Dahlan Iskan : Lawan-Lawan Obama yang Mulai Tumbuh (5-Habis)
Tuduh Liberal Turunkan Keunggulan Amerika
Penyebab kekalahan golongan konservatif atas golongan liberal di
Amerika Serikat dalam pemilu lalu, menurut Rush Limbaugh, penyiar radio
yang kalau ke mana-mana menggunakan pesawat pribadi itu, sederhana saja.
“Kita telanjur mengira semua orang tahu konservatifisme itu apa.
Ternyata tidak,” katanya. “Ternyata banyak orang yang salah mengerti
mengenai konservatifisme. Konservatifisme dikira seperti yang dikesankan
secara klise selama ini: antiras berwarna, fanatik, antiaborsi, anti
perkawinan sejenis, dan seterusnya itu,” katanya dalam pidato satu jam
di depan konferensi golongan konservatif pekan lalu (lihat seri tulisan ini kemarin).
“Ini karena media-media tertentu sengaja membuat citra begitu. Juga
karena golongan liberal di Partai Demokrat selalu mengampanyekan hal-hal
seperti itu,” katanya. Media-media yang dia golongkan pro-liberal
tersebut misalnya New York Times, Washington Post, CNN, dan hampir semua koran besar di AS pada umumnya.
Lalu siapakah sebenarnya golongan konservatif itu?
Kata Limbaugh, “golongan konservatif adalah mereka yang mencintai
manusia sebagai perorangan dengan cara melihat dari aspek potensi
perorangannya. Bukan manusia sebagai kumpulan orang yang berkelas-kelas.
Ini rasanya hanya lawan dari apa yang biasanya dijadikan jargon
kalangan komunis yang selalu memandang manusia sebagai lapisan-lapisan
masyarakat: lapisan kaya, lapisan miskin, lapisan buruh, lapisan tani,
atau lapisan juragan.
Konservatifisme, kata musuh nomor satu Obama ini, lebih menghargai
orang per orang lengkap dengan potensi, keinginan, dan ambisinya.
Penghargaan inilah yang menjadi dasar perlunya diberikan kemerdekaan dan
kebebasan yang penuh kepada warga Amerika orang per orang. Yakni,
kebebasan mewujudkan keinginan dan ambisinya sesuai dengan potensi yang
ada padanya. Tidak boleh ada peraturan dari mana pun, termasuk dari
pemerintah, yang membatasi terwujudnya keinginan dan ambisi orang per
orang itu.
Penganut konservatif percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia itu customized
-setiap orang dibuat tidak ada yang sama. Karena itu, terjadinya
perbedaan nasib orang per orang tidak perlu dipersoalkan. “Harus
diberikan kebebasan sepenuhnya kepada siapa pun untuk menjadi apa saja
yang terbaik yang diinginkannya. Termasuk kalau dia ingin hidup miskin,”
katanya. Memang, tidak ada orang yang ingin hidup miskin, tapi orang
yang tidak mau berusaha keras untuk mewujudkan potensi dan ambisinya
adalah orang yang pada dasarnya memang ingin hidup miskin.
Pengenaan pajak tinggi kepada orang kaya seperti yang diprogramkan
Presiden Obama dalam rancangan APBN-nya, menurut prinsip liberalisme
konservatif ini, sama artinya dengan pengekangan terhadap orang yang
punya potensi untuk maju dan kaya. Mereka percaya kalau semua orang
terus diberi kemerdekaan dan kebebasan, negara akan maju. Sebab,
kemajuan negara pada dasarnya disumbangkan oleh orang-orang yang potensi
majunya dipergunakan sebesar-besarnya tanpa dihambat sedikit pun.
“Prinsip seperti inilah yang sudah terbukti membuat Amerika maju,” kata
Limbaugh.
Dia lantas mengemukakan mengapa Amerika sebagai negara yang baru
berumur 300 tahun sudah bisa menjadi superpower tunggal dunia.
Mengalahkan negara-negara yang umurnya sudah ribuan tahun. Katanya, ini
karena sejak sebelum merdeka dulu Amerika sudah menganut paham
konservatifisme. Tanpa memberikan penghargaan dan kemerdekaan yang penuh
atas potensi orang per orang, kata Limbaugh, tidak mungkin Amerika
menjadi superpower. “Keunggulan Amerika inilah yang kini diusahakan
untuk dihancurkan oleh Obama dan golongan liberal yang lagi berkuasa,”
katanya. “Itulah sebabnya, mengapa saya mengharapkan Obama gagal,”
tambahnya.
Padahal, katanya, negara akan sukses kalau warga negaranya secara
perorangan semuanya sukses. Karena itu, setiap orang harus mewujudkan
ambisi dengan sekuat-kuatnya, tanpa dihambat oleh peraturan apa pun.
Terlalu banyaknya peraturan pemerintah, katanya, akan membuat pemerintah
sangat berkuasa. Termasuk berkuasa menentukan nasib orang per orang.
Akibatnya, lama-lama, tanpa disadari, mematikan potensi orang karena
akan membuat orang terlalu menggantungkan nasibnya kepada pemerintah.
Tanpa merasa harus berusaha keras merealisasikan potensinya secara
sungguh-sungguh.
Upaya mengentas kemiskinan dengan cara memberikan bantuan seperti
yang akan dilakukan Obama (meniru negara-negara lain yang menganut
prinsip negara ksejahteraan), kata Limbaugh, pasti gagal. Kemiskinan
tidak bisa diberantas dengan cara yang kelihatannya memberi bantuan,
tapi sebenarnya mematikan potensi orang untuk bangkit. Yang dilakukan
pemerintah seperti itu, katanya, sebenarnya hanya memanfaatkan orang
miskin untuk kekuasaannya sendiri.
Bahkan, Limbaugh menyamakan pemungutan pajak kepada orang kaya itu
pada dasarnya sama saja dengan pencuri harta orang lain. “Kalau saja itu
dilakukan perorangan, hukumnya sudah kriminal,” katanya.
Bagi kita yang di luar Amerika, kadang memang sulit memahami
perbedaan antara ideologi liberalisme dan kapitalisme seperti itu. Kita
memang sudah dibiasakan menganggap kedua-duanya musuh Pancasila. Kita
sudah telanjur biasa mengira liberalisme dan kapitalisme itu satu
“binatang”. Jangankan belajar membedakannya, memikirkannya pun dianggap
tidak perlu.
Baiknya, pertentangan itu di sana dibicarakan secara terbuka. Bahkan,
dibicarakan sambil tertawa-tawa. Buktinya, pidato Limbaugh itu tidak
ubahnya hiburan: penuh tepuk tangan dan tawa ger-geran. Kalau toh ada
yang emosional, tetap saja terbatas pada kata-kata. Atau maksimum unjuk
rasa. Itu pun unjuk rasa yang tidak destruktif. Dengan demikian,
masyarakat yang pada umumnya sebenarnya tidak peduli, tidak terpancing
ke mana-mana. Di AS, yang tidak tergolong dua golongan itu kira-kira
mencapai 30 persen. Sisanya, condong ke liberalisme atau kapitalisme
dengan jumlah yang hampir sama, naik turun.
Di kita, dengan demokrasi yang baru berumur 10 tahun, juga mulai
terbiasa melihat banyak golongan yang masing-masing memidatokan
prinsip-prinsip dan keinginan masing-masing. Atau yang saling mencela
prinsip golongan lain. Kita, pada umumnya, juga sudah tidak terlalu
peduli dengan semua itu. Bahkan, banyak juga yang kangen melihat
seringnya iklan partai tertentu muncul di televisi -hanya karena
gambarnya menarik tanpa mengubah pandangan pribadinya.
Kita juga sudah terbiasa melihat beberapa orang yang digolongkan
ekstrem melakukan pidato di sana-sini. Tidak ada yang merasa takut lalu
lari. Seorang teman yang dalam Salat Id lalu ternyata harus mendengarkan
khotbah Al Ustad Abubakar Ba’asyir yang sangat keras di dekat rumahnya,
ya tetap saja salat sampai akhir meski dia kemudian menceritakan isi
khotbah itu kepada teman-temannya dengan cara sambil tertawa-tawa.
Kata-kata ekstrem pun kini sudah dianggap sebagai hiburan. (habis)
No comments:
Post a Comment