Thursday, March 5, 2009

Lewat APBN, Obama Melawan Status Quo

Kamis, 05 Maret 2009
Lewat APBN, Obama Melawan Status Quo
Gaya Para Pemimpin Krisis

Begitu Barack Obama terpilih sebagai presiden Amerika Serikat, November lalu, harga saham di Wall Street tetap turun. Sejak terpilih sampai pelantikannya harga saham merosot lagi sampai 1.500 poin. Ketika Obama mulai melakukan perubahan yang besar, harga saham anjlok lagi sebanyak 1.500 poin lagi. Selasa kemarin, indeks harga saham New York itu tinggal 6.700-an. Jauh dari puncak kejayaannya sebelum krisis yang pernah mencapai 14.000.

Penurunan yang terus menerus itu tidak saja mulai menggelisahkan, tetapi juga menurunkan rasa percaya diri masyarakat AS. Terutama ketika akibat krisis ini terasa semakin dalam. Padahal, seperti kata-kata Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao, “Percaya diri lebih berharga dari emas atau uang”.

Meski penurunan indeks saham sudah melewati angka 7.000, Obama masih terus percaya diri bahwa program perubahan yang dia janjikan akan tetap dia jalankan. Obama terkesan sama sekali tidak peduli dengan kemerosotan pasar saham itu. Obama masih kelihatan beranggapan bahwa kemerosotan itu –bahkan krisis sekarang ini–  adalah akibat “dosa” pasar saham sendiri.

Sikapnya itulah yang kemudian semakin meneguhkan anggapan di kalangan lawan politiknya, bahwa Obama akan membawa Amerika ke arah sosialisme. Dia dianggap tidak peduli pada bisnis besar yang lagi jatuh. Dia terus melancarkan program untuk menolong rakyat Amerika yang menganggur, berpendapatan rendah, dan yang bisa menciptakan pekerjaan yang banyak.

Begitu kuatnya ’’bau” pembelaan pada kelas bawah itu sampai-sampai lawan politiknya sudah mulai mengubah nama tengah Barack H Obama dengan Barack Hegel Obama. Hegel adalah pendiri sosialisme dunia sebelum ditingkatkan menjadi komunisme oleh Karl Marx. Bahkan singkatan USA sendiri sudah dipelesetkan menjadi USSA (United States Socialist America) untuk memiripkan dengan singkatan USSR (Uni Soviet Socialist Republic). Dan panggilan untuk Obama pun diubah menjadi Kamerad Obama, sebuah panggilan khas negara komunis.

’’Kita baru saja mendengar bagaimana salesman terbaik dunia memasarkan sosialisme,’’ sindir seorang anggota senat setelah Obama memberikan pidato yang mengagumkan untuk mengantarkan APBN Amerika yang baru.

’’Lenin dan Stalin mestinya sangat gembira mendengarkan pidato itu dari dalam kuburnya,’’ tambahnya. Lenin dan Stalin adalah tokoh penting komunis Rusia di masa lalu.

Tapi, Obama kelihatan tidak ambil pusing. Dia yakin mayoritas rakyat tetap  mendukungnya. Apalagi rakyat sudah tahu garis prorakyatnya itu sejak sebelum Pemilu. Dulu, Obama sudah menjelaskannya panjang lebar selama kampanye yang melelahkan itu. Calon dari Partai Republik juga sudah memberi peringatan pada rakyat bahwa Obama itu punya misi ’’membagi-bagi’’ harta orang kaya kepada orang miskin seperti yang dilakukan di negara sosialis. Calon Wakil Presiden Sarah Palin paling terus terang dalam mengecam Obama sebagai sosialis saat itu. Toh rakyat tetap  memilih Obama.

Kecaman-kecaman terhadap Obama itu bisa dimaklumi. Secara naluriah Amerika memang antisosialis. Boleh dikata, belum lahir pun orang Amerika itu sudah antisosialis. Jangankan melaksanakan, melihat sosialisme pun sudah jijik. Bahkan jangankan melihat, mendengar pun sudah antipati. Mungkin mirip dengan kalau mereka mendengar tentang Islam. Ini bisa terlihat bagaimana nama tengah Obama yang ’’Hussein’’ itu pernah ditonjol-tonjolkan dengan maksud memojokkannya karena berbau Islam.

Obama tentu menyadari akan banyaknya reaksi negatif atas perubahan orientasi yang telah dan akan dia lakukan. Karena itu dia juga terus menggalang opini sendiri lewat radio, televisi, dan internet. Ini agar lalu lintas opini tidak hanya dari arah Kongres dan Senat di mana kalangan Partai Republik terus melawannya. Obama sama sekali tidak terlihat ragu-ragu atau mengendorkan misi perubahannya. Dia sudah berjanji melakukan perubahan itu saat kampanye di mana-mana. Dia tidak mau kalau apa yang dia lakukan setelah terpilih tidak sama dengan apa yang telah dia janjikan dalam kampanye. Maka perlawanan dari Kongres dan Senat pun dia hadapi dengan membangun opini langsung kepada rakyat. Khususnya untuk mengegolkan rancangan anggaran belanja negara tahun 2010 yang sangat pro-rakyat.

“Rencana anggaran yang seperti ini memang bisa mengancam pihak status quo yang ada di Washington,” ujar Obama melalui pernyataan radio dan internet. Maksudnya, para politikus lama di pusat kekuasaan tentu tidak suka dengan rancangan APBN yang sedang dia ajukan ke Kongres.

’’Saya tidak akan melakukan sesuatu yang sama saja dengan yang lalu-lalu. Saya tidak mau kalau hanya melalukan langkah-langkah kecil,” kata Obama mengenai RAPBN-nya itu.

Obama memang mewujudkan janji perubahan yang dia lakukan itu ke dalam RAPBN tahun 2010. ABPN adalah cermin dari pelaksanaan program pemerintah. Biarpun janji akan melakukan perubahan, kalau sistem APBN-nya tidak berubah sama saja dengan tidak melakukan perubahan. Atau, kalau toh ada perubahan, hanya akan berwujud perubahan-perubahan kecil. Obama tidak mau itu. Dia rombak sistem APBN agar bisa mencerminkan perubahan yang dia janjikan dalam kampanye.

Dalam RAPBN itu, misalnya, Obama merombak sistem anggaran pendidikan, kesehatan, dan pajak yang lebih tinggi bagi orang yang lebih kaya.

’’Perusahaan asuransi pasti tidak senang melihat susunan APBN ini,’’ ujar Obama.

Bagaimana kalau rancangan anggaran itu ditolak oleh DPR kelak? Di AS, presiden bisa melakukan veto. Inilah bagian yang bisa membuat posisi presiden yang langsung dipilih rakyat itu cukup kuat. Bahkan, DPR di sana tidak ikut campur secara detail mengenai alokasi anggaran dalam APBN. Beda dengan di kita, DPR punya peran yang besar dalam penyusunan detail anggaran. Salah satu akibatnya, orang pun perlu menyogok DPR untuk bisa mendapatkan proyek, sebagaimana terungkap dalam kasus-kasus korupsi di DPR belakangan ini.

Perdebatan RAPBN di Kongres AS hari-hari ini akan sangat menarik. Di sinilah aliran perubahan akan bentrok dengan keinginan untuk status quo. Obama menyadari upaya perubahan itu tidak akan gampang.

“Sistem yang berjalan selama ini adalah sistem yang sudah begitu kuat. Juga sistem di mana berbagai kepentingan sudah jalin-menjalin begitu dalam, dan sudah mengakar begitu lama,” ujar Obama.

“Tapi saya bekerja bukan untuk orang-orang seperti itu. Saya bekerja untuk seluruh rakyat Amerika,” tegasnya.

Kita benar-benar akan melihat contoh sebuah perubahan yang dilakukan di negara yang jadi penguasa dunia. Mungkin berhasil, mungkin tidak. Dua kemungkinan itu sama-sama mendebarkan karena terjadi di masa yang amat kritis, sulit dan justru di saat pasar modal New York tinggal bernilai kurang dari separonya.

Akankah sosialisme dan kapitalisme sama-sama akan terkubur untuk kemudian lahir -isme yang baru….entah apa namanya –kalau bukan Obamaisme? Masih terlalu dini untuk menyimpulkan karena babak pertunjukan itu belum sampai tahap goro-goro sekali pun.(*)

No comments:

Post a Comment