Sunday, November 16, 2008

Negara Berkembang yang Tak Boleh Cengeng

Minggu, 16 November 2008
Negara Berkembang yang Tak Boleh Cengeng
Dari Pertemuan Puncak Washington DC (1)

Peta utama dari 20 negara yang diikutkan dalam pertemuan puncak di Washington tadi malam terbagi dalam tiga kategori: Amerika Serikat sebagai penyebab, Eropa sebagai korban, dan negara-negara berkembang yang ikut terseret. Maka ketika Amerika Serikat mengajak 20 negara (mewakili 90 persen kekuatan ekonomi dunia) untuk bersama-sama mengatasi krisis ini, bisakah mereka kompak? Inilah yang ditunggu masyarakat dunia dari apa yang akan mereka rumuskan yang pagi ini (WIB) diumumkan.

Eropa, terutama Prancis, sikapnya jelas: seperti hendak menghukum AS. Tentu dengan cara Eropa yang dibungkus dengan nada yang dewasa. Intinya, Eropa menghendaki disusunnya satu aturan yang amat ketat untuk perdagangan derivatif, hedge funds, dan bursa saham. Itu untuk mengendalikan keserakahan, karena tidak adanya aturan yang cukup dan lemahnya pengawasan selama ini. Negara, menurut aspirasi dari Eropa ini, harus mengambil peran penting di dalamnya. Eropa menghendaki dibangunnya arsitektur baru keuangan dunia. Eropa bersikap seperti itu karena dana Eropa memang terlalu besar yang masuk dalam mesin derivatif di AS dan kini nilainya tinggal rata-rata kurang dari sepertiganya.

Amerika Serikat, sebagaimana tecermin dalam sikap Presiden Bush, tidak ingin negara masuk terlalu jauh. Dia tetap menghendaki peran negara sekecil mungkin. Kongres AS sendiri, sekarang sedang melakukan dengar pendapat dengan berbagai kalangan bursa, hedge funds, dan pasar modal untuk menilai kembali di mana letak kelemahan selama ini.

Meski dua pihak ini berbeda pendapat, semua tahu bahwa akibat krisis terbesar sepanjang abad ini, bagi mereka berdua hanyalah satu: resesi. Tidak bisa lebih makmur dari sekarang, atau kalaupun turun, berkurangnya sedikit. Dan, bagi mereka keadaan ini sudah membuat amat menderita. Bagaimana posisi negara berkembang seperti Indonesia, India, dan Brazil? Juga Tiongkok? Gambarannya kira-kira begini: marah tapi harus ditahan, gondok tapi tidak boleh jatuh ke pesimistis, menangis tapi tidak boleh cengeng, dan berharap tapi tidak boleh sampai mengemis. Ditambah: harus ikut mencarikan jalan keluar (karena punya pengalaman krisis 1997) tapi tidak boleh terasa menggurui, dan mengkritik tapi tidak boleh memusuhi. Gambaran posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kurang lebih juga seperti itu.

Itu antara lain juga sudah tecermin dalam pidato Presiden SBY sehari sebelumnya di forum Indonesia-Amerika yang dihadiri tokoh-tokoh Amerika yang peduli pada hubungan baik antara kedua negara. Sebuah pidato dalam bahasa Inggris yang sangat memikat karena –berbeda dengan pidatonya di dalam negeri– disampaikan dengan gaya Amerika. Tetap dibuka dengan kata ”assalamualaikum”, tapi segera disusul dengan guyon-guyon khas Amerika.

Negara berkembang sendiri tentu dibagi dua. Kelompok satu adalah: negara yang selama ini bekerja keras untuk meraih kemajuan, bersungguh-sungguh dalam membangun, disiplin dalam menerapkan prinsip keuangan, dan selalu menunjukkan hasil yang nyata. Indonesia, Brazil, dan India masuk dalam kategori ini. Inilah negara-negara yang seharusnya tidak boleh ikut terseret menjadi korban krisis global. Karena itu, tiga negara ini diikutkan dalam pertemuan puncak tersebut. Seharusnya memang ada perlakuan khusus bagi negara berkembang seperti itu. India, Indonesia, dan Brazil adalah negara-negara miskin dengan penduduk besar yang selama ini sudah bersungguh-sungguh memperbaiki diri. Kalau negara-negara seperti ini juga jadi korban, tingkat pembelaannya harus lebih nyata.

Berbeda, misalnya, dengan negara berkembang yang dia sendiri memang tidak pernah menunjukkan keinginan untuk menjadi lebih baik.

Presiden Brazil Luis Inacio da Silva kelihatan sekali sikapnya yang mirip Indonesia. Bahwa terasa sedikit lebih keras memang wajar karena kemajuan Brazil dalam 10 tahun terakhir luar biasa. Masak satu negara miskin yang sedang bergairah-gairahnya membangun harus tumbang begitu saja oleh kesalahan orang lain.

Brazil di bawah Lula (begitu panggilannya, yang artinya ”cumi-cumi”) memang menunjukkan stabilitas petumbuhan yang nyata. Cadangan devisanya sudah mencapai USD 200 miliar. Kini harus dikurangi USD 50 miliar untuk mengatasi krisis tahap awal. Kapitalisasi pasar modalnya yang sudah hampir USD 2 triliun merosot tinggal USD 572 miliar. Pertumbuhan ekonominya yang selama bertahun-tahun ini pernah sampai 9 persen, terancam merosot menjadi kurang dari 3 persen. Kelas menengahnya yang sudah mencapai 52 persen, sebagian terancam kembali menjadi miskin. Penduduk miskin di pinggiran kota terbesar Sao Paolo (baca: San Paolo) yang selama ini terkenal miskinnya, sebenarnya sudah mulai punya usaha kecil-kecilan, kini bisa sirna kembali. Brazil memang pantas marah, menangis, dan merengek. Hasilnya AS membantu jaminan USD 30 miliar.

India tentu lebih berat karena sumber daya alamnya tidak sebanding dengan jumlah penduduknya. Sampai hari ini belum ada komitmen dari mana pun untuk India. AS tentu lebih mementingkan membantu Singapura yang jadi kakinya di kawasan ini dengan jaminan USD 20 miliar.

Indonesia yang sudah sempat bangga punya cadangan devisa terbesar dalam sejarah, USD 70 miliar, kini kembali tinggal USD 50 miliaran. Pertumbuhan ekonomi harus dikoreksi ulang. Indonesia yang tahun ini berhasil kembali swasembada beras dan jagung, harus terpukul di harga komoditas perkebunan seperti sawit, kakao, dan karet. Tapi, komitmen dana dari sejumlah lembaga internasional sudah didapat. Setidaknya sudah USD 5 miliar dari Bank Dunia. Posisi Indonesia jauh lebih baik karena tatanan keuangannya sudah benar dan memiliki sumber daya alam yang sangat bervariasi. Yang diperlukan Indonesia tinggal bagaimana bisa selamat dalam masa sulit selama setidaknya dua tahun ini.Karena itu, sebagaimana saya kemukakan di beberapa tulisan saya yang lalu, para pengusaha pun perlu tidak berkedip selama 24 jam sepanjang dua tahun ini. Masing-masing harus mengendalikan layang-layang perusahaannya untuk menjaga agar tidak kehilangan angin. Sekali lagi, layang-layang itu jangan sampai ditinggal –ke kamar kecil sekali pun!

Lho, kok saya malah ikut ke Washington?
Saya lagi cari angin di sini. Siapa tahu bisa ditiupkan keras-keras ke Indonesia!**

No comments:

Post a Comment