Thursday, September 6, 2007

Perawat Sekaligus Menjadi Polisi Penjaga Virus

6 September 2007
Perawat Sekaligus Menjadi Polisi Penjaga Virus
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (12)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

KELUAR dari ICU tidak berarti merdeka. Justru harus lebih hati-hati. Ini karena ruang biasa tidak dilengkapi peralatan monitor yang serbaotomatis. Padahal, terlalu banyak kasus kegagalan transplantasi liver terjadi justru pada minggu pertama setelah keluar dari ICU. Yakni, ketika pasien terkena infeksi.

Kini ancaman kegagalan transplantasi liver bukan lagi seperti dulu. Bukan lagi akibat badan menolak kedatangan liver baru. Untuk mengatasi penolakan itu, kini sudah ada obat yang sangat modern. Obat yang menyinkronkan liver baru dan organ-organ lain yang lama.

Infeksilah yang banyak mengakibatkan kegagalan. Bahkan, kemungkinan infeksi pun kini sudah bisa diturunkan maksimal karena adanya cara baru. Termasuk yang diterapkan kepada saya. (Akan ada uraian tersendiri untuk ini di bab-bab berikutnya. Termasuk bab mengapa liver saya sakit. Apa sebabnya. Mengapa tidak bisa ditanggulangi.)

Untuk menjaga jangan sampai terjadi infeksi itulah, monitoring dilakukan ketat. Kalau toh terjadi, bisa diketahui secara dini, sejak masih dalam bentuk gejala. Karena itu, suhu badan diukur tiap dua jam. Demikian juga tekanan darah dan denyut jantung. Kebetulan, suhu badan saya sangat menggembirakan. Selalu antara 35,5 sampai 36,7 derajat Celsius. Sangat prima. Tidak sekali pun dalam minggu pertama itu suhu badan saya naik di atas angka itu. Ini pertanda bahwa infeksi tidak terjadi di dalam tubuh saya.

Memang, semua orang yang masuk ruang saya harus taat akan peraturan ini. Lalu, ada “polisi” keras yang menjaganya: Robert Lai. Semua harus menggunakan masker penutup mulut dan hidung. Jangan sampai orang yang menjenguk menularkan virus yang sangat membahayakan.

Tiap pagi, saya juga di USG. Bukan takut hamil, tapi khawatir jangan-jangan ada yang tidak beres pada sambungan-sambungan pembuluh darah lama dan baru. Juga untuk melihat apakah ada genangan air atau darah di dalam rongga perut saya. Termasuk untuk melihat apakah ada masalah pada ginjal saya.

Hasil USG tiap hari itu menunjukkan tidak ada tanda-tanda kegagalan penyambungan liver baru saya. Maka, pada hari kelima, USG tidak lagi dilakukan. Lega rasanya meski baru lega tahap satu. Pada hari pertama di luar ICU, paru saya juga dironsen. Ini untuk melihat apakah ada genangan air atau dahak di paru-paru. Hasil ronsen itu juga menggembirakan. Paru-paru bersih.

Tapi, saya harus minum obat penyinkron liver baru. Biasa juga disebut obat antirejection. Anti penolakan terhadap liver baru. Obat ini berupa kapsul kecil-kecil tiga butir, diminum dua kali sehari. Namanya afk. Obat ini memang punya efek samping yang kuat. Yakni bisa membuat gula darah dan tekanan darah naik. Karena itu, sebelum makan, harus diukur dulu tekanan darah dan gula darah. Setelah makan, diukur lagi. Ujung jari saya di-”ceklik” beberapa kali sehari untuk mengeluarkan sedikit darah. Untuk dites kadar gulanya. Pada hari pertama, gula darah saya 17 (sebelum makan). Ini sangat-sangat tinggi. Bukan karena pankreas saya tidak berfungsi, melainkan karena afk tadi. Karena itu, sebelum makan, saya disuntik dulu untuk menurunkannya.

Pada hari ketiga, gula darah saya sudah normal. Sekitar 4 sampai 6,5 (sebelum makan). Karena itu, pada hari berikutnya, tidak diperlukan lagi pemeriksaaan gula darah. Sewaktu saya kemukakan kekhawatiran saya akan tingginya gula darah itu, dokter meminta saya tidak waswas. “Itu hanya karena efek obat. Bukan karena fungsi pankreas yang jelek. Pankreas Anda sempurna,” kata dokter.

Tekanan darah saya juga tinggi jika dibandingkan dengan sebelum operasi. Bangun tidur bisa mencapai 90/140. Tapi, ini juga karena pengaruh obat saja. Siang sedikit, sampai malam, selalu antara 80/120 sampai 85/130. “Kita akan terus memonitornya,” ujar dokter. Sedangkan denyut jantung sangat normal, antara 76 sampai 85. “Banyak juga yang sukses operasinya, tapi tidak kuat jantungnya,” ujar seorang suster. Untuk itu pun, tidak perlu takut karena ada obatnya.

Selain obat anti penolakan itu, saya juga harus minum beberapa obat lainnya. Tapi, kali ini saya tidak bertanya obat apa saja itu, apa kegunaannya, dan apa efek sampingnya. Kali ini saya serahkan saja sepenuhnya pada keahlian dokter. Padahal, dulunya saya amat cerewet kalau diberi obat. Saya harus tahu persis apa-siapanya. Bahkan, sering saya cek lagi kebenarannya lewat internet. Tapi, kali ini saya putuskan “tidak akan jadi dokter untuk diri saya sendiri”. Pertama, karena saya memang bukan dokter. Kedua, banyak juga yang logika saya ternyata salah. Misalnya, bayangan saya akan transplantasi liver sama sekali berbeda dengan kenyataan dalam praktiknya.

Apalagi keadaan badan saya terus membaik sehingga saya semakin percaya saja pada keputusan dokter.

Mengingat indikator-indikator badan saya sudah begitu baik, pada hari keenam, obat sinkronisasi itu dikurangi 30 persen. Kini tinggal dua kapsul kecil sekali minum, dua kali sehari. Obat ini merupakan obat terpenting dalam menjaga keberhasilan transplantasi liver. Untuk meminumnya, ada petunjuk khusus mengenai waktunya. Kalau sudah ditetapkan jam enam pagi dan malam, harus tetap seperti itu. Tidak boleh terlambat. Juga tidak boleh dipercepat. Apalagi lupa, sama sekali tidak boleh. Bagaimana kalau lupa juga? Tetap, tidak boleh lupa. Dalil “manusia itu tempatnya salah dan lupa” tidak berlaku di sini.

Agar tidak lupa itulah, diciptakan sistem kontrol. “Trust is good, but control is better,” ujar Robert Lai, ahli hukum dari Singapura lulusan Inggris itu. Dia orang yang amat disiplin. Sudah sebelas bulan ini selalu menemani saya pergi ke mana pun. Untuk mewujudkan prinsip yang dipegangnya itu, dia memutuskan menempatkan perawat khusus di kamar saya. Selama 24 jam sehari. Yakni, perawat yang khusus melayani kepentingan saya selama 24 jam. Terutama menjaga ketepatan waktu minum obat, menjaga kebersihan pakaian, handuk, air, dan kamar. Juga memandikan saya.

Rumah sakit ini punya semacam unit usaha yang menyediakan jasa perawat khusus seperti itu. Orangnya umumnya sudah agak tua, sabar, dan punya keterampilan sebagai perawat. Mereka memang para pensiunan perawat yang masih ingin terus bekerja. Karena itu, untuk mengukur tekanan darah, suhu badan, dan pekerjaan sejenis itu, perawat khusus tersebut yang melakukan.

Perawat itu disiplinnya bukan main. Kalau sudah waktunya minum obat, apa pun harus kalah. Tepat jam enam, dia memaksa saya minum obat. Tidak kurang satu menit pun atau lebih satu menit pun. Petunjuk itu memang sudah diberikan jauh-jauh hari sebelumnya sehingga saya juga tahu pentingnya kedisiplinan meminumnya.

Kehadiran perawat khusus seperti itu amat penting karena belum tentu keluarga kita mengetahui detail mengenai pengobatan. Dia sudah hafal jenis-jenis obat yang disediakan dan jam-jam penggunaannya. Dia akan melakukan cek ulang, apakah obat yang diberikan lengkap atau tidak. Salah atau tidak.

Jasa mereka itu juga penting karena ternyata banyak juga pasien yang tidak ditunggui keluarganya. Saya lihat beberapa orang Jepang, masuk ke ruang operasi tanpa satu pun ada anggota keluarga yang mengantarkannya.

Mengingat begitu banyak pasien ganti liver yang pernah mereka rawat, pengalaman para perawat khusus ini sangat banyak. Dia menjadi seperti perawat spesialis pasien ganti liver. Dia tahu persis gejala-gejala yang baik dan gejala-gejala yang kurang baik dalam perkembangan pasien. Dan bagi saya, dia juga guru bahasa Mandarin. Sebab, dia memang hanya bisa berbahasa Mandarin, bahkan dengan logat yang sangat daerah. Berarti 24 jam saya bisa belajar Mandarin secara tidak langsung.

Perawat itu juga menjadi polisi penjaga virus. Dia yang juga ikut mengawasi orang keluar masuk kamar. Yang tidak pakai masker, dia tegur. Robert memang menugaskan itu khusus kepadanya. “Kalau ada dokter masuk yang tidak pakai masker, tentu Anda tidak berani menegur. Jangan ditegur. Tapi, Pak Dahlannya yang kamu pasangi masker,” pesan Robert kepadanya. Robert, meski bahasa pertamanya adalah Inggris, bisa bicara Mandarin dan beberapa bahasa daerah di Tiongkok. Untungnya, tidak pernah ada dokter yang tidak disiplin.

Bahkan, Melinda dan suaminya sampai membuka sepatu ketika masuk ruang saya. Semula Melinda dan suaminya hanya ingin menengok saya karena kebetulan lagi di Tiongkok. Tahu kalau saya segera operasi, dia memtuskan menunggu saya sampai beberapa hari setelah operasi. Bahkan, dia ikut melakukan “operasi nonteknik” pada malam menjelang operasi.

Ketika saya beri tahu tidak perlulah masuk kamar sampai copot sepatu, bos Pakuwon Jati itu mengatakan, “Kamar ini harus lebih bersih daripada sepatu saya.” Saya tahu sepatunya amat mahal dan tentu juga amat bersih. Tapi, dia tetap copot sepatu. “Saya tidak mau dituduh sebagai pembunuh Pak Dahlan,” katanya. “Dia lao da saya. Masak saya harus jadi pembunuh saudara tua saya,” tambahnya. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment