Wednesday, March 4, 2009

Satu Kecamatan Pasok Sepertiga Alat Listrik Nasional

Rabu, 04 Maret 2009
Satu Kecamatan Pasok Sepertiga Alat Listrik Nasional
Sistem Keuangan Bawah Tanah yang Khas Wenzhou (3-Habis)

BERBEDA dengan di wilayah Dongguan (antara Guangzhou dan Shenzhen), di Wenzhou dan sekitarnya pertumbuhan usaha kecil dan menengah sangat khas: tiap kecamatan seperti punya jenis industri sendiri. Itu bukan karena ditentukan pemerintah, tapi terjadi secara mekanisme pasar oleh inisiatif lokal.

Industri apa pun yang menyangkut orang hidup di dunia ada di wilayah ini. Mulai peniti, karet gelang, bola bekel, hingga pemotong baja. Begitu rumit dan kompleksnya, sehingga para peneliti mengalami kesulitan mengklasifikasikannya. Misalnya, semua alat sepeda motor dan mobil dulu dimasukkan kategori industri metal. Kini banyak onderdil yang sudah terbuat dari plastik. Apa masih harus masuk kelas industri logam?

Kesulitan ekonomi dan kerasnya persaingan membuat mereka sangat kreatif –di samping tertekan. Sering sekali terjadi perubahan jenis industri karena ingin menghindari persaingan yang mematikan. Tentu banyak juga yang ’’kalah’’. Itu terjadi karena hampir semua industri tersebut tidak ada yang berkaitan dengan bahan baku sumber daya alam lokal.

Misalnya, kecamatan yang bergunung-gunung (semua wilayah ini pegunungan) seperti Ruao yang berpenduduk 31 ribu orang. Semua berusaha di bidang pembuatan kapsul. Sampai-sampai 60 persen kebutuhan kapsul nasional (untuk diisi obat bagi penduduk 1,3 miliar) cukup dari satu kecamatan ini. Di Kecamatan Long Gang, semua usaha percetakan dan penjilidan. Kecamatan Furong memproduksi alat-alat potong besi. Kecamatan Daji membuat molding. Semua orang Longshui memproduksi kompresor. Penduduk Liushi memproduksi barang apa pun yang ada hubungannya dengan listrik. Bayangkan, sepertiga kebutuhan alat listrik nasional cukup dari satu daerah saja. Sampai-sampai kota kecil itu digelari ’’kecamatan voltase rendah’’.

Masih ada yang memproduksi dasi, celana dalam, jas wol, sandal jepit, hingga alat suntik. Kalau mau melihat apa saja yang diproduksi di daerah ini tidak perlu keliling ke semua wilayah. Cukup ke mal industri kecil di Yiwu yang besarnya melebihi semua mal di Surabaya dijadikan satu. Teman Jawa Pos yang pernah ke sana tidak mampu mengelilingi sepertiganya. Padahal, sampai sepatunya sudah terepes!

Ketika akhirnya saya juga ke Yiwu (sebelum krisis), saya hanya mampu menjalani kurang dari 10 persennya. Saya bertemu begitu banyak orang asing yang kulakan di situ: Pakistan, Rusia, Yaman, Mesir, dan Amerika. Saya perlukan untuk ngobrol dengan beberapa orang di antara mereka.

’’Saya dulu sering ke Bandung. Untuk kulakan jeans. Tapi, sejak krisis 1997 saya tidak pernah ke sana lagi,’’ ujar seorang pedagang dari Yaman. ’’Tekstil Indonesia kian lama kian mahal,’’ tambahnya.

Saya lantas menceritakan bahwa keadaan Indonesia kini sudah sangat berubah. Sudah lebih stabil dan aman. Rupiah juga sudah agak stabil. Lalu, saya tanyakan apakah dengan menguatnya renminbi yang luar biasa ini kulakan di Yiwu masih murah?

’’Memang, renminbi sekarang sangat kuat. Untung kami jadi mengecil. Kapan-kapan saya akan ke Bandung lagi,’’ katanya.

Saya tidak membayangkan bahwa kota seperti Bandung harus punya pesaing berat sejauh Yiwu. Tapi, itulah persaingan yang harus terjadi. Kita pun bisa melihat untuk bisa memenangkan persaingan itu begitu sulitnya usaha yang harus dilakukan. Seberat apa pun dijalani di Wenzhou dan sekitarnya: mulai deg-degan menghadapi penebusan rumah gadai hingga harus stres memikirkan tingginya bunga rentenir yang berjalan setiap hari.

Persaingan yang hebat dan keinginan maju yang kuat di tengah-tengah sulitnya modal membuka sistem keuangan bawah tanah di Wenzhou sangat subur. Usaha kecil tidak selamanya bisa memenuhi syarat untuk mencari dana ke bank maupun ke lembaga yang baru diujicobakan itu. Yang juga membuat sistem keuangan bawah tanah di Wenzhou sangat kuat adalah bahwa 90 persen uang yang didapat digunakan untuk usaha bisnis. Menurut hasil penelitian, hanya 10 persen yang digunakan untuk keperluan lain.

Kita memang belum punya data berapa besar peredaran uang rentenir di Indonesia, atau di satu tempat di Indonesia. Tapi, dari berbagai kasus yang pernah muncul diketahui bahwa banyak sekali orang meminjam uang kepada rentenir bukan untuk usaha bisnis.

Itulah perbedaan yang menonjol. Di Wenzhou keberadaan rentenir tidak bernada negatif, tidak dikesankan sebagai lintah darat, dan tidak dihubungkan dengan neraka. Itu bisnis murni. Sepanjang ada peluang bisnis yang bisa memberikan hasil melebihi bunga ’’bawah tanah’’ selama itu pula sistem tersebut akan tetap diperlukan keberadaannya.

Tentu krisis dunia sekarang akan menentukan juga jalan hidup wilayah Wenzhou dan sekitarnya. Maju atau mati. Tahun depan, ketika krisis sudah mencapai tahap konsolidasi, pasti menarik untuk datang lagi ke wilayah ini.(*)

No comments:

Post a Comment