Tuesday, March 3, 2009

Gaya Para Pemimpin Krisis

Selasa, 03 Maret 2009
Gaya Para Pemimpin Krisis
Obama Cium Ibu, Wen Chatting dengan Rakyat

Di masa krisis berat seperti ini, para pemimpin dunia kelihatannya melakukan komunikasi langsung dengan rakyatnya melebihi dari yang sudah-sudah. Presiden Obama dan Perdana Menteri Wen Jiabao dua contoh yang amat menarik.

Ketika Senat Amerika Serikat memperdebatkan setuju atau tidak atas langkah-langkah presiden baru itu, Obama berdialog langsung dengan rakyat di beberapa kota yang paling terkena krisis. Kemarin lusa, pemimpin dari negara komunis yang biasanya sangat tertutup pun, chatting langsung dengan jutaan netter-nya selama dua jam lebih.

Ketika para wakil rakyat kelihatan keberatan untuk menyetujui usaha mengatasi krisis, Obama seakan membuat sidang tandingan. Meski sudah menjadi presiden, pidato Obama saat itu persis ketika masih jadi calon presiden: santai sekali seperti tidak ada beban. Bahkan, di sela-sela pidato, sesekali dia mengambil minum sendiri. Bukan dari gelas yang sudah tersedia di atas podium, tapi dari botol yang dia taruh di lantai dekat podium. Seorang presiden AS melakukan itu.

Tanpa moderator dia juga langsung melakukan tanya jawab dengan yang hadir di gedung itu. Ketika ada seorang wanita yang mengeluhkan nasibnya di saat krisis ini, dia datangi wanita itu. Dia cium, dia bisikkan kata-kata yang memberi harapan. Sama sekali tidak menggambarkan prosedur, tata cara, dan security seorang presiden.

Cara demikian dia perlukan karena dia harus bersaing langsung dengan wakil rakyat. Sidang di senat (wakil rakyat) yang menegangkan itu disiarkan langsung oleh jaringan TV. Dialog Obama dengan rakyat juga disiarkan langsung oleh TV. Stasiun TV pun kesulitan mau memilih menyiarkan yang mana: dua-duanya menarik. Maka banyak stasiun TV yang membagi dua layarnya: sebelah kiri siaran langsung sidang wakil rakyat, sebelah kanan siaran langsung “sidang” Obama dengan rakyat. Seakan-akan Obama ingin menunjukkan siapa yang benar-benar mewakili hati nurani rakyat: dia atau wakil rakyat. Pemirsa pun bisa membandingkan secara langsung mana yang lebih memenuhi harapan rakyat: wakil mereka atau Obama.

Yang menarik, di gedung senat itu juga bisa diikuti siaran langsung apa saja yang dilakukan Obama di depan rakyatnya. Sebaliknya, informasi apa saja yang sedang dibicarakan di gedung senat juga bisa diikuti para staf Obama di gedung pertemuan di Florida itu.

Ketika Obama berjalan menjauhi podium untuk mendekat ke penanya yang letaknya jauh di tribun kiri, seseorang naik panggung dan meletakkan selembar kertas di atas podium. Saya sudah menyangka informasi apa yang diinterupsikan ke podium itu. Tapi, Obama tidak kelihatan terlalu peduli, atau tidak kelihatan terlalu ingin mengetahui informasi apa yang begitu penting.

Setelah kembali ke podium, Obama juga tidak langsung membaca isi kertas itu. Baru beberapa saat kemudian, dia mengambil kertas tersebut dan mengumumkan isinya kepada yang hadir di situ: Senat telah memberikan persetujuannya. Memang, penonton TV sudah tahu bahwa di layar sebelah kiri telah disiarkan bahwa Senat telah selesai berdebat dan menyetujui rencana Obama meski dengan hanya selisih satu suara.

Di masa krisis, terobosan komunikasi seperti itu sangat diperlukan. Dan, Obama memiliki kemampuan dan keterbukaan yang luar biasa. Inilah yang juga saya harapkan di masa kepresidenan Indonesia lima tahun ke depan. Tidak perlu seorang presiden mendapat dukungan mayoritas di DPR. Jangan takut dijegal oleh DPR. Sepanjang dia memang dipilih oleh rakyat dan kemenangannya cukup signifikan, mengapa harus takut pada DPR.

Kalau saja sampai terjadi DPR menghambat program presiden, cara-cara seperti yang dilakukan Obama bisa ditiru. Rakyat akan ikut menentukan mana yang lebih memenuhi harapan rakyat: Presiden atau wakil rakyat. Dengan demikian, akan terjadi juga proses pendewasaan DPR. Termasuk dalam proses ini adalah dikuranginya peran fraksi, sehingga anggota DPR sedikit lebih terbebas dari belenggu fraksi.

Lain dengan yang dilakukan Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao. Semestinya Wen memerintah dengan tangan besi. Apalagi, di zaman krisis seperti ini. Toh, Wen terus berdialog langsung dengan rakyat. Dia sangat rajin turun ke daerah-daerah yang paling menderita. Bahkan, dua hari lalu dia chatting dengan pengguna internet. Sebuah dialog langsung yang mestinya hanya bisa dilakukan oleh negara liberal.

Di Tiongkok pengguna internet memang luar biasa besarnya: 300 juta. Penguasa tahu kekuatan komunikasi yang terkandung di dalamnya. Maka sangat tepat kalau Wen memanfaatkannya. Kenapa Wen melakukan itu?

Dalam masa krisis, peran pemimpin memang sangat menentukan. Kalau dia terus bicara mengenai kesulitan-kesulitan krisis yang harus dihadapi, bisa-bisa rakyatnya akan takut, lemas, dan kehilangan semangat. Yang lebih membahayakan lagi kalau rakyatnya kehilangan sikap optimistis dan kehilangan kepercayaan diri.

Sebaliknya, kalau pemimpin terus menutupi kesulitan itu dan hanya memompa semangat melalui pidato, bisa-bisa rakyat terjerumus. Maka di masa seperti ini pemimpin memang harus pandai-pandai membuat keseimbangan antara menunjukkan realitas yang sulit dan memberikan optimisme melalui langkah konkret.

“Terus terang, baru sekali ini saya chatting di internet. Sesuatu yang pertama selalu saja membuat grogi,” ujar Wen dengan nada gurau, tapi sangat mengena di hati rakyat biasa. “Baik sekali menggunakan cara ini untuk tukar pikiran secara langsung dengan rakyat,” tambahnya.

“Rakyat telah memberi saya kekuasaan. Saya tidak tahu bagaimana membalasnya yang terbaik. Karena itu, saya habis-habisan melayani rakyat,” katanya menjawab pertanyaan para netter.

Ada 30 pertanyaan yang sempat dikomentari oleh Wen Jiabao di situ. Mulai yang berat-berat sampai yang ringan-ringan dan yang sangat pribadi. Misalnya: Berapa hari dalam setahun berada di rumah? Berapa gaji? Kalau almarhum Perdana Menteri Zhu Enlai terkenal sebagai peminum, berapa banyak Anda mampu minum (alkohol)? Dalam waktu senggang apakah Anda chatting di internet atau main playgame? Berapa jam tidur sehari? Sampai ke pertanyaan serius: apakah Anda merasa harga rumah di perkotaan masih terlalu tinggi?

Jawaban-jawaban Wen, terus bermain di antara menceritakan realitas yang sulit-sulit dan harapan-harapan yang optimistis. Misalnya, kata-katanya yang lucu “sukses tidaknya mendorong orang untuk belanja itu bukan bagaimana pemerintah mengimbau orang agar belanja, tapi yang lebih penting adalah ada atau tidak ada uang di saku mereka.”

Karena itu, pemerintah menganggarkan dana sampai 500 miliar dolar dalam empat tahun ini. Hasilnya pun sudah bisa dia ceritakan. “Sepuluh hari pertama Februari, penggunaan listrik sudah naik 13,2 persen,” katanya. Dan, kalau dilihat sepuluh hari kedua, kenaikannya sudah 15 persen. Tingkat konsumsi juga sudah mulai naik. “Semua data ini akan terus kita ikuti dengan cermat. Kalau memang masih diperlukan, pemerintah akan menggenjot lagi,” katanya.

Jawaban lain bentuknya imbauan. Misalnya, para pengusaha dan bankir harus punya jiwa sosial. Demikian juga para dokter harus memberikan pelayanan terbaik kepada orang yang lagi susah. “Kalau para dokter mengeluh, berikan keluhan itu kepada kami. Jangan sampai keluhan itu dilampiaskan dalam bentuk pelayanan yang kurang baik kepada pasien,” katanya.

Wen ingin sekali membangun rasa percaya diri yang kuat bahwa Tiongkok mampu mengatasi krisis ini. “Percaya diri lebih berharga daripada emas atau uang,” katanya. Membangun percaya diri juga bagian penting dari mengatasi krisis. (*)

No comments:

Post a Comment