Mulai Berdiri, Bergurau soal Liver, Dimarahi Saudara di Desa
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (11)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
JANGAN begini. Jangan begitu. Banyak sekali peringatan yang
disampaikan kepada kami sebelum pertama saya turun dari tempat tidur.
Itu hari kelima setelah operasi atau hari kedua setelah keluar dari ICU.
Misalnya, jangan sampai langsung berdiri. Bisa tiba-tiba pusing dan
jatuh.
Harus duduk lebih dulu. Tenang beberapa saat untuk lihat-lihat
keadaan. Kalau tidak pusing, bisa diteruskan dengan turun dari tempat
tidur dan mencoba berdiri. Maklum, sudah lima hari saya terus dalam
posisi berbaring. Juga lima hari tidak makan. Meski ada cairan infus
yang menggantikannya. Tidak sedikit kasus pasien jatuh saat pertama
mencoba berdiri. Harus ada orang yang memegangi.
Saya masih dapat peringatan tambahan. Tepatnya bukan peringatan, tapi
pertanyaan. Datangnya dari dalam diri saya sendiri. Kalau saya nanti
berdiri, apakah liver baru saya tidak jatuh? Apakah sambungannya sudah
kuat? Tali apakah yang dipakai untung menggantung liver baru itu?
Setengah serius, setengah bergurau. Saya memang suka bergurau. Kalau
sedang tidak ada yang ditertawakan, saya sering mencoba menertawakan
diri sendiri.
Kekhawatiran-ngawur saya itu saya SMS-kan ke beberapa teman. Untuk
memberikan gambaran bahwa saya sudah bisa bergurau lagi. Sekaligus
memberi kabar baik mengenai kemajuan demi kemajuan yang saya peroleh.
“Hari ini saya sudah diharuskan mulai turun dari tempat tidur. Bahkan
sudah harus latihan berdiri. Tapi, saya lupa bertanya kepada dokter
apakah tali yang dipakai menggantung liver baru saya cukup kuat. Saya
takut liver baru saya jatuh,” tulis saya.
Jawaban dari beberapa teman berdatangan. Margiono, Dirut Rakyat
Merdeka yang lucunya bukan main, kontan membalas. “Ha ha… Kalaupun
jatuh, masih di perut. Masih mudah mencarinya,” kata Margiono yang
pandai mendalang itu. Saya tertawa. Bahkan ingin tertawa lebar. Tapi,
jahitan di perut yang panjaaaang ini masih basah. Kalau dibuat tertawa
masih sakit. Dan lagi, jangan-jangan kalau teralu banyak tertawa,
jahitannya bisa mrotoli.
Leak Kustiya, redaktur pelaksana Jawa Pos yang pendiam, tapi humornya
sering cerdas, menimpali Margiono. “Yang bahaya kalau jatuhnya di dekat
pasar loak,” tulisnya. Sekali lagi, saya harus menahan tawa. Mas
Goenawan Mohamad, pendiri majalah TEMPO yang juga amat humoris,
menambahkan: “Ha ha. Saya justru takut hati baru itu jatuh di rumah Gong
Li.” Gong Li adalah artis yang paling terkenal dan konon juga paling
cantik di antara artis Hongkong. “Lebih berbahaya daripada jatuh di
dekat pasar loak,” tambahnya.
Humor khas Surabaya datang dari Jamhadi, kontraktor yang membangun
gedung Jatim Expo dan asrama mahasiswa Institut Teknologi 10 Nopember
Surabaya. “Kalau sampai jatuh di rumah Gong Li, sih itu bukan jatuh.
Tapi njatuh,” tulisnya. Kata njatuh, bagi orang Surabaya lucu sekali.
Tapi, mungkin tidak bisa dipahami di luar Surabaya.
Masih banyak SMS yang masuk di sekitar jatuh-menjatuh itu. Tapi,
empat itulah yang saya pilih sebagai yang paling lucu. Diam-diam saya
sudah bisa menjadi juri lomba humor di hari kelima setelah operasi saya.
Saya juga lega bahwa hati saya yang baru tenyata tidak mengubah selera
humor saya.
Dan memang, begitu saya berdiri, tidak ada suara benda jatuh. Padahal, kalau toh jatuh, apa juga bersuara?
Keceriaan saya hari itu padam manakala masuk SMS dari keluarga saya
di desa, 16 km dari Kota Magetan. Dia marah. “Nyawa kok dibuat guyonan,”
tulisnya.
Dia marah karena seharusnya saya tidak berhenti berdoa minta
keselamatan dan kesembuhan dari Tuhan. Tidak guyon seperti itu. “Kita di
sini tidak henti-hentinya berdoa, Mas Dahlan sendiri guyon. Tidak
pantas,” tambahnya.
Lalu, saya SMS ke Ir Agus Mustofa, penulis buku Takdir Bisa Diubah
yang laris itu. “Apakah ada perintah untuk memperbanyak doa?” tanya
saya. Soalnya, saya tidak pernah membaca ada ajaran seperti itu. Bahkan,
seperti yang sudah saya utarakan di bab terdahulu, sedikit-sedikit
berdoa seperti kita ini malas berusaha, malas menggunakan pemberian
Tuhan yang amat penting itu: otak.
“Tidak ada perintah memperbanyak doa,” balas Agus segera. “Yang ada
hanyalah ’Mintalah kepada-Ku, pasti Aku kabulkan’,” tambahnya. “Yang
diperintahkan beberapa kali adalah perbanyaklah mengingat Tuhan (zikir)
dan perbanyaklah berbuat baik,” ujar Agus.
Ada alasan lain mengapa saya memilih sumeleh kepada Tuhan daripada
sedikit-sedikit minta sesuatu kepada-Nya. Saya pernah belajar ilmu
mantiq (logika) sewaktu di Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien,
Takeran, Magetan. Pesantren keluarga kami sendiri. “Berdoa itu,” menurut
ilmu mantiq, “pada dasarnya adalah memerintah Tuhan”. Misalnya, doa
ini: Ya Tuhan, masukkanlah saya ke surga. Bukankah, menurut ilmu itu,
sama dengan kita memerintah Tuhan agar memasukkan kita ke surga?
Bukankah kata “masukkanlah” itu “kata perintah?”. Hanya, dikemas secara
halus dalam wujud yang bernama doa? Mengapa kita selalu memerintah Tuhan
untuk memasukkan kita ke surga? Mengapa tidak kita sendiri berusaha
sekuat tenaga, misalnya, dengan jalan banyak beribadah (termasuk kerja
keras)?
Ilmu inilah yang juga saya bawa ke praktik manajemen. Kalau ada
karyawan yang sedikit-sedikit mengeluhkan atasannya, biasanya saya
menasihatinya berdasar ilmu mantiq itu. Tentu sebelum mengucapkan
kata-kata tersebut saya berpesan agar jangan membicarakan istilah saya
ini dengan orang lain. Orang yang tidak pernah belajar ilmu mantiq bisa
salah paham.
Kata saya kepada karyawan yang suka mengeluhkan atasannya itu: “Kita
ini bisa dan sering memerintah…., mengapa memerintah atasan yang masih
bernama manusia saja tidak bisa?” Takut juga saya mengisi “titik-titik”
itu. Takut orang salah paham. Padahal, guru ilmu mantiq saya dulu, KH
Hamim Tafsir, tidak pernah takut mengatakan apa adanya.
Saya harus mengenang guru saya itu. Dia sudah terpaksa jadi kiai
ketika masih amat remaja. Ini karena enam kiai utama di pesantren kami
(yang tidak lain paman-paman ibu saya) dibunuh orang Partai Komunis
Indonesia (PKI). Demikian juga guru-guru terkemuka lainnya, termasuk
guru yang didatangkan pesantren kami dari Mesir. Mereka dimasukkan sumur
hidup-hidup, lalu ditimbuni batu. Itu tahun 1948, ketika meletus
peristiwa Madiun yang terkenal dalam sejarah itu. Sejak itu, pesantren
kami yang sangat maju dan terkemuka mengalami kemunduran.
Saya lantas memanfaatkan ilmu mantiq itu dalam praktik manajemen.
Intinya: seorang bawahan, kalau memang cukup cerdas, harus bisa membuat
atasannya memenuhi keinginannya. Tidak harus selalu keinginan atasan
yang berlaku. Semua itu tinggal soal cara. Soal kemampuan kita
memanajemeni atasan. Kalau seorang bawahan tidak mampu melakukan itu,
berarti bukan bawahan yang cerdas. Saya tidak akan menaikkan karir
bawahan yang seperti itu. Jadi, bawahan itu sebenarnya juga boleh
me-manage atasan. Bukan hanya atasan yang bisa me-manage bawahan. Sekali
lagi, ini soal cara. Kepada Tuhan, kita menggunakan cara yang disebut
berdoa. Kepada atasan, mungkin dengan gaya “bermohon atau minta petunjuk
atau mengiba atau apa sajalah”. Yang penting, keinginan kita yang kita
yakini benar bisa dipenuhi oleh atasan.
Banyak manajer saya yang kemudian tidak mudah mengeluhkan
“ketidakmampuan atasannya”. Dia mencari jalan beraneka cara untuk
mencoba bisa me-manage atasannya dengan bijak. Demikian juga tidak lagi
banyak staf yang mengeluhkan rekan kerjanya. Mengeluh berarti tidak
cerdas.
Bukankah kepada sesama rekan staf, kita bisa menggunakan gaya “minta
tolong”. Bahkan, kepada bawahan pun kata “minta tolong” akan lebih
efektif daripada kata “saya perintahkan” -meski atasan berhak memerintah
bawahan. Jadi, kepada Tuhan kita berdoa, kepada atasan kita bermohon,
kepada sesama kita minta tolong, dan kepada bawahan… teserahlah mau
pakai yang mana. Tentu tidak pas kalau kepada bawahan Anda mengatakan,
“Saya berdoa kepadamu mudah-mudahan engkau mau membersihkan kamar kecil
itu lebih bersih lagi.” Tapi, saya sering juga menggunakan gaya ini
kalau hati sudah amat jengkel melihat kamar kecil yang kotor.
Di kantor-kantor Grup Jawa Pos, saya memang melarang pembuatan kamar
kecil khusus di ruang pimpinan. Ini agar pimpinan juga menggunakan kamar
kecil umum. Bukan saja agar sesekali bertemu bawahan di forum itu, tapi
juga agar bisa ikut mengontrol kebersihan kamar kecil umum.
Ilmu mantiq ternyata banyak membantu saya dalam menjalankan praktik
manajemen. Dan saya dengar di kurikulum madrasah aliyah sekarang ini,
tidak ada lagi mata pelajaran ilmu mantiq itu.
Saya sendiri kini masih terus berpikir bagaimana saya bisa me-manage
liver baru saya. Saya sudah bermohon kepadanya untuk jangan sekali-kali
kangen akan daging babi. Tapi, kalau dia lebih pintar dan mampu
me-manage saya agar saya mau memenuhi keinginannya, itu baru persoalan.
Saya membayangkan dia memang pernah belajar kungfu, tapi saya berharap
liver baru saya itu belum pernah belajar ilmu mantiq untuk mengalahkan
saya. (bersambung)
No comments:
Post a Comment