Negara Berkembang yang Tak Boleh Cengeng
Dari Pertemuan Puncak Washington DC (1)
Peta utama dari 20 negara yang diikutkan dalam pertemuan puncak di
Washington tadi malam terbagi dalam tiga kategori: Amerika Serikat
sebagai penyebab, Eropa sebagai korban, dan negara-negara berkembang
yang ikut terseret. Maka ketika Amerika Serikat mengajak 20 negara
(mewakili 90 persen kekuatan ekonomi dunia) untuk bersama-sama mengatasi
krisis ini, bisakah mereka kompak? Inilah yang ditunggu masyarakat
dunia dari apa yang akan mereka rumuskan yang pagi ini (WIB) diumumkan.
Eropa, terutama Prancis, sikapnya jelas: seperti hendak menghukum AS. Tentu
dengan cara Eropa yang dibungkus dengan nada yang dewasa. Intinya,
Eropa menghendaki disusunnya satu aturan yang amat ketat untuk
perdagangan derivatif, hedge funds, dan bursa saham. Itu untuk
mengendalikan keserakahan, karena tidak adanya aturan yang cukup dan
lemahnya pengawasan selama ini. Negara, menurut aspirasi dari Eropa
ini, harus mengambil peran penting di dalamnya. Eropa menghendaki
dibangunnya arsitektur baru keuangan dunia. Eropa bersikap seperti itu
karena dana Eropa memang terlalu besar yang masuk dalam mesin derivatif
di AS dan kini nilainya tinggal rata-rata kurang dari sepertiganya.
Amerika Serikat, sebagaimana tecermin dalam sikap Presiden Bush,
tidak ingin negara masuk terlalu jauh. Dia tetap menghendaki peran
negara sekecil mungkin. Kongres AS sendiri, sekarang sedang melakukan
dengar pendapat dengan berbagai kalangan bursa, hedge funds, dan pasar
modal untuk menilai kembali di mana letak kelemahan selama ini.
Meski dua pihak ini berbeda pendapat, semua tahu bahwa akibat krisis
terbesar sepanjang abad ini, bagi mereka berdua hanyalah satu: resesi.
Tidak bisa lebih makmur dari sekarang, atau kalaupun turun, berkurangnya
sedikit. Dan, bagi mereka keadaan ini sudah membuat amat menderita.
Bagaimana posisi negara berkembang seperti Indonesia, India, dan Brazil?
Juga Tiongkok? Gambarannya kira-kira begini: marah tapi harus ditahan,
gondok tapi tidak boleh jatuh ke pesimistis, menangis tapi tidak boleh
cengeng, dan berharap tapi tidak boleh sampai mengemis. Ditambah: harus
ikut mencarikan jalan keluar (karena punya pengalaman krisis 1997) tapi
tidak boleh terasa menggurui, dan mengkritik tapi tidak boleh memusuhi.
Gambaran posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kurang lebih juga
seperti itu.
Itu antara lain juga sudah tecermin dalam pidato Presiden SBY sehari
sebelumnya di forum Indonesia-Amerika yang dihadiri tokoh-tokoh Amerika
yang peduli pada hubungan baik antara kedua negara. Sebuah pidato dalam
bahasa Inggris yang sangat memikat karena –berbeda dengan pidatonya di
dalam negeri– disampaikan dengan gaya Amerika. Tetap dibuka dengan kata
”assalamualaikum”, tapi segera disusul dengan guyon-guyon khas Amerika.
Negara berkembang sendiri tentu dibagi dua. Kelompok satu adalah:
negara yang selama ini bekerja keras untuk meraih kemajuan,
bersungguh-sungguh dalam membangun, disiplin dalam menerapkan prinsip
keuangan, dan selalu menunjukkan hasil yang nyata. Indonesia, Brazil,
dan India masuk dalam kategori ini. Inilah negara-negara yang seharusnya
tidak boleh ikut terseret menjadi korban krisis global. Karena itu,
tiga negara ini diikutkan dalam pertemuan puncak tersebut. Seharusnya
memang ada perlakuan khusus bagi negara berkembang seperti itu. India,
Indonesia, dan Brazil adalah negara-negara miskin dengan penduduk besar
yang selama ini sudah bersungguh-sungguh memperbaiki diri. Kalau
negara-negara seperti ini juga jadi korban, tingkat pembelaannya harus
lebih nyata.
Berbeda, misalnya, dengan negara berkembang yang dia sendiri memang tidak pernah menunjukkan keinginan untuk menjadi lebih baik.
Presiden Brazil Luis Inacio da Silva kelihatan sekali sikapnya yang
mirip Indonesia. Bahwa terasa sedikit lebih keras memang wajar karena
kemajuan Brazil dalam 10 tahun terakhir luar biasa. Masak satu negara
miskin yang sedang bergairah-gairahnya membangun harus tumbang begitu
saja oleh kesalahan orang lain.
Brazil di bawah Lula (begitu panggilannya, yang artinya ”cumi-cumi”)
memang menunjukkan stabilitas petumbuhan yang nyata. Cadangan devisanya
sudah mencapai USD 200 miliar. Kini harus dikurangi USD 50 miliar untuk
mengatasi krisis tahap awal. Kapitalisasi pasar modalnya yang sudah
hampir USD 2 triliun merosot tinggal USD 572 miliar. Pertumbuhan
ekonominya yang selama bertahun-tahun ini pernah sampai 9 persen,
terancam merosot menjadi kurang dari 3 persen. Kelas menengahnya yang
sudah mencapai 52 persen, sebagian terancam kembali menjadi miskin.
Penduduk miskin di pinggiran kota terbesar Sao Paolo (baca: San Paolo)
yang selama ini terkenal miskinnya, sebenarnya sudah mulai punya usaha
kecil-kecilan, kini bisa sirna kembali. Brazil memang pantas marah,
menangis, dan merengek. Hasilnya AS membantu jaminan USD 30 miliar.
India tentu lebih berat karena sumber daya alamnya tidak sebanding
dengan jumlah penduduknya. Sampai hari ini belum ada komitmen dari mana
pun untuk India. AS tentu lebih mementingkan membantu Singapura yang
jadi kakinya di kawasan ini dengan jaminan USD 20 miliar.
Indonesia yang sudah sempat bangga punya cadangan devisa terbesar
dalam sejarah, USD 70 miliar, kini kembali tinggal USD 50 miliaran.
Pertumbuhan ekonomi harus dikoreksi ulang. Indonesia yang tahun ini
berhasil kembali swasembada beras dan jagung, harus terpukul di harga
komoditas perkebunan seperti sawit, kakao, dan karet. Tapi, komitmen
dana dari sejumlah lembaga internasional sudah didapat. Setidaknya sudah
USD 5 miliar dari Bank Dunia. Posisi Indonesia jauh lebih baik karena
tatanan keuangannya sudah benar dan memiliki sumber daya alam yang
sangat bervariasi. Yang diperlukan Indonesia tinggal bagaimana bisa
selamat dalam masa sulit selama setidaknya dua tahun ini.Karena itu,
sebagaimana saya kemukakan di beberapa tulisan saya yang lalu, para
pengusaha pun perlu tidak berkedip selama 24 jam sepanjang dua tahun
ini. Masing-masing harus mengendalikan layang-layang perusahaannya untuk
menjaga agar tidak kehilangan angin. Sekali lagi, layang-layang itu
jangan sampai ditinggal –ke kamar kecil sekali pun!
Lho, kok saya malah ikut ke Washington?
Saya lagi cari angin di sini. Siapa tahu bisa ditiupkan keras-keras ke Indonesia!**
No comments:
Post a Comment