Dahlan Iskan : Mau Jatuh Cepat-Cepat atau Pelan-Pelan? (2)
Syukur, Rumor Buruk Itu Teratasi
Ketika pesawat kepresidenan Indonesia mendarat di bandara khusus Air
Force Base, Washington DC, kabut tipis menyelimuti udara tengah malam
waktu setempat. Suhu udara memang hanya 11 derajat Celsius, tapi tidak
terasa terlalu dingin karena tidak ada angin.
Tampak tiga pesawat Brazil sudah parkir berjajar, pertanda rombongan
dari Brazil sangat besar. Kelihatan juga dua pesawat jumbo 747 Jepang.
Ini pertanda bukan saja rombongannya juga besar, melainkan perjalanan
Tokyo-Washington dilakukan secara nonstop. Itu berbeda dengan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya naik Airbus 330 yang jangkauan
terbangnya lebih terbatas. Harus berhenti dua kali: Bandara Tokyo dan
San Fransisco.
Tapi, berhenti di Tokyo ada baiknya juga. Presiden SBY bisa punya
waktu memonitor perkembangan di dalam negeri. Terutama karena saat
meninggalkan Jakarta, Kamis siang, rumor buruk sedang menimpa beberapa
bank nasional. Rumor yang menimpa bank selalu saja berbahaya. Bisa
membuat panik masyarakat yang ujung-ujungnya bisa mengakibatkan rush.
Kalau saja rush itu terjadi, bank yang sehat pun bisa menjadi tidak
sehat.
Saat berhenti 1,5 jam di Tokyo, waktu presiden habis untuk melakukan
monitoring dan memberikan arahan. Presiden bicara dengan Wakil Presiden
Jusuf Kalla, gubernur Bank Indonesia, dan menteri keuangan yang sedang
berada di Amerika. Ketika sembilan jam kemudian presiden mendarat di San
Fransisco, monitoring kembali dilakukan. Presiden lega bahwa rumor yang
menimpa bank nasional tidak berlanjut.
Mensesneg Hatta Rajasa yang juga berada di dalam rombongan langsung
menghubungi gubernur Bank Indonesia. Hasilnya juga melegakan seluruh
rombongan: Bank Century (yang mengalami gagal kliring pada Kamis, 13/11,
Red) teratasi sehingga tidak mengakibatkan keadaan yang memburuk.
Seluruh kepala negara yang besok berkumpul di Washington tentu tidak
tenang. Masing-masing meninggalkan negaranya dalam keadaan waswas. Tapi,
mereka harus bertemu segera untuk mencari jalan keluar mengatasi krisis
global. Memang masih terjadi beda pendapat di antara kepala negara.
Amerika tetap menginginkan sesedikit mungkin campur tangan pemerintah.
Eropa, yang dipromotori Inggris, memilih negara harus turun tangan.
Prancis, bahkan lebih keras agar jangan lagi hanya bertumpu ke dolar.
Gara-gara semua diacu ke dolar AS, maka begitu ada masalah di AS,
seluruh negara ikut terkena.
Tapi, ide Prancis itu juga tidak akan gampang dilaksanakan. Sistem
akuntansi global sekarang ini hanya mengakui neraca keuangan yang dibuat
dalam dolar AS. Ini terjadi sejak 1935, ketika emas langsung dikaitkan
dengan dolar AS. Lantas lebih kukuh lagi pada 1971, ketika harga minyak
mentah juga hanya diperdagangkan dalam mata uang dolar AS. Kalau saja
ada negara yang menggunakan acuan bukan dolar AS, dia akan langsung
mengalami kesulitan dalam praktik akuntansinya.
Bahasa akuntansi tentu tidak sama dengan bahasa retorika politik.
Mudah bikin keputusan apa pun, tapi kalau pelaksanaannya sulit
diaplikasikan dalam akuntansi, tetaplah tidak bisa dijalankan.
Lihatlah, misalnya, keputusan pemerintah AS yang telah setuju
menyuntikkan dana USD 700 miliar. Bagi orang politik, keputusan itu akan
dianggap sudah cukup. Lalu, kalau uangnya sudah cair, persoalan
dianggap akan selesai. Tapi, praktiknya ternyata tetap sulit. Perusahaan
yang akan menerima uang dianggap langsung senang. Krisis dianggap akan
langsung selesai.
Praktiknya tidak akan begitu. Ketika uang sebesar gajah bengkak itu
akan dicairkan, timbul pertanyaan, justru dari perusahaan yang akan
menerima uang: uang apa ini? Dalam akutansi, semua uang harus jelas
kelaminnya: modal, utang, hibah, atau apa? Dalam akutansi, tidak boleh
ada uang yang jenis kelaminnya bencong.
Dari situlah, lantas terjadi perdebatan. Kalau statusnya modal, maka
harus modal preferen. Bukan modal biasa. Sebab, perusahaan yang diberi
uang itu pada dasarnya sudah tidak ada harganya. Artinya, modal itu
harus bersyarat. Misalnya, selama lima tahun manajemennya tidak boleh
mendapatkan bonus. Selama lima tahun tidak boleh bagi dividen. Lima
tahun berikutnya hanya pemegang saham pemerintah yang boleh dapat
dividen. Dan, syarat-syarat lain yang banyak-sedikitnya disesuaikan
dengan besar kecilnya dana yang akan dimasukkan.
Melihat syarat itu, banyak perusahaan calon penerima uang keberatan.
Mungkin, bagi dia, lebih baik menyatakan diri bankrut. Akibatnya,
pemerintah ikut susah karena perekonomian akan semakin ambruk.
Bagaimana kalau dianggap utang saja? Secara akutansi, itu juga sulit.
Kalau utang, harus ada bunga. Kalau tidak, tidak sah. Pajak akan
mempertanyakan. Kalau dianggap utang, juga harus jelas batas waktunya.
Masak utang tanpa batas waktu. Tidak bisa diterima. Bagaimana menghitung
biaya uangnya?
Secara akuntansi, kerumitan masih banyak. Karena itu, krisis ini juga
tidak gampang diselesaikan. Kalau toh seluruh kepala negara menyepakati
satu langskah tertentu pun, pelaksanaannya juga akan ruwet. Karena itu,
Presiden SBY selalu menekankan, di samping berharap secara
internasional, tetap saja di dalam negeri sendiri yang harus mati-matian
mempertahankan perekonomian negara.
Soal akuntansi memang akan menjadi fokus berikutnya. Apalagi ini
menjelang tutup tahun. Semua perusahaan sudah harus menutup laporan
keuangannya. Salah satu kesulitan terbesar lagi adalah: bagaimana
perusahaan-perusahaan yang terkena krisis tersebut menutup bukunya akhir
Desember nanti. Terutama kalau prinsip akuntansi “mark to market” (MTM)
harus dijalankan. Bisa dibayangkan, bagaimana perusahaan yang harga
sahamnya tinggal 5 persen harus menutup buku laporan keuangannya nanti.
Mark to market adalah prinsip akutansi yang harus mencatat nilai
perusahaan sesuai dengan harga pasar saat itu. Tentu banyak perusahaan
yang tiba-tiba saja nilai kekayaannya sudah tidak cukup untuk membayar
utangnya. Tanpa ada krisis pun, selama ini, ada kecenderungan perusahaan
“menggoreng” saham di akhir tahun. Tujuannya, ketika tutup buku, nilai
kekayaan perusahaannya bisa dibukukan lebih tinggi. Terutama perusahaan
yang utangnya sangat besar. Maksudnya, agar “rapor” perbandingan antara
utang dan kekayaan masih dalam posisi ideal. Dengan krisis sekarang ini,
pasti goreng-menggoreng tidak akan bisa dilakukan. Apinya tidak ada
lagi.
Perusahaan yang baik harus punya utang. Perusahaan yang tidak punya
utang dianggap kurang baik. Tidak bisa memanfaatkan dana pihak ketiga
untuk meraih kemajuan yang lebih besar. Juga kurang baik dalam menyusun
perencanaan pajaknya karena uang untuk membayar bunga adalah biaya yang
bisa mengurangi pajak penghasilan.
Tapi, utang terlalu besar juga tidak baik karena perusahaan bisa
terancam tidak mampu membayar bunga/pokok. Akibatnya bisa panjang. Bunga
itu terus berbunga: tidak mengenal musim hujan atau musim kemarau.
Bahkan, ketika hari minggu pun, bunga terus berjalan. Kalau itu yang
terjadi, nilai utangnya sudah lebih besar daripada kekayaannya. Sebutan
untuk perusahaan seperti itu hanya satu: bangkrut!
Karena itu, perusahaan yang baik selalu menjaga jumlah utangnya
paling tinggi 2:1. Artinya, kalau kekayaannya Rp 1 triliun, paling
banyak hanya boleh berutang Rp 2 triliun. Tentu, yang paling ideal
adalah kalau utangnya sedikit lebih kecil daripada kekayaannya. Jika
kekayaannya Rp 1 triliun, kalau bisa utangnya cukup Rp 800 miliar saja.
Perbandingannya masih kurang dari 1:1.
Besarnya kekayaan sebuah perusahaan bisa dilihat dari harga saham
dikalikan jumlah saham. Contohnya Jawa Pos (ini hanya untuk memudahkan
pengertian dan agar tidak perlu mengambil contoh perusahaan lain yang
mungkin kurang berkenan): jumlah saham Jawa Pos, misalnya, 200.000.000
lembar. Harga per lembar sahamnya (karena Jawa Pos belum go public, maka
saya saja yang menetapkan harga sahamnya), katakanlah, Rp
10.000/lembar. Maka, nilai kekayaan Jawa Pos adalah Rp 2 triliun.
Utangnya, katakanlah, Rp 500 miliar.
Tiba-tiba harga saham Jawa Pos merosot menjadi tinggal Rp
1.000/lembar. Itu berarti nilai kekayaan Jawa Pos tinggal (200.000.000
lembar x Rp 1.000) Rp 200 miliar. Utangnya tentu tidak ikut merosot
alias tetap Rp 500 miliar. Perusahaan seperti ini langsung dikatakan
bangkrut.
Dengan adanya krisis ini, terlalu banyak perusahaan yang kekayaannya
tiba-tiba merosot drastis. Banyak perusahaan yang dalam satu malam
kehilangan separo kekayaannya. Hilang begitu saja. Kalau dicuri, jelas
siapa pencuri yang tiba-tiba kaya. Kalau ditipu, jelas siapa yang menipu
dan di mana uang hasil tipuan itu dia simpan. Kalau hilang di meja
judi, jelas siapa bandar yang merampok uangnya itu. Tapi, dalam krisis
ini, kekayaan melayang begitu saja. Seperi parfum Channel 5 yang
tutupnya terbuka.
Salah satu yang paling dramatis adalah yang menimpa Zhang Yin, wanita
terkaya di seluruh Tiongkok. Kekayaan perusahaannya, pabrik kertas
terbesar di dunia, tiba-tiba saja zoooom, turun dari USD 3,6 triliun
menjadi tinggal USD 265 miliar. Kekayaannya tinggal 10 persen dari
puncak kejayaannya. (Lihat seri selanjutnya tulisan ini).
Semua perusahaan yang kekayaannya tiba-tiba zooom seperti itu, pasti
ratio utangnya menjadi amat jelek. Bukan lagi 2:1, tapi bisa-bisa sudah
banyak yang 3:1. Perusahaan seperti itulah yang tentu diancam disita
oleh kreditornya. Tentu masih ada harapan. Harapan yang terbesar adalah
harga sahamnya tiba-tiba naik. Karena itu, banyak perusahaan seperti itu
selalu mengolor waktu setiap diajak berunding oleh kreditornya. Bahasa
Inggris menggambarkannya dengan lebih baik: buying time. Membeli waktu.
Dalam keadaan seperti itu, nilai waktu satu hari bisa triliunan. Tentu
dengan harapan kian hari harga saham kian baik sehingga posisi
tawar-menawarnya dengan pemberi utang berubah.
Misalnya, Anda telanjur menyerahkan kekayaan Anda kepada pemberi
utang berdasar harga saham Rp 1.000/lembar. Tiba-tiba seminggu lagi
harga saham itu sudah Rp 2.000/lembar. Dalam kasus Zhang Yin atau juga
Grup Bakrie, selisih Rp 1.000/lembar itu bisa bernilai sampai Rp 20
triliun. Alangkah menyesalnya Anda bila kemudian tahu bahwa kalau saja
perundingan bisa diolor satu minggu lagi, maka Anda bisa menyelamatkan
uang Rp 20 triliun!
Tentu, itu kalau nasibnya baik. Kalau nasib lagi jelek, menunggu satu
minggu itu bisa berarti menunggu kejatuhan harga saham berikutnya. Yang
semula berharap bisa menyelamatkan Rp 20 triliun bisa-bisa kehilangan
tambahan Rp 10 triliun. Saat-saat kapan membuat keputusan seperti itulah
yang tidak ada sekolahnya. Bisa saja yang semula dimaksudkan buying
time menjadi selling time! Misalnya yang dialami Larry Yeung, orang
terkaya nomor 9 di Tiongkok yang menunggu naiknya kurs dolar Australia.
Dia bermaksud buying time, tapi menghasilkan bencana besar karena kurs
dolar Australia yang dia tunggu selama enam minggu ternyata masih juga
terus merosot. Dia kehilangan kekayaan yang fantastis jumlahnya.
Maka, saya bisa bayangkan betapa sibuknya para akuntan di masa krisis
ini, khususnya menghadapi tutup buku akhir Desember depan. Akuntan, di
samping lawyer, adalah profesi yang akan sangat diperlukan hari-hari
ini. Akuntan juga yang dulu mengesahkan CDS, STO, dan sebangsanya yang
mengakibatkan keruwetan krisis saat ini. Maka, akuntan juga yang kini
harus membereskan segala keruwetan itu bagaimana menatanya di buku
laporan keuangan.
Tentu, harus dicari cara bagaimana MTM bisa dilaksanakan tanpa
mengakibatkan keruwetan baru. Yakni keruwetan berupa terlalu banyaknya
perusahaan (termasuk yang sudah terlanjur dibeli pemerintah Amerika,
Inggris, dan lain-lain) yang nilai kekayaannya minus. Atau, sebaliknya,
bagaimana mencatat bonds (obligasi atau surat utang) yang nilainya
tinggal 50 persen. Sebab, bisa jadi, bonds yang demikian menimbulkan
laba, yang meski fatamorgana, tapi sangat diperlukan saat ini.
Ataukah harus memindahkan kerugian menjadi investasi jangka panjang (100 tahun? Ha… ha… ha…).
Bagaimana melaksanakan prinsip MTM di saat seperti sekarang ini, bisa
jadi, juga memerlukan fatwa dari seluruh kepala negara di dunia. Saya
sempat menyesal mengapa selama ini hanya mengurus perusahaan dengan
sistem akuntansi yang sederhana. Kalau saja saya ikut yang ruwet-ruwet
seperti itu, mungkin saya bisa lebih kaya. Atau, saya sudah ikut
bangkrut. Hidup ternyata adalah keruwetan! (*)
No comments:
Post a Comment