Wednesday, September 5, 2007

Mulai Berdiri, Bergurau soal Liver, Dimarahi Saudara di Desa

5 September 2007
Mulai Berdiri, Bergurau soal Liver, Dimarahi Saudara di Desa
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (11)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id

JANGAN begini. Jangan begitu. Banyak sekali peringatan yang disampaikan kepada kami sebelum pertama saya turun dari tempat tidur. Itu hari kelima setelah operasi atau hari kedua setelah keluar dari ICU. Misalnya, jangan sampai langsung berdiri. Bisa tiba-tiba pusing dan jatuh.

Harus duduk lebih dulu. Tenang beberapa saat untuk lihat-lihat keadaan. Kalau tidak pusing, bisa diteruskan dengan turun dari tempat tidur dan mencoba berdiri. Maklum, sudah lima hari saya terus dalam posisi berbaring. Juga lima hari tidak makan. Meski ada cairan infus yang menggantikannya. Tidak sedikit kasus pasien jatuh saat pertama mencoba berdiri. Harus ada orang yang memegangi.

Saya masih dapat peringatan tambahan. Tepatnya bukan peringatan, tapi pertanyaan. Datangnya dari dalam diri saya sendiri. Kalau saya nanti berdiri, apakah liver baru saya tidak jatuh? Apakah sambungannya sudah kuat? Tali apakah yang dipakai untung menggantung liver baru itu? Setengah serius, setengah bergurau. Saya memang suka bergurau. Kalau sedang tidak ada yang ditertawakan, saya sering mencoba menertawakan diri sendiri.

Kekhawatiran-ngawur saya itu saya SMS-kan ke beberapa teman. Untuk memberikan gambaran bahwa saya sudah bisa bergurau lagi. Sekaligus memberi kabar baik mengenai kemajuan demi kemajuan yang saya peroleh. “Hari ini saya sudah diharuskan mulai turun dari tempat tidur. Bahkan sudah harus latihan berdiri. Tapi, saya lupa bertanya kepada dokter apakah tali yang dipakai menggantung liver baru saya cukup kuat. Saya takut liver baru saya jatuh,” tulis saya.

Jawaban dari beberapa teman berdatangan. Margiono, Dirut Rakyat Merdeka yang lucunya bukan main, kontan membalas. “Ha ha… Kalaupun jatuh, masih di perut. Masih mudah mencarinya,” kata Margiono yang pandai mendalang itu. Saya tertawa. Bahkan ingin tertawa lebar. Tapi, jahitan di perut yang panjaaaang ini masih basah. Kalau dibuat tertawa masih sakit. Dan lagi, jangan-jangan kalau teralu banyak tertawa, jahitannya bisa mrotoli.

Leak Kustiya, redaktur pelaksana Jawa Pos yang pendiam, tapi humornya sering cerdas, menimpali Margiono. “Yang bahaya kalau jatuhnya di dekat pasar loak,” tulisnya. Sekali lagi, saya harus menahan tawa. Mas Goenawan Mohamad, pendiri majalah TEMPO yang juga amat humoris, menambahkan: “Ha ha. Saya justru takut hati baru itu jatuh di rumah Gong Li.” Gong Li adalah artis yang paling terkenal dan konon juga paling cantik di antara artis Hongkong. “Lebih berbahaya daripada jatuh di dekat pasar loak,” tambahnya.

Humor khas Surabaya datang dari Jamhadi, kontraktor yang membangun gedung Jatim Expo dan asrama mahasiswa Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya. “Kalau sampai jatuh di rumah Gong Li, sih itu bukan jatuh. Tapi njatuh,” tulisnya. Kata njatuh, bagi orang Surabaya lucu sekali. Tapi, mungkin tidak bisa dipahami di luar Surabaya.

Masih banyak SMS yang masuk di sekitar jatuh-menjatuh itu. Tapi, empat itulah yang saya pilih sebagai yang paling lucu. Diam-diam saya sudah bisa menjadi juri lomba humor di hari kelima setelah operasi saya. Saya juga lega bahwa hati saya yang baru tenyata tidak mengubah selera humor saya.

Dan memang, begitu saya berdiri, tidak ada suara benda jatuh. Padahal, kalau toh jatuh, apa juga bersuara?

Keceriaan saya hari itu padam manakala masuk SMS dari keluarga saya di desa, 16 km dari Kota Magetan. Dia marah. “Nyawa kok dibuat guyonan,” tulisnya.

Dia marah karena seharusnya saya tidak berhenti berdoa minta keselamatan dan kesembuhan dari Tuhan. Tidak guyon seperti itu. “Kita di sini tidak henti-hentinya berdoa, Mas Dahlan sendiri guyon. Tidak pantas,” tambahnya.

Lalu, saya SMS ke Ir Agus Mustofa, penulis buku Takdir Bisa Diubah yang laris itu. “Apakah ada perintah untuk memperbanyak doa?” tanya saya. Soalnya, saya tidak pernah membaca ada ajaran seperti itu. Bahkan, seperti yang sudah saya utarakan di bab terdahulu, sedikit-sedikit berdoa seperti kita ini malas berusaha, malas menggunakan pemberian Tuhan yang amat penting itu: otak.

“Tidak ada perintah memperbanyak doa,” balas Agus segera. “Yang ada hanyalah ’Mintalah kepada-Ku, pasti Aku kabulkan’,” tambahnya. “Yang diperintahkan beberapa kali adalah perbanyaklah mengingat Tuhan (zikir) dan perbanyaklah berbuat baik,” ujar Agus.

Ada alasan lain mengapa saya memilih sumeleh kepada Tuhan daripada sedikit-sedikit minta sesuatu kepada-Nya. Saya pernah belajar ilmu mantiq (logika) sewaktu di Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan. Pesantren keluarga kami sendiri. “Berdoa itu,” menurut ilmu mantiq, “pada dasarnya adalah memerintah Tuhan”. Misalnya, doa ini: Ya Tuhan, masukkanlah saya ke surga. Bukankah, menurut ilmu itu, sama dengan kita memerintah Tuhan agar memasukkan kita ke surga? Bukankah kata “masukkanlah” itu “kata perintah?”. Hanya, dikemas secara halus dalam wujud yang bernama doa? Mengapa kita selalu memerintah Tuhan untuk memasukkan kita ke surga? Mengapa tidak kita sendiri berusaha sekuat tenaga, misalnya, dengan jalan banyak beribadah (termasuk kerja keras)?

Ilmu inilah yang juga saya bawa ke praktik manajemen. Kalau ada karyawan yang sedikit-sedikit mengeluhkan atasannya, biasanya saya menasihatinya berdasar ilmu mantiq itu. Tentu sebelum mengucapkan kata-kata tersebut saya berpesan agar jangan membicarakan istilah saya ini dengan orang lain. Orang yang tidak pernah belajar ilmu mantiq bisa salah paham.

Kata saya kepada karyawan yang suka mengeluhkan atasannya itu: “Kita ini bisa dan sering memerintah…., mengapa memerintah atasan yang masih bernama manusia saja tidak bisa?” Takut juga saya mengisi “titik-titik” itu. Takut orang salah paham. Padahal, guru ilmu mantiq saya dulu, KH Hamim Tafsir, tidak pernah takut mengatakan apa adanya.

Saya harus mengenang guru saya itu. Dia sudah terpaksa jadi kiai ketika masih amat remaja. Ini karena enam kiai utama di pesantren kami (yang tidak lain paman-paman ibu saya) dibunuh orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Demikian juga guru-guru terkemuka lainnya, termasuk guru yang didatangkan pesantren kami dari Mesir. Mereka dimasukkan sumur hidup-hidup, lalu ditimbuni batu. Itu tahun 1948, ketika meletus peristiwa Madiun yang terkenal dalam sejarah itu. Sejak itu, pesantren kami yang sangat maju dan terkemuka mengalami kemunduran.

Saya lantas memanfaatkan ilmu mantiq itu dalam praktik manajemen. Intinya: seorang bawahan, kalau memang cukup cerdas, harus bisa membuat atasannya memenuhi keinginannya. Tidak harus selalu keinginan atasan yang berlaku. Semua itu tinggal soal cara. Soal kemampuan kita memanajemeni atasan. Kalau seorang bawahan tidak mampu melakukan itu, berarti bukan bawahan yang cerdas. Saya tidak akan menaikkan karir bawahan yang seperti itu. Jadi, bawahan itu sebenarnya juga boleh me-manage atasan. Bukan hanya atasan yang bisa me-manage bawahan. Sekali lagi, ini soal cara. Kepada Tuhan, kita menggunakan cara yang disebut berdoa. Kepada atasan, mungkin dengan gaya “bermohon atau minta petunjuk atau mengiba atau apa sajalah”. Yang penting, keinginan kita yang kita yakini benar bisa dipenuhi oleh atasan.

Banyak manajer saya yang kemudian tidak mudah mengeluhkan “ketidakmampuan atasannya”. Dia mencari jalan beraneka cara untuk mencoba bisa me-manage atasannya dengan bijak. Demikian juga tidak lagi banyak staf yang mengeluhkan rekan kerjanya. Mengeluh berarti tidak cerdas.

Bukankah kepada sesama rekan staf, kita bisa menggunakan gaya “minta tolong”. Bahkan, kepada bawahan pun kata “minta tolong” akan lebih efektif daripada kata “saya perintahkan” -meski atasan berhak memerintah bawahan. Jadi, kepada Tuhan kita berdoa, kepada atasan kita bermohon, kepada sesama kita minta tolong, dan kepada bawahan… teserahlah mau pakai yang mana. Tentu tidak pas kalau kepada bawahan Anda mengatakan, “Saya berdoa kepadamu mudah-mudahan engkau mau membersihkan kamar kecil itu lebih bersih lagi.” Tapi, saya sering juga menggunakan gaya ini kalau hati sudah amat jengkel melihat kamar kecil yang kotor.

Di kantor-kantor Grup Jawa Pos, saya memang melarang pembuatan kamar kecil khusus di ruang pimpinan. Ini agar pimpinan juga menggunakan kamar kecil umum. Bukan saja agar sesekali bertemu bawahan di forum itu, tapi juga agar bisa ikut mengontrol kebersihan kamar kecil umum.

Ilmu mantiq ternyata banyak membantu saya dalam menjalankan praktik manajemen. Dan saya dengar di kurikulum madrasah aliyah sekarang ini, tidak ada lagi mata pelajaran ilmu mantiq itu.

Saya sendiri kini masih terus berpikir bagaimana saya bisa me-manage liver baru saya. Saya sudah bermohon kepadanya untuk jangan sekali-kali kangen akan daging babi. Tapi, kalau dia lebih pintar dan mampu me-manage saya agar saya mau memenuhi keinginannya, itu baru persoalan. Saya membayangkan dia memang pernah belajar kungfu, tapi saya berharap liver baru saya itu belum pernah belajar ilmu mantiq untuk mengalahkan saya. (bersambung)

No comments:

Post a Comment