Wednesday, November 19, 2008

Obama Siap Gelontor Dana Krisis ala RRT

Rabu, 19 November 2008
Obama Siap Gelontor Dana Krisis ala RRT
Dari Pertemuan Puncak Washington DC (4-habis)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan tiba di Brasilia, ibu kota Brazil, pada pukul 03.00 kemarin. Menjelang subuh itu, Dahlan Iskan yang terus menyertai rombongan presiden, menulis bagian akhir dari masalah krisis ekonomi global yang dilihatnya setelah pertemuan puncak 20 kepala negara di Washington DC.

Barack Obama terpilih, krisis tidak mereda. Pertemuan puncak 20 kepala negara (90 persen kekuatan ekonomi dunia) selesai, krisis tetap memburuk. Semua negara sudah membuat langkah untuk mengatasinya, krisis terus berlanjut.

Lalu apa maunya?
Jelaslah bahwa persoalannya bukan sekadar kepanikan yang disusul hilangnya rasa percaya diri. Dengan kata lain, persoalannya memang pada fundamen ekonomi yang sangat rapuh.

Memang masih ada satu momentum lagi yang ditunggu: dilantiknya Obama menjadi presiden ke-44 AS pada 20 Januari tahun depan. Antusiasme masyarakat untuk melihat pelantikan itu memang luar biasa. Pertanda masih ada “pengharapan”. Kursi untuk umum yang hanya disediakan 300 buah, jelas tidak memadai. Yang antre mendaftar sudah lebih dari 100.000 orang. Terpaksa akan diundi. Yang tidak beruntung bisa hadir bersama penggembira umum dengan cara berdiri di taman luas yang disebut Washington Mall. Diperkirakan lebih satu juta orang -yang berarti memecahkan rekor- akan memenuhi taman itu.

Maka bisa dibayangkan betapa kecewanya rakyat AS kalau ternyata paket yang akan diberikan Obama kepada rakyatnya yang sedang krisis tidak memadai. Sampai sekarang belum terungkap paket seperti apa yang disiapkan pemerintahan baru. Namun, kalau apa yang dijanjikan dalam kampanye bisa dipakai untuk dasar perkiraan, kelihatannya Obama akan terus menggelontorkan uang untuk meningkatkan daya beli rakyatnya: pajak kelas menengah dipotong, biaya pendidikan diperbesar, anggaran kesehatan dinaikkan, industri-industri yang penting bagi AS seperti industri mobil akan digerojok uang negara. Pemda-pemda yang kini juga kesulitan anggaran akan dibantu.

Itu berarti Obama akan terus meningkatkan utang, dengan cara mengeluarkan obligasi negara. Padahal, kini utang negara sudah mencapai USD 52 triliun. Kalau semua gambaran di atas terjadi, berarti akan ada tambahan utang sampai USD 1,5 triliun. Angka ini diambil berdasarkan besaran “uang krisis” yang dianggarkan Tiongkok sebesar hampir USD 600 miliar. Artinya, kalau Tiongkok saja bisa menyediakan “dana krisis” 20 persen dari GDP-nya, Obama minimal harus juga menganggarkan “dana krisis” 20 persen dari GDP (produk domestik bruto) AS.

Tiongkok memang jadi buah bibir di seluruh dunia. Kemampuannya menyediakan “dana krisis” membuat sebagian ahli di AS minta agar cara itu ditiru AS. Tentu juga ada yang menentang. Misalnya, yang beranggapan bahwa problem yang dihadapi AS tidak akan sebesar yang ditanggung Tiongkok. Di Tiongkok, krisis ini memang bisa berakibat fatal: bertambahnya angka kemiskinan masal. Sedangkan di AS, maksimal hanya akan membuat resesi ekonomi. Artinya, tidak ada lagi orang yang mampu membeli mobil, TV, kulkas, anjing, atau ranjang. Tapi, karena umumnya orang AS sudah punya semua yang disebut itu, apa yang dirisaukan? Toh mobil yang ada masih bisa dipakai selama tiga tahun lagi, sampai resesi selesai. Dan mobil itu, untuk ukuran kita, sampai 10 tahun lagi pun masih membanggakan untuk dipakai.

Resesi itulah yang akan diatasi di AS. Caranya, itu tadi, terus menggelontorkan uang negara kepada lapisan masyarakat yang terkena.

Orang awam tentu akan bertanya: dalam keadaan uang langka seperti sekarang, apakah masih ada orang yang mau memberi utang pada Obama -dengan cara membeli obligasi negara? Bukankah negara seperti Indonesia mencari utang satu persen (dari GDP) saja mengalami kesulitan?

Untuk urusan utang seperti itu AS tidak akan pernah mengalami kesulitan. Obligasi negara terus laku dijual.

Pertama, dolar AS menjadi mata uang dunia. Yakni, sejak perdagangan emas dunia dinyatakan dalam dolar AS pada 1930-an, disusul keputusan bahwa perdangan minyak juga dinyatakan dalam dolar AS pada 1971.

Kedua, aset AS luar biasa besar. Aset seperti itu yang belum dimiliki negara seperti Indonesia. Ibarat perusahaan, negara mestinya juga punya neraca laba rugi. Dalam neraca itu juga harus terlihat berapa sebenarnya aset negara. Misalnya, batu bara yang tiap hari dikeruk dalam jumlah jutaan ton itu. Sebenarnya hak milik siapa? Mengapa cadangan batu bara se-Indonesia tidak bisa diakui sebagai kekayaan negara? Demikian juga emas, minyak, nikel, dan seterusnya? Mengapa semua itu tidak masuk dalam neraca keuangan negara, sehingga terlihatlah Indonesia sebagai negara kaya yang kalau pinjam uang, ada yang dijaminkan?

Pemerintah yang sekarang memang mulai melangkah ke sana. Untuk kali pertama pemerintah membentuk dirjen kekayaan negara. Yakni, sejak Dr Sri Mulyani Indrawati menjabat menteri keuangan. Pemerintah-pemerintah yang lalu belum ada pemikiran ke arah sana. Namun, pekerjaan ini juga memerlukan waktu lama. Bisa-bisa perlu waktu 5-6 tahun lagi.

Masih ada beberapa hambatan. Secara teknis, penyertifikatan aset-aset negara memerlukan biaya besar -meski sebenarnya bisa diselesaikan dengan gampang. Bukankah Badan Pertanahan Negara juga milik negara? Lalu, kalau aset itu harus diapraisal untuk mendapatkan nilai pasar yang sebenarnya, juga harus membayar pajak yang besar. Ini pun sama: negara membayar pajak kepada negara. Kenapa tidak tukar-menukar angka saja.

Namun, secara mendasar juga masih ada hambatan. Misalnya, pasal 33 UUD yang berlaku sampai sekarang masih membuat keraguan. Harus ada tafsir resmi mengenai sumber daya alam yang di pasal itu disebut “dikuasai” oleh “negara”. Harus jelas apa yang dimaksud “dikuasai” dan siapa yang disebut “negara”. Harus dijelaskan secara hukum bahwa yang dimaksud “dikuasai” adalah “dimiliki”. Sedang yang dimaksud “negara” adalah siapa: perusahaan negara? Instansi? Dan seterusnya.

Politisi di parlemen tentu tidak memahami mengapa harus dijelaskan seperti itu. Tapi, bagi orang akuntansi, itu sangatlah penting. Untuk bisa membukukan kekayaan itu dalam neraca negara, harus ada landasan hukumnya. Kalau, sudah jelas bahwa seluruh batu bara, emas, minyak, nikel, dan seterusnya itu milik negara, tinggal diapraisal berapa harga semua itu. Lalu, akuntan punya dasar untuk membukukan angka tersebut ke dalam neraca. Kalau tidak, tidak akan bisa kekayaan itu secara resmi diakui sebagai kekayaan negara.

Di masa lalu, mungkin memang tidak ada keinginan memperjelas semua itu. Dengan tidak jelas, bukankah bisa ditafsirkan sesuai keinginan penguasanya?

Di Amerika Serikat, semuanya jelas. Karena itu, perhitungan keuangannya juga jelas. Bahkan, dengan kekuasaan Amerika seperti sekarang, kalaupun tidak ada yang membeli obligasi negara, bukankah masih bisa mencetak uang? Bagi negara seperti Indonesia, mencetak uang (menambah peredaran uang baru tanpa menarik uang lama) sangat berbahaya. Bisa mengakibatkan inflasi. Tapi bagi AS? Dengan posisi sebagai mata uang dunia? Yang peredaran dolarnya di luar negeri lebih besar dari di dalam negeri? Kalau toh terjadi inflasi, dampak di dalam negerinya lebih kecil daripada di luar negeri. Apalagi, kata “mencetak” dolar di sini tidak harus dalam pengertian benar-benar mencetak uang. Bukankah semua itu, kini, hanya angka-angka digital? Yang bertambah adalah angka dan yang berkurang juga angka?

Tentu yang demikian tidak fair sama sekali bagi negara di seluruh dunia. Tapi, mau berbuat apa?
Memang Eropa sudah melangkah dengan menciptakan uang bersama yang disebut euro. Tapi, itu masih belum bisa menggantikan dolar. Kelak, barangkali, kalau Tiongkok sudah benar-benar menjadi superpower, Asia bisa menciptakan mata uang sendiri, Yuan Tiongkok, sebagai alat pembayaran internasional. Dengan demikian, di dunia akan ada tiga mata uang yang sejajar: dolar AS, euro, dan yuan.

Mungkin kita masih akan bisa melihat zaman itu: 50 tahun lagi. (habis)

No comments:

Post a Comment