Gaya Para Pemimpin Krisis
Obama Cium Ibu, Wen Chatting dengan Rakyat
Di masa krisis berat seperti ini, para pemimpin dunia kelihatannya
melakukan komunikasi langsung dengan rakyatnya melebihi dari yang
sudah-sudah. Presiden Obama dan Perdana Menteri Wen Jiabao dua contoh
yang amat menarik.
Ketika Senat Amerika Serikat memperdebatkan setuju atau tidak atas
langkah-langkah presiden baru itu, Obama berdialog langsung dengan
rakyat di beberapa kota yang paling terkena krisis. Kemarin lusa,
pemimpin dari negara komunis yang biasanya sangat tertutup pun, chatting
langsung dengan jutaan netter-nya selama dua jam lebih.
Ketika para wakil rakyat kelihatan keberatan untuk menyetujui usaha
mengatasi krisis, Obama seakan membuat sidang tandingan. Meski sudah
menjadi presiden, pidato Obama saat itu persis ketika masih jadi calon
presiden: santai sekali seperti tidak ada beban. Bahkan, di sela-sela
pidato, sesekali dia mengambil minum sendiri. Bukan dari gelas yang
sudah tersedia di atas podium, tapi dari botol yang dia taruh di lantai
dekat podium. Seorang presiden AS melakukan itu.
Tanpa moderator dia juga langsung melakukan tanya jawab dengan yang
hadir di gedung itu. Ketika ada seorang wanita yang mengeluhkan nasibnya
di saat krisis ini, dia datangi wanita itu. Dia cium, dia bisikkan
kata-kata yang memberi harapan. Sama sekali tidak menggambarkan
prosedur, tata cara, dan security seorang presiden.
Cara demikian dia perlukan karena dia harus bersaing langsung dengan
wakil rakyat. Sidang di senat (wakil rakyat) yang menegangkan itu
disiarkan langsung oleh jaringan TV. Dialog Obama dengan rakyat juga
disiarkan langsung oleh TV. Stasiun TV pun kesulitan mau memilih
menyiarkan yang mana: dua-duanya menarik. Maka banyak stasiun TV yang
membagi dua layarnya: sebelah kiri siaran langsung sidang wakil rakyat,
sebelah kanan siaran langsung “sidang” Obama dengan rakyat. Seakan-akan
Obama ingin menunjukkan siapa yang benar-benar mewakili hati nurani
rakyat: dia atau wakil rakyat. Pemirsa pun bisa membandingkan secara
langsung mana yang lebih memenuhi harapan rakyat: wakil mereka atau
Obama.
Yang menarik, di gedung senat itu juga bisa diikuti siaran langsung
apa saja yang dilakukan Obama di depan rakyatnya. Sebaliknya, informasi
apa saja yang sedang dibicarakan di gedung senat juga bisa diikuti para
staf Obama di gedung pertemuan di Florida itu.
Ketika Obama berjalan menjauhi podium untuk mendekat ke penanya yang
letaknya jauh di tribun kiri, seseorang naik panggung dan meletakkan
selembar kertas di atas podium. Saya sudah menyangka informasi apa yang
diinterupsikan ke podium itu. Tapi, Obama tidak kelihatan terlalu
peduli, atau tidak kelihatan terlalu ingin mengetahui informasi apa yang
begitu penting.
Setelah kembali ke podium, Obama juga tidak langsung membaca isi
kertas itu. Baru beberapa saat kemudian, dia mengambil kertas tersebut
dan mengumumkan isinya kepada yang hadir di situ: Senat telah memberikan
persetujuannya. Memang, penonton TV sudah tahu bahwa di layar sebelah
kiri telah disiarkan bahwa Senat telah selesai berdebat dan menyetujui
rencana Obama meski dengan hanya selisih satu suara.
Di masa krisis, terobosan komunikasi seperti itu sangat diperlukan.
Dan, Obama memiliki kemampuan dan keterbukaan yang luar biasa. Inilah
yang juga saya harapkan di masa kepresidenan Indonesia lima tahun ke
depan. Tidak perlu seorang presiden mendapat dukungan mayoritas di DPR.
Jangan takut dijegal oleh DPR. Sepanjang dia memang dipilih oleh rakyat
dan kemenangannya cukup signifikan, mengapa harus takut pada DPR.
Kalau saja sampai terjadi DPR menghambat program presiden, cara-cara
seperti yang dilakukan Obama bisa ditiru. Rakyat akan ikut menentukan
mana yang lebih memenuhi harapan rakyat: Presiden atau wakil rakyat.
Dengan demikian, akan terjadi juga proses pendewasaan DPR. Termasuk
dalam proses ini adalah dikuranginya peran fraksi, sehingga anggota DPR
sedikit lebih terbebas dari belenggu fraksi.
Lain dengan yang dilakukan Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao.
Semestinya Wen memerintah dengan tangan besi. Apalagi, di zaman krisis
seperti ini. Toh, Wen terus berdialog langsung dengan rakyat. Dia sangat
rajin turun ke daerah-daerah yang paling menderita. Bahkan, dua hari
lalu dia chatting dengan pengguna internet. Sebuah dialog langsung yang
mestinya hanya bisa dilakukan oleh negara liberal.
Di Tiongkok pengguna internet memang luar biasa besarnya: 300 juta.
Penguasa tahu kekuatan komunikasi yang terkandung di dalamnya. Maka
sangat tepat kalau Wen memanfaatkannya. Kenapa Wen melakukan itu?
Dalam masa krisis, peran pemimpin memang sangat menentukan. Kalau dia
terus bicara mengenai kesulitan-kesulitan krisis yang harus dihadapi,
bisa-bisa rakyatnya akan takut, lemas, dan kehilangan semangat. Yang
lebih membahayakan lagi kalau rakyatnya kehilangan sikap optimistis dan
kehilangan kepercayaan diri.
Sebaliknya, kalau pemimpin terus menutupi kesulitan itu dan hanya
memompa semangat melalui pidato, bisa-bisa rakyat terjerumus. Maka di
masa seperti ini pemimpin memang harus pandai-pandai membuat
keseimbangan antara menunjukkan realitas yang sulit dan memberikan
optimisme melalui langkah konkret.
“Terus terang, baru sekali ini saya chatting di internet. Sesuatu
yang pertama selalu saja membuat grogi,” ujar Wen dengan nada gurau,
tapi sangat mengena di hati rakyat biasa. “Baik sekali menggunakan cara
ini untuk tukar pikiran secara langsung dengan rakyat,” tambahnya.
“Rakyat telah memberi saya kekuasaan. Saya tidak tahu bagaimana
membalasnya yang terbaik. Karena itu, saya habis-habisan melayani
rakyat,” katanya menjawab pertanyaan para netter.
Ada 30 pertanyaan yang sempat dikomentari oleh Wen Jiabao di situ.
Mulai yang berat-berat sampai yang ringan-ringan dan yang sangat
pribadi. Misalnya: Berapa hari dalam setahun berada di rumah? Berapa
gaji? Kalau almarhum Perdana Menteri Zhu Enlai terkenal sebagai peminum,
berapa banyak Anda mampu minum (alkohol)? Dalam waktu senggang apakah
Anda chatting di internet atau main playgame? Berapa jam tidur sehari?
Sampai ke pertanyaan serius: apakah Anda merasa harga rumah di perkotaan
masih terlalu tinggi?
Jawaban-jawaban Wen, terus bermain di antara menceritakan realitas
yang sulit-sulit dan harapan-harapan yang optimistis. Misalnya,
kata-katanya yang lucu “sukses tidaknya mendorong orang untuk belanja
itu bukan bagaimana pemerintah mengimbau orang agar belanja, tapi yang
lebih penting adalah ada atau tidak ada uang di saku mereka.”
Karena itu, pemerintah menganggarkan dana sampai 500 miliar dolar
dalam empat tahun ini. Hasilnya pun sudah bisa dia ceritakan. “Sepuluh
hari pertama Februari, penggunaan listrik sudah naik 13,2 persen,”
katanya. Dan, kalau dilihat sepuluh hari kedua, kenaikannya sudah 15
persen. Tingkat konsumsi juga sudah mulai naik. “Semua data ini akan
terus kita ikuti dengan cermat. Kalau memang masih diperlukan,
pemerintah akan menggenjot lagi,” katanya.
Jawaban lain bentuknya imbauan. Misalnya, para pengusaha dan bankir
harus punya jiwa sosial. Demikian juga para dokter harus memberikan
pelayanan terbaik kepada orang yang lagi susah. “Kalau para dokter
mengeluh, berikan keluhan itu kepada kami. Jangan sampai keluhan itu
dilampiaskan dalam bentuk pelayanan yang kurang baik kepada pasien,”
katanya.
Wen ingin sekali membangun rasa percaya diri yang kuat bahwa Tiongkok
mampu mengatasi krisis ini. “Percaya diri lebih berharga daripada emas
atau uang,” katanya. Membangun percaya diri juga bagian penting dari
mengatasi krisis. (*)
No comments:
Post a Comment