Friday, March 13, 2009

Pengalaman Hidup Banker Tervonis Mati Karmaka Surjaudaja (1)

Jumat, 13 Maret 2009 | 03:41 WIB
Pengalaman Hidup Banker "Tervonis Mati" Karmaka Surjaudaja (1)

Kisah hidup Karmaka Surjaudaja, chairman Bank OCBC NIS, memang penuh liku. Lahir dari keluarga miskin asal Fujian, Tiongkok, kini dia memimpin bank dengan aset Rp34 triliun. Maut seperti tak pernah berhenti mengintai kehidupannya.
(FOTO JPNN) BUGAR: Karmaka Surjaudaja dalam talk show di sebuah televisi swasta.
TAMPIL dalam talk show di televisi swasta di Jakarta, Karmaka Surjaudaja yang mengenakan setelan jas warna hitam dipadu dasi keemasan masih tampak gagah pada usia 75 tahun.

Gurat wajahnya menunjukkan dia telah melampaui banyak masa sulit. Mulai pengalaman beberapa kali mau dibunuh orang, percobaan bunuh diri, hingga menjalani operasi transplantasi liver dan ginjal sehingga harus koma beberapa kali.

Sejak 13 tahun lalu, Karmaka bahkan divonis mati oleh dokter. Namun, dia bersyukur Tuhan selalu menyayanginya sehingga setiap cobaan besar bisa dilampaui. Moto hidup Karmaka ’’Tidak Ada yang Tidak Bisa’’ akhirnya menjadi judul buku 279 halaman yang ditulis CEO/Chairman Jawa Pos (grup Radar Lampung) Dahlan Iskan.

Penulisan buku tersebut bermula ketika anak Karmaka, Pramukti Surjaudaja, menghubungi Dahlan yang pada 2007 sukses menjalani transplantasi hati. Lewat Pramukti, sang ayah menitipkan nasihat kepada Dahlan agar tak langsung bekerja keras setelah operasi. Sembari menasihati, Karmaka menceritakan kisah hidupnya yang membuat Dahlan tergerak untuk menulis.

’’Saya merasa bersalah kalau kisah Pak Karmaka ini tidak ditulis. Wong buku tentang pengalaman (ganti hati) saya tulis laris kok,” canda Dahlan yang saat itu duduk di samping Pramukti Surjaudaja.

Karmaka memulai kisahnya dengan bercerita saat dirinya diduga kanker sirosis dan dibawa ke New York, Amerika Serikat. Setelah diperiksa, ternyata dia menderita PBC (primary biliary cirrhosis), penyakit hati yang disebabkan abnormalitas sistem imun tubuh.

Meski bukan kanker, penyakit yang dia derita tidak kalah gawat. Saat itu Prof. Fenton Shaffner yang memeriksa Karmaka mengemukakan penyakit yang dia derita tidak ada obatnya. Penyakit itu biasanya akibat merokok dan minum-minuman alkohol.

’’Padahal, saya tidak merokok dan minum alkohol. Kemungkinan karena saya sering berada dalam ruangan orang yang merokok untuk membicarakan bisnis,” kenang pria yang dipanggil Nyao oleh cucu-cucunya itu.

Setelah berkonsultasi, dokter menyimpulkan penyebab penyakit Karmaka adalah overstres yang berkelanjutan. Sejak muda Karmaka memang dikenal pekerja keras. Pagi dia mengajar sebagai guru, siang menjadi buruh pabrik tekstil, dan malam guru les privat. Aktivitas terakhir membuat dia bertemu dengan istri yang mendampinginya hingga kini.

Karena memang tak ada obatnya, dokter Amerika itu menyuruh Karmaka bersama istri pulang dan menikmati sisa hidup. Namun, Karmaka tak menyerah. ’’Kami ke poliklinik di Jerman, kemudian ke Jepang. Semua dokter angkat tangan,” katanya.

Saat kembali ke tanah air, pikiran Karmaka lebih tertuju kepada buah hatinya. Anak-anaknya disuruh menuntut ilmu ke Amerika Serikat.

Pada 1997, kondisinya terus memburuk. Ditandai gejala-gejala seperti muntah dan berak darah. Satu-satunya pengobatan saat itu adalah transplantasi hati. Karmaka menolak. Sebab, teknologi kedokteran waktu itu belum semaju sekarang. Di antara tiga orang Indonesia yang transplantasi, tidak ada satu pun yang bisa bertahan hidup dalam setahun.

Suatu hari, masih pada 1997, Karmaka pingsan di kantor pusat Bank NISP di Bandung. Penyakit itu telah menyebabkan saluran pembuluh darahnya hampir pecah. Dia kemudian diterbangkan ke sebuah Rumah Sakit Mount Sinai di New York, Amerika.

Di sana pihak RS justru memarahi keluarga Karmaka karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan. ’’Mencari donor (liver) di Amerika juga tidak mudah. Butuh waktu 1–2 tahun,” kata Karmaka, yang saat bayi 10 bulan harus dijamin 500 gulden untuk bisa masuk Indonesia dengan perahu.

Akibat berbagai problem yang mengimpit, Karmaka sempat hilang akal. Dia meminta seluruh keluarganya pulang ke Bandung. Kalau tidak, dia memilih meninggal saja. Tidak mau berdebat dengan pasien yang sakit keras, dengan berat hati anggota keluarga Karmaka mengabulkan permintaan itu.

Pada saat itu, kata Karmaka, perutnya yang telah membesar menandakan penyakit liver yang dideritanya sudah gawat. Muncul keinginan Karmaka mengakhiri hidup. Sambil duduk dia mencopoti alat-alat bantu medis, kemudian menundukkan kepala untuk menekan hatinya. Dia merasa pembuluh darahnya ada yang pecah. ’’Saya kemudian berdoa kepada Tuhan,” kata pria bernama asli Kwee Tjie Hoei itu.

Menurut Karmaka, doa itu masih terkenang hingga kini. Ada dua hal yang dimintanya. Yang pertama, minta maaf kepada Tuhan yang ditinggalkannya sejak 1964. Yakni, ketika adiknya, Kwee Tjie Ong, meninggal dunia akibat kecelakaan beberapa hari sebelum diwisuda menjadi sarjana.

Hubungan emosional yang erat dengan sang adik membuat Karmaka ’’marah’’ besar kepada Tuhan. Sebab, demi adiknyalah Karmaka mengalah tidak masuk ITB jurusan elektro yang diidam-idamkan. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan membuat ayahnya hanya bisa membiayai pendidikan tinggi satu anak.

Karmaka bangga adiknya menunjukkan prestasi yang brilian di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ketika mahasiswa lain harus ditempatkan PTT di pedesaan, adiknya justru langsung menjadi asisten dosen dan meraih beasiswa spesialis internist (penyakit dalam).

Setelah terjadi kecelakaan, Karmaka mempertanyakan keputusan Tuhan mengambil nyawa adiknya yang disayangi keluarga. ’’Padahal, kami sekeluarga rajin ke gereja tiap minggu,” kenangnya.

Doa kedua yang dipanjatkan Karmaka adalah agar Tuhan mengampuni dosa keduanya. Yakni, pada 1966, saat terjadi krisis ekonomi, kepala kantor Bank NISP sampai dicekik dan diculik oleh masyarakat. ’’Kami harus memberhentikan kurang lebih 3.000 karyawan NISP yang loyal dan setia,” lanjutnya.

Di antara dua doa meminta ampun tersebut, Karmaka masih sempat ’’menantang’’ Tuhan. ’’Kalau memang Tuhan ada, maka akan ada donor dalam tiga hari ini,” katanya.

Untung, upaya Karmaka mengakhiri hidup diketahui perawat yang kemudian menyelamatkannya. Setelah kejadian tersebut, dokter tidak lagi percaya kepadanya dan menugasi dua suster untuk menjaganya.

Hari pertama setelah kejadian itu, Karmaka melihat air seninya masih kuning. Tanda-tanda pembuluh darah yang pecah adalah air seni menjadi merah atau kehitaman. Demikian juga hari kedua.

Lalu, pada hari ketiga terjadi kejutan. Seorang suster mengabarkan ada donor yang siap memberikan livernya untuk Karmaka. ’’Kabar itu seperti jawaban dari Tuhan atas doa-doa saya,” kata Karmaka yang sukses menjalani operasi transplantasi hati itu. (*)

No comments:

Post a Comment