Obama Siap Gelontor Dana Krisis ala RRT
Dari Pertemuan Puncak Washington DC (4-habis)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan tiba di Brasilia,
ibu kota Brazil, pada pukul 03.00 kemarin. Menjelang subuh itu, Dahlan
Iskan yang terus menyertai rombongan presiden, menulis bagian akhir dari
masalah krisis ekonomi global yang dilihatnya setelah pertemuan puncak
20 kepala negara di Washington DC.
Barack Obama terpilih, krisis tidak mereda. Pertemuan puncak 20
kepala negara (90 persen kekuatan ekonomi dunia) selesai, krisis tetap
memburuk. Semua negara sudah membuat langkah untuk mengatasinya, krisis
terus berlanjut.
Lalu apa maunya?
Jelaslah bahwa persoalannya bukan sekadar kepanikan yang disusul
hilangnya rasa percaya diri. Dengan kata lain, persoalannya memang pada
fundamen ekonomi yang sangat rapuh.
Memang masih ada satu momentum lagi yang ditunggu: dilantiknya Obama
menjadi presiden ke-44 AS pada 20 Januari tahun depan. Antusiasme
masyarakat untuk melihat pelantikan itu memang luar biasa. Pertanda
masih ada “pengharapan”. Kursi untuk umum yang hanya disediakan 300
buah, jelas tidak memadai. Yang antre mendaftar sudah lebih dari 100.000
orang. Terpaksa akan diundi. Yang tidak beruntung bisa hadir bersama
penggembira umum dengan cara berdiri di taman luas yang disebut
Washington Mall. Diperkirakan lebih satu juta orang -yang berarti
memecahkan rekor- akan memenuhi taman itu.
Maka bisa dibayangkan betapa kecewanya rakyat AS kalau ternyata paket
yang akan diberikan Obama kepada rakyatnya yang sedang krisis tidak
memadai. Sampai sekarang belum terungkap paket seperti apa yang
disiapkan pemerintahan baru. Namun, kalau apa yang dijanjikan dalam
kampanye bisa dipakai untuk dasar perkiraan, kelihatannya Obama akan
terus menggelontorkan uang untuk meningkatkan daya beli rakyatnya: pajak
kelas menengah dipotong, biaya pendidikan diperbesar, anggaran
kesehatan dinaikkan, industri-industri yang penting bagi AS seperti
industri mobil akan digerojok uang negara. Pemda-pemda yang kini juga
kesulitan anggaran akan dibantu.
Itu berarti Obama akan terus meningkatkan utang, dengan cara
mengeluarkan obligasi negara. Padahal, kini utang negara sudah mencapai
USD 52 triliun. Kalau semua gambaran di atas terjadi, berarti akan ada
tambahan utang sampai USD 1,5 triliun. Angka ini diambil berdasarkan
besaran “uang krisis” yang dianggarkan Tiongkok sebesar hampir USD 600
miliar. Artinya, kalau Tiongkok saja bisa menyediakan “dana krisis” 20
persen dari GDP-nya, Obama minimal harus juga menganggarkan “dana
krisis” 20 persen dari GDP (produk domestik bruto) AS.
Tiongkok memang jadi buah bibir di seluruh dunia. Kemampuannya
menyediakan “dana krisis” membuat sebagian ahli di AS minta agar cara
itu ditiru AS. Tentu juga ada yang menentang. Misalnya, yang beranggapan
bahwa problem yang dihadapi AS tidak akan sebesar yang ditanggung
Tiongkok. Di Tiongkok, krisis ini memang bisa berakibat fatal:
bertambahnya angka kemiskinan masal. Sedangkan di AS, maksimal hanya
akan membuat resesi ekonomi. Artinya, tidak ada lagi orang yang mampu
membeli mobil, TV, kulkas, anjing, atau ranjang. Tapi, karena umumnya
orang AS sudah punya semua yang disebut itu, apa yang dirisaukan? Toh
mobil yang ada masih bisa dipakai selama tiga tahun lagi, sampai resesi
selesai. Dan mobil itu, untuk ukuran kita, sampai 10 tahun lagi pun
masih membanggakan untuk dipakai.
Resesi itulah yang akan diatasi di AS. Caranya, itu tadi, terus
menggelontorkan uang negara kepada lapisan masyarakat yang terkena.
Orang awam tentu akan bertanya: dalam keadaan uang langka seperti
sekarang, apakah masih ada orang yang mau memberi utang pada Obama
-dengan cara membeli obligasi negara? Bukankah negara seperti Indonesia
mencari utang satu persen (dari GDP) saja mengalami kesulitan?
Untuk urusan utang seperti itu AS tidak akan pernah mengalami kesulitan. Obligasi negara terus laku dijual.
Pertama, dolar AS menjadi mata uang dunia. Yakni, sejak perdagangan
emas dunia dinyatakan dalam dolar AS pada 1930-an, disusul keputusan
bahwa perdangan minyak juga dinyatakan dalam dolar AS pada 1971.
Kedua, aset AS luar biasa besar. Aset seperti itu yang belum dimiliki
negara seperti Indonesia. Ibarat perusahaan, negara mestinya juga punya
neraca laba rugi. Dalam neraca itu juga harus terlihat berapa
sebenarnya aset negara. Misalnya, batu bara yang tiap hari dikeruk dalam
jumlah jutaan ton itu. Sebenarnya hak milik siapa? Mengapa cadangan
batu bara se-Indonesia tidak bisa diakui sebagai kekayaan negara?
Demikian juga emas, minyak, nikel, dan seterusnya? Mengapa semua itu
tidak masuk dalam neraca keuangan negara, sehingga terlihatlah Indonesia
sebagai negara kaya yang kalau pinjam uang, ada yang dijaminkan?
Pemerintah yang sekarang memang mulai melangkah ke sana. Untuk kali
pertama pemerintah membentuk dirjen kekayaan negara. Yakni, sejak Dr Sri
Mulyani Indrawati menjabat menteri keuangan. Pemerintah-pemerintah yang
lalu belum ada pemikiran ke arah sana. Namun, pekerjaan ini juga
memerlukan waktu lama. Bisa-bisa perlu waktu 5-6 tahun lagi.
Masih ada beberapa hambatan. Secara teknis, penyertifikatan aset-aset
negara memerlukan biaya besar -meski sebenarnya bisa diselesaikan
dengan gampang. Bukankah Badan Pertanahan Negara juga milik negara?
Lalu, kalau aset itu harus diapraisal untuk mendapatkan nilai pasar yang
sebenarnya, juga harus membayar pajak yang besar. Ini pun sama: negara
membayar pajak kepada negara. Kenapa tidak tukar-menukar angka saja.
Namun, secara mendasar juga masih ada hambatan. Misalnya, pasal 33
UUD yang berlaku sampai sekarang masih membuat keraguan. Harus ada
tafsir resmi mengenai sumber daya alam yang di pasal itu disebut
“dikuasai” oleh “negara”. Harus jelas apa yang dimaksud “dikuasai” dan
siapa yang disebut “negara”. Harus dijelaskan secara hukum bahwa yang
dimaksud “dikuasai” adalah “dimiliki”. Sedang yang dimaksud “negara”
adalah siapa: perusahaan negara? Instansi? Dan seterusnya.
Politisi di parlemen tentu tidak memahami mengapa harus dijelaskan
seperti itu. Tapi, bagi orang akuntansi, itu sangatlah penting. Untuk
bisa membukukan kekayaan itu dalam neraca negara, harus ada landasan
hukumnya. Kalau, sudah jelas bahwa seluruh batu bara, emas, minyak,
nikel, dan seterusnya itu milik negara, tinggal diapraisal berapa harga
semua itu. Lalu, akuntan punya dasar untuk membukukan angka tersebut ke
dalam neraca. Kalau tidak, tidak akan bisa kekayaan itu secara resmi
diakui sebagai kekayaan negara.
Di masa lalu, mungkin memang tidak ada keinginan memperjelas semua
itu. Dengan tidak jelas, bukankah bisa ditafsirkan sesuai keinginan
penguasanya?
Di Amerika Serikat, semuanya jelas. Karena itu, perhitungan
keuangannya juga jelas. Bahkan, dengan kekuasaan Amerika seperti
sekarang, kalaupun tidak ada yang membeli obligasi negara, bukankah
masih bisa mencetak uang? Bagi negara seperti Indonesia, mencetak uang
(menambah peredaran uang baru tanpa menarik uang lama) sangat berbahaya.
Bisa mengakibatkan inflasi. Tapi bagi AS? Dengan posisi sebagai mata
uang dunia? Yang peredaran dolarnya di luar negeri lebih besar dari di
dalam negeri? Kalau toh terjadi inflasi, dampak di dalam negerinya lebih
kecil daripada di luar negeri. Apalagi, kata “mencetak” dolar di sini
tidak harus dalam pengertian benar-benar mencetak uang. Bukankah semua
itu, kini, hanya angka-angka digital? Yang bertambah adalah angka dan
yang berkurang juga angka?
Tentu yang demikian tidak fair sama sekali bagi negara di seluruh dunia. Tapi, mau berbuat apa?
Memang Eropa sudah melangkah dengan menciptakan uang bersama yang
disebut euro. Tapi, itu masih belum bisa menggantikan dolar. Kelak,
barangkali, kalau Tiongkok sudah benar-benar menjadi superpower, Asia
bisa menciptakan mata uang sendiri, Yuan Tiongkok, sebagai alat
pembayaran internasional. Dengan demikian, di dunia akan ada tiga mata
uang yang sejajar: dolar AS, euro, dan yuan.
Mungkin kita masih akan bisa melihat zaman itu: 50 tahun lagi. (habis)
No comments:
Post a Comment