Wawancara dengan First Lady Ibu Ani Yudhoyono (1)
Susah Tidur Jelang Naikkan Harga BBM
Di sela-sela waktunya yang sempit saat mendampingi sang suami
(Presiden SBY) melakukan lawatan ke empat negara -Amerika Serikat,
Meksiko, Brazil, dan terakhir Peru- Ny Ani Yudhoyono, first lady
Indonesia itu, meluangkan waktu untuk ngobrol secara khusus dengan media
ini. Berbagai pengalaman pahit dan manis sebagai first lady, sebagai
ibu bagi anak-anaknya, sebagai nenek bagi cucu pertamanya, dan sebagai
pendamping setia presiden dikemukakan kepada Dahlan Iskan dan Budi
Rahman Hakim dari Jawa Pos di Presidential Suites Room, Hotel Melia,
Lima, ibu kota Peru.
Empat tahun sudah Ibu menjadi first lady. Seperti apa rasanya?
Banyak sekali pengalaman. Ada yang bilang, Ibu Ani ini paling siap
menjadi seorang ibu negara. Kenapa orang berpikir seperti itu? Oh, saya
pikir, saya memang berbeda dengan first lady yang dulu-dulu. Bapak kan
yang pertama dipilih langsung oleh rakyat.
Jadi, sejak menjelang kampanye, kami memang sudah harus siap jadi ibu
negara. Bukan tiba-tiba jadi ibu negara. Bapak jadi presiden kan melalui
proses kampanye yang panjang dan kerja keras untuk bisa terpilih. Sejak
itu pun, saya sudah siap, kalau sang suami menjadi presiden, tentu
istrinya menjadi ibu negara.
Ketika kampamye dulu, orang melihat sebuah kursi RI-1 dan segala
keindahannya. Tapi, dalam pandangan saya, di belakang kursi RI-1 itu
justru ada pekerjaan dan tanggung jawab yang sangat banyak. Maka,
menjadi ibu negara atau menjadi istri presiden, tentu banyak sekali
pekerjaannya, tidak ada habis-habisnya. Jadi, kesan utamanya itu ya
bekerja keras.
Apa yang dirasakan paling berat?
Suka dukanya banyak sekali, terutama saat awal-awal penugasan. Belum
lagi, hantaman dari banyaknya orang yang menginginkan perubahan secara
cepat. Perasaan saya luar biasa saat itu. Saya pernah sangat bersedih
sampai menangis. Karena komentar-komentar yang menyudutkan bapak luar
biasa dan saya ikut merasakan sebagai seorang istri. Padahal, bapak
sudah bekerja siang malam, bahkan sampai larut sekali. Tetapi, bapak
masih saja diserang dengan komentar-komentar negatif.
Sebagai manusia biasa, pertahanan saya bisa jebol juga. Saya sampai
menangis. Erni, ajudan saya, melihat. Dia juga sangat sedih. Tapi, dia
berusaha menabahkan saya agar sabar dalam mendampingi bapak. Kalau saya
tidak kuat, maka bapak pasti lebih sulit lagi. Saya sebagai penopang di
belakang harus kuat. Bapak pun manusia biasa juga. Kadang, bapak juga
sedih. Maka, waktu saling berbagi perasaan, kani ambilah suatu
kesimpulan: dalam kondisi apa pun, kami harus selalu bersama sebagai
suami, istri, dan anak sebagai suatu kesatuan keluarga. Itulah yang saya
rasakan, suka dukanya luar biasa.
Keputusan yang paling berat adalah saat bapak harus menaikkan harga
BBM. Sepertinya, bapak tidak punya hati. Ketika akan menaikkan harga
BBM, berhari-hari beliau tidak tidur. Beliau juga mengerti, kalau beliau
dipilih oleh rakyat, maka segala keputusannya pasti akan menyangkut
rakyat juga. Rasanya berat sekali waktu itu, bahkan saya pernah menangis
saat berjalan di karpet merah bersama bapak.
Kiat yang dilakukan Ibu untuk membantu meringankan beban pikiran dan perasaan bapak terutama di saat-saat sulit?
Pertama, saya berzikir dan berdoa kepada Allah. Kedua, kami saling
berbagi perasaan. Ketiga, saya lihat bapak membaca buku yang sangat
bagus sekali. Judulnya: La Tahzan (jangan bersedih). Kalau kita membaca
itu, hati kita menjadi dingin. Perbanyak doa dan zikir untuk menguatkan
iman dan perasaan. Itu saja yang biasa kita lakukan.
Bapak juga senang menulis puisi dan mengarang lagu sebagai pelepas kepenatan, kabarnya…
Memang, bapak juga sering membuat puisi-puisi untuk mencurahkan isi
hati. Sejak menjadi Danrem di Jogjakarta dulu, bapak sering membuat
puisi. Kalau boleh saya cerita sedikit, bapak masih ada keturunan
seorang pujangga. Karena, eyangnya bapak dari garis bapak itu seorang
pujangga zaman dulu dan sering membuat puisi dalam bahasa Jawa. Ini saya
dengar langsung dari orang tuanya bapak. Bahkan, eyangnya bapak
mewasiatkan ketika akan meninggal agar puisi-puisi ciptaanya itu
dibacakan.
Puisi-puisi sang kakek masih disimpan?
Wah, kalau itu saya tidak tahu ya.
Puisi ciptaan Pak SBY sendiri waktu jadi Danrem di Jogja masih disimpan?
Nah, itu yang hilang. Puisi-puisi itu dimasukkan ke file komputer,
tetapi hilang saat kami pindah dari Jogja ke Bosnia. Bapak tugas ke
Bosnia dan saya pindah ke Jakarta.
Kalau yang belakangan masih disimpan?
Ya, sudah diterbitkan sebagai buku.
Ibu masih sempat menyiapkan makannya bapak?
Ya, masih sempat. Tapi, kan juga ada juru masak. Dan lagi, bapak kan
makannya simpel saja, seperti tahu, tempe, kerupuk, atau nasi goreng.
Bahkan, bapak acap kali menggorengnya sendiri. Saya baru bantu-bantu
menyiapkan hidangan bapak sepanjang ada special request saja. Misalnya,
minta digorengkan telur ceplok atau dibuatkan nasi goreng favorit.
Selebihnya, sudah ada ahli masak di istana yang menyiapkan segala
sesuatunya.
Busana Presideb SBY kan selalu necis matching. Bagaimana soal ini, apa Ibu yang menata semua?
Sejak dulu, sejak baru nikah, kami memang senang mengenakan baju yang
tepat. Termasuk matching-matching-an. Misalnya, biru dengan biru, merah
dengan merah. Jadi, kita dari dulu memang begitu. Sering saya yang
menyesuaikan dengan baju yang hari itu dikenakan bapak. Tapi, sesekali,
saya minta bapak yang menyesuaikan dengan pilihan saya. Termasuk sampai
soal sepatu. Bapak itu kan kakinya cukup besar, ukuran 43. Agus itu
(anak pertama) malah lebih besar lagi. Jadi, kita susah mencari sepatu
dalam negeri. Bapak agak konvensional. Kalau sudah satu, ya satu itu.
Ibaratnya, mencarikan yang sama itu sulit. Motifnya gak ada yang
aneh-aneh, paling konvensional saja. (*)
No comments:
Post a Comment