Thursday, November 27, 2008

Wawancara dengan First Lady Ibu Ani Yudhoyono (1)

Kamis, 27 November 2008
Wawancara dengan First Lady Ibu Ani Yudhoyono (1)
Susah Tidur Jelang Naikkan Harga BBM

Di sela-sela waktunya yang sempit saat mendampingi sang suami (Presiden SBY) melakukan lawatan ke empat negara -Amerika Serikat, Meksiko, Brazil, dan terakhir Peru- Ny Ani Yudhoyono, first lady Indonesia itu, meluangkan waktu untuk ngobrol secara khusus dengan media ini. Berbagai pengalaman pahit dan manis sebagai first lady, sebagai ibu bagi anak-anaknya, sebagai nenek bagi cucu pertamanya, dan sebagai pendamping setia presiden dikemukakan kepada Dahlan Iskan dan Budi Rahman Hakim dari Jawa Pos di Presidential Suites Room, Hotel Melia, Lima, ibu kota Peru.

Empat tahun sudah Ibu menjadi first lady. Seperti apa rasanya?
Banyak sekali pengalaman. Ada yang bilang, Ibu Ani ini paling siap menjadi seorang ibu negara. Kenapa orang berpikir seperti itu? Oh, saya pikir, saya memang berbeda dengan first lady yang dulu-dulu. Bapak kan yang pertama dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, sejak menjelang kampanye, kami memang sudah harus siap jadi ibu negara. Bukan tiba-tiba jadi ibu negara. Bapak jadi presiden kan melalui proses kampanye yang panjang dan kerja keras untuk bisa terpilih. Sejak itu pun, saya sudah siap, kalau sang suami menjadi presiden, tentu istrinya menjadi ibu negara.

Ketika kampamye dulu, orang melihat sebuah kursi RI-1 dan segala keindahannya. Tapi, dalam pandangan saya, di belakang kursi RI-1 itu justru ada pekerjaan dan tanggung jawab yang sangat banyak. Maka, menjadi ibu negara atau menjadi istri presiden, tentu banyak sekali pekerjaannya, tidak ada habis-habisnya. Jadi, kesan utamanya itu ya bekerja keras.

Apa yang dirasakan paling berat?
Suka dukanya banyak sekali, terutama saat awal-awal penugasan. Belum lagi, hantaman dari banyaknya orang yang menginginkan perubahan secara cepat. Perasaan saya luar biasa saat itu. Saya pernah sangat bersedih sampai menangis. Karena komentar-komentar yang menyudutkan bapak luar biasa dan saya ikut merasakan sebagai seorang istri. Padahal, bapak sudah bekerja siang malam, bahkan sampai larut sekali. Tetapi, bapak masih saja diserang dengan komentar-komentar negatif.

Sebagai manusia biasa, pertahanan saya bisa jebol juga. Saya sampai menangis. Erni, ajudan saya, melihat. Dia juga sangat sedih. Tapi, dia berusaha menabahkan saya agar sabar dalam mendampingi bapak. Kalau saya tidak kuat, maka bapak pasti lebih sulit lagi. Saya sebagai penopang di belakang harus kuat. Bapak pun manusia biasa juga. Kadang, bapak juga sedih. Maka, waktu saling berbagi perasaan, kani ambilah suatu kesimpulan: dalam kondisi apa pun, kami harus selalu bersama sebagai suami, istri, dan anak sebagai suatu kesatuan keluarga. Itulah yang saya rasakan, suka dukanya luar biasa.

Keputusan yang paling berat adalah saat bapak harus menaikkan harga BBM. Sepertinya, bapak tidak punya hati. Ketika akan menaikkan harga BBM, berhari-hari beliau tidak tidur. Beliau juga mengerti, kalau beliau dipilih oleh rakyat, maka segala keputusannya pasti akan menyangkut rakyat juga. Rasanya berat sekali waktu itu, bahkan saya pernah menangis saat berjalan di karpet merah bersama bapak.

Kiat yang dilakukan Ibu untuk membantu meringankan beban pikiran dan perasaan bapak terutama di saat-saat sulit?
Pertama, saya berzikir dan berdoa kepada Allah. Kedua, kami saling berbagi perasaan. Ketiga, saya lihat bapak membaca buku yang sangat bagus sekali. Judulnya: La Tahzan (jangan bersedih). Kalau kita membaca itu, hati kita menjadi dingin. Perbanyak doa dan zikir untuk menguatkan iman dan perasaan. Itu saja yang biasa kita lakukan.

Bapak juga senang menulis puisi dan mengarang lagu sebagai pelepas kepenatan, kabarnya…
Memang, bapak juga sering membuat puisi-puisi untuk mencurahkan isi hati. Sejak menjadi Danrem di Jogjakarta dulu, bapak sering membuat puisi. Kalau boleh saya cerita sedikit, bapak masih ada keturunan seorang pujangga. Karena, eyangnya bapak dari garis bapak itu seorang pujangga zaman dulu dan sering membuat puisi dalam bahasa Jawa. Ini saya dengar langsung dari orang tuanya bapak. Bahkan, eyangnya bapak mewasiatkan ketika akan meninggal agar puisi-puisi ciptaanya itu dibacakan.

Puisi-puisi sang kakek masih disimpan?
Wah, kalau itu saya tidak tahu ya.

Puisi ciptaan Pak SBY sendiri waktu jadi Danrem di Jogja masih disimpan?
Nah, itu yang hilang. Puisi-puisi itu dimasukkan ke file komputer, tetapi hilang saat kami pindah dari Jogja ke Bosnia. Bapak tugas ke Bosnia dan saya pindah ke Jakarta.

Kalau yang belakangan masih disimpan?
Ya, sudah diterbitkan sebagai buku.

Ibu masih sempat menyiapkan makannya bapak?
Ya, masih sempat. Tapi, kan juga ada juru masak. Dan lagi, bapak kan makannya simpel saja, seperti tahu, tempe, kerupuk, atau nasi goreng. Bahkan, bapak acap kali menggorengnya sendiri. Saya baru bantu-bantu menyiapkan hidangan bapak sepanjang ada special request saja. Misalnya, minta digorengkan telur ceplok atau dibuatkan nasi goreng favorit. Selebihnya, sudah ada ahli masak di istana yang menyiapkan segala sesuatunya.

Busana Presideb SBY kan selalu necis matching. Bagaimana soal ini, apa Ibu yang menata semua?
Sejak dulu, sejak baru nikah, kami memang senang mengenakan baju yang tepat. Termasuk matching-matching-an. Misalnya, biru dengan biru, merah dengan merah. Jadi, kita dari dulu memang begitu. Sering saya yang menyesuaikan dengan baju yang hari itu dikenakan bapak. Tapi, sesekali, saya minta bapak yang menyesuaikan dengan pilihan saya. Termasuk sampai soal sepatu. Bapak itu kan kakinya cukup besar, ukuran 43. Agus itu (anak pertama) malah lebih besar lagi. Jadi, kita susah mencari sepatu dalam negeri. Bapak agak konvensional. Kalau sudah satu, ya satu itu. Ibaratnya, mencarikan yang sama itu sulit. Motifnya gak ada yang aneh-aneh, paling konvensional saja. (*)

No comments:

Post a Comment