Monday, November 24, 2008

Tunggu Kepemimpinan Kungfu Panda

Senin, 24 November 2008
Tunggu Kepemimpinan Kungfu Panda
Catatan: Dahlan Iskan


Peru (artinya “akbar”) adalah negeri asal usul kentang. Juga negara penghasil ikan terbesar dunia karena lautnya jadi pertemuan arus panas dan dingin yang menyuburkan plankton, makanan utama ikan. Pertemuan puncak APEC di Peru menjadi akbar bukan hanya karena harga kentang merosot, tapi juga 21 kepala negara itu membahas krisis global. Dahlan Iskan yang sedang di Peru ikut panas dingin, seperti di pertemuan arus, oleh nilai tukar rupiah yang mengkhawatirkan. Berikut catatannya:

SELAMA tidak ada dolar masuk ke Indonesia dalam jumlah yang seimbang dengan yang keluar, selama itu pula nilai rupiah akan terus merosot. Inilah persoalan yang dihadapi semua negara: semua dolar “pulang” dari mana-mana ke rumah asalnya: Amerika Serikat.

Sebelum krisis, banyak sekali dolar masuk ke Indonesia. Misalnya, untuk membeli saham-saham di pasar modal Jakarta, dipinjamkan ke berbagai perusahaan dalam negeri, diinvestasikan di berbagai bidang usaha, dan dibelikan obligasi (surat utang) negara atau swasta. Ini saya sebut kelompok pertama.

Lalu masih ada lagi yang datang dari hasil ekspor berbagai macam komoditas. Apalagi, harga komoditas waktu itu luar biasa tinggi. Mulai kelapa sawit, batu bara, kakau, karet, nikel, dan seterusnya. Kini tidak banyak lagi pembeli komoditas itu. Jumlah ekspor kita tidak saja menurun, tapi nilai ekspor juga merosot karena harga komoditas itu rata-rata turun lebih 50 persen. Ini saya sebut kelompok kedua.

Memang masih ada lagi sumber kedatangan dolar: kiriman uang dari tenaga kerja kita di luar negeri (TKI/TKW). Tapi, karena gaji mereka di luar negeri kecil-kecil (karena umumnya tenaga kasar), jumlah dari remiten itu tidak sebesar India (Rp 300 triliun), Tiongkok (Rp 250 triliun) atau bahkan Filipina (Rp 150 triliun). Ini saya sebut kelopok ketiga.

Sumber lain kedatangan dolar masih ada meski kurang kita harapkan: utang luar negeri. Baik utang bilateral maupun multilateral lewat Bank Dunia, IMF, ADB, IDB, dan seterusnya. Anggap saja ini kelompok keempat.

Kelompok pertama, yang jumlah dolarnya terbesar, kini sama sekali tidak datang. Tidak ada lagi pemilik dolar yang membeli saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kelompok kedua, dolar dari hasil ekspor, yang jumlahnya sangat besar, kini tinggal kurang dari separonya. Apalagi, kalau para eksporter menahan dolar hasil ekspornya di luar negeri. Kelompok ketiga, dolar yang dihasilkan para TKI/TKW, mestinya masih utuh. Sayangnya, selain jumlahnya kecil, ada ancaman mereka terkena PHK akibat semua negara memang terkena krisis.

Lantas, coba kita lihat dolar yang keluar dari Indonesia.

Kelompok pertama adalah dolar yang cabut dari BEI. Melihat indeks harga saham yang turun dari hampir 3.000 poin menjadi 1.000 poin, itu menjadi indikator banyaknya dolar yang ditarik pulang dari Jakarta.

Kelompok kedua, lawannya ekspor, adalah impor. Kita tetap perlu mengalirkan dolar ke luar negeri untuk membeli bahan baku industri dan barang modal. Kalau tidak, pabrik-pabrik kita yang sebagian bahan bakunya masih harus impor akan tutup. Tapi, jumlah dolar yang diperlukan untuk ini mestinya sedikit menurun karena harga bahan baku internasional juga turun. Untungnya, kita tidak impor beras lagi, meski (sayangnya) tetap impor BBM dalam jumlah yang sangat besar. Kita perlu mengalirkan dolar ke Singapura untuk membeli BBM dari sana.

Kelompok ketiga, lawannya TKI/TKW, tidak memerlukan dolar yang sangat besar. Tenaga asing yang di Indonesia jumlahnya berkurang untuk penghematan.

Kelompok keempat, lawannya utang luar negeri, adalah bayar bunga dan cicilan. Kini kita memerlukan dolar 30 persen lebih banyak untuk membayar utang luar negeri berikut bunganya. Ini karena kurs rupiah yang melemah 30 persen. Pernah, di akhir zaman Orde Baru, kita harus mencari pinjaman luar negeri dalam jumlah besar yang kegunaan sebenarnya hanya cukup utuk membayar cicilan berikut bunga utang luar negeri itu sendiri.

Dari gambaran di atas, jelas bahwa jumlah dolar yang pergi dari Indonesia jauh lebih besar daripada yang datang. Dengan gambaran yang amat jelas seperti itu, akal sehat akan langsung mengatakan bahwa sudah seharusnya nilai rupiah menurun.

Apalagi, masih ada satu yang lebih penting: banyak orang kita sendiri yang ikut-ikutan membeli dolar karena panik atau tidak percaya kepada rupiah. Dolar yang mereka beli itu sebagian dilarikan ke bank-bank di luar negeri. Sebagian lagi dilarikan ke bawah bantal. Baik yang dikirim ke luar negeri maupun yang ditaruh di bawah bantal akibatnya sama saja: melemahkan rupiah. Apalagi “melarikan” dolar ke luar negeri kini tidak sulit. Tidak harus secara fisik dikirim ke luar negeri: cukup ditaruh di cabang bank asing yang ada di Indonesia. Singapura cukup cerdik: baru saja mengumumkan, dolar yang dikirim ke bank mereka di Singapura atau yang ditaruh di cabang bank mereka yang ada di Indonesia diperlakukan sama: sama-sama dijamin 100 persen.

Para pemilik uang yang “melarikan” dolarnya itu sama sekali tidak bisa disalahkan. Uang tidak punya kewarganegaraan. Uang juga tidak ber-KTP. Uang itu seperti air, akan selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Itulah sebabnya, banyak yang mengusulkan agar pemerintah Indonesia membuat bendungan: yang selama ini sudah memberikan jaminan kepada penabung sampai Rp 2 miliar agar mengimbangi Singapura dengan cara menaikkan penjaminan menjadi 100 persen. Sebuah usul yang sampai hari ini belum dipenuhi pemerintah. Alasannya: membuat bendungan itu mahal. Apalagi, kalau sampai jebol seperti 10 tahun yang lalu. Sudah dibendung pun air masih berusaha merembes.

Lalu, kapan dolar berhenti mengalir keluar? Atau bisa kembali masuk?

Kelompok pertama, di bidang modal (untuk membeli saham atau investasi di Indonesia), kelihatannya masih lama. Masih harus kita tunggu sampai 1,5 tahun lagi. Kalau semua “lubang” yang di Amerika sana sudah tertutupi, barulah ada harapan dolar mulai tumpah sedikit-sedikit. Tumpahannya pun akan membasahi bagian-bagian yang paling dekat dengan mereka dulu. Padahal, sampai hari ini, “lubang” itu belum tertutup sama sekali. Bahkan, ada yang menyebut seberapa dalam “lubang” itu masih belum diketahui dasarnya.

Kelompok kedua, yakni sembuhnya ekspor, mungkin perlu waktu satu tahun. Itu sekadar untuk membaik, bukan untuk bisa sembuh 100 persen. Bisa membaik saja kita sudah harus bersyukur. Kita berharap, apa pun keadaannya orang perlu makan. Berarti perlu bahan-bahan makanan. Bahan makanan itu juga perlu digoreng. Perlu minyak sawit dan batu bara. Kita bisa ekspor lagi. Memang tidak bisa sembuh 100 persen -karena tidak mungkin lagi harga komoditas setinggi langit seperti sebelum krisis. Ini akibat tidak akan ada lagi perdagangan tanpa perlu menyerahkan barangnya.

Kelompok ketiga, remiten dari TKI/TKW, tidak akan banyak perubahan.

Kelompok keempat, utang luar negeri, mau tidak mau harus dilakukan. Ini seperti orang yang harus bercerai: tidak disukai, tapi harus dilakukan. Persoalannya, apakah masih ada negara yang mau menyisihkan uangnya untuk membantu negara lain? Kisah sulitnya Islandia dalam mengemis bantuan ke negara-negara Eropa sudah saya jelas di tulisan yang lalu. Sampai negara itu bankrut. Akhirnya Islandia harus mengemis ke IMF. Demikian juga Pakistan dan Ukraina. Bahkan, baru-baru ini Turki menyusul.

IMF yang pernah mengaku salah dalam memberikan “obat” pada Indonesia, tampaknya akan lebih diberdayakan kembali. Tentu dengan model berbeda dengan 10 tahun lalu. Jepang, misalnya, sudah komitmen menyalurkan dana USD 100 miliar bagi negara-negara berkembang, lewat IMF. Apakah Indonesia harus kembali berurusan dengan IMF?

Indonesia mestinya memang memerlukan dua macam bantuan.

Pertama, jenis pinjaman langsung. Ini untuk menutup defisit APBN. Dalam masa krisis ini, penerimaan pajak pasti turun. Padahal, kita perlu memperbesar APBN agar ada uang besar mengalir ke masyarakat. Dengan demikian, diharapkan krisis tidak memburuk. Tapi, karena penghasilan negara menurun, mau tidak mau harus mencari pinjaman.

Kedua, jenis bantuan jaminan dalam bentuk fasilitas swaps nilai tukar. Kalau negara menjamin para penabung, negara juga perlu penjaminan dari luar. Singapura mendapat fasilitas seperti itu sebesar USD 20 miliar dari AS. Itulah sebabnya, nilai tukar dolar Singapura tidak parah-parah amat. Brazil dan Korsel juga mendapat fasilitas swaps masing-masing USD 30 miliar.

Kita mungkin sulit mendapat fasilitas seperti itu, karena kita tidak dianggap sahabat sangat baik oleh AS. Bagaimana kalau dari negara-negara Arab yang sesama Islam? Sekali lagi, uang itu bukan saja tidak ber-KTP, tapi juga tidak beragama. Arab Saudi memilih memperbesar kepemilikannya di Citibank yang harga sahamnya tinggal USD 4 dolar alias tinggal 20 persen dari nilai tertingginya. Dubai memilih pesta besar meresmikan negaranya sebagai salah satu pusat glamor dunia.

Anehnya, kita ikut larut mengelu-elukan Barack Obama. Padahal, untuk kepentingan Asia, sebenarnya akan lebih baik kalau presiden AS dari Partai Republik. Ini sudah dibuktikan berkali-kali. Setiap presidennya dari Demokrat, setiap itu pula Asia kurang diuntungkan.

Kalau saja presiden terpilih kemarin adalah McCain bisa-bisa justru semakin cepat menguatkan Asia, alias mempercepat penurunan peran AS di dunia. Dengan demikian, kita bisa segera tahu siapa pemimpin dunia berikutnya: bagaimana wataknya dan apakah bisa lebih membawa kebaikan bagi dunia.

Kita lagi menunggu sang pemimpin baru dunia itu: apakah membawa kemakmuran seperti naga terbang, atau menakutkan seperti barongsai mengamuk, atau sangat menyenangkan seperti kungfu panda. (*)

No comments:

Post a Comment