Sabtu, 14 Maret 2009 | 05:05 WIB
Pengalaman Hidup Banker "Tervonis Mati" Karmaka Surjaudaja (2)
Karmaka Surjaudaja memang digerogoti penyakit. Tapi, dia punya semangat hidup luar biasa. Kalau ada kolega yang bertanya, ’’Sehat, Pak?”, dia selalu menjawab, ’’Saya tidak sehat, tapi saya bertahan hidup”. Inilah sebagian episode hidupnya yang ditulis Dahlan Iskan dalam buku Tidak Ada yang Tidak Bisa.
Pengalaman Hidup Banker "Tervonis Mati" Karmaka Surjaudaja (2)
Karmaka Surjaudaja memang digerogoti penyakit. Tapi, dia punya semangat hidup luar biasa. Kalau ada kolega yang bertanya, ’’Sehat, Pak?”, dia selalu menjawab, ’’Saya tidak sehat, tapi saya bertahan hidup”. Inilah sebagian episode hidupnya yang ditulis Dahlan Iskan dalam buku Tidak Ada yang Tidak Bisa.
(FOTO JPNN) BERSAMA PENULIS: Chairman Emeritus Bank OCBC NISP Karmaka Surjaudaja bersama istri dan Dahlan Iskan, penulis buku Tidak Ada yang Tidak Bisa. |
SESEORANG yang melakukan transplantasi liver seperti
Karmaka harus terus-menerus meminum obat setiap hari. Sehari bisa lima
kali. Obatnya berjenis-jenis hingga belasan jumlahnya dan semuanya punya
dampak samping yang harus diatasi dengan meminum obat lain lagi.
Salah
satunya adalah obat yang sangat keras, berfungsi sebagai anti-rejection
atau penolakan agar liver baru terus bisa diterima dan bekerja secara
sinkron dengan organ tubuh yang lain.
Akibat
terus-menerus meminum banyak obat yang sangat keras, ginjal Karmaka
’’kalah”. Ginjal kanannya kehilangan fungsi. Bahkan, ternyata di dalam
ginjal kanan itu juga diketahui tumbuh kanker ganas.
Maka
pada 2002, lima tahun setelah Karmaka menjalani penggantian liver, dia
harus menghadapi operasi ginjal. Apalagi kanker itu sudah menjalar pula
ke bladder (kandung kemih), yang berfungsi menampung air kencing.
Karmaka
pergi ke UCLA Medical Center di Los Angeles, Amerika, karena di sana
ada dokter yang memahami operasi ginjal bagi pasien yang pernah
transplantasi liver. Di situlah ginjal kanan Karmaka dipotong dan
dibuang.
Sejak tahun itu, Karmaka harus hidup hanya
dengan satu ginjal. Dan karena kankernya mulai menjalar, Karmaka harus
beberapa kali ke Los Angeles untuk membersihkan sisa-sisanya.
Pembersihan
tumor kanker itu dilakukan dengan memasukkan alat dari lubang kemaluan.
Setelah itu, selama empat bulan setiap minggu harus ke Singapura untuk
kemoterapi. Itu dimaksudkan agar sisa-sisa kanker yang mungkin masih ada
di dalamnya bisa dibasmi secara sempurna.
Dalam
keadaan seperti itu, Karmaka masih mengalami musibah tambahan. Waktu
berada di Lombok, saat sedang berlibur bersama keluarga, Karmaka jatuh
dari tempat tidur saat bangun pagi-pagi karena ingin buru-buru ke
bandara. Tulang pahanya retak. Sakitnya bukan main. Karmaka tidak bisa
berjalan. Pagi itu terpaksa dia dipapah sambil berjalan mengenakan kruk.
Setiba
di Bandung, Karmaka ditangani dokter dan diharuskan istirahat di tempat
tidur selama tiga bulan. Dia tidak boleh bergerak ke mana-mana. Itu
tidak bisa diterima oleh Karmaka yang sangat aktif dan mobile itu. Maka,
dia datang ke ahli akupunktur, dr. Sim Kie Ie.
Dalam
pengobatannya, dr. Sim Kie Ie selalu menggunakan akupunktur dan obat
gosok. Yakni, arak yang digosokkan setiap hari ke bagian pahanya. Selama
pengobatan tersebut, Karmaka masih tetap masuk kantor, meski harus
menggunakan kruk.
Minggu kedua dia mencoba melepas
salah satu kruknya. Ternyata bisa. Minggu ketiga yang satu lagi dia
lepas. Juga bisa. Maka, dalam tiga minggu Karmaka sudah kembali bisa
berjalan normal. Tidak harus tiga bulan berbaring di tempat tidur
seperti yang diperkirakan semula. Kembali itu membuktikan bahwa kemauan
(mind power) sangat penting dan bisa meningkatkan hasil secara luar
biasa.
***
Usaha melawan sisa-sisa
kankernya terus dilakukan. Tapi, upaya itu juga mengakibatkan
bagian-bagian lain organnya terganggu. Pada suatu pagi pada 2003, ketika
Karmaka dalam perjalanan ke kantor NISP, tiba-tiba dia tidak bisa
bernapas. Karmaka pingsan. Sama sekali tidak sadar.
Dia
langsung dilarikan ke RS Boromeus dalam keadaan tidak sadar. Bahkan,
sampai empat hari kemudian Karmaka belum siuman. Dari alat-alat monitor
diketahui saraf otaknya sudah menunjukkan angka nol. Demikian juga
jantungnya, sudah hampir-hampir tidak berfungsi. Keluarga panik. Harapan
sudah amat tipis.
Namun, pihak keluarga belum mau
menyerah. Dengan pesawat carteran, Karmaka diterbangkan ke Mount
Elizabeth, Singapura. Di sana dilakukan pertolongan darurat. Namun
sia-sia. Akhirnya Karmaka hanya dimasukkan ICU untuk dimonitor setiap
hari. Namun, hasil monitor itu tetap menunjukkan tidak ada perubahan.
Karmaka masih koma dan tidak ada tanda-tanda yang bisa memberikan
harapan.
Setelah seminggu kemudian keadaan Karmaka
tetap koma, keluarga pun sudah siap dengan kenyataan terburuk. Maka,
persiapan untuk menyambut kematian Karmaka mulai dilakukan. Foto Karmaka
yang paling ganteng sudah disiapkan. Foto tersebut juga sudah diminta
dikirim ke Singapura. Foto itulah yang akan dipasang di atas peti
jenazahnya, kelak, kalau mayatnya dibawa pulang ke Bandung.
Pada
hari ke-9, seorang perawat sedang menengok Karmaka yang masih koma itu.
Tiba-tiba, dia melihat jari-jari tangan kanan Karmaka bergerak-gerak.
Lalu, perawat tersebut berlari-lari sambil mengatakan kepada temannya
bahwa pasien itu masih hidup!
Dokter dan perawat lain
mendatangi Karmaka. Lalu memberikan pertolongan pernapasan dan detak
jantung. Terjadilah apa yang mestinya tidak terjadi: Karmaka siuman dan
sadar kembali. Karmaka hidup lagi. Keluarganya yang sudah pasrah pun
merasa amat bahagia.
Karmaka mendengarkan cerita apa
saja yang dialaminya selama ’’mati” hampir dua minggu lamanya. Karmaka
juga merasa bahagia. Karmaka memang selalu menyatakan semangat dan
keyakinan diri yang tinggi sering membuat hidupnya sungguh-sungguh
hidup. Dan kebaikan semua karyawannya juga mendorong hidupnya menjadi
lebih hidup. Lebih-lebih lagi cinta kasih sayang dari istri, anak-anak
dan menantu-menantu, serta cucu-cucunya yang sangat membangkitkan
semangat hidup! (*)
No comments:
Post a Comment