang besok berkumpul di Washington tentu tidak tenang. Masing-masing meninggalkan negaranya dalam keadaan waswas. Tapi, mereka harus bertemu segera untuk mencari jalan keluar mengatasi krisis global. Memang masih terjadi beda pendapat di antara kepala negara. Amerika tetap menginginkan sesedikit mungkin campur tangan pemerintah. Eropa, yang dipromotori Inggris, memilih negara harus turun tangan. Prancis, bahkan lebih keras agar jangan lagi hanya bertumpu ke dolar. Gara-gara semua diacu ke dolar AS, maka begitu ada masalah di AS, seluruh negara ikut terkena.

Tapi, ide Prancis itu juga tidak akan gampang dilaksanakan. Sistem akuntansi global sekarang ini hanya mengakui neraca keuangan yang dibuat dalam dolar AS. Ini terjadi sejak 1935, ketika emas langsung dikaitkan dengan dolar AS. Lantas lebih kukuh lagi pada 1971, ketika harga minyak mentah juga hanya diperdagangkan dalam mata uang dolar AS. Kalau saja ada negara yang menggunakan acuan bukan dolar AS, dia akan langsung mengalami kesulitan dalam praktik akuntansinya.

Bahasa akuntansi tentu tidak sama dengan bahasa retorika politik. Mudah bikin keputusan apa pun, tapi kalau pelaksanaannya sulit diaplikasikan dalam akuntansi, tetaplah tidak bisa dijalankan.

Lihatlah, misalnya, keputusan pemerintah AS yang telah setuju menyuntikkan dana USD 700 miliar. Bagi orang politik, keputusan itu akan dianggap sudah cukup. Lalu, kalau uangnya sudah cair, persoalan dianggap akan selesai. Tapi, praktiknya ternyata tetap sulit. Perusahaan yang akan menerima uang dianggap langsung senang. Krisis dianggap akan langsung selesai.

Praktiknya tidak akan begitu. Ketika uang sebesar gajah bengkak itu akan dicairkan, timbul pertanyaan, justru dari perusahaan yang akan menerima uang: uang apa ini? Dalam akutansi, semua uang harus jelas kelaminnya: modal, utang, hibah, atau apa? Dalam akutansi, tidak boleh ada uang yang jenis kelaminnya bencong.

Dari situlah, lantas terjadi perdebatan. Kalau statusnya modal, maka harus modal preferen. Bukan modal biasa. Sebab, perusahaan yang diberi uang itu pada dasarnya sudah tidak ada harganya. Artinya, modal itu harus bersyarat. Misalnya, selama lima tahun manajemennya tidak boleh mendapatkan bonus. Selama lima tahun tidak boleh bagi dividen. Lima tahun berikutnya hanya pemegang saham pemerintah yang boleh dapat dividen. Dan, syarat-syarat lain yang banyak-sedikitnya disesuaikan dengan besar kecilnya dana yang akan dimasukkan.

Melihat syarat itu, banyak perusahaan calon penerima uang keberatan. Mungkin, bagi dia, lebih baik menyatakan diri bankrut. Akibatnya, pemerintah ikut susah karena perekonomian akan semakin ambruk.

Bagaimana kalau dianggap utang saja? Secara akutansi, itu juga sulit. Kalau utang, harus ada bunga. Kalau tidak, tidak sah. Pajak akan mempertanyakan. Kalau dianggap utang, juga harus jelas batas waktunya. Masak utang tanpa batas waktu. Tidak bisa diterima. Bagaimana menghitung biaya uangnya?

Secara akuntansi, kerumitan masih banyak. Karena itu, krisis ini juga tidak gampang diselesaikan. Kalau toh seluruh kepala negara menyepakati satu langskah tertentu pun, pelaksanaannya juga akan ruwet. Karena itu, Presiden SBY selalu menekankan, di samping berharap secara internasional, tetap saja di dalam negeri sendiri yang harus mati-matian mempertahankan perekonomian negara.

Soal akuntansi memang akan menjadi fokus berikutnya. Apalagi ini menjelang tutup tahun. Semua perusahaan sudah harus menutup laporan keuangannya. Salah satu kesulitan terbesar lagi adalah: bagaimana perusahaan-perusahaan yang terkena krisis tersebut menutup bukunya akhir Desember nanti. Terutama kalau prinsip akuntansi “mark to market” (MTM) harus dijalankan. Bisa dibayangkan, bagaimana perusahaan yang harga sahamnya tinggal 5 persen harus menutup buku laporan keuangannya nanti.

Mark to market adalah prinsip akutansi yang harus mencatat nilai perusahaan sesuai dengan harga pasar saat itu. Tentu banyak perusahaan yang tiba-tiba saja nilai kekayaannya sudah tidak cukup untuk membayar utangnya. Tanpa ada krisis pun, selama ini, ada kecenderungan perusahaan “menggoreng” saham di akhir tahun. Tujuannya, ketika tutup buku, nilai kekayaan perusahaannya bisa dibukukan lebih tinggi. Terutama perusahaan yang utangnya sangat besar. Maksudnya, agar “rapor” perbandingan antara utang dan kekayaan masih dalam posisi ideal. Dengan krisis sekarang ini, pasti goreng-menggoreng tidak akan bisa dilakukan. Apinya tidak ada lagi.

Perusahaan yang baik harus punya utang. Perusahaan yang tidak punya utang dianggap kurang baik. Tidak bisa memanfaatkan dana pihak ketiga untuk meraih kemajuan yang lebih besar. Juga kurang baik dalam menyusun perencanaan pajaknya karena uang untuk membayar bunga adalah biaya yang bisa mengurangi pajak penghasilan.

Tapi, utang terlalu besar juga tidak baik karena perusahaan bisa terancam tidak mampu membayar bunga/pokok. Akibatnya bisa panjang. Bunga itu terus berbunga: tidak mengenal musim hujan atau musim kemarau. Bahkan, ketika hari minggu pun, bunga terus berjalan. Kalau itu yang terjadi, nilai utangnya sudah lebih besar daripada kekayaannya. Sebutan untuk perusahaan seperti itu hanya satu: bangkrut!

Karena itu, perusahaan yang baik selalu menjaga jumlah utangnya paling tinggi 2:1. Artinya, kalau kekayaannya Rp 1 triliun, paling banyak hanya boleh berutang Rp 2 triliun. Tentu, yang paling ideal adalah kalau utangnya sedikit lebih kecil daripada kekayaannya. Jika kekayaannya Rp 1 triliun, kalau bisa utangnya cukup Rp 800 miliar saja. Perbandingannya masih kurang dari 1:1.

Besarnya kekayaan sebuah perusahaan bisa dilihat dari harga saham dikalikan jumlah saham. Contohnya Jawa Pos (ini hanya untuk memudahkan pengertian dan agar tidak perlu mengambil contoh perusahaan lain yang mungkin kurang berkenan): jumlah saham Jawa Pos, misalnya, 200.000.000 lembar. Harga per lembar sahamnya (karena Jawa Pos belum go public, maka saya saja yang menetapkan harga sahamnya), katakanlah, Rp 10.000/lembar. Maka, nilai kekayaan Jawa Pos adalah Rp 2 triliun. Utangnya, katakanlah, Rp 500 miliar.

Tiba-tiba harga saham Jawa Pos merosot menjadi tinggal Rp 1.000/lembar. Itu berarti nilai kekayaan Jawa Pos tinggal (200.000.000 lembar x Rp 1.000) Rp 200 miliar. Utangnya tentu tidak ikut merosot alias tetap Rp 500 miliar. Perusahaan seperti ini langsung dikatakan bangkrut.

Dengan adanya krisis ini, terlalu banyak perusahaan yang kekayaannya tiba-tiba merosot drastis. Banyak perusahaan yang dalam satu malam kehilangan separo kekayaannya. Hilang begitu saja. Kalau dicuri, jelas siapa pencuri yang tiba-tiba kaya. Kalau ditipu, jelas siapa yang menipu dan di mana uang hasil tipuan itu dia simpan. Kalau hilang di meja judi, jelas siapa bandar yang merampok uangnya itu. Tapi, dalam krisis ini, kekayaan melayang begitu saja. Seperi parfum Channel 5 yang tutupnya terbuka.

Salah satu yang paling dramatis adalah yang menimpa Zhang Yin, wanita terkaya di seluruh Tiongkok. Kekayaan perusahaannya, pabrik kertas terbesar di dunia, tiba-tiba saja zoooom, turun dari USD 3,6 triliun menjadi tinggal USD 265 miliar. Kekayaannya tinggal 10 persen dari puncak kejayaannya. (Lihat seri selanjutnya tulisan ini).

Semua perusahaan yang kekayaannya tiba-tiba zooom seperti itu, pasti ratio utangnya menjadi amat jelek. Bukan lagi 2:1, tapi bisa-bisa sudah banyak yang 3:1. Perusahaan seperti itulah yang tentu diancam disita oleh kreditornya. Tentu masih ada harapan. Harapan yang terbesar adalah harga sahamnya tiba-tiba naik. Karena itu, banyak perusahaan seperti itu selalu mengolor waktu setiap diajak berunding oleh kreditornya. Bahasa Inggris menggambarkannya dengan lebih baik: buying time. Membeli waktu. Dalam keadaan seperti itu, nilai waktu satu hari bisa triliunan. Tentu dengan harapan kian hari harga saham kian baik sehingga posisi tawar-menawarnya dengan pemberi utang berubah.

Misalnya, Anda telanjur menyerahkan kekayaan Anda kepada pemberi utang berdasar harga saham Rp 1.000/lembar. Tiba-tiba seminggu lagi harga saham itu sudah Rp 2.000/lembar. Dalam kasus Zhang Yin atau juga Grup Bakrie, selisih Rp 1.000/lembar itu bisa bernilai sampai Rp 20 triliun. Alangkah menyesalnya Anda bila kemudian tahu bahwa kalau saja perundingan bisa diolor satu minggu lagi, maka Anda bisa menyelamatkan uang Rp 20 triliun!

Tentu, itu kalau nasibnya baik. Kalau nasib lagi jelek, menunggu satu minggu itu bisa berarti menunggu kejatuhan harga saham berikutnya. Yang semula berharap bisa menyelamatkan Rp 20 triliun bisa-bisa kehilangan tambahan Rp 10 triliun. Saat-saat kapan membuat keputusan seperti itulah yang tidak ada sekolahnya. Bisa saja yang semula dimaksudkan buying time menjadi selling time! Misalnya yang dialami Larry Yeung, orang terkaya nomor 9 di Tiongkok yang menunggu naiknya kurs dolar Australia. Dia bermaksud buying time, tapi menghasilkan bencana besar karena kurs dolar Australia yang dia tunggu selama enam minggu ternyata masih juga terus merosot. Dia kehilangan kekayaan yang fantastis jumlahnya.

Maka, saya bisa bayangkan betapa sibuknya para akuntan di masa krisis ini, khususnya menghadapi tutup buku akhir Desember depan. Akuntan, di samping lawyer, adalah profesi yang akan sangat diperlukan hari-hari ini. Akuntan juga yang dulu mengesahkan CDS, STO, dan sebangsanya yang mengakibatkan keruwetan krisis saat ini. Maka, akuntan juga yang kini harus membereskan segala keruwetan itu bagaimana menatanya di buku laporan keuangan.

Tentu, harus dicari cara bagaimana MTM bisa dilaksanakan tanpa mengakibatkan keruwetan baru. Yakni keruwetan berupa terlalu banyaknya perusahaan (termasuk yang sudah terlanjur dibeli pemerintah Amerika, Inggris, dan lain-lain) yang nilai kekayaannya minus. Atau, sebaliknya, bagaimana mencatat bonds (obligasi atau surat utang) yang nilainya tinggal 50 persen. Sebab, bisa jadi, bonds yang demikian menimbulkan laba, yang meski fatamorgana, tapi sangat diperlukan saat ini.

Ataukah harus memindahkan kerugian menjadi investasi jangka panjang (100 tahun? Ha… ha… ha…).

Bagaimana melaksanakan prinsip MTM di saat seperti sekarang ini, bisa jadi, juga memerlukan fatwa dari seluruh kepala negara di dunia. Saya sempat menyesal mengapa selama ini hanya mengurus perusahaan dengan sistem akuntansi yang sederhana. Kalau saja saya ikut yang ruwet-ruwet seperti itu, mungkin saya bisa lebih kaya. Atau, saya sudah ikut bangkrut. Hidup ternyata adalah keruwetan! (*)

No comments:

Post a Comment