Meski Keluar ICU, Jangan Anggap Sudah Merdeka
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (10)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
SEPANJANG sore sampai malam (hari kedua di ICU), perut saya mulai
merasa kembung. Sangat tidak enak. Oh, rupanya saya belum bisa buang air
besar. Juga belum bisa buang angin. Ini saya sadari setelah beberapa
kali perawat menanyakan soal yang kelihatannya sepele itu. Makanya perut
seperti penuh sekali. Penuhnya bukan hanya di perut, tapi seperti
sampai dada. Sepanjang malam saya tidak bisa tidur.
Itu membuat pikiran saya lari ke mana-mana. Termasuk ke liver baru
saya. Saya berkhayal sedang apakah dia? Lagi saling berkenalan dengan
organ saya yang lain, atau lagi pasang kuda-kuda untuk saling
bermusuhan? Apakah liver baru itu sedang tawar-menawar pekerjaan dengan
organ lain? Apakah liver baru itu sedang mengajukan syarat-syarat kerja
sama? Misalnya, hanya akan mau bekerja sama kalau tetap dibolehkan makan
babi? Atau dia begitu baiknya sehingga akan ikut saja peran apa yang
harus dia jalankan?
Yang tak kalah penting adalah perbedaan umur yang mencolok antara
liver baru dan organ saya yang lain. Apakah tidak akan menimbulkan
persoalan? Misalnya, terjadi generation gap yang tajam? Bukankah liver
baru itu belum sampai berumur 25 tahun, apakah tidak akan mengajak
balapan organ lain seperti jantung, paru, dan ginjal? Kalau organ-organ
lain saya sudah berumur 56 tahun, apakah tidak akan terjadi konflik
anak-bapak yang diakibatkan perbedaan zaman? Juga perbedaan gaya hidup?
Apakah tidak akan terjadi adu balap? Apakah jantung tua saya kuat
melayani balapan itu? Panjang sekali khayalan saya. Bukan khayalan yang
ilmiah. Khayalan orang yang tidak bisa tidur saja.
Paginya, hari ketiga di ICU, barulah saya “rasa” itu muncul. Saya
panggil perawat. Ternyata untuk urusan buang air besar ini ada perawat
khusus. Dia perawat yang berbaju biru, yang sudah lebih tua umurnya.
Dialah yang memasang tadah kotoran dan membersihkannya. Urusan buang
hajat pun selesai. Setelah itu tiba-tiba saya merasa seperti ingin buang
angin banyak-banyak. Maka suara bom pun bergelegaran. Semua dicatat
oleh perawat. Pagi itu juga diputuskan saya boleh keluar dari ICU.
Rupanya keluar atau tidak dari ICU, salah satu ukuran yang menentukan
adalah ada atau tidaknya “rasa” tadi.
Kalau saja pagi itu saya belum punya “rasa”, akan dilakukan rekayasa.
Perut saya akan dimasuki cairan lewat pantat. Untunglah saya tidak
perlu melalui tahapan darurat itu. Mekanisme tubuh saya, dengan organ
baru di dalamnya, berjalan dengan normal. Semua berjalan natural.
Satu jam kemudian persiapan mengeluarkan saya dari ICU dilakukan.
Selang yang sudah 56 jam berada di lubang kemaluan saya dicabut. Agak
sakit rasanya. Tapi, kan tetap harus dicabut? Sakit tapi lega. Lega tapi
memang sakit. “Kencing pertama sampai ketiga nanti mungkin agak sakit,”
kata perawat setelah berhasil mencabut selang itu.
Kata-kata itu terus melekat di ingatan saya. Sampai-sampai timbul
rasa takut setiap merasa akan kencing. Tapi, sakitnya seperti apa kan
belum dirasakan. Ya, saya harus merasakannya, karena saya toh harus
kencing. Ternyata rasa sakitnya tidak seberat yang saya bayangkan. Atau
barangkali karena saya sudah merasakan yang paling sakit, sehingga
sakit-sakit kelas seperti itu sudah saya anggap bukan sakit lagi.
Lalu, selang yang masuk ke rongga perut melalui pinggang kanan juga
dicabut. Rasanya juga sakit, tapi sakit yang menimbulkan kelegaan. Alat
untuk mengukur tekanan darah juga dilepas. Kabel-kabel yang menempel di
dada kanan dan dada kiri dicabut. Juga kabel-kabel yang dihubungkan ke
ujung-ujung jari. Semuanya hilang sudah. Rasa plongnya bukan main.
Apalagi, kalau saya ingat banyak pasien yang keluar ICU masih dengan
selang yang menancap di leher. Saya pun sebenarnya sudah membayangkan
akan keluar ICU dalam keadaan seperti itu. Tapi, ternyata tidak. Saya
bersyukur.
Sekitar pukul 10.00 saya sudah dipindahkan dari ranjang ICU ke kereta
angkut. Kereta ini dilengkapi sistem hidrolis. Ini untuk memudahkan
memindah badan saya dari ranjang ICU. Tidak perlu ada orang yang
mengangkat, yang bisa saja membuat badan saya berubah posisi dan
menimbulkan bahaya bagi bekas-bekas operasi. Dari kereta itu secara
otomatis menjulur sebuah papan besi menyekop ke bawah badan saya. Badan
saya terbawa di atasnya. Kereta ini yang membawa saya turun ke lantai
11, ke kamar lama saya yang sudah dibuat bersih sebersih-bersihnya.
Dalam proses keluar dari ICU itulah saya baru tahu bahwa ruang ICU
ini amat-amat panjangnya. Memang seluruh lantai 12 adalah ICU. Tiap
pasien dapat satu kapling yang dibatasi dengan kaca terhadap pasien
lain. Rumah sakit ini memang bisa melakukan transplantasi organ sebanyak
30 orang dalam waktu bersamaan. Berarti ruang ICU-nya memang harus
banyak sekali.
Tiba di lantai 11, para perawat menyambut. Perawat yang sudah tiga
bulan lebih saya kenali dengan baik. Kini saya diserahterimakan dari
perawat ICU ke perawat ruang rawat inap. Mereka segera membuat lubang
baru di lengan saya untuk keperluan infus-infus berikutnya. Tiap hari
saya masih harus diinfus beberapa obat dan vitamin. Mula-mula tiga jam
sehari. Lalu tinggal dua jam. Lalu satu jam. Lalu tidak perlu infus sama
sekali.
Pasien lain yang belum operasi menyambut kepulangan saya dari ICU.
Sebelah kamar saya, orang Jepang, melambaikan tangan. Dari kamar yang
lain, orang Arab Saudi, mengucapkan salam. Pasien dari Taiwan
mengucapkan selamat atas kesuksesan operasi saya. Saya sendiri sudah
sering memberikan ucapan selamat seperti itu kepada pasien yang baru
menjalani operasi sebelum saya.
***
“Meski sudah keluar ICU, jangan Anda anggap sudah merdeka,” ujar
Robert Lai, teman saya itu. Dia lantas menakut-nakuti saya dengan kisah
banyaknya pasien yang sukses dalam menjalani operasi, tapi gagal
menjauhkan diri dari virus dan infeksi. Terutama di seminggu pertama
keluar dari ICU.
Seorang kenalan dari Pakistan terkena infeksi setelah tiga hari
keluar ICU. Terpaksa perutnya dibuka lagi. Diadakan perbaikan lagi di
dalamnya. Contoh lainnya, ada pasien yang merasa kuat dan jalan sendiri
ke kamar mandi. Dia terjatuh dan harus masuk ICU lagi.
Masih sederet contoh tragedi seperti itu. Termasuk yang nekat pulang
meski baru satu bulan setelah operasi. Memang sudah diizinkan pulang.
Tapi, harus balik lagi ke Tiongkok tiga bulan kemudian. Yakni, untuk
mengambil “barang” yang masih dititipkan di dalam. Orang tersebut merasa
sudah sangat normal. Lalu ke rumah sakit di negaranya sendiri untuk
mengeluarkan “barang titipan sementara” itu. Sayangnya, proses tersebut
tidak mulus. Dia terkena infeksi.
Setelah tidak bisa diatasi di negaranya, terpaksa balik lagi ke rumah
sakit ini. Tapi, keadaannya sudah sangat payah. Berbagai usaha sudah
disiapkan, termasuk akan dilakukan transplantasi liver lagi. Namun, dia
harus menunggu kondisi badannya membaik dulu. Kondisi yang ditunggu
itulah yang tidak datang. Akhirnya dia meninggal dunia di rumah sakit
ini bulan lalu.
Saya mendengarkan baik-baik nasihat itu. Robert tahu saya sering
maunya sendiri. Tapi, kali ini dia kecele. Saya sudah bertekad akan taat
peraturan setaat-taatnya. Saya hanya minta kelonggaran dua saja.
Pertama, boleh membuka, membaca, serta membalas dan mengirim email.
Kedua, boleh mulai menulis cerita ini. Sebab, apa yang mau saya tulis
ini semuanya sudah lengkap dan memenuhi kepala saya.
Apa saja yang akan saya tulis, berapa seri tulisan itu nanti, tiap
seri harus dibuka dengan kalimat apa dan ditutup dengan cara bagaimana,
semua sudah ada di kepala. Kalau tidak segera saya tuangkan di komputer,
tekanan darah bisa naik. Itu membahayakan hasil operasi. Sebab, obat
sinkronisasi liver baru saya punya efek samping menaikkan tekanan darah.
Kalau ditambah dengan penuhnya bahan tulisan di otak saya, apakah
tekanan darah tidak akan semakin tinggi?
“Itu logika Anda saja. Anda bukan dokter. Itu alasan Anda saja untuk
diperbolehkan menulis,” ujar Robert Lai. “Mana ada baru tujuh hari
setelah transplantasi liver sudah memeras otak untuk menulis begitu
panjang?” sergahnya. Saya mengakui Robert benar. Tapi, saya tetap
bermohon untuk dapat dispensasi melakukan dua pekerjaan itu.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment