Wawancara dengan First Lady Ibu Ani Yudhoyono (2)
Bangga, Mobil Pintar sampai ke Lebanon
Ditemani Ibu (Menlu) Hassan Wirajuda, Ibu Ani Yudhoyono juga
bercerita tentang kegiatannya menjelang tahun politik 2009. Termasuk
tentang dua anaknya yang berbeda jalan dalam meretas pendidikan dan
karir. Si sulung ke militer, sedangkan bungsunya terjun ke dunia
politik. Berikut lanjutan petikan wawancara Dahlan Iskan dan Budi Rahman
Hakim dari Jawa Pos dengan first lady Indonesia itu.
Tahun depan kesibukan bapak akan meningkat. Ada krisis, ada
pemilu legislatif, dan pilpres. Apa yang Ibu persiapkan menyongsong
semua itu?
Ya, karena bapak sudah memutuskan untuk running lagi, maka tentu
harus bekerja keras lagi. Persiapan bapak yang sekarang mungkin sudah
berbeda dengan yang dulu. Sudah berpengalaman. Tentu saya tahu kita akan
lebih sibuk lagi. Tapi, barangkali secara mental, sudah lebih siap. Itu
menurut perasaan saya. Kalau dulu, kita memang belum punya pengalaman
sama sekali.
Tentu banyak aturan protokol yang kadang bisa menjauhkan dari rakyat. Apa kiat Ibu agar bapak tetap dekat dengan rakyat?
Ya, protokol atau pengawalan Paspampres memang mempunyai tugas yang
seperti itu. Tapi, bapak kan sejak dulu dekat dengan rakyat. Pemilu dulu
itu kan bapak bukan siapa-siapa ya… sehingga tidak ada protokoler
seperti itu. Sekarang lebih ketat. Tetapi, kita juga mengatakan kepada
pengawal bahwa bapak itu dekat dengan rakyat. Boleh ketat, tapi jangan
kasar dan keras. Kalau kalian kasar, orang menilai sama dengan saya yang
kasar kepada rakyat.
Karena itu, boleh melarang (rakyat) mendekat atau apa, tapi dengan
cara-cara yang sopan. Itu selalu kita katakan kepada Paspampres. Bahkan,
pernah suatu saat misalnya Paspampres-nya itu ganti, belum tahu kalau
sikap bapak seperti itu. Kadang-kadang kasar sekali. Bapak marah dan
mengatakan kalau seperti itu lebih baik tidak usah dikawal. Kalian boleh
marah, tapi jangan kasar. Mereka itu rakyat yang juga ingin menyalami
saya, rakyat ingin bertemu dengan pemimpinnya. Sebaliknya, pemimpin
ingin bertemu rakyatnya. Ya kalau tugas seperti itu seolah-olah seperti
ada gap antara pemimpin dengan rakyatnya. Karena itu, setiap pulang ke
Cikeas bapak minta jangan ada pengawalan yang panjang. Bikin macet dan
orang akan kesal. Presiden yang lebih sering mengalah, dengan cara
memilih waktu ke Cikeas atau dari Cikeas yang lebih pagi atau lebih
malam.
Peran sebagai first lady di masa Ibu banyak berubah. Termasuk kegiatan menciptakan masyarakat kreatif.
Begini… saya barusan ngobrol dengan ibu-ibu dari KBRI (Peru) juga.
Ketika saya dulu menjadi istri presiden, saya baca aturan perundangan.
Apa sih tugas sebagai seorang istri presiden? Yang ada hanyalah ibu
negara itu mendampingi presiden dalam menjalankan tugas negara di dalam
dan di luar negeri. Tetapi, selebihnya tidak ada. Oleh karena itu, saya
berkomitmen, apa yang bisa saya lakukan untuk membantu tugas bapak.
Tentu ada perbedaan antara ibu negara yang pertama sampai kepada
saya. Tugas-tugasnya atau pilihan-pilihannya. Masyarakat bisa
membandingkan. Tetapi, saya tidak mengatakan saya yang paling bagus,
tidak. Tetapi, ada perbedaaan. Silakan dibandingkan.
Bisa dirinci jenis kegiatan itu?
Saya selalu melihat Indonesia ini seperti apa ke depan… apa yang
dituju. Yaitu Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Artinya,
kecukupan pangan, cukup sandang dan papan. Kemudian pendidikan dan
kesehatan yang memadai, lingkungan dan rasa aman…
Menuju kesejahteraan itu, generasi baru Indonesia harus pintar. Kalau
anak-anak itu pintar, suatu saat bisa mencapai kesejahteraan. Karena
itu, kita adakan program mobil pintar, motor pintar, rumah pintar,
(bahkan) ada kapal pintar. Semuanya kita rancang khusus: ada buku-buku,
permainan edukatif, ada televisi, kemudian ada komputer. Mengapa dulu
kok nggak ada ini.
Inspirasi kegiatan itu dari mana?
Saya kalau ke daerah-daerah sama bapak, anak-anak itu menyampaikan
ingin belajar, ingin membaca, tapi nggak ada buku, nggak ada kemampuan.
Saya waktu itu berpikir, semacam perpustakaan keliling itu. Kemudian,
saya minta Ibu Hatta Radjasa (istri Mensesneg Hatta Radjasa), bisa nggak
sebagai koordinator. Saya ingin mewujudkan segera. Jadilah kemudian apa
yang seperti sekarang ini. Mobil baca itu dilengkapi tenaga tutor yang
membantu mereka, kemudian ada jinggel khusus, seperti es krim keliling.
Biarpun di kamar, kalau mendengar jinggel itu, anak-anak akan tahu kalau
sedang ada mobil pintar yang sedang keliling. Mereka kemudian lari ke
jalan memanfaatkan mobil pintar itu.
Sejauh ini perkembangannya bagaimana?
Melalui Indonesia Pintar itu kini sudah berkembang ke ratusan mobil.
Dari mana sih dananya? Kita bekerja sama dengan para donatur. Donatur
ini sebenarnya tahu program kita baik, kemudian mereka menawarkan diri
untuk membantu. Kadang-kadang, saya juga ingin melihat siapa ya
pengusaha yang ada di daerah itu ya kita ajak bekerja sama. Kita tidak
menerima uangnya. Cukup memberikan desain dan syarat-syarat mobil
berikut isinya. Mereka yang mengadakan sendiri.
Kabarnya program ini dikembangkan di negara lain…
Itu program kita yang pertama. Saya kirim ke Lebanon. Kebetulan, anak
saya (Agus Harimurti) waktu itu (tugas) di Lebanon. Dia juga kepingin
memberikan persembahan kepada masyarakat setempat. Pasukan dari negara
lain itu kan selalu melakukan donasi. India kasih kaki palsu karena dia
kan punya pabrik kaki palsu, kemudian Spanyol juga dalam bentuk lain.
Indonesia selama ini nggak dilirik karena yang diberikan Indonesia
biasanya hanya jasa seperti bakti sosial dengan cara pengobatan gratis.
Atau dalam bentuk kerja bakti. Agus punya ide agar Indonesia bisa
dikenang seperti negara lain. Agus bilang sama Annisa, istrinya, dan
Annisa bilang sama saya. Lalu, saya katakan, coba mau tidak dengan mobil
pintar. Kalau kalian mau kan bisa, ada unsur pendidikan dan kesehatan.
Lalu…
Mereka akhirnya berdiskusi dengan komandannya. Ya bagus juga ya, tapi
kita nggak punya mobilnya. Lha Agus bilang, ini kan ada ambulans.
Ambulans dua tidak dipakai. Nah, mobil ambulans ini saja yang kita
desain. Akhirnya, tentara kita mendesain ulang. Ada rak bukunya segala.
Kemudian, saya kirimkan dana untuk permainan edukatif, tapi kan harus
beli di sana. Kan harus pakai bahasa Arab atau Prancis. Buku yang dari
Indonesia adalah yang berbahasa Inggris, terutama mengenai pariwisata di
Indonesia.
Di sana ternyata (mobil pintar) menjadi primadona, bahkan mendapatkan
pujian dari komandan force-nya. Keberadaan mobil pintar di sana lantas
dibikinkan CD-nya. Saya dikirimi CD-nya itu. Wah menyenangkan.
Bermanfaat sekali. Aduh anak-anak (tentara) ini luar biasa, baguslah
membuatnya itu. Bagus sekali. Ada juga rekaman testimoni dari anak-anak
sana. Bahkan, mereka nulis kesan-kesan dalam bahasa Arab, lalu
diterjemahkan untuk saya, ibu negara Indonesia. Terima kasih. Kami
primadona di sana. (bersambung)
No comments:
Post a Comment