Satu Kecamatan Pasok Sepertiga Alat Listrik Nasional
Sistem Keuangan Bawah Tanah yang Khas Wenzhou (3-Habis)
BERBEDA dengan di wilayah Dongguan (antara Guangzhou dan Shenzhen),
di Wenzhou dan sekitarnya pertumbuhan usaha kecil dan menengah sangat
khas: tiap kecamatan seperti punya jenis industri sendiri. Itu bukan
karena ditentukan pemerintah, tapi terjadi secara mekanisme pasar oleh
inisiatif lokal.
Industri apa pun yang menyangkut orang hidup di dunia ada di wilayah
ini. Mulai peniti, karet gelang, bola bekel, hingga pemotong baja.
Begitu rumit dan kompleksnya, sehingga para peneliti mengalami kesulitan
mengklasifikasikannya. Misalnya, semua alat sepeda motor dan mobil dulu
dimasukkan kategori industri metal. Kini banyak onderdil yang sudah
terbuat dari plastik. Apa masih harus masuk kelas industri logam?
Kesulitan ekonomi dan kerasnya persaingan membuat mereka sangat
kreatif –di samping tertekan. Sering sekali terjadi perubahan jenis
industri karena ingin menghindari persaingan yang mematikan. Tentu
banyak juga yang ’’kalah’’. Itu terjadi karena hampir semua industri
tersebut tidak ada yang berkaitan dengan bahan baku sumber daya alam
lokal.
Misalnya, kecamatan yang bergunung-gunung (semua wilayah ini
pegunungan) seperti Ruao yang berpenduduk 31 ribu orang. Semua berusaha
di bidang pembuatan kapsul. Sampai-sampai 60 persen kebutuhan kapsul
nasional (untuk diisi obat bagi penduduk 1,3 miliar) cukup dari satu
kecamatan ini. Di Kecamatan Long Gang, semua usaha percetakan dan
penjilidan. Kecamatan Furong memproduksi alat-alat potong besi.
Kecamatan Daji membuat molding. Semua orang Longshui memproduksi
kompresor. Penduduk Liushi memproduksi barang apa pun yang ada
hubungannya dengan listrik. Bayangkan, sepertiga kebutuhan alat listrik
nasional cukup dari satu daerah saja. Sampai-sampai kota kecil itu
digelari ’’kecamatan voltase rendah’’.
Masih ada yang memproduksi dasi, celana dalam, jas wol, sandal jepit,
hingga alat suntik. Kalau mau melihat apa saja yang diproduksi di
daerah ini tidak perlu keliling ke semua wilayah. Cukup ke mal industri
kecil di Yiwu yang besarnya melebihi semua mal di Surabaya dijadikan
satu. Teman Jawa Pos yang pernah ke sana tidak mampu mengelilingi
sepertiganya. Padahal, sampai sepatunya sudah terepes!
Ketika akhirnya saya juga ke Yiwu (sebelum krisis), saya hanya mampu
menjalani kurang dari 10 persennya. Saya bertemu begitu banyak orang
asing yang kulakan di situ: Pakistan, Rusia, Yaman, Mesir, dan Amerika.
Saya perlukan untuk ngobrol dengan beberapa orang di antara mereka.
’’Saya dulu sering ke Bandung. Untuk kulakan jeans. Tapi, sejak
krisis 1997 saya tidak pernah ke sana lagi,’’ ujar seorang pedagang dari
Yaman. ’’Tekstil Indonesia kian lama kian mahal,’’ tambahnya.
Saya lantas menceritakan bahwa keadaan Indonesia kini sudah sangat
berubah. Sudah lebih stabil dan aman. Rupiah juga sudah agak stabil.
Lalu, saya tanyakan apakah dengan menguatnya renminbi yang luar biasa
ini kulakan di Yiwu masih murah?
’’Memang, renminbi sekarang sangat kuat. Untung kami jadi mengecil. Kapan-kapan saya akan ke Bandung lagi,’’ katanya.
Saya tidak membayangkan bahwa kota seperti Bandung harus punya
pesaing berat sejauh Yiwu. Tapi, itulah persaingan yang harus terjadi.
Kita pun bisa melihat untuk bisa memenangkan persaingan itu begitu
sulitnya usaha yang harus dilakukan. Seberat apa pun dijalani di Wenzhou
dan sekitarnya: mulai deg-degan menghadapi penebusan rumah gadai hingga
harus stres memikirkan tingginya bunga rentenir yang berjalan setiap
hari.
Persaingan yang hebat dan keinginan maju yang kuat di tengah-tengah
sulitnya modal membuka sistem keuangan bawah tanah di Wenzhou sangat
subur. Usaha kecil tidak selamanya bisa memenuhi syarat untuk mencari
dana ke bank maupun ke lembaga yang baru diujicobakan itu. Yang juga
membuat sistem keuangan bawah tanah di Wenzhou sangat kuat adalah bahwa
90 persen uang yang didapat digunakan untuk usaha bisnis. Menurut hasil
penelitian, hanya 10 persen yang digunakan untuk keperluan lain.
Kita memang belum punya data berapa besar peredaran uang rentenir di
Indonesia, atau di satu tempat di Indonesia. Tapi, dari berbagai kasus
yang pernah muncul diketahui bahwa banyak sekali orang meminjam uang
kepada rentenir bukan untuk usaha bisnis.
Itulah perbedaan yang menonjol. Di Wenzhou keberadaan rentenir tidak
bernada negatif, tidak dikesankan sebagai lintah darat, dan tidak
dihubungkan dengan neraka. Itu bisnis murni. Sepanjang ada peluang
bisnis yang bisa memberikan hasil melebihi bunga ’’bawah tanah’’ selama
itu pula sistem tersebut akan tetap diperlukan keberadaannya.
Tentu krisis dunia sekarang akan menentukan juga jalan hidup wilayah
Wenzhou dan sekitarnya. Maju atau mati. Tahun depan, ketika krisis sudah
mencapai tahap konsolidasi, pasti menarik untuk datang lagi ke wilayah
ini.(*)
No comments:
Post a Comment