Kesadaran Pulih, tapi Saya Tak Mampu Sujud Syukur
Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (9)
Oleh: Dahlan Iskan iskan@jawapos.co.id
SAYA memperoleh kesadaran penuh pada malam kedua di ICU. Di tengah
malam yang sepi itu, tiba-tiba pikiran saya jernih sekali. Suara
tat-tit-tat-tit mesin yang memonitor organ-organ tubuh saya terdengar
kian jelas. “Saya benar-benar masih hidup,” kata hati saya.
“Alhamdulillah. Puji Tuhan,” batin saya lagi.
Tiba-tiba saya terlibat diskusi lagi dengan pikiran sendiri mengenai
apa bentuk syukur yang harus saya lakukan. Sudah pasti saya belum punya
kemampuan bersujud. Tapi, sujud kan tidak harus dengan kepala? Kan bisa
juga yang sujud hati? Maka saya sujud dengan hati saya. Rasanya malah
lebih ikhlas. Tidak ada yang lihat. Sepi sekali ing pamrih. Sebentar
tapi menenangkan batin.
Saya memang bertekad untuk tidak akan mendemonstrasikan rasa syukur
itu dalam bentuk yang ekstrem. Misalnya, dengan sepanjang-panjangnya
mengucapkan kalimat-kalimat tertentu atau bahkan sampai menitikkan air
mata. Atau memotong sapi untuk acara besar-besaran. Saya khawatir,
semakin panjang kalimat yang saya ucapkan, semakin saya “sudah merasa
bersyukur”. Semakin banyak orang yang saya undang untuk syukuran,
semakin saya “sudah merasa bersyukur banyak”. Saya akhirnya
berkesimpulan akan bersyukur dengan cara “memanfaatkan umur tambahan ini
dengan seproduktif-produktifnya”.
Paginya, apa pun yang di ICU terlihat jelas dan terekam baik dalam
ingatan. Hari kedua di ICU itu, pagi-pagi, pimpinan rumah sakit yang
juga kepala tim dokter yang menangani penggantian liver saya datang
menjenguk. Karena dia pimpinan, yang menyertainya banyak sekali. “Ze me
yang?” tanyanya sambil memegangi tubuh saya menanyakan apa kabar dalam
bahasa Mandarin. “Hen hao,” jawab saya. Saya bilang bahwa saya baik-baik
saja dan tidak punya keluhan apa pun.
Tentu itu basa-basi. Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya
katakan. Bukan mengenai keluhan saya, melainkan soal-soal lain yang
membuat saya penasaran. Yang membuat saya ingin segera tahu. Misalnya,
apakah ada kesulitan yang berarti untuk melakukan operasi tadi malam?
Apakah liver saya yang lama benar-benar telah rusak seperti yang
diperkirakan? Atau sebenarnya masih baik, yang akan membuat saya
menyesal melakukan operasi?
Soalnya, ada juga sedikit kekhawatiran bahwa jangan-jangan setelah
perut dibuka, ternyata liver saya baik-baik saja. Jangan-jangan hasil
scanner yang menyatakan liver saya sudah rusak dulu itu hanya karena
alat scanner-nya “salah lihat”. Bukankah memang ada kasus-kasus “salah
diagnosis” semacam itu?
Ada juga pertanyaan yang lebih penting yang ingin segera saya
ketahui. Benarkah sudah ada kanker di liver lama saya? Benarkah tanpa
operasi ini sebenarnya saya masih bisa hidup lima tahun lagi? Benarkah,
seperti kata sebagian dokter, bahwa sebenarnya saya tinggal punya
kesempatan hidup enam bulan lagi? Karena kanker sudah menjalar ke
beberapa bagian di dalam liver saya?
Tapi, pertanyaan itu terlalu banyak untuk diajukan pagi itu. Juga
terlalu dini. Rasanya kurang pas kalau saya sudah bertanya sejauh itu.
Bukankah pagi itu dokter hanya mengunjungi saya untuk menunjukkan
perhatian kepada saya? Untuk menunjukkan rasa persahabatan yang tulus?
Sebab, tanpa mengunjungi saya pun dia sudah bisa baca dari laporan
komputer mengenai perkembangan keadaan saya.
Maka, saya urung mengajukan pertanyaan-pertanyaan tadi. Masih ada
waku di lain hari. Toh, saya masih akan berhari-hari di rumah sakit ini.
Bahkan, mungkin masih berminggu atau (kalau operasi ini gagal) masih
akan berbulan lagi.
Saya malah berubah pikiran dengan cepat. Saya justru bergegas
menunjuk ke perawat yang berdiri di arah kaki saya. “Dokter,
perawat-perawat rumah sakit ini luar biasa. Tadi malam mereka bekerja
keras sepanjang malam, tanpa istirahat sedikit pun,” kata saya kepada
pimpinan rumah sakit itu.
Sang pimpinan tersenyum senang. Lalu dia mendekat ke arah perawat dan
memegang-megang pundaknya. Tidak ada kata-kata yang diucapkannya. Dan,
saya kira memang tidak perlu ada kata-kata apa pun. Tepukan tangan ke
pundak anak buah seperti itu sudah melebihi pujian yang diucapkan dengan
ribuan kata.
“Terima kasih, Mr Yu memuji saya di depan pimpinan,” kata perawat itu
kepada saya setelah rombongan pimpinan berlalu. Di Tiongkok nama saya
memang Yu Shi Gan (baca: i-se-kan), sehingga cukup dipanggil nama
depannya saja (Yu) yang dikira nama marga saya.
Saya tidak basa-basi memuji para perawat itu. Saya memang benar-benar
ingin memujinya. Kerja yang luar biasa keras itu harus ada yang
mencatatnya. Para perawat itu tidak hanya harus membuat laporan yang
baik, tapi mereka sendiri juga harus dilaporkan. Terutama kebaikannya
itu.
Para perawat itu bekerja dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab
kepada keselamatan pasien. Yakni, melakukan pekerjaan cepat, cermat
dengan ketelitian yang tinggi di waktu malam yang sepi. Kalau saja tidak
teliti pun siapa yang tahu?
Mereka juga bekerja dengan penuh tanggung jawab kepada rumah sakit.
Yakni, dengan cara tidak ceroboh mencatat harga-harga barang yang saya
gunakan malam itu: obat, infus, selang, jarum, tisu, sarung tangan,
plester, dan seterusnya. Setiap ada pemakaian bahan harus dicatat
harganya dan dibuatkan invoice penagihannya. Kalau tidak, rumah sakit
akan rugi. Pemakaian barang seharga 1 yuan (sekitar Rp 1.100) pun harus
dicatat rapi dan dibuatkan perhitungannya. Jarum pun ada harganya, kapas
secuil ada harganya. Apalagi selang, cairan infus, dan obat-obatan.
Saya perlu memuji perawat tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih
saya yang tulus kepada mereka. Saya tidak mungkin memberinya uang. Saya
kan dalam keadaan telanjang! Mana bisa membawa dompet? Apalagi sudah
menjadi kebiasaan saya, membawa dompet pun belum tentu ada duitnya.
Saya perlu memujinya karena setelah hari itu saya tidak mungkin lagi
bisa bertemu mereka. Hari ini mereka dapat giliran libur. Besok sudah
akan menjalani kehidupan baru dengan pasien berikutnya lagi. Saya
mungkin juga tidak berada lagi di ICU karena pagi itu sudah bisa kembali
ke kamar saya di lantai 11. “Terima kasih Bapak telah memuji saya di
depan pimpinan saya,” kata perawat itu. Wajahnya kelihatan bersorak
gembira. Seperti mendapatkan uang berjuta. Saya tidak akan lupa
wajahnya. Tidak akan lupa ekspresi kegembiraannya. Tidak akan lupa
keterampilannya. Dan kerja kerasnya.
***
Tiba-tiba anak saya laki-laki, Azrul Ananda, masuk ICU. Kali ini
bersama adiknya, Isna Fitriana, yang baru malam harinya tiba dari
Surabaya. Hari itu rupanya saya akan diserahterimakan.
“Bapak kan sudah aman. Dan Isna sudah di sini. Pagi ini saya kembali
ke Surabaya,” ujar Azrul. “DBL harus segera dimulai,” tambahnya. DBL
(DetEksi Basketball League) adalah liga basket SMP/SMA terbesar di
Indonesia yang dia prakarsai. Saya mengangguk karena rasanya memang
tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Perasaan saya baik-baik saja.
Rupanya, baru selama sakit ini saya punya komunikasi yang intensif
dengan anak-anak saya. Sebelumnya, saya ternyata jarang sekali berbicara
dengan mereka. Meski anak lelaki saya juga di Jawa Pos, saya membiarkan
proses manajemen berjalan apa adanya. Saya hampir tidak pernah bicara
soal perusahaan kepadanya. Keberadaan dia di Jawa Pos malah membuat
hubungan saya sebagai bapak dan anak menjadi seperti hubungan atasan dan
bawahan. Karena dia bukan bawahan langsung, berarti tidak perlu ada
hubungan yang khusus.
Anak-anak saya memang sudah terpisah sejak mereka masih amat remaja.
Begitu tamat SMP, keduanya langsung ke USA, masuk SMA di sana. Bahkan,
Azrul sampai tujuh tahun di sana. Ikut orang tua angkatnya yang didapat
melalui proses undian. Karena itu, kami tidak pernah tahu di rumah siapa
dia akan tinggal di AS. Ternyata, Azrul dapat orang tua angkat yang
sama sekali tidak diperkirakan. Yakni, seorang bapak yang ternyata juga
pemilik surat kabar daerah di Kansas. Namanya John Mohn. Dia seorang
master jurnalistik. Juga juragan koran.
John tidak punya anak laki-laki. Maka, Azrul dia anggap sebagai anak
laki-lakinya. Tiap hari dia ajak anak saya ke kantor korannya. Dia ajari
fotografi. Dia ajari jurnalistik. Bukan hanya penulisannya, tapi juga
kemerdekaan dan filsafatnya. Jadilah Azrul anak yang mencintai koran.
Bukan karena saya, tapi karena bapak angkatnya itu.
Saya sendiri sejak awal tidak ingin dia kerja di koran. Terlalu
berat. Terlalu menyiksa. Juga belum tentu menghasilkan kekayaan. Maka
sejak tamat SMP saya kirim dia ke AS agar bisa punya pilihan lebih baik.
Setidaknya agar bisa berbahasa Inggris. Tidak seperti bapaknya yang
hanya tamatan SMA (aliyah), yang nama-nama hari dalam bahasa Inggris pun
tidak hafal.
Jadi, kalau ada yang menganggap saya sejak awal menyiapkan anak saya
untuk di Jawa Pos, sungguh tidak demikian maunya. Saya justru mau anak
saya bekerja di luar negeri dulu. Lalu jadi pengusaha yang mandiri.
Ketika hal ini saya kemukakan kepada Azrul, dia balik bertanya: saya
harus cari uang? Saya mau jurnalistik, katanya.
Apakah saya menyesal? Ya dan tidak. Tapi, ada juga yang menilai bahwa
saya harus bersyukur karena ada anak yang masih punya idealisme di
bidang jurnalistik. Menyikapi kedua penilaian itu saya pasrah saja. Yang
terjadi, terjadilah.
Sepulang dari USA anak-anak saya praktis jadi dirinya
sendiri-sendiri. Termasuk tidak mau lagi tinggal bersama kami di rumah.
Mereka pilih tinggal di rumah sendiri. Mereka sudah terbiasa mandiri.
Baru ketika saya sakit ini, mereka sering menemani saya. Kami pun
sering dalam keadaan lengkap berada dalam satu ruangan: saya, istri
saya, dan anak-anak saya. Sekarang ditambah dengan menantu-menantu dan
seorang cucu. Eh, seorang cucu dan calon seorang cucu lagi.
Justru ketika sakit ini saya seperti menemukan keluarga saya.
“Ternyata saya punya anak,” gurau saya kepada keduanya. “Ternyata kita
punya bapak, ya,” kata Isna kepada kakaknya. Sambil tertawa cekikikan.
Suasana yang sangat mengurangi rasa sakit saya selama di ICU.
Lebih menggembirakan lagi, siang itu dua selang yang masuk ke rongga
dada lewat leher kanan saya juga dicabut. Lubang bekas selang-selang itu
lantas ditutup dengan plester. Dua hari kemudian lubang itu sudah
menutup.
Kelak, ketika sudah berada di kamar biasa, saya masih sering
meraba-raba bekas lubang di leher itu. Saya masih punya pikiran
jangan-jangan lubangnya masih menganga. (bersambung)
No comments:
Post a Comment