Istri Khawatir Saya Meninggal dengan Wajah Menghitam
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (24)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
SAYA tidak berhasil menyembunyikan perubahan di wajah saya. Padahal,
dua tahun lamanya saya berhasil menyembunyikan bengkaknya kaki. Juga
bengkak di badan. Menyembunyikan membesarnya payudara. Yang tak kalah
penting, saya berhasil menyembunyikan keloyoan fisik saya.
“Empat tahun saya bekerja dengan Anda. Sedikit pun saya tidak
merasakan bahwa Anda mengidap penyakit begitu gawatnya,” ujar Hadi
Ismoyo, manajer di perusahaan minyak milik Pemda Jatim. Perusahaan
minyak itu masih baru sehingga saya harus banyak belajar, diskusi,
rapat, dan negosiasi.
“Selama ini tidak tampak kegelisahan sedikit pun tatkala tampil di
banyak kegiatan masyarakat,” tulis Lusye, pecinta Jawa Pos dari Manyar
Jaya. “Kalau tahu seperti ini, saya tidak akan sampai hati
mengejar-ngejarnya selama ini,” ujar Gunawan, direktur di perusahaan
minyak kami.
Ya, saya memang berhasil menyembunyikan semuanya. Tapi, saya
sebenarnya tidak sengaja menyembunyikannya. Kalau ada yang bertanya
tentang penyakit saya, selalu saya jawab apa adanya. Cuma, memang tidak
banyak yang bertanya. Kalau ada yang bertanya pun, seperti para manajer
di Perusda PT PWU Jatim, jawaban saya jujur, tapi saya sampaikan dengan
nada yang menyenangkan.
Menceritakan penyakit dengan cara yang menyenangkan, itulah kuncinya.
Pernah dalam satu rapat evaluasi bulanan yang amat disiplin di PT PWU,
saya jelaskan semua penyakit saya. Juga bahaya-bahayanya. Mereka memang
ngeri mendengarnya, tapi juga tertawa-tawa. Setelah itu rapat evaluasi
berjalan seperti biasa. Yang harus dimarahi, ya dimarahi. Yang harus
dipuji, ya dipuji. Tetap saja persoalan rumit-rumit, harus dipecahkan.
Padahal, persoalan Perusda tidak hanya soal bisnis, tapi juga politis.
Tapi, sebenarnya, saya tidak berhasil menyembunyikan berubahnya
wajah. Kulit saya yang aslinya memang agak hitam menjadi kian hitam.
Terutama di dahi dan sekitar mata. Hitam yang tidak merata itulah yang
kian mencurigakan. Saya akan menyembunyikannya dengan cara meratakannya.
Tapi, bagaimana caranya? Atau pakai make up saja. Tapi saya kan
laki-laki? Bahkan laki-laki yang bukan metroseksual?
Tak pelak lagi, banyak orang yang mulai rasan-rasan, menggosipkan
wajah saya. Gosip yang tidak menyenangkan. Untunglah, saya sudah sering
digosipkan sehingga sudah agak kebal. Tapi, ini gosip yang benar. Dan,
memprihatinkan. Gosip itu bukan lagi masih menyangkut fisik, tapi sudah
masuk ke tataran psikis. Terutama psikis istri saya. Psikis seorang
wanita yang sangat kuat memegang prinsip agama.
Suatu saat istri saya memandangi wajah saya lama sekali. Lalu
memberikan komentar yang sudah sering saya dengar itu. Ada nada sedih
ketika mengucapkan itu. Sedih bercampur perasaan malu. Karena itu,
kadang dia hanya memperhatikan wajah saya tanpa mengucapkan komentar
apa-apa. Pandangannya penuh keprihatinan. Saya tahu dia menyimpan dua
kekhawatiran. Pertama, khawatir akan kesehatan saya. Kedua, merasa malu
kalau saja saya meninggal dalam keadaan wajah yang menghitam.
Sudah menjadi opini awam bahwa seseorang yang meninggal dalam keadaan
wajah yang menghitam, tandanya tidak diterima oleh Tuhan. Tuhan murka
padanya. Kalau sampai itu terjadi pada saya, alangkah malunya istri
saya. Apalagi dia aktif di kegiatan keagamaan. Suaminya meninggal dalam
keadaan dimurkai Tuhan. Karena banyak sekali dosa yang diperbuatnya.
Dosa sebagai lelaki, dosa sebagai atasan yang kejam, dosa sebagai
pribadi yang sombong, dosa sebagai suami yang amat sibuk, dosa orang
kaya yang pelit, dan tentu masih banyak sekali sisi negatif yang bisa
dihubung-hubungkan.
Pembicaraan seperti itu kian kuat ketika Cak Nur meninggal dalam
keadaan wajah menghitam. Ada yang menilai, itu sebagai bukti bahwa Cak
Nur dimurkai Tuhan. Ini karena dosa-dosanya yang tidak terampunkan.
Yakni, dosa karena dia telah menyekulerkan Islam. Yakni, ketika
memelopori pembaharuan pemikiran dalam Islam yang menghebohkan pada
1970-an. Sampai-sampai disebutkan Cak Nur lagi mendirikan neo-Islam.
Begitu hebatnya tentangan akan langkah Cak Nur tersebut sehingga sampai
ada yang memvonis Cak Nur sudah murtad.
Tentu saya bukan apa-apa dibanding Cak Nur. Saya bukan intelektual.
Bukan budayawan. Bukan sarjana. Bukan ahli agama. Saya memang pernah mau
didapuk jadi kiai di pesantren saya, tapi saya menolak. Ini karena saya
sadar bahwa saya turunan dari jalur wanita (ibu) di struktur pesantren
itu. Kebetulan yang dari jalur laki-laki masih kanak-kanak. Mengapa
masih kanak-kanak? Karena pesantren kami kehilangan dua generasi
sekaligus. Para kiai sepuh (enam orang bersaudara, paman-paman ibu
saya), dan anak-anak mereka yang sudah dewasa, dibunuh PKI dalam
peristiwa Madiun, pada 1948. Tapi, saya harus tahu diri bahwa kalau dia
sudah dewasa, dialah yang punya hak mewarisi pesantren itu.
Saya lantas memilih ’uzlah’ -menyingkir, menjauh, dan merenungkan
masa depan. Bukan karena ngambek, tapi sebagai perwujudan sikap tawaduk
seperti yang dicontohkan bapak saya. Toh saya akan tetap bisa berperan
di pesantren itu kelak, yang mungkin tidak kalah besarnya. Apalagi saya
juga baru gagal dalam pemilihan ketua umum pengurus besar Pelajar Islam
Indonesia (PII) di Bandung, kalah dengan Yusuf Rahimi, tokoh dari Ambon.
Saya mengambil kesimpulan, tidak akan bisa jadi kiai dan tidak bakat
jadi politisi. Karena itu, saya bergegas mengambil keputusan pindah ke
jalur hidup sama sekali.
Sikap tawaduk yang sama saya lakukan juga di Jawa Pos pada 1980-an.
Ketika Pak Eric Samola, direktur utama Jawa Pos saat itu, jatuh sakit,
saya tidak mau menggantikannya sebagai Dirut. Padahal, sakitnya beliau
amat berat sehingga tidak punya kemampuan menandatangani dokumen
perusahaan. Beliau terkena stroke yang sampai mengakibatkan tidak bisa
bicara dan harus diopname bertahun-tahun.
Saya memilih mengerjakan saja semua pekerjaan direktur utama, tanpa
menyandang jabatannya. Saya tetap direktur saja. Karena hal itu sudah
berlangsung tiga tahun, lantas muncul kesulitan teknis. Banyak dokumen
bank yang harus direktur utama yang boleh tanda tangan. Tidak bisa hanya
direktur seperti saya waktu itu. Tapi, saya tetap tidak mau jadi Dirut.
Jangan sampai saya minta jadi Dirut. Apalagi, sampai harus dengan cara
sikut sana-sini.
Bahwa ada kesulitan di bank, tiba-tiba saya punya ide baru yang
barangkali tidak lazim. Inilah gunanya ilmu mantiq (logika), pikir saya.
Saya ciptakan sendiri jabatan baru, meski hanya untuk sebutan: CEO
(chief executive officer). Agar saya bisa meyakinkan bank bahwa meski
saya hanya direktur, tapi saya ini CEO. “CEO yang tidak ada SK dan legal
formalnya. He he…” kata saya dalam hati. Tapi, bank percaya. Apalagi
mereka juga tahu sayalah yang selama ini yang selalu mengambil
keputusan. Maka lahirlah “jabatan CEO”.
Baru setelah lima tahun lebih, setelah beliau sendiri yang minta,
saya mau jadi Dirut. Sebutan CEO telanjur melekat. Lalu keterusan sampai
sekarang. Bahkan, saya membuat sebutan (untuk membedakan dengan
’jabatan’) CEO lebih fleksibel lagi di grup yang saya pimpin. Bisa saja
Dirut sebagai CEO, direktur sebagai CEO (Dirutnya bukan CEO), bahkan
general manager sebagai CEO (semua direktur bukan CEO). Lebh dari itu
sekarang ini berkembang seperti di AS. Meski saya bukan direktur utama
lagi (karena jabatan itu sekarang dipegang Ratna Dewi Wonoatmodjo), saya
yang tetap jadi CEO. ’Chairman yang CEO’.
Tentu tidak lagi seperti ketika Dirut merangkap CEO. Banyak hal sudah
harus dialihkan menjadi tanggung jawab Dirut. Apalagi Ratna Dewi juga
amat mampu. Sama dengan saya. Setidaknya sama-sama hanya tamatan SMA.
Dia SMA di kota Surabaya (Petra), saya SMA di Desa Takeran, Magetan
(aliyah).
Hanya namanya yang sering bikin salah paham orang asing. Pernah ada
tamu dari India yang ingin bertemu dengannya. Waktu itu Ratna Dewi masih
menjabat direktur keuangan. Si tamu ternyata berharap akan ketemu
seorang direktur keuangan keturunan India. Maklum namanya Ratna Dewi.
“Kami tidak menyangka kalau dia seorang Tionghoa,” kata tamu itu sambil
tertawa ngakak. Kami sendiri tidak terlalu mengenal nama Ratna Dewi,
sehingga kalau ada tamu yang menanyakan, “Apakah bisa bertemu ibu Ratna
Dewi”, staf-staf kami sering bengong. Dia kami kenal sebagai Wenny saja.
Bukan “Bu Wenny”, tapi “Cik Wenny”.
Gosip bahwa “saya segera meninggal dengan wajah hitam” juga beredar
di kalangan pesantren saya sendiri. Sebagian mengira saya dimurka Tuhan
karena kurang taat beragama. Sebagian lagi karena saya berdosa kepada
leluhur. Terutama karena saya ’uzlah’, lari dari tanggung jawab menjadi
kiai. Mereka tidak tahu kalau ’uzlah’ itu saya lakukan sebagai wujud
sikap tawaduk saya.
Tentu ada juga yang menyamakannya dengan Cak Nur. Padahal, saya dan
Cak Nur jauh sekali derajatnya. Cak Nur seorang intelektual, doktor
lulusan Chicago, ahli agama, bisa banyak bahasa, termasuk Prancis dan
Parsi, Inggris, dan Arab. Saya hanya seperti itu tadi. Saya dan Cak Nur
seperti langit dan sumur -untuk menunjukkan jarak langit-bumi kurang
jauh.
Satu-satunya yang menyamakan saya dan Nur adalah sakitnya. Sama-sama
sakit liver, sama-sama sirosis. Karena itu, juga sama-sama menghitam di
wajah. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment