Saturday, November 22, 2008

Dari Kunjungan Presiden SBY ke Brazil

Sabtu, 22 November 2008 , 01:02:00
Dari Kunjungan Presiden SBY ke Brazil
Mencari Keringat di Pantai Copacabana


SEJAK berangkat dari Jakarta 13 November lalu, baru Kamis pagi  kemarin (Jumat 21/11, kemarin WIB) ada waktu longgar sedikit. Yakni ketika berada di Kota Rio de Janeiro, Brazil. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istri yang disertai Mensesneg Hatta Radjasa, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita melakukan joging di pinggir Pantai Copacabana. Presiden dan rombongan memang menginap di hotel yang menghadap ke pantai paling indah di dunia itu.

Bagi saya, itu juga jalan pagi terjauh pertama sejak ganti hati lebih dari setahun yang lalu. Selama ini paling-paling saya jalan kaki keliling kampung sekitar rumah. Di Pantai Copacabana itu, presiden jalan pagi sampai 6 kilometer (pp). Sebab, pukul 7 pagi  pantai masih belum ramai.  Pengamanan lebih gampang. Juga tidak perlu mengganggu kesenangan wisatawan.

Ibu negara ternyata bisa mengimbangi jalan cepat itu. Mengenakan celana panjang serdadu, Ny Ani Yudhoyono tidak pernah tercecer. Saya yang hampir selalu berjalan di sebelahnya  jadi banyak mendapatkan cerita. Sesekali kalau ada kotoran anjing di jalur itu, Ny Ani suka mengingatkan pengawalnya yang berjalanan di belakangnya. “Awas ranjau,” katanya.

Sesudah jalan kaki, Presiden SBY bertanya apakah ada bola voli.  Rupanya, presiden ingin terus berolahraga. Tentu gampang sekali mendapatkan bola voli di Pantai Copacabana. Semua hotel yang berjajar sepanjang pantai pasti punya bola voli. Maklum, pasir Pantai Copacabana memang sangat luas. Pasir yang terbentang antara air laut dan trotoar jalan sekitar 100 meter. Di pantai yang melengkung itu, banyak terdapat tiang voli atau gawang sepak bola.

Presiden berada dalam satu tim dengan menteri dan pengawal. Ada Menteri Pertanian Anton Apriantono, Hatta Radjasa, dan Ginandjar Kartasasmita. Staf ahli dan sejumlah Pimred (pemimpin redaksi) sebagai lawannya. Ada Bambang Harimurti (Tempo), Andi Mallarangeng, dan Budi Rahman Hakim (Harian Rakyat Merdeka). Saya memilih duduk di bawah pohon kelapa menemani Ibu Negara. Tentu sambil menonton jalannya set pertama. Tapi, karena tim presiden menang telak di set pertama, saya diminta memperkuat tim staf ahli. Alhamdulillah menang: skor 1-1. Inilah juga untuk yang pertama saya berolahraga sejak transplantasi hati.

Berbagai guyon politik pun mewarnai pertandingan itu. Ketika SBY melakukan servis dengan gaya melintir, ada yang nyeletuk: ”Wah, presiden suka mengirim bola yang sulit ditebak arahnya. Apalagi Andi Mallarangeng yang menerima bola melintir itu gagal mengembalikan ke arah yang benar.

Ketika ternyata presiden tidak melakukan smes, Ibu Negara nyeletuk. ”Bapak memang tidak suka menyemes,” katanya. ”Semua sudah tahu itu. Anehnya, semua temannya selalu saja memberi umpan padanya,” tambahnya. Itu terbukti. Waktu ada bola lambung yang amat baik, presiden justru memberikan perintah kepada pemain di sebelahnya agar meloncat: smesnya cukup keras sehingga tidak bisa dibendung lawan.

Suatu kali, SBY menghadapi bola nanggung. Karena agak dekat dengan posisinya, dia harus bertanggung jawab atas bola itu. Tapi, Hatta Radjasa juga suka ambil tanggung jawab. Hatta juga ingin mengambil bola itu. Akibatnya, keduanya tabrakan keras. Hatta tergulung ke pasir. Demikian juga presiden. Melihat itu, komentar nakal langsung terlontar:  Demokrat bergumul dengan PAN.

Presiden bercerita bahwa kegemarannya akan voli sampai pernah membuat lututnya cedera. Tapi, itu saat muda dulu. ”Kalau soal voli, Bapak sampai berani nglurug,” kata istrinya. Presiden memang kelihatan sangat menikmati permainan voli di Copacabana itu. ”Tahun depan kita akan bikin Lombok de Janeiro,” katanya. ”Pantai Senggigi tidak kalah indahnya,” tambahnya.

Di Brazil, Presiden SBY bertemu sekali lagi dengan Presiden Brazil Lula da Silva. Ini berarti pertemuan mereka yang kedua hanya dalam satu minggu. Atau yang kelima selama menjabat presiden. Keduanya merasa saling cocok. Baik dalam pemikiran maupun langkah. Apalagi Indonesia dan Brazil banyak kesamaan. Sama-sama negara tropis. Sama-sama berpenduduk besar, negara berkembang, mengutamakan pertanian, sama-sama menghadapi keruwetan demokrasi yang masih muda,  dan sama-sama pernah diperintah ”Orde Baru” dalam kurun waktu yang lama. Brazil juga baru reformasi sekitar tujuh tahun sebelum Indonesia.

Presiden Lula da Silva, misalnya, juga harus menjalani pemilihan presiden yang mirip. Mula-mula ada lima calon. Karena suara yang dia dapat tidak sampai 50 persen, Lula harus mengikuti putaran kedua. Bahkan, ketika terpilih yang pertama dulu, dia juga harus menjalaninya dalam dua putaran. Di Brazil tidak ada pembatasan suara untuk pencalonan presiden. Jadi, partai kecil pun bisa mencalonkan. Karena itu, calon presidennya cenderung banyak. ”Yang membatasi hanyalah kenyataan bahwa biayanya mahal. Jadi, tidak banyak juga yang mampu jadi calon,” kata seorang politikus di sana.

Pertemuan pertama kedua negara itu seminggu lalu terjadi di Washington saat dilangsungkan pertemuan puncak 20 kepala negara di dunia yang menguasai 90 persen ekonomi jagat  raya ini. Dalam dua kali pertemuan, dua kali pula keduanya membicarakan sepak bola. ”Presiden Lula memang pemain bola,” ujar Presiden SBY. ”Bahkan, beliau bercanda, kalau sudah berhenti jadi presiden, nanti akan melatih sepak bola di Indonesia,” tambah Presiden SBY.

Ketika rombongan SBY berada di Kota Brasilia, ibu kota Brazil, sebenarnya di kota itu ada momentum menarik di bidang sepakbola. Hari itu tim nasional Brazil bertanding dengan tim nasional Portugal. Hotel tempat para pemain itu menginap sama dengan hotel Presiden SBY. Lobi hotel itu selalu ramai dengan wartawan televisi setempat. Kadang ada siaran langsung dari hotel itu. Semua bintang sepak bola hari itu ada di situ. Bahkan, Kaka, pemain terbaik dunia dan bintang sepak bola Brazil, sempat memberikan kenang-kenangan kepada Presiden SBY berupa kaus dengan tanda tangannya.

Ketika ada anggota delegasi yang mengatakan bahwa sore itu ada pertandingan yang harus ditonton, Presiden SBY hanya tersenyum. Tentu acara kenegaraan lebih penting daripada semua itu. Sebagian anggota rombongan gemes karena kehilangan kesempatan langka. Tapi, memang begitulah. Presiden SBY terlalu serius untuk urusan dinas. Bahkan, orang seperti Rosi Silalahi dari SCTV yang tidak ikut joging pagi itu punya alasan jenaka. ”Sejak hari pertama mengikuti presiden, rasanya sudah seperti joging  terus,” ujar Rosi.

Tapi, presiden memberikan kesempatan satu jam kepada wartawan untuk berwisata naik ke gunung Yesus Kristus yang terkenal itu. Dari ketinggian 710 meter itulah, wisawatan bisa melihat kesempurnaan Rio de Janeiro sebagai kota wisata: gunung-gunungnya yang beronggokan di sekitar kota, down town-nya di sisi kiri,  Pantai Copacabana dan Ipanema di sisi kanan, danau di semua arah, laut di seputarnya, jembatan di atas laut di depan, stadion bola yang terbesar di dunia di bawah sana, dan bagi yang mau ritual ada kapel kecil di bawah patung itu.

Selama wartawan berwisata, Presiden SBY punya acara khusus: menerima mantan anak buahnya yang berkebangsaan Brazil. Yakni saat SBY jadi komandan pasukan perdamaian di Bosnia dulu. Waktu itu SBY masih berpangkat brigjen. Sang anak buah masih mayor. Sejak berpisah, keduanya tidak pernah bertemu. Maka, ketika akhirnya bertemu di Rio, mantan anak buah itu bercerita yang sangat lucu. Cerita itu bermula karena dia tidak menyangka sama sekali kalau atasannya dulu bisa jadi presiden.

Di Brazil dia memang sering mendengar berita mengenai Indonesia dengan presidennya yang bernama Yudhoyono. Dia cuek saja. Kalau toh ada sedikit ketertarikan, itu hanyalah bahwa ternyata di Indonesia banyak orang bernama Yudhoyono. Tidak hanya mantan atasannya di Bosnia dulu. Dia baru kaget ketika tahu bahwa Yudhoyono yang di televisi itu ya mantan atasannya tersebut.

Meski hanya dua hari di Brazil, lebih dari sepuluh agenda diselesaikan Presiden SBY. Bukan saja bertemu partnernya yang cocok dan seide dalam menyelesaikan persoalan internasional, juga bertemu dengan Presiden Korea Selatan Lee Myung-Bak yang kebetulan berada di satu hotel, bertemu ketua DPR, ketua DPD, dan berkunjung ke pusat riset pertanian Brazil.

Saking antusiasnya berada di pusat riset itu, Presiden SBY sampai memimpin sendiri diskusi dengan lembaga yang mendapatkan kepercayaan penuh untuk memajukan pertanian itu. Bukan saja untuk mencukupi pangan dalam negeri, tapi juga sebagai komoditas ekspor dan sumber produksi ”BBM” biofuel. Menteri Pertanian Anton Apriantono diminta untuk terus menindaklanjuti hasil diskusi itu.

Keseriusan Brazil di bidang itu memang luar biasa. Negara tersebut menjadi penghasil dan pengekspor terbesar di dunia untuk kedelai, beras, gula, dan kopi. Brazil juga jadi buah bibir dunia karena keberhasilannya memproduksi ”BBM” dari bahan hasil pertanian. Begitu seriusnya, dalam jangka 20 tahun ke depan negara diperkirakan sudah tidak akan menggunakan minyak lagi untuk sumber enersi dalam negerinya.

Ke depan Brazil juga akan mengembangkan perkebunan karet yang sampai hari ini juaranya masih dipegang Indonesia. Zaman dulu, kita mendapatkan bibit karet dari Brazil. Tapi, lama-lama Brazil kehabisan pohon karet. Kini dia akan ”mengambil” kembali bibit itu dari Indonesia. Brazil juga akan mengembangkan sawit yang Indonesia jadi juara dunia nomor 2. Karena daratan Brazil begitu luas, keinginan untuk mengembangkan bidang karet dan sawit itu bisa-bisa mengancam kedudukan kejuaraan Indonesia.

Brazil memang bukan negara dengan daratan terbesar. Masih ada AS (kalau Alaska dimasukkan), Rusia, Kanada, dan Tiongkok. Tapi, Alaska hanya penuh es, demikian juga Rusia dan Kanada. Sedangkan daratan Tiongkok didominasi pegunungan dan gurun pasir. Maka, memang Brazil-lah daratan pertanian yang terbesar di dunia. Luasan daratannya, empat jam penerbangan dari utara ke selatan dan empat jam penerbangan dari barat ke timur, hampir semua bisa difungsikan untuk pertanian. Hanya kawasan di negara bagian Amazon di utara yang harus dijaga sebagai hutan lindung tropik terbesar di dunia.

Brazil rupanya tahu kelebihan dirinya. Lalu sangat fokus di bidang yang menjadi kelebihannya itu. Brazil, dengan demikian, memang telah menerapkan doktrin dasar kunci untuk sukses: fokus di bidang yang menjadi kelebihannya.  (*)

No comments:

Post a Comment