Dokter Mengetuk Dada, Timbul Bunyi seperti Tong Kosong
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (17)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
SAYA pernah membenci kaus kaki. Setiap pulang dari bepergian, selalu
saja kaki saya seperti balon panjang yang ditiup tidak sempurna. Besar
atas bawahnya, dekok di tengahnya. Ini terjadi karena karet di kaus kaki
tersebut menekan kaki saya. Karena yang dijepit adalah daging kaki yang
bengkak, maka tidak gampang baliknya.
Pernah saya merasa penat. Yakni, saat habis makan malam dengan Wakil
Presiden H M. Jusuf Kalla dan lima menteri yang menyertainya. Waktu itu
kami makan di satu restoran kecil, namun istimewa.
Saya tahu alamat
restoran itu dari Rajimin, bos Hotel J.W. Marriott Surabaya yang juga
konsul kehormatan Hongaria. Restoran itu ada di pojok Jalan Tianjin,
Shanghai. Semua masakannya terbuat dari kepiting. Mulai supnya, makanan
kecilnya, sampai makanan penutupnya. Enaknya luar biasa.
Pulang makan, saya mampir ke kios pijat kaki. Setelah melepas kaus
kaki saya, si ahli refleksi kaget. “Karet kaus kakimu terlalu kuat.
Lihat. Sampai membuat kakimu seperti ini,” katanya sambil melihat bagian
kaki yang ’ambles’. Dia pun, seperti saya, ternyata juga menyalahkan
kaus kaki.
Padahal, yang salah adalah kakinya. Tepatnya, yang salah sebenarnya
liver saya yang tidak lagi mampu mengolah protein secara normal. Bahkan,
kalau mau yang paling tepat lagi disalahkan adalah saya sendiri:
Mengapa tidak menjaga baik-baik liver saya? Dua tahun lamanya saya
membenci kaus kaki. Tapi juga tetap memerlukannya. Sebab, kalau tidak
pakai kaus kaki, perut saya langsung kembung.
Begitulah. Hubungan saya dengan kaus kaki menjadi sangat unik: Jenis
hubungan yang disebut love and hate -cinta dan benci. Dalam situasi
terus membenci kaus kaki seperti itulah, saya terus beraktivitas.
Terbang berjam-jam. Berkendaraan beratus-ratus kilometer. Di dalam
negeri. Di luar negeri.
Sampai suatu saat saya punya urusan di kota Tianjin, 100 km dari
Beijing. Di sini kebetulan ada kenalan dokter ahli liver yang hebat.
Namanya Prof dr Shao. Seorang wanita tepat seumur saya, yang mengepalai
bagian liver di suatu rumah sakit di sana. Dia dobel dokter. Dokter ilmu
kedokteran Barat dan dokter ilmu kedokteran Tiongkok. Dia juga doktor
di spesialisasi liver, limpa, dan empedu. Saya kepingin mencari pendapat
pembanding. Benarkah tidak ada jalan keluar untuk problem bengkak saya
itu. Benarkah sirosis itu tidak bisa disembuhkan, minimal dihentikan
proses memburuknya.
Tentu, saya diminta Prof Shao untuk menjalani pemeriksaan ulang.
Mulai kencing, kotoran, darah, liver, limpa, paru, sampai prostat. Juga
menjalani pemeriksaan fisik yang dia lakukan sendiri. Yakni pemeriksaan
secara kedokteran Tiongkok. Dia ketuk-ketuk rongga dada saya dengan
jarinya. Timbullah suara seperti tong kosong. “Ini pertanda liver Anda
memang sudah mengerut, mengecil,” katanya. “Di rongga dada Anda sudah
mulai ada ruang kosongnya,” tambahnya.
Setiap Prof Shao memeriksa fisik saya, selalu banyak dokter muda yang
diajaknya. Dokter-dokter muda itu menyimak dengan tekun apa saja
dijelaskan Prof Shao sehubungan dengan kondisi badan saya. Dia memang
juga pengajar di fakultas kedokteran yang terkait dengan rumah sakit
itu.
“Lihat ini,” kata Prof Shao kepada para dokter muda itu. Sambil
berkata demikian, Prof Shao menyingkap baju saya sampai dada saya
terbuka. Lalu, dia memegang-megang payudara saya (eh, kalau milik
laki-laki apa juga disebut payudara?). “Lihat payudara dia ini. Juga
membesar. Seperti payudaranya gadis yang menginjak remaja. Orang yang
terkena sirosis akan selalu seperti ini,” ujarnya.
Kenapa Prof Shao mengumpamakan payudara saya seperti payudara gadis
belia, karena proses pembesaran kelenjar susu lelaki yang menderita
sirosis memang mirip pertumbuhan payudara gadis yang beranjak remaja.
Yakni dimulai dengan rasa nyeri pada bagian putingnya saat tersentuh
sesuatu. Perlahan-lahan rasa nyeri itu berkurang, bersamaan dengan makin
besarnya payudara. Seperti umumnya gadis remaja, pembesaran payudara
saya juga dimulai dari yang kiri, baru kemudian yang kanan.
Jika liver saya tidak keburu ditransplan, payudara saya akan terus
membesar menyerupai payudara wanita. Dalam istilah medis, pembesaran
payudara yang saya alami itu disebut dengan gynecomasty atau
ginekomastia.
Lama sekali dia memegang-megang payudara saya. Tapi, bayangan saya
lebih kepada sirosis yang mengancam nyawa saya. Tidak hanya hari itu.
Berkali-kali Shao menjadikan payudara saya sebagai alat peraga untuk
mahasiswanya. Saya menerima saja. Bukan karena merasakan remasannya,
melainkan itu memang penting agar orang lain jangan sampai seperti saya.
Setelah selesai bagian dada, tangannya turun ke perut. Dia periksa
perut saya dengan dua tangannya. Dia pejamkan matanya seolah ingin
merasakan benar apa yang berubah dari perut saya senti ke senti. Dia
goyang-goyang perut saya. “Masih beruntung. Air belum masuk ke rongga
perut,” katanya.
Prof Shao memang sangat khawatir air yang sudah memenuhi seluruh
badan saya juga sudah mulai mengalir ke rongga perut. Sebab, memang
begitulah proses yang akan terjadi berikutnya. Air akan “bocor” dan
menggenangi rongga perut. Karena itu, penderita sakit liver seperti saya
akan berakhir juga dengan keadaan perut membesar penuh air. Mula-mula
perut akan seperti balon berisi air: Ginjur-ginjur. Dalam istilah medis,
keadaan itu disebut dengan ascites.
Semakin lama, jumlah air di perut akan semakin banyak dan memaksa
perut untuk membesar. Bersamaan dengan membesarnya perut, biasanya
pembuluh-pembuluh darah di permukaan perut juga ikut melebar sehingga
tampak seperti sarang laba-laba, tapi warnanya merah. Sesuai dengan
tampilannya, para dokter menyebut pelebaran pembuluh darah itu dengan
istilah spider veins.
Pada tahap berikutnya, perut yang besar itu mengeras. Saya sudah
berkali-kali melihat perut orang sakit liver seperti ini dan biasanya
sudah akan meninggal kurang dari enam bulan. Begitu juga ibu saya dulu.
Satu pemandangan yang saya lihat ketika saya masih berumur 12 tahun dan
terus hidup sampai saya sendiri dalam posisi akan mengalaminya.
Saya sendiri beruntung karena sampai saat transplantasi, saya tidak mengalami yang disebut ascites maupun spider veins itu.
“Ini harus dicegah sedini mungkin, sebisa-bisanya,” kata Shao kepada
para dokter muda tersebut. Tapi, itu pun sifatnya hanya usaha untuk
buying time.
Dokter di Singapura berpendapat sama. Dia memberikan dua jalan:
Meminum obat agar kencing lancar dan meminta saya untuk tidak banyak
minum. Dua-duanya saya jalani. Sampai-sampai saya pernah merasa takut
pada air minum. Setiap mau minum, selalu terbayang bahwa sebagian air
itu akan terus membuat badan saya bengkak. Sebagian lain akan membuat
perut saya membesar, ginjur-ginjur, dan akhirnya mengeras.
Pada awalnya, saya agak terhibur dengan “pil pelancar kencing”. Tapi,
lama-lama satu pil tidak cukup membuat kencing saya mengalir lancar.
Harus dua pil. Ini pun lama-lama juga sudah kurang manjur. Terpaksa,
saya terus mengurangi minum. Beberapa bulan terakhir saya hanya berani
minum satu liter saja sehari. Ini karena kencing saya hanya sekitar 700
sampai 900 mililiter sehari semalam.
Di Tianjin, Prof Shao memberi saya obat Tiongkok yang sudah berwujud
cairan infus. Tiap hari saya diinfus dengan itu dan bengkak berkurang.
Kencing lancar sekali. Tapi, kalau infus dihentikan, tetap saja badan
kembali bengkak. Shao menjelaskan mengapa demikian kepada para dokter
muda -beberapa di antara mereka dokter muda dalam ilmu kedokteran
Tiongkok.
Ketika saya banyak tanya mengenai khasiat dan bahaya setiap obat yang
diberikan kepada saya, Shao bergegas menatap wajah-wajah dokter muda.
“Lihat sahabat saya ini. Banyak bertanya. Kelak, semua pasien akan
seperti ini. Kalian harus bisa menjelaskannya dengan sebaik-baiknya.
Pasien memang punya hak untuk tahu,” ujar Shao sambil tangannya tetap di
perut saya. Kadang tangannya mampir lagi ke payudara saya. Ini karena
di antara dokter muda hari itu, ada wajah baru yang belum diberi tahu
bagaimana payudara saya juga membesar seperti gadis menginjak remaja.
Lain hari, saya ingin Prof Shao ganti mengajar saya. Sebelum hari
yang ditentukan itu tiba, saya beli kertas putih lebar. Lalu, saya
tempelkan di dinding kamar rumah sakit. Saya ingin dia menjelaskan
secara gamblang rangkaian penyakit saya. Saya juga beli spidol
warna-warni untuk membedakan gambar aliran darah masuk dan keluar. Dia
tersenyum melihat persiapan saya hari itu. “Wah, saya harus mengajar
berapa jam?” tanyanya bergurau. Pipinya yang padat, hidungnya yang agak
mancung, badannya yang tinggi, dan rambutnya yang ikal membuat
penampilannya sangat aristokrat. Apalagi kalau berat badannya bisa turun
satu kilo lagi. “Satu jam 10.000 yuan ya?” guraunya ketika menyebut
uang setara Rp 11 jutaan tersebut.
Di dinding itu dia menggambar isi tubuh saya. Menjelaskannya sangat
detail dan terang-benderang. Dia pandai sekali mengajar. Pasti banyak
mahasiswanya yang senang. Saya juga belajar yang lain lagi: bahasa.
Sebab, bahasa Mandarin yang dia gunakan sangat teknis dengan logat yang
sangat Tianjin. Kini tahulah saya secara gamblang penyakit saya,
terutama ancaman mati yang nyata di depan mata saya. “Ini tidak ada
obatnya,” katanya tegas. Muncul karakternya sebagai pemimpin. “Kecuali
istirahat total,” tambahnya. “Obat hanya memegang peranan kurang dari 15
persen. Yang 85 persen lebih adalah perilaku pasien sendiri,” ujarnya.
Prof Shao melarang saya banyak jalan, gerak, dan terlalu lelah. Tidak
boleh marah, kemrungsung, dan berada dalam situasi tergesa-gesa.
Padahal, salah satu hobi saya “mengejar” pesawat. Saya sering tidak
sabar menunggu jadwal pesawat. Kalau pesawat yang akan terbang ke suatu
tujuan masih tiga-empat jam lagi, biasanya saya cari pesawat ke jurusan
yang lain dulu.
Saya juga tidak boleh merasa kesal. Tidak memikirkan banyak persoalan
sekaligus. Tidak boleh mikir yang berat-berat. Saya harus pensiun. Saya
hanya boleh memikirkan badan saya sendiri. Tidak boleh lagi mikir orang
lain.
“Ibaratnya,” kata Prof Shao, “Rumah tetangga terbakar pun, Anda
jangan peduli.” Tegas sekali peringatannya. Terang sekali contohnya.
Hanya mahasiswa yang bodoh yang tidak bisa memahaminya. Dan saya
ternyata termasuk “mahasiswa”-nya yang amat bodoh. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment