Sempat Berpikir Lebih Baik Mati daripada Melanjutkan Kemo
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (8)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
KALAU saya sangat tahan menerima penderitaan selama di ICU, bukan
saya jagoan dalam menerima rasa sakit. Bukan. Saya pernah mengalami rasa
sakit sampai tidak tahan lagi menanggungkannya. Saya pernah mengalami
rasa sakit yang “sampai nggak bisa dirasakan”. Yakni, ketika setahun
lalu harus menjalani kemoterapi. Waktu itu diketahui (lewat scanner)
bahwa di liver saya sudah ada kankernya. Lalu kanker itu dicoba dibunuh
dengan cara di-TACE. Lalu dikemo. (Kelak akan saya jelaskan apa itu
di-TACE).
Setelah dikemo itu, rasanya luar biasa tidak karuan. Yakni sakit, mual, mulas, kembung, melintir-lintir, dan entah berapa jenis rasa sakit menjadi satu. Sampai-sampai saya tak bisa memisah-misahkan bentuk sakitnya itu terdiri atas berapa macam rasa sakit.
Setelah dikemo itu, rasanya luar biasa tidak karuan. Yakni sakit, mual, mulas, kembung, melintir-lintir, dan entah berapa jenis rasa sakit menjadi satu. Sampai-sampai saya tak bisa memisah-misahkan bentuk sakitnya itu terdiri atas berapa macam rasa sakit.
Dalam hal ini saya merasa kalah dengan Sara, salah satu manajer
keuangan saya. Dia muda, cantik, tinggi, dan diserang kanker. Dia harus
menjalani kemo berpuluh kali hingga kepalanya gundul. Kini dia kembali
cantik dan sudah melupakan penderitaan kemonya.
Sedang saya tidak tahan. Saya bilang kepada Robert Lai yang menunggui
saya di Singapura, kalau dalam satu hari itu tidak juga reda, saya
pilih mati. Tidak ada gunanya hidup dalam keadaan seperti itu. Saya
minta mati saja, kata saya kepadanya. Lalu dia lapor ke dokter. Saya
diberi obat tertentu. Pasti painkiller. Pelan-pelan rasa tidak
karu-karuannya berkurang.
Tapi, saya kemudian memutuskan tidak mau lagi dikemo. Tidak tahan.
Saya akan cari jalan lain saja. Atau lebih baik mati saja. Toh saya
sudah berumur 55 tahun. Sudah berbuat sesuatu yang lumayan. Juga sudah
melebihi umur ibu saya, atau umur kakak saya, atau umur paman-paman
saya.
Ini bukan untuk menunjukkan bahwa saya pernah hampir putus asa,
melainkan untuk menunjukkan kekaguman saya kepada orang-orang yang mampu
menjalani kemo berkali-kali. Mereka jelas lebih hebat dari saya.
***
Hari pertama di ICU itu saya tidak merasa mengantuk. Hanya, mata
terus terpejam. Rasanya saya tidak punya kekuatan untuk membuka kelopak
mata saya sendiri. Sambil mata tetap terpejam pikiran saya jalan ke
mana-mana. Ke Surabaya, ke Medan, Bengkulu, Batam sampai ke Palu. Saya
juga suka memperhatikan kesibukan di ruang ICU itu. Memperhatikan dengan
mata terpejam. Semua saya catat dalam ingatan saya. Dasar bekas
wartawan! Kata hati saya.
Memperhatikan apa saja yang terjadi di ICU itu membuat perhatian saya
terbagi. Ini baik. Karena tidak melulu tercurah ke rasa sakit.
Perhatian saya menjadi tidak hanya kepada banyaknya selang yang menancap
di sekujur tubuh. Saya juga bisa melupakan rasa penat akibat tekad saya
sendiri untuk tidak akan menggerakkan tubuh sedikit pun selama 24 jam.
Yakni, agar tidak berakibat buruk pada luka-luka operasi saya. Baik luka
di kulit akibat sayatan pisau atau luka di dalam akibat terjadinya
penyambungan-penyambungan pembuluh darah.
Tak terasa sore pun tiba. Sore itu, satu selang yang dimasukkan lewat
leher kanan saya dicabut, dilepas. Agak lega sedikit. Tapi, masih ada
dua selang yang menancap di leher yang dilubangi itu. Agak lebih sore
lagi, selang yang dimasukkan ke rongga perut lewat lubang hidung juga
dicabut. Lebih lega lagi. Saya terus berharap, selang-selang itu satu
per satu akan dilepas. Saya tidak mau bertanya jadwal melepaskan
selang-selang sisanya. Khawatir berharap terlalu banyak. Saya sudah
biasa dengan sikap untuk tidak berharap banyak pada apa pun dan pada
siapa pun. Ini, menurut pendapat saya, baik. Karena akan membuat saya
merasa lebih bahagia. Setidaknya tidak akan membuat saya terlalu kecewa.
Bukankah bahagia dan kecewa sebenarnya bisa kita ciptakan sendiri?
Orang akan merasa bahagia kalau keinginannya tercapai. Orang akan merasa
kecewa kalau keinginannya tidak tercapai. Maka, ini saya, untuk
mencapai kebahagiaan sangatlah mudah: Jangan pasang keinginan terlalu
tinggi. Jangan menaruh harapan terlalu banyak.
Dulu pun saya hanya ingin Jawa Pos menjadi koran yang oplahnya
separonya dari Surabaya Post. Tidak perlu lebih besar dari itu. Waktu
itu, rasanya tidak mungkin mengejar Surabaya Post yang sudah merajalela
kehebatannya.
Baru setelah ternyata mudah sekali membuat koran yang bisa sebesar 50
persennya Surabaya Post, meningkatlah keinginan untuk bisa sebesar
Surabaya Post. Keinginan itu meningkat terus secara bertahap, sehingga
menjadi seperti Grup Jawa Pos sekarang.
Sebuah koran nasional dari daerah dengan oplah lebih dari 300 ribu
eksemplar per hari. Ini belum termasuk koran-koran Grup Jawa Pos yang
terbit di Jakarta dan di kota-kota lain di luar pulau. Bahkan, koran ini
berkembang sedemikian rupa hingga menjadi sebuah grup media yang
membawahkan lebih dari 100 koran harian dan mingguan, delapan televisi
lokal, pabrik kertas, dan power plant.
Jadi, kalau ada yang menganalisis bahwa saya punya grand design untuk
membuat Jawa Pos seperti sekarang, tidaknya begitu kenyataannya.
Hanya desain-desain kecil yang saya buat. Tapi, saya wujudkan dengan
konstan. Dengan istikamah, dalam istilah Pesantren Miftahul Ulum Al
Islami, Kedungdung, pimpinan KH Ilyas Khotib, di Bangkalan, Madura. Saya
punya prinsip semuanya sebaiknya mengalir saja seperti air. Hanya,
kalau bisa, alirannya yang deras. Batu pun kadang bisa menggelundung,
kalah dengan air yang deras.
Itu menangnya orang yang tidak punya cita-cita tinggi sejak awal.
Hidupnya lebih fleksibel. Karena tidak punya cita-cita, kalau dalam
perjalanannya menghadapi batu besar, ia akan membelok. Tapi, kalau orang
berpegang teguh pada cita-cita, bertemu batu pun akan ditabrak. Iya
kalau batunya yang menggelundung, lha kalau kepalanya yang pecah gimana?
Cita-cita saya semula hanya ingin punya sepatu, biar pun rombengan.
Lalu ingin punya sepeda. Rasanya, waktu pertama punya sepeda (juga
bekas) bahagianya melebihi saat punya Jaguar. Padahal, sepeda itu pernah
putus as rodanya sehingga tidak bisa dinaiki. Bahkan, dituntun pun
tidak bisa. Terpaksalah saya menggendongnya. Menggendong dengan bahagia.
Malamnya saya juga tidak mengantuk. Mungkin sudah kelamaan
ditidurkan! Yakni, 18 jam dibius. Malam itu saya menyaksikan kerja
perawat di ruang ICU yang luar biasa sibuknya. Perawat shift malam itu
mulai bekerja pukul 19.00 dan baru akan pulang pukul 07.00 keesokan
harinya. Sepanjang malam mereka bekerja tanpa istirahat sedikit pun. Ini
karena tiap tiga perawat mengurus lima pasien ICU. Semuanya baru saja
menjalani penggantian organ tubuh. Ada yang ganti liver seperti saya,
ada yang ganti ginjal, ada yang ganti jantung. Tiap-tiap pasien
memerlukan begitu banyak obat, begitu banyak macam cairan infus, begitu
banyak alat deteksi yang terus-menerus harus dipantau, diganti, dan
dicatat.
Dan, yang juga tak kalah penting adalah dibuatkan invoice-nya untuk
menagihkan kepada pasien. Maka setiap habis menggunakan bahan, harus
dicatat berapa harganya dan lalu di-invoice-kan. Ini penting sekali,
bagi RS tentunya. Sebab, kalau salah dalam meng-invoice-kan, berarti
rumah sakit akan menderita. Yakni, menderita kerugian.
Setiap ada kesempatan saya selalu memuji mereka. “Anda luar biasa
sekali. Satu malam suntuk bekerja tanpa istirahat,” kata saya. “Untung
Anda masih sangat muda. Kalau sudah tua, nggak mungkin bisa bekerja
tanpa henti dengan konsentrasi tinggi sepanjang malam,” kata saya.
“Terima kasih,” jawabnya.
Saya tahu dia akan libur besoknya. Jadi masih lumayan. Berbeda dengan
muda saya dulu. Saya ingat waktu itu, waktu mulai membangun Jawa Pos
dari sebuah koran yang hampir bangkrut, saya harus bekerja sepanjang
malam. Besoknya tidak pakai libur. Bahkan, sudah harus bekerja sejak
pagi lagi. Sampai malam lagi. Begitu seterusnya. Tidak libur. Besoknya
sepanjang malam lagi, sepanjang siang lagi dan sepanjang malam lagi.
Tujuh hari seminggu, 30 hari sebulan, 360 hari setahun. Selama kira-kira
15 tahun berturut-turut.
Inilah yang membuat organ di dalam tubuh saya menderita. Liver saya
kalah. Dia sebenarnya sudah lama menangis-nangis minta diperhatikan.
Sudah lama minta untuk tidak diperlakukan seperti itu. Sudah lama
komplain ke sana kemari. Namun, karena tidak dipedulikan, lantas ngambek
seperti ini. Lalu minta diistirahatkan seterusnya. (bersambung)
No comments:
Post a Comment