Perawat Sekaligus Menjadi Polisi Penjaga Virus
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (12)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
KELUAR dari ICU tidak berarti merdeka. Justru harus lebih hati-hati.
Ini karena ruang biasa tidak dilengkapi peralatan monitor yang
serbaotomatis. Padahal, terlalu banyak kasus kegagalan transplantasi
liver terjadi justru pada minggu pertama setelah keluar dari ICU. Yakni,
ketika pasien terkena infeksi.
Kini ancaman kegagalan transplantasi liver bukan lagi seperti dulu.
Bukan lagi akibat badan menolak kedatangan liver baru. Untuk mengatasi
penolakan itu, kini sudah ada obat yang sangat modern. Obat yang
menyinkronkan liver baru dan organ-organ lain yang lama.
Infeksilah yang banyak mengakibatkan kegagalan. Bahkan, kemungkinan
infeksi pun kini sudah bisa diturunkan maksimal karena adanya cara baru.
Termasuk yang diterapkan kepada saya. (Akan ada uraian tersendiri untuk
ini di bab-bab berikutnya. Termasuk bab mengapa liver saya sakit. Apa
sebabnya. Mengapa tidak bisa ditanggulangi.)
Untuk menjaga jangan sampai terjadi infeksi itulah, monitoring
dilakukan ketat. Kalau toh terjadi, bisa diketahui secara dini, sejak
masih dalam bentuk gejala. Karena itu, suhu badan diukur tiap dua jam.
Demikian juga tekanan darah dan denyut jantung. Kebetulan, suhu badan
saya sangat menggembirakan. Selalu antara 35,5 sampai 36,7 derajat
Celsius. Sangat prima. Tidak sekali pun dalam minggu pertama itu suhu
badan saya naik di atas angka itu. Ini pertanda bahwa infeksi tidak
terjadi di dalam tubuh saya.
Memang, semua orang yang masuk ruang saya harus taat akan peraturan
ini. Lalu, ada “polisi” keras yang menjaganya: Robert Lai. Semua harus
menggunakan masker penutup mulut dan hidung. Jangan sampai orang yang
menjenguk menularkan virus yang sangat membahayakan.
Tiap pagi, saya juga di USG. Bukan takut hamil, tapi khawatir
jangan-jangan ada yang tidak beres pada sambungan-sambungan pembuluh
darah lama dan baru. Juga untuk melihat apakah ada genangan air atau
darah di dalam rongga perut saya. Termasuk untuk melihat apakah ada
masalah pada ginjal saya.
Hasil USG tiap hari itu menunjukkan tidak ada tanda-tanda kegagalan
penyambungan liver baru saya. Maka, pada hari kelima, USG tidak lagi
dilakukan. Lega rasanya meski baru lega tahap satu. Pada hari pertama di
luar ICU, paru saya juga dironsen. Ini untuk melihat apakah ada
genangan air atau dahak di paru-paru. Hasil ronsen itu juga
menggembirakan. Paru-paru bersih.
Tapi, saya harus minum obat penyinkron liver baru. Biasa juga disebut
obat antirejection. Anti penolakan terhadap liver baru. Obat ini berupa
kapsul kecil-kecil tiga butir, diminum dua kali sehari. Namanya afk.
Obat ini memang punya efek samping yang kuat. Yakni bisa membuat gula
darah dan tekanan darah naik. Karena itu, sebelum makan, harus diukur
dulu tekanan darah dan gula darah. Setelah makan, diukur lagi. Ujung
jari saya di-”ceklik” beberapa kali sehari untuk mengeluarkan sedikit
darah. Untuk dites kadar gulanya. Pada hari pertama, gula darah saya 17
(sebelum makan). Ini sangat-sangat tinggi. Bukan karena pankreas saya
tidak berfungsi, melainkan karena afk tadi. Karena itu, sebelum makan,
saya disuntik dulu untuk menurunkannya.
Pada hari ketiga, gula darah saya sudah normal. Sekitar 4 sampai 6,5
(sebelum makan). Karena itu, pada hari berikutnya, tidak diperlukan lagi
pemeriksaaan gula darah. Sewaktu saya kemukakan kekhawatiran saya akan
tingginya gula darah itu, dokter meminta saya tidak waswas. “Itu hanya
karena efek obat. Bukan karena fungsi pankreas yang jelek. Pankreas Anda
sempurna,” kata dokter.
Tekanan darah saya juga tinggi jika dibandingkan dengan sebelum
operasi. Bangun tidur bisa mencapai 90/140. Tapi, ini juga karena
pengaruh obat saja. Siang sedikit, sampai malam, selalu antara 80/120
sampai 85/130. “Kita akan terus memonitornya,” ujar dokter. Sedangkan
denyut jantung sangat normal, antara 76 sampai 85. “Banyak juga yang
sukses operasinya, tapi tidak kuat jantungnya,” ujar seorang suster.
Untuk itu pun, tidak perlu takut karena ada obatnya.
Selain obat anti penolakan itu, saya juga harus minum beberapa obat
lainnya. Tapi, kali ini saya tidak bertanya obat apa saja itu, apa
kegunaannya, dan apa efek sampingnya. Kali ini saya serahkan saja
sepenuhnya pada keahlian dokter. Padahal, dulunya saya amat cerewet
kalau diberi obat. Saya harus tahu persis apa-siapanya. Bahkan, sering
saya cek lagi kebenarannya lewat internet. Tapi, kali ini saya putuskan
“tidak akan jadi dokter untuk diri saya sendiri”. Pertama, karena saya
memang bukan dokter. Kedua, banyak juga yang logika saya ternyata salah.
Misalnya, bayangan saya akan transplantasi liver sama sekali berbeda
dengan kenyataan dalam praktiknya.
Apalagi keadaan badan saya terus membaik sehingga saya semakin percaya saja pada keputusan dokter.
Mengingat indikator-indikator badan saya sudah begitu baik, pada hari
keenam, obat sinkronisasi itu dikurangi 30 persen. Kini tinggal dua
kapsul kecil sekali minum, dua kali sehari. Obat ini merupakan obat
terpenting dalam menjaga keberhasilan transplantasi liver. Untuk
meminumnya, ada petunjuk khusus mengenai waktunya. Kalau sudah
ditetapkan jam enam pagi dan malam, harus tetap seperti itu. Tidak boleh
terlambat. Juga tidak boleh dipercepat. Apalagi lupa, sama sekali tidak
boleh. Bagaimana kalau lupa juga? Tetap, tidak boleh lupa. Dalil
“manusia itu tempatnya salah dan lupa” tidak berlaku di sini.
Agar tidak lupa itulah, diciptakan sistem kontrol. “Trust is good,
but control is better,” ujar Robert Lai, ahli hukum dari Singapura
lulusan Inggris itu. Dia orang yang amat disiplin. Sudah sebelas bulan
ini selalu menemani saya pergi ke mana pun. Untuk mewujudkan prinsip
yang dipegangnya itu, dia memutuskan menempatkan perawat khusus di kamar
saya. Selama 24 jam sehari. Yakni, perawat yang khusus melayani
kepentingan saya selama 24 jam. Terutama menjaga ketepatan waktu minum
obat, menjaga kebersihan pakaian, handuk, air, dan kamar. Juga
memandikan saya.
Rumah sakit ini punya semacam unit usaha yang menyediakan jasa
perawat khusus seperti itu. Orangnya umumnya sudah agak tua, sabar, dan
punya keterampilan sebagai perawat. Mereka memang para pensiunan perawat
yang masih ingin terus bekerja. Karena itu, untuk mengukur tekanan
darah, suhu badan, dan pekerjaan sejenis itu, perawat khusus tersebut
yang melakukan.
Perawat itu disiplinnya bukan main. Kalau sudah waktunya minum obat,
apa pun harus kalah. Tepat jam enam, dia memaksa saya minum obat. Tidak
kurang satu menit pun atau lebih satu menit pun. Petunjuk itu memang
sudah diberikan jauh-jauh hari sebelumnya sehingga saya juga tahu
pentingnya kedisiplinan meminumnya.
Kehadiran perawat khusus seperti itu amat penting karena belum tentu
keluarga kita mengetahui detail mengenai pengobatan. Dia sudah hafal
jenis-jenis obat yang disediakan dan jam-jam penggunaannya. Dia akan
melakukan cek ulang, apakah obat yang diberikan lengkap atau tidak.
Salah atau tidak.
Jasa mereka itu juga penting karena ternyata banyak juga pasien yang
tidak ditunggui keluarganya. Saya lihat beberapa orang Jepang, masuk ke
ruang operasi tanpa satu pun ada anggota keluarga yang mengantarkannya.
Mengingat begitu banyak pasien ganti liver yang pernah mereka rawat,
pengalaman para perawat khusus ini sangat banyak. Dia menjadi seperti
perawat spesialis pasien ganti liver. Dia tahu persis gejala-gejala yang
baik dan gejala-gejala yang kurang baik dalam perkembangan pasien. Dan
bagi saya, dia juga guru bahasa Mandarin. Sebab, dia memang hanya bisa
berbahasa Mandarin, bahkan dengan logat yang sangat daerah. Berarti 24
jam saya bisa belajar Mandarin secara tidak langsung.
Perawat itu juga menjadi polisi penjaga virus. Dia yang juga ikut
mengawasi orang keluar masuk kamar. Yang tidak pakai masker, dia tegur.
Robert memang menugaskan itu khusus kepadanya. “Kalau ada dokter masuk
yang tidak pakai masker, tentu Anda tidak berani menegur. Jangan
ditegur. Tapi, Pak Dahlannya yang kamu pasangi masker,” pesan Robert
kepadanya. Robert, meski bahasa pertamanya adalah Inggris, bisa bicara
Mandarin dan beberapa bahasa daerah di Tiongkok. Untungnya, tidak pernah
ada dokter yang tidak disiplin.
Bahkan, Melinda dan suaminya sampai membuka sepatu ketika masuk ruang
saya. Semula Melinda dan suaminya hanya ingin menengok saya karena
kebetulan lagi di Tiongkok. Tahu kalau saya segera operasi, dia
memtuskan menunggu saya sampai beberapa hari setelah operasi. Bahkan,
dia ikut melakukan “operasi nonteknik” pada malam menjelang operasi.
Ketika saya beri tahu tidak perlulah masuk kamar sampai copot sepatu,
bos Pakuwon Jati itu mengatakan, “Kamar ini harus lebih bersih daripada
sepatu saya.” Saya tahu sepatunya amat mahal dan tentu juga amat
bersih. Tapi, dia tetap copot sepatu. “Saya tidak mau dituduh sebagai
pembunuh Pak Dahlan,” katanya. “Dia lao da saya. Masak saya harus jadi
pembunuh saudara tua saya,” tambahnya. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment