SBY "Berkelahi" dengan Jurus Sendiri
Dari Pertemuan Puncak Washington DC (2)
Kalau harus dibuat daftar orang yang paling disalahkan sebagai
penyebab krisis global sekarang ini, semua akan sepakat memasukkan nama
ini: Joseph J. Cassano. Dialah yang harus berada di urutan pertama
daftar itu. Cassano-lah pencipta apa yang disebut credit default swaps
(CDS) –izinkan saya menerjemahkannya dengan “perlindungan terhadap
kredit gagal bayar”, satu istilah yang sebelum terjadi krisis ini masih
sangat langka di Indonesia.
Bahkan, kalau banyak analis mengatakan Eropa-lah yang akan menjadi
korban terparah sebagai dampak krisis ini, kaitannya juga dengan CDS
itu. Nama Cassano amat top di Eropa dalam pengertian yang negatif.
Cassano memang orang New York, tapi berkantor di London, Inggris.
Hebatnya, kantor pusatnya di New York sangat bergantung padanya. Bahkan,
ada yang menggambarkan, kantor pusat AIG (American International
Group), perusahaan asuransi terbesar di dunia di New York itu sudah
bertekuk lutut pada anak perusahaannya atau unit usahanya di London yang
di bawah komando Cassano ini.
Cassanolah yang membuat AIG runtuh dan memaksa pemerintah Amerika
Serikat mengambil alih 85 persen saham AIG dengan cara menyuntikkan dana
ke AIG USD 85 miliar, hampir sama dengan nilai seluruh APBN kita.
Cerita kehebatan Cassano itu kira-kira begini: Pada 1990-an bank-bank
di Eropa umumnya kelebihan dana. Artinya, terlalu banyak uang deposito
milik masyarakat yang ditaruh di bank-bank Eropa. Orang Eropa memang
lebih konservatif. Tidak terlalu senang spekulasi bermain saham. Ini
berarti bank harus membayar bunga deposito kepada masyarakat terlalu
banyak. Maka, bank-bank Eropa mencari akal sekuat tenaga untuk memutar
uang tersebut agar bisa menghasilkan bunga lebih besar.
Cassano mengetahui itu. Di sisi lain Cassano juga tahu
lembaga-lembaga keuangan di AS lagi kesulitan dana karena banyaknya
kredit perumahan yang macet (subprime mortgage). Apalagi, tingkat
kesenangan masyarakat Amerika Serikat menabung sangatlah kecil. Orang AS
dikenal suka belanja (dan dianggap inilah yang membuat ekonomi AS
bergairah) membuat tingkat tabungan masyarakat AS termasuk yang paling
rendah di dunia: rata-rata hanya 2 persen dari pendapatan. Terlalu
banyak orang yang hidupnya bergantung pada kartu kredit. Artinya,
keuangan masyarakat sering defisit per bulan.
Bank-bank Eropa melihat situasi di AS itu seperti menghadapi madu dan
racun. Apalagi, jaringan Cassano sangat agresif menggoda mereka. Di
satu pihak bank-bank Eropa sangat ingin menyalurkan kelebihan dananya ke
sana karena iming-iming suku bunga yang sangat menggiurkan. Di lain
pihak bank-bank Eropa itu takut lantaran agunan yang diterima adalah
rumah-rumah yang berasal dari sitaan kredit macet. Padahal, harga
rumah-rumah itu sudah jauh lebih rendah daripada nilai kredit yang
macet.
Yang paling ditakutkan bank-bank Eropa adalah: jangan sampai
melanggar aturan bank internasional yang disebut Basel II, terutama
menyangkut kecukupan modal. Dalam aturan itu disebutkan bahwa setiap
memberikan kredit, bank harus meningkatkan modal yang disimpan di
penjaminan. Semakin kurang berkualitas kredit itu semakin tinggi nilai
modal penjaminannya. Bank-bank di Eropa tahu kalau sampai mereka
memberikan kredit yang dikaitkan dengan subprime mortgage, konsekuensi
permodalannya sangat berat.
Di saat seperti itulah Cassano datang dengan resep yang dianggap bisa
membersihkan racun dari madu. Bank-bank Eropa bisa menikmati bunga
tinggi yang ditawarkan Cassano tanpa harus meneguk racunnya. Yakni,
menggunakan resep bikinan Cassano yang disebut credit default swaps
(CDS) tadi. Bank-bank Eropa bisa meminjamkan uang kepada lembaga-lembaga
keuangan besar di AS seperti Lehman Brothers, Goldman Sachs, dan
seterusnya dengan swaps atau jaminan atau perlindungan dari AIG.
Dengan resep dari Cassano ini, bank-bank Eropa bisa berkelit dari
kewajiban penyetor modal penjaminan tambahan seperti yang diatur dalam
Basel II. Untuk itu bank-bank Eropa memang harus membayar fee yang besar
kepada AIG. Sebagai bandingan, kalau untuk fasilitas credit equity
swaps (CES) fee-nya maksimum hanya 100 basis poin, untuk DCS ini AIG
minta fee sampai 500 basis poin.
Meski harus membayar fee kepada AIG yang sangat besar, bank-bank
Eropa merasa aman. Pertama, bunga yang didapat masih jauh lebih besar.
Kedua, kalau toh kredit itu gagal dibayar balik, AIG-nya Cassano
menjamin pembayarannya. Dan, yang penting, meski bank-bank Eropa
memberikan kredit kepada lembaga keuangan yang jaminannya adalah
kredit-kredit gagal bayar seperti yang berasal dari subprime mortgage,
itu tidak dianggap melanggar Basel II.
Mengapa? Karena kredit-kredit gagal bayar itu sudah dimasukkan dalam
paket-paket dengan kemasan bagus. Meski isinya busuk, bungkusnya indah
dan menggoda. Apalagi, yang membungkus itu perusahaan-perusahaan dengan
reputasi kelas satu: ratingnya AAA. Sangat tepercaya. Siapa yang tidak
percaya Lehman Brothers dan sebangsanya itu. Semua ratingnya AAA. Sebuah
rating tertinggi.
Di Indonesia perusahaan yang ratingnya AAA tidak banyak (Misalnya, PT
HM Sampoerna, PT Telkom, Bank Danamon, Bank Rakyat Indonesia, dan PT
Summit Oto Finance, Red). Jawa Pos dua tahun lalu ratingnya hanya A- (A
minus), dan baru tahun lalu jadi A. Masih harus bekerja keras lagi untuk
bisa menjadi ke A+, lalu AA-, AA, AA+. Entah berapa puluh tahun lagi
bisa jadi AAA. Entah kerja keras seperti apa lagi untuk bisa mencapai
itu.
Bahkan, negara Indonesia, yang tidak pernah gagal bayar utang, yang
selalu tumbuh dengan baik, yang pengelolaan keuangannya dipuji bank
dunia, yang meski secara politik masih sering ribut namun terbukti tetap
stabil, hanya diberi rating B. Belum BB atau BBB. Masih jauh dari
rating A, apalagi AA atau AAA.
Padahal, perusahaan-perusahaan yang membungkus jaminan-jaminan gagal
bayar itu semua ratingnya AAA. Yang menjual bungkusan-bungkusan itu,
AIG-nya Cassano, ratingnya juga AAA. Laporan keuangannya menunjukkan
kemajuan yang pesatnya bukan main. Labanya juga selangit. Maka bank-bank
Eropa menganggap kredit yang diberikan kepada Lehman Brothers dan
lain-lain itu sangat aman. Karena itu, ketika “membeli”
bungkusan-bungkusan cantik tersebut, bank-bank Eropa tidak diwajibkan
menambah modal penjaminan seperti yang diharuskan Basel II.
Transaksi “bungkusan pepes kosong” CDS itu mencapai USD 562 miliar!
Atau sekitar Rp 70.000.000.000.000.000. Bukan semua uangnya berasal dari
bank-bank Eropa, namun terlalu banyak yang berasal dari Eropa. Itulah
sebabnya, dalam pertemuan puncak 20 kepala negara di Washington kemarin,
Eropa ingin sekali “menghukum” AS. Yakni, dengan cara menetapkan
persyaratan-persyaratan baru bagi perusahaan keuangan yang ingin
melakukan bisnis keuangan dengan model yang rumit-rumit seperti itu.
Semangat tinggi Eropa untuk menghukum AS dengan sangat keras itulah
yang diwaspadai Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus
berkoordinasi dengan tim delegasi untuk membicarakan soal yang rumit
ini: jangan sampai tujuan yang sebenarnya untuk menghukum AS itu negara
seperti Indonesia ikut jadi narapidana.
Presiden harus “berkelahi” dengan caranya sendiri untuk menghindari
itu. Sebab, kalau Indonesia juga harus mengikuti persyaratan baru kelak
secara ketat, bisa-bisa Indonesia –yang tidak tahu apa-apa mengenai
penyebab krisis– langsung masuk penjara dan mati di dalamnya. Inilah
salah satu misi presiden yang berhasil dari pertemuan puncak ini.
Lembaga-lembaga keuangan dunia yang akan melakukan transaksi, kelak,
harus memenuhi lebih dari 50 persyaratan. Mulai transparansi,
pengawasan, pengambilan risiko sampai penegakan aturan, sampai
persyaratan ratingnya.
Kelak, kira-kira, kalau semua berhasil dirumuskan, gambarannya
begini: ada 50 atau 70 peraturan. Perusahaan keuangan yang akan
melakukan bisnis dengan tingkat kerumitan 10, harus memenuhi semua
persyaratan itu. Tapi, lembaga keuangan yang hanya melakukan bisnis
dengan tingkat kerumitan 5, hanya perlu memenuhi syarat separo dari yang
ditetapkan itu. Semakin rendah tingkat keruwetan bisnisnya, semakin
sedikit persyaratan yang harus dipenuhi.
Presiden SBY sangat lega karena nada memberlakukan semua persyaratan
untuk semua negara bisa dihindari. Kalau saja, misalnya, Indonesia juga
harus memenuhi seluruh persyaratan itu, semua bank di Indonesia akan
langsung tidak bisa berusaha. Padahal, kondisi bank di Indonesia saat
ini sudah sangat prudent. Peruraturan pemerintah untuk bank di Indonesia
juga sudah sangat ketat –terima kasih atas terjadinya krismon 1998
lalu.
Kalau toh masih ada yang harus diatur lebih ketat adalah
lembaga-lembaga keuangan non-bank. Ini pun khusus menyangkut yang
kepemilikannya satu grup dengan perusahaan yang merestrukturisasi
keuangan. Sebab, grup-grup usaha di Indonesia juga memiliki lembaga
keuangan nonbank, yang bisa saja menjadi lubang kelemahan. Misalnya,
lembaga keuangannya miliknya sendiri itulah yang diminta mengatur agar
harga sahamnya jauh lebih mahal saat perusahaan itu akan melakukan go
public. (*)
No comments:
Post a Comment