Lewat APBN, Obama Melawan Status Quo
Gaya Para Pemimpin Krisis
Begitu Barack Obama terpilih sebagai presiden Amerika Serikat,
November lalu, harga saham di Wall Street tetap turun. Sejak terpilih
sampai pelantikannya harga saham merosot lagi sampai 1.500 poin. Ketika
Obama mulai melakukan perubahan yang besar, harga saham anjlok lagi
sebanyak 1.500 poin lagi. Selasa kemarin, indeks harga saham New York
itu tinggal 6.700-an. Jauh dari puncak kejayaannya sebelum krisis yang
pernah mencapai 14.000.
Penurunan yang terus menerus itu tidak saja mulai menggelisahkan,
tetapi juga menurunkan rasa percaya diri masyarakat AS. Terutama ketika
akibat krisis ini terasa semakin dalam. Padahal, seperti kata-kata
Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao, “Percaya diri lebih berharga dari
emas atau uang”.
Meski penurunan indeks saham sudah melewati angka 7.000, Obama masih
terus percaya diri bahwa program perubahan yang dia janjikan akan tetap
dia jalankan. Obama terkesan sama sekali tidak peduli dengan kemerosotan
pasar saham itu. Obama masih kelihatan beranggapan bahwa kemerosotan
itu –bahkan krisis sekarang ini– adalah akibat “dosa” pasar saham
sendiri.
Sikapnya itulah yang kemudian semakin meneguhkan anggapan di kalangan
lawan politiknya, bahwa Obama akan membawa Amerika ke arah sosialisme.
Dia dianggap tidak peduli pada bisnis besar yang lagi jatuh. Dia terus
melancarkan program untuk menolong rakyat Amerika yang menganggur,
berpendapatan rendah, dan yang bisa menciptakan pekerjaan yang banyak.
Begitu kuatnya ’’bau” pembelaan pada kelas bawah itu sampai-sampai
lawan politiknya sudah mulai mengubah nama tengah Barack H Obama dengan
Barack Hegel Obama. Hegel adalah pendiri sosialisme dunia sebelum
ditingkatkan menjadi komunisme oleh Karl Marx. Bahkan singkatan USA
sendiri sudah dipelesetkan menjadi USSA (United States Socialist
America) untuk memiripkan dengan singkatan USSR (Uni Soviet Socialist
Republic). Dan panggilan untuk Obama pun diubah menjadi Kamerad Obama,
sebuah panggilan khas negara komunis.
’’Kita baru saja mendengar bagaimana salesman terbaik dunia
memasarkan sosialisme,’’ sindir seorang anggota senat setelah Obama
memberikan pidato yang mengagumkan untuk mengantarkan APBN Amerika yang
baru.
’’Lenin dan Stalin mestinya sangat gembira mendengarkan pidato itu
dari dalam kuburnya,’’ tambahnya. Lenin dan Stalin adalah tokoh penting
komunis Rusia di masa lalu.
Tapi, Obama kelihatan tidak ambil pusing. Dia yakin mayoritas rakyat
tetap mendukungnya. Apalagi rakyat sudah tahu garis prorakyatnya itu
sejak sebelum Pemilu. Dulu, Obama sudah menjelaskannya panjang lebar
selama kampanye yang melelahkan itu. Calon dari Partai Republik juga
sudah memberi peringatan pada rakyat bahwa Obama itu punya misi
’’membagi-bagi’’ harta orang kaya kepada orang miskin seperti yang
dilakukan di negara sosialis. Calon Wakil Presiden Sarah Palin paling
terus terang dalam mengecam Obama sebagai sosialis saat itu. Toh rakyat
tetap memilih Obama.
Kecaman-kecaman terhadap Obama itu bisa dimaklumi. Secara naluriah
Amerika memang antisosialis. Boleh dikata, belum lahir pun orang Amerika
itu sudah antisosialis. Jangankan melaksanakan, melihat sosialisme pun
sudah jijik. Bahkan jangankan melihat, mendengar pun sudah antipati.
Mungkin mirip dengan kalau mereka mendengar tentang Islam. Ini bisa
terlihat bagaimana nama tengah Obama yang ’’Hussein’’ itu pernah
ditonjol-tonjolkan dengan maksud memojokkannya karena berbau Islam.
Obama tentu menyadari akan banyaknya reaksi negatif atas perubahan
orientasi yang telah dan akan dia lakukan. Karena itu dia juga terus
menggalang opini sendiri lewat radio, televisi, dan internet. Ini agar
lalu lintas opini tidak hanya dari arah Kongres dan Senat di mana
kalangan Partai Republik terus melawannya. Obama sama sekali tidak
terlihat ragu-ragu atau mengendorkan misi perubahannya. Dia sudah
berjanji melakukan perubahan itu saat kampanye di mana-mana. Dia tidak
mau kalau apa yang dia lakukan setelah terpilih tidak sama dengan apa
yang telah dia janjikan dalam kampanye. Maka perlawanan dari Kongres dan
Senat pun dia hadapi dengan membangun opini langsung kepada rakyat.
Khususnya untuk mengegolkan rancangan anggaran belanja negara tahun 2010
yang sangat pro-rakyat.
“Rencana anggaran yang seperti ini memang bisa mengancam pihak status
quo yang ada di Washington,” ujar Obama melalui pernyataan radio dan
internet. Maksudnya, para politikus lama di pusat kekuasaan tentu tidak
suka dengan rancangan APBN yang sedang dia ajukan ke Kongres.
’’Saya tidak akan melakukan sesuatu yang sama saja dengan yang
lalu-lalu. Saya tidak mau kalau hanya melalukan langkah-langkah kecil,”
kata Obama mengenai RAPBN-nya itu.
Obama memang mewujudkan janji perubahan yang dia lakukan itu ke dalam
RAPBN tahun 2010. ABPN adalah cermin dari pelaksanaan program
pemerintah. Biarpun janji akan melakukan perubahan, kalau sistem
APBN-nya tidak berubah sama saja dengan tidak melakukan perubahan. Atau,
kalau toh ada perubahan, hanya akan berwujud perubahan-perubahan kecil.
Obama tidak mau itu. Dia rombak sistem APBN agar bisa mencerminkan
perubahan yang dia janjikan dalam kampanye.
Dalam RAPBN itu, misalnya, Obama merombak sistem anggaran pendidikan,
kesehatan, dan pajak yang lebih tinggi bagi orang yang lebih kaya.
’’Perusahaan asuransi pasti tidak senang melihat susunan APBN ini,’’ ujar Obama.
Bagaimana kalau rancangan anggaran itu ditolak oleh DPR kelak? Di AS,
presiden bisa melakukan veto. Inilah bagian yang bisa membuat posisi
presiden yang langsung dipilih rakyat itu cukup kuat. Bahkan, DPR di
sana tidak ikut campur secara detail mengenai alokasi anggaran dalam
APBN. Beda dengan di kita, DPR punya peran yang besar dalam penyusunan
detail anggaran. Salah satu akibatnya, orang pun perlu menyogok DPR
untuk bisa mendapatkan proyek, sebagaimana terungkap dalam kasus-kasus
korupsi di DPR belakangan ini.
Perdebatan RAPBN di Kongres AS hari-hari ini akan sangat menarik. Di
sinilah aliran perubahan akan bentrok dengan keinginan untuk status quo.
Obama menyadari upaya perubahan itu tidak akan gampang.
“Sistem yang berjalan selama ini adalah sistem yang sudah begitu
kuat. Juga sistem di mana berbagai kepentingan sudah jalin-menjalin
begitu dalam, dan sudah mengakar begitu lama,” ujar Obama.
“Tapi saya bekerja bukan untuk orang-orang seperti itu. Saya bekerja untuk seluruh rakyat Amerika,” tegasnya.
Kita benar-benar akan melihat contoh sebuah perubahan yang dilakukan
di negara yang jadi penguasa dunia. Mungkin berhasil, mungkin tidak. Dua
kemungkinan itu sama-sama mendebarkan karena terjadi di masa yang amat
kritis, sulit dan justru di saat pasar modal New York tinggal bernilai
kurang dari separonya.
Akankah sosialisme dan kapitalisme sama-sama akan terkubur untuk
kemudian lahir -isme yang baru….entah apa namanya –kalau bukan
Obamaisme? Masih terlalu dini untuk menyimpulkan karena babak
pertunjukan itu belum sampai tahap goro-goro sekali pun.(*)
No comments:
Post a Comment